Notes: Hai! Salam kenal semuanya~ Saya author baru di fandom ini. Mohon bantuannya~ #slapped Siapa bilang saya ini anak baru? Ini adalah account collab antara ry0kiku dan are. key. take. tour. Gara-gara percakapan gaje di twitter, muncul ide untuk menggabungkan sejarah dengan crime. Muncullah account freak satu ini.
Disclaimer: Karakter masih kepunyaan Hidekazu Himaruya. Authors tidak mengambil untung sama sekali dari fanfiksi ini. Beberapa karakter OC seperti Indonesia dan Malaysia sepertinya masih belum official jadi... itu milik bersama? O.o #ngek
Warning: AU. Pemakaian nama manusia. Pembunuhan dengan deskripsi yang sangat amat jelas. Sho-ai dan straight bertebaran. Pairing bermacam-macam bertebaran. Berdasarkan pada pembunuhan kisah nyata yang belum terpecahkan sampai sekarang.
Tanggal 15 Januari 1947.
Leimert Park, Norton 39th, Los Angeles.
Seorang wanita muda bernama Elizabeth Short ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya terbelah dua di bagian pinggang. Mulutnya disobek sampai melebar dari telinga ke telinga. Luka di seluruh bagian tubuh moleknya. Di pergelangan tangan, kaki, dan lehernya terdapat jeratan tali dan bekas-bekas ikatan.
Namun, satu hal yang paling mengherankan sekaligus mengerikan; sama sekali tak ada darah di sekitar tempat ia ditemukan. Tubuh pucat terbelah itu terbaring begitu saja beralaskan rerumputan kehijauan. Bersih, seolah-olah korban tak pernah mengeluarkan darah.
Seolah-olah korban dibunuh di tempat lain sebelum dibuang ke taman terpencil tersebut.
Tersangka berjumlah ratusan—bahkan ribuan kabarnya dipanggil untuk diinterogasi. Tak satu pun dari mereka dinyatakan sebagai pelakunya. Interogasi panjang terbuang percuma. Hasilnya nihil.
Penyelidikan tak berbuah sama sekali. Hanya media massa dan para pemburu berita yang dipuaskan oleh berita luar biasa hangat yang awet sampai bertahun-tahun ke depan.
Dan untuk meningkatkan rasa tertarik masyarakat akan kasus ini, media massa memberikan julukan unik pada sang gadis muda yang menjadi korban. Julukan yang kemudian menginspirasi begitu banyak film dan novel untuk meminjam namanya:
Black Dahlia.
Untuknya, Elizabeth Short, sang calon aktris yang mendaki karir perlahan-lahan di Hollywood. Wanita muda berparas jelita dengan rambut hitam dan balutan dress hitam, nama Black Dahlia diberikan.
Wanita muda yang meregang nyawa di tangan pembunuh berdarah dingin, malang baginya misteri kematiannya tak pernah terpecahkan. Tak ada pelaku yang ditahan di balik bui. Tak ada tersangka yang diadili. Yang ada hanyalah sepucuk surat dari sang pembunuh. Surat sederhana, disertai dengan satu buah boks penuh dengan barang-barang milik sang calon aktris—termasuk di dalamnya barang privat seperti akte kelahiran. Surat sederhana yang ditulis bukan oleh tangan, melainkan dari rangkaian potongan huruf di koran:
Los Angeles Examiner and 0THER Los Angeles PAPERs.
HERE! is 'Dahlia's beloNGings. LETTER tO F0LloW.
Tak ada sidik jari ataupun petunjuk yang bisa digunakan. Kembali misteri berakhir tanpa jawaban.
Spekulasi pun bermunculan. Pembunuhan berantai, kah? Sayangnya, korban yang dibunuh persis dengan cara ini hanyalah Miss Short seorang. Tak ada korban-korban berikutnya.
Sampai tahun 1962.
Pembunuhan keji terjadi di Central Park, New York City. Di bawah matahari musim dingin, terdengar jeritan kencang seorang wanita. Matanya membelalak ngeri saat berhadapan dengan mayat yang terbelah dua. Wajah pucat yang dihiasi 'senyuman'. Luka goresan mewarnai tubuh molek korban.
Dan kembali misteri Black Dahlia terbongkar.
Hetalia Axis Powers © Hidekazu Himaruya
Black Dahlia © out. of. the. b0x
Aku tak akan pernah bisa bersamanya.
Kebodohan yang sangat menyedihkan, saat ia ada dalam genggamanku dan kubiarkan dia lepas begitu saja.
Sakit rasanya melihat senyum yang semula tertuju untukku sekarang beralih untuknya.
Aku tak bisa hidup begini terus.
Duniaku hancur tanpanya.
Lebih baik aku mati saja.
Atau mereka saja yang mati.
Deretan mobil polisi tampak berjejer sepanjang Central Park. NYPD mengawasi perimeter, mencegah siapa pun masuk ke lingkaran kuning. Para pengunjung yang semula menikmati keindahan musim gugur Central Park terpaksa diungsikan. Semuanya demi penyelidikan menyeluruh yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian.
"Sadiq! Hei, Sadiq!" jerit seorang pria berambut putih, melambai-lambai memanggil seorang polisi berpostur tinggi dengan rambut ikal mengenakan jaket tebal berwarna cokelat. Sang pemuda menyeruak di tengah kerumunan wartawan yang haus mencari berita, melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan polisi sekalipun masih belum berani untuk menspekulasikannya.
Lelaki bernama Sadiq Adnan, seorang Inspektur Divisi Pembunuhan NYPD menoleh ke arah asalnya suara. Mata cokelatnya menyipit, mencari-cari asalnya suara yang entah dari mana. Beruntung, rambut putih laksana salju itu tampak sangat mencolok di antara kerumunan. Ia segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menepikan para wartawan, memberikan jalan bagi si pemuda yang dengan penuh syukur langsung berlari menghampiri sang atasan.
"Akhirnya!" seru si pemuda berambut putih itu lega. Ia menghela napas panjang dan melirik wartawan yang semakin merapat di garis polisi. Kilatan lampu blitz dan seruan sarat akan pertanyaan terumbar sepanjang garis kuning. Beberapa tampak memaki-maki polisi yang bungkam, kesal karena tak dapat bahan berita. "Beringas sekali di sana..."
Sadiq mendongak dengan gaya santai dan cueknya lalu kembali melengos ke jalan setapak Central Park. "Wartawan bukanlah yang harus kita perhatikan sekarang, Gilbert." katanya, mata madunya perlahan menyipit dalam keseriusan yang jarang terlihat. "Kita punya permasalahan yang lebih runyam di sini."
Sadar akan situasinya, Gilbert Beilschmidt, sang polisi berambut putih salju dan mata semerah rubi, menegakkan tubuhnya. Ekspresinya menegang seketika saat atasannya menyinggung tentang kasus yang sedang mereka hadapi sekarang. Sebuah kasus yang membuat bukan hanya kepolisian, tapi juga media, gempar luar biasa. Sebuah kasus yang membuat Sadiq Adnan, inspektur yang terkenal oleh sikap santainya, menguarkan ekspresi serius yang tergolong langka. Kasus yang sebentar lagi akan dilihatnya sendiri dengan mata kepala.
Tak butuh perjalanan jauh dari tempat Gilbert tadi datang untuk mencapai lokasi kejahatan. Keduanya sekarang berhenti tepat di samping mayat. Para petugas forensik sibuk memotret kondisi tempat kejadian dan detektif sibuk menyelidiki barang bukti yang ditemukan. Semua orang sibuk berkegiatan di tengah seorang mayat wanita muda, tergolek tanpa nyawa di tengah rerumputan hijau taman.
Untuk pertama kalinya Gilbert melihat langsung mayat tersebut. Dan untuk pertama kalinya dalam karirnya di dunia kepolisian, sang pemuda bermata rubi merasa gejolak mengerikan di perutnya. Detik berikutnya, isi makanan dari tadi malam tertumpah ruah keluar lewat mulutnya.
Sadiq menatap jijik bawahannya yang muntah-muntah di tong sampah taman. "Aku sudah bilang untuk tidak makan apa-apa, kan?" gumamnya, setengah bersimpati setengah menyalahkan sang bawahan.
Gilbert terbatuk-batuk. Ia mengelap mulutnya dengan sapu tangan sebelum mendelik ke arah atasannya itu. "Siapa sangka kalau mayatnya akan separah itu..." gumam si albino sambil menyeka peluh di dahinya. "Benar-benar tidak awesome sekali sampai muntah begini..."
"Ah. Banyak mengeluh, kau. Cepat bersihkan mulutmu dan bantu Antonio juga Francis. Kau mau permen untuk menghilangkan bau mulutmu?" Sadiq menjulurkan sekotak permen mint dari dalam saku jaketnya.
Dengan penuh rasa terima kasih, Gilbert langsung mengambil dua butir permen putih kehijauan itu dan memasukkannya ke dalam mulut. "Danke. Aku segera ke tempat Antonio kalau begitu." Dilemparkannya kotak permen itu kembali ke tangan atasannya sebelum menegakkan diri dan menebar pandangannya ke daerah sekitar.
Dia mencari sahabat sekaligus rekannya sesama detektif, Antonio Carriedo. Mata rubinya sibuk mencari-cari di antara polisi berpakaian seragam dan forensik yang sibuk berlalu-lalang mengerubungi mayat yang terbelah dua itu bagaikan ngengat mengerubungi cahaya lampu. Ia mengerang kesal sekaligus jijik saat matanya lagi-lagi bertumbuk pada sosok mengenaskan yang terkapar di rumput.
Seorang wanita muda dengan pakaian yang sudah tak jelas bentuknya tergeletak di sana. Setengah tubuh bagian atasnya ada tak jauh dekat semak belukar sementara bagian tubuhnya yang bawah berada sekitar dua meter dari tubuh bagian atas. Luka sayat dan pukulan ada pada sekujur tubuh korban, membuat kulit putih mulus itu ternodai dengan warna merah dan biru keunguan yang mengerikan. Parasnya cantiknya terbingkai gelombang rambut berwarna kecokelatan, lengkap dengan sayatan yang merobek bibirnya. Mengukir sebuah senyuman mengerikan dari telinga ke telinga.
Sebentar... perempuan ini tampaknya sangat akrab di mata Gilbert...
"Mon ami Gilbert!" Aksen Prancis yang begitu kental terdengar dari arah belakang. Di sana, seorang pria berambut pirang sebahu tampak tersenyum santai dan melambaikan tangan pada Gilbert. Tak jauh dari pria itu, berdiri seorang pemuda berkulit gelap. Yang sedari tadi dicari-cari olehnya.
Keduanya berjalan mendekatinya, berjengit saat tindakan itu membuat mereka mau tak mau berada semakin dekat dengan mayat. Hanya dalam sekali lihat, Gilbert tahu bahwa sepasang mata biru dan hijau itu sebisa mungkin menghindari menatap pemandangan barbarik satu itu. Melihat reaksi yang sama dengannya, Gilbert hanya bisa tersenyum pahit.
"Kukira hanya aku yang tak kuat melihat kondisi mayat," gumam si albino, mati-matian berusaha untuk tidak lagi melirik tubuh mengenaskan yang terkapar di dekatnya. "Ternyata kalian yang sehari-hari sudah berjibaku dengan mayat juga sama saja."
"Aku sampai muntah tiga kali." aku sang pria berambut pirang. Ia menutupi mulutnya dengan sapu tangan mahal dengan renda menghias di tepiannya. "French toast tadi pagi sukses keluar utuh dari mulutku dan meluncur ke tempat sampah."
Gilbert menggumam tak jelas dan dengan berat hati melirik korban. Ia hanya bisa bertahan beberapa detik menatap tubuh yang terbelah dua. Nyalinya langsung ciut saat melihat usus dan berbagai organ dalam korban tampak berceceran. Namun, di saat itulah dia menyadari sebuah keanehan. Tak ada darah sama sekali yang terciprat di tempat kejadian. Bagaimana bisa?
"Sudah ada yang tahu identitas korban?"
"Aku tahu!" sahut sang detektif muda berkulit kecokelatan, kelewat antusias untuk ukuran sedang berada di tempat pembunuhan. Antonio Carriedo, detektif berdarah Spanyol itu mengambil buku catatannya dan membolak-balik lembar demi lembar kertas. Ia mengeluarkan jerit pelan penuh kemenangan saat berhasil menemukan apa yang ia cari. "Namanya Elizabeth Herdevary. Aktris Hollywood yang baru-baru melakukan debut di layar kaca—"
Ah, aktris rupanya. Pantas saja wajahnya terasa begitu akrab…
"—Umurnya dua puluh empat. Aku baru dapat informasi sampai situ. Kita masih harus menanyai saksi dulu."
"Kau masih mending. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Bayangan tentang pelakunya saja aku tak tahu..." gerutu Gilbert. Dia mengacak-acak rambut putihnya, frustrasi. Di satu sisi, dia ngeri juga membayangkan ada individu yang cukup sadis untuk melakukan tindak kejahatan seperti ini masih berkeliaran dengan bebas di kota ini…
"Lho? Bukannya pembunuhnya sudah jelas siapa?" celutuk si polisi forensik pirang, namanya Francis Bonnefoy. Kedua alisnya terangkat dan mata birunya menatap penuh kejutan.
Melihat reaksi Francis malah membuat Gilbert semakin kebingungan. Matanya berulang kali menatap Francis dan korban—sekalipun dia enggan. "Pe... Pelakunya sudah ketahuan? Secepat itu?"
Usai bertukar lirikan dengan Francis sejenak, Antonio mendesah pelan melihat teman albinonya makin kebingungan. Ia berjalan mendekati Gilbert dan merangkul sang detektif. Dia menggiring pemuda keturunan Jerman itu mendekati mayat, diikuti Francis yang ogah-ogahan di belakang keduanya. Detektif berambut cokelat berantakan itu lalu menunjuk dengan santainya ke tubuh korban. "Coba kau perhatikan bagaimana kondisi korban." katanya. "Mengingatkanmu akan sesuatu, tidak?"
Alis perak itu bertemu ketika si albino berusaha mengorek ingatannya. "Ya... Mengingatkanku betapa bar-bar-nya manusia zaman sekarang. Pada sesama, pada hewan, pada alam..."
"Bukan itu!" erang Antonio kesal, tampak tinggal sejengkal dari menjitak rekannya yang entah kenapa mendadak jadi peduli lingkungan. Ia lalu mengajak Gilbert untuk berlutut di samping mayat—ajakan yang terlalu memberatkan hati dan membahayakan pencernaan. Ia lalu menunjukkan bekas luka sayatan pada pinggang korban. Sayatan fatal yang berhasil merobek tubuh korban jadi dua bagian. "Coba lihat ini. Luka potongnya begitu rapi. Tak ada darah. Luka tubuh di sekujur tubuh mayat. Mulut korban yang dirobek. Belum lagi ini," Kali ini Antonio beringsut mendekati korban dan menunjuk pergelangan tangan korban. "Ada bekas tali pada pergelangan tangan dan kakinya, juga lehernya. Kau ingat sesuatu?"
Meski dipancing dengan detail karakteristik kondisi korban, tetap saja Gilbert tak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh teman-temannya. Ia menggeleng perlahan, benar-benar tak terpikirkan satu nama pun di benaknya. Jack the Ripper? Dari segi waktu dan lokasi meleset hampir separuh dunia…
"Baiklah. Biar kuberi petunjuk." Kali ini giliran Francis yang turun tangan, melihat tanda-tanda hint yang diberikan Antonio pun gagal total. "Ada dua kata. Kata pertama adalah sebuah warna dan kata kedua merupakan nama bunga."
"Aarrgh! Bisakah kalian langsung beritahu saja? Kalian membuatku yang awesome ini tampak bodoh, tahu!" erang Gilbert, kesal dengan sikap teman-temannya yang sok rahasia begini. Mana pakai kode-kode-an segala, berasa main kuis berhadiah saja.
Francis dan Antonio saling pandang sebelum akhirnya mereka membuka mulut bersamaan. Satu frasa terangkai dalam bisikan, meluncur dengan sedikit keraguan:
"Black Dahlia."
Kalau tak ada diinginkan lagi, tak ada gunanya manusia hidup.
Mati sajalah kalian semua.
Mati bersama, seperti binatang dalam rumah jagal.
Atau mati sendirian.
"Sebentar... Black Dahlia bukannya terjadi di Los Angeles? Kenapa sekarang malah di New York? Itu tidak masuk akal!"
"Tapi, coba kau perhatikan kondisi korban yang sekarang dengan Elizabeth Short. Dua-duanya dibunuh dengan keji, disiksa, diperkosa, dan disekap entah berapa lama."
"Yang lebih mengerikan lagi adalah kenyataan bahwa keduanya sama-sama aktris yang sedang meniti karir. Oh, tunggu. Masih ada yang lebih mengerikan lagi—keduanya sama-sama bernama Elizabeth!"
Gilbert Beilschmidt sekarang hanya terdiam dengan mulut menganga lebar, bingung sekaligus tak percaya dengan omongan teman-temannya. Oke, semuanya memang cocok dengan kasus Black Dahlia, tapi mereka lupa kalau kasus itu terjadi di Los Angeles, negara bagian yang terpisah jauh dari New York. Selain itu, tahun terjadinya terlalu berbeda jauh.
"Kalian tidak awesome." gumam Gilbert. Mata rubinya melirik Antonio dan Francis, dua orang sahabat baiknya. Yang kini tengah duduk bersama mengelilingi satu meja dalam salah satu kantor di markas mereka. Lega rasanya, sudah berada dalam jarak aman dari mayat terbelah dua yang sungguh berpotensi membuat trauma. "Kasus Black Dahlia jelas-jelas terjadi tahun 1947, sementara sekarang 1962. Sudah lima belas tahun berlalu sejak Elizabeth Short tewas. Apa coba, hubungannya?"
"Siapa tahu pelaku memutuskan untuk kembali beraksi." tebak Antonio sambil mengangkat pundaknya.
"Setelah lima belas tahun? Pembunuh yang sangat tidak awesome kalau sampai menunggu lima belas tahun!"
"Mungkin dia baru menemukan korban berikutnya? Ini bisa jadi semacam pembunuhan beruntun yang terencana!" sambung Francis penuh semangat. "Dia hanya membunuh calon aktris dengan nama Elizabeth dan—"
"Kalau memang benar begitu, seharusnya Elizabeth Taylor sudah tewas saat debut pertamanya, kan?"
Hening seketika. Omongan Gilbert ada benarnya juga. Kalau benar pelaku membunuh berdasarkan nama dan profesi, seharusnya sang aktris Elizabeth Taylor sudah almarhum, tak sempat menyabet piala Oscar sebagai aktris terbaik dua tahun silam.
"Aku menyerah kalau begini caranya." erang Antonio. Sang detektif lalu merebahkan tubuhnya yang kelelahan ke atas kursi kantor yang besar. "Sejak dulu saja tak ada yang bisa menangkap pelaku sebenarnya, sekarang malah muncul lagi."
"Tapi, apa menurut kalian tidak aneh?" tanya Francis. "Lima belas tahun sudah berlalu sejak kasus pertama. Kenapa pelakunya—mengutip omongan Gilbert—sangat tidak awesome dan menunggu selama itu untuk membunuh korban kedua?"
Gilbert dan Antonio mengangguk mengiyakan. Alis berkerut tanda otak berputar.
"Dan lagi, di kasus Black Dahlia lima belas tahun yang lalu, pelakunya mengirim surat ke media. Tapi sekarang, sama sekali tidak ada surat…" Francis berucap lambat-lambat, jemari naik mengelus dagunya tanda tenggelam dalam pemikiran.
"Dan pertanyaan terbesarnya, kenapa pindah ke New York." gumam Antonio. Mata hijaunya menatap ke langit-langit kantor, berharap jawaban mengenai misteri besar ini terpampang di sana. "Kita harus segera menemukan pelakunya, sebelum media massa mulai berulah dan membesar-besarkan kasus."
Omongan Antonio lanjut dibalas dengan anggukan kepala Gilbert dan Francis. Keduanya setuju dengan pendapat Antonio. Bukan hanya sekedar antisipasi mengenai euforia masyarakat tentang kasus ini, tapi juga mengantisipasi kemungkinan korban berikutnya muncul. Sama seperti Francis, Inspektur Sadiq juga curiga kalau kasus ini masih akan berlanjut.
Berlanjut, dan tak jelas kapan akan berakhir.
Sang Inspektur juga memberitahukan para bawahannya untuk bersiap akan adanya korban selanjutnya. Instingnya sebagai seorang polisi mengatakan bahwa pembunuhan keji ini akan terus berlangsung sebelum pelakunya diamankan di balik jeruji besi.
Langkah pertama untuk menemukan tersangkanya adalah dengan mewawancarai saksi mata—orang pertama yang menemukan mayat. Ketiga detektif ini ingat betul dengan kesaksian Irunya Braginski, seorang wanita muda dengan payudara ukuran ekstra—membuat beberapa personel polisi menoleh berkali-kali, melupakan sejenak tugasnya.
"Aku sedang lari pagi bersama dengan kedua adikku, Natalia dan Ivan. I... Ivan yang pertama kali menemukan mayat. Ia menghampiriku dan menarik tanganku ke arah rerumputan. Dia bilang, ada sesuatu yang menarik di balik semak. Ternyata..."
Interogasi tak bisa berlanjut karena saksi mengalami trauma berat. Ia tak bisa berhenti menangis dan tak sanggup bicara. Sempat terpikir untuk menanyai dua bocah yang ikut bersama perempuan ini—Ivan dan Natalia Braginski. Tapi, rasa kemanusiaan terusik mengingat umur dua orang bocah ini.
Polisi lalu memutuskan untuk menjadikan semua kenalan nona berdarah Hungaria itu sebagai tersangka. Tak peduli meskipun daftarnya mulai menembus angka ratusan—bahkan ribuan—satu demi satu harus diinterogasi, ditanyai lebih menyeluruh. Sama seperti kasus Black Dahlia yang terdahulu.
Pelaku harus segera ditemukan, meskipun itu berarti kerja keras tanpa tidur.
Interogasi dijadwalkan untuk berlangsung beberapa menit lagi. Ketiga detektif ini masih enggan untuk bicara dan lebih memilih menikmati kopi masing-masing. Mereka pikir, mereka akan butuh suara cukup banyak untuk menginterogasi tersangka yang berjumlah ratusan. Dan mengingat kasus kali ini masih berhubungan dengan pembunuhan Elizabeth Short lima belas tahun lalu, polisi juga memanggil para tersangka dari kasus tersebut, membuat daftar tersangka semakin panjang saja.
Di tengah kebisuan, mereka bisa mendengarkan kesibukan dari luar kantor. Percakapan para polisi di luar ruangan terdengar lebih jelas dari sebelumnya dengan keheningan menyelimuti mereka.
Termasuk percakapan ini.
"Apa? Ada kasus lagi?"
"Ya. Kali ini korbannya laki-laki. Masih belum jelas bagaimana kondisi korban—mati atau masih hidup juga aku tak tahu. Yang jelas, lukanya cukup parah."
"Hmm... Apa menurutmu ada hubungannya dengan kasus di Central Park itu?"
"Mungkin. Entahlah, aku tak tahu. Habis, aku hanya mendengar sekelumit dari mulut Herakles. Kau ingat dia? Polisi yang kerjanya tidur terus dan gemar kucing—"
"Ya, ya. Aku ingat dia. Apa kau ingat nama korbannya?"
"Hmm... Namanya agak unik dan cukup sulit untuk dilafalkan. Kalau tak salah... Rangga."
Dua orang polisi berdarah Skandinavia itu tersentak saat sebuah pintu dibuka kasar, menampilkan sosok Antonio Carriedo dan dua orang detektif lainnya.
"Magnus, kau tadi menyebut sebuah nama... Siapa korbannya?" tanya Antonio. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Namun menguarkan hawa keseriusan yang agak mencekam; cukup langka bagi detektif yang dalam kesehariannya bisa dibilang ceria berlebihan.
Magnus Densen, Kapten NYPD Divisi Pembunuhan ini melirik bingung ke arah rekannya, Emil Steilsson, meminta bantuan. Sayangnya, sang polisi berdarah Islandia itu sudah menghilang entah ke mana, membuat Magnus merutuki namanya dalam hati.
"Magnus, tolong ulangi namanya." kata Antonio, kali ini terdengar lebih jelas, meskipun nada suaranya bergetar menahan emosi. Entah emosi apa.
"Euh... Rangga." sahut Magnus lambat-lambat. "Ya... Dari apa yang kudengar, nama korbannya Rangga. Rangga... Wicaksono atau semacamnya, aku lupa."
Di titik ini, Gilbert dan Francis sudah berpandang-pandangan. Mata safir dan rubi itu melebar dalam pemahaman diikuti kekhawatiran. Antonio sebaliknya, ekspresinya tidak berubah ketika dia melontarkan pertanyaan terakhirnya. "Apa yang terjadi pada korban?"
"Kalau tak salah, sesuatu terpotong. Bagian tubuhnya ada yang terpotong dan terbelah, semacam itu."
Informasi sepotong lagi dari Magnus sudah cukup bagi Antonio untuk melesat menuju elevator dan meninggalkan gedung kepolisian. Telinganya sudah ia tulikan dari panggilan nyaring Inspektur Sadiq. Tubuhnya sudah kebal dari raihan tangan Gilbert maupun Francis yang ingin mencegah si detektif pergi sebelum interogasi dimulai.
Baginya sekarang, interogasi sudah tak penting lagi. Ia harus melihat dengan mata kepala sendiri.
Persetan dengan Black Dahlia.
Sampai Rangga ikut jadi korban, Antonio berjanji akan memutilasi sang pelaku dengan tangannya sendiri.
-To Be Continued-
Notes: Yak, segini dulu untuk chapter satu. Kritik, saran, maupun komen lewat ditunggu. Berhubung maket dan proposal riset tengah menanti untuk dijibaku, authors izin pamit dulu #bow Sampai bertemu di chapter baru! :DD