"Sudah waktunya kau menyerah, Sakura…,"

"Tak ada lagi yang harus kau pertahankan…,"

"Dia tidak menerimamu lagi…,"

"Tatapan matanya tidak sama seperti kalian kecil dahulu…,"

"Tidak ada gunanya lagi kau mengekangnya, Sakura…,"

"Lepaskanlah dia untuk kebahagiannya…,"

"Janganlah kau egois…,"

"Tolong lepaskanlah Sasuke-kun, Sakura…,"


MELEPASMU

Naruto is not mine, you know well laaah #plak

Melepasmu is purely mine!

Warnings: AU, OOC, gaje, aneh

Silahkan membaca!


Betapa waktu telah berlalu begitu cepat.

Potongan ingatan yang hampir terlupakan. Sungguh sial bahwa manusia diciptakan dengan ingatan tak terduga. Kadang hal itu menguntungkan tapi juga sekaligus menyebalkan. Terutama bila hal yang kita ingin ingat malah terlupa, atau kebalikannya; yang ingin kita lupakan, dan kita kubur dalam-dalam, tiba-tiba bangkit dengan kekuatan besar sehingga mengganggu ingatan kita kembali.

Sudah takdir bila manusia selalu menginginkan apa yang tidak boleh dimilikinya. Hanya saja, ada manusia yang dapat menahan akal untuk tetap berada di tempat mereka semula, ada pula yang memilih melanggar dan terjun sedalam-dalamnya. Membiarkan tubuhnya terselimuti segala kepicikan, kerakusan, segala keangkuhan, keinginan yang kuat mengalahkan akal; membuat kemarahan bereaksi pada hal-hal kecil dan membuatnya malas untuk kembali pada akal sehat semula. Merengkuh nafsu dalam segalanya. Namun semua itu cuma fana.

.

.

.

Salju…

Kecelakaan mobil…

Pelukan…

Gadis berambut merah muda itu terbangun dari pikiran alam bawah sadarnya yang dirasa sepertinya dia sedang terjaga. Kedua manik sewarna hutan rindang yang menyejukan itu menatap langit-langit kamarnya yang putih polos dengan pikiran kosong.

Sepertinya Ia mulai mengingat sebuah mimpi. Mimpi di masa lalu yang teramat menyakitkan. Mimpi dimana pada hari itu dia kehilangan seluruh orang yang dikasihinya.

Miris memang tapi itulah kenyataannya. Mimpi di masa lalu yang tak lain adalah kejadian nyata yang waktu itu tengah Ia alami. Peristiwa kecelakaan maut yang merengut kedua orangtuanya.

Dalam mimpi itu mobil yang mereka tumpangi hangus terbakar setelah menabrak papan jalan, salju yang turut ikut membuat keadaan licin di sekitar jalanan itu jatuh dengan tanpa dosanya. Menyelimuti dua sosok anak kecil yang masih dalam keadaan syok melihat apa yang terjadi di hadapan mereka.

Tubuh ringkih seorang anak kecil perempuan meraung menggumamkan nama kedua orangtuanya, sedang tubuh ringkih seorang anak kecil laki-laki dengan model rambut tak lazim tengah memeluknya sesekali menangis sesegukan.

Keduanya merasakan perasaan aneh. Perasaan aneh yang tidak pernah dimiliki oleh anak seusia mereka. Perasaan kehilangan dan kasihan…

Namun apakah anak kecil perempuan itu tahu bahwa yang disalurkan oleh anak kecil laki-laki tersebut perasaan kasihan?

Tidak…

Tidak. Yang dia ingat adalah…

"Tenanglah, aku akan selalu berada di sisimu, Sakura…"

.

.

.

Gadis berambut merah muda sepinggang bersembunyi di balik tiang listrik―entah mengapa Ia malah bersumbunyi di sana, padahal separuh badannya mungkin saja terlihat. Matanya terfokus pada dua objek yang memiliki warna rambut serupa hanya saja berbeda gender. Dadanya mencelos melihat ekspresi keduanya yang saling tersampaikan dengan baik.

Hukuman.

Ini sebuah hukuman.

Matanya terasa panas ingin menumpah ruahkan apa yang sedang Ia tampung mati-matian saat ini. Buku-buku jarinya mengepal kuat hingga berwarna merah, jantungnya berpacu membordir tiap-tiap syaraf seperti akan terlepas.

Dilangkahkan kakinya menuju arah yang berlawanan sembari memeluk dirinya sendiri. Entah mencari rasa nyaman, kehangatan, atau menutupi kehampaan dan kesedihannya.

Matanya terpejam erat, cairan bening nan asin itu tergelincir dengan mulusnya pada pipi yang berwarna porselen dilapisi warna merah semu. Pikirannya masih memotret dengan jelas apa yang dilihatnya tadi.

Siapapun pasti tahu, hanya orang buta sajalah yang tidak tahu apa arti sebenarnya dari kedua ekspresi orang yang tadi diintainya.

Cinta.

Cinta dan hanya cinta.

.

.

.

Semburat sinar berwarna jingga menghiasi permukaan langit, berpadu sempurna dengan warna samar violet yang berpendaran tertimpa kilau mentari sore. Sesekali terdengar koak burung camar yang terbang menuju lautan, karena bagaimanapun juga, Konoha adalah kota yang berada di dekat luar pulau.

Atmosfir itu terasa hangat dan menyenangkan, terutama bagi Sakura yang pada akhirnya berhasil duduk di dalam sebuah café yang cukup legang. Wajah gadis itu tertunduk lesu menyembunyikan sepasang manik emerald yang selalu kian bersinar kini mulai meredup. Panorama tenggelamnya matahari di balik kaca café membuatnya tidaklah ikut turut melunturkan perasaan gundah gulananya.

Sebaliknya, sepasang mata onyx menatap serius pemandangan di depannya. Sang empunya menyilangkan kedua lengannya, bertumpu pada meja kecil bundar dengan dua minuman yang tidak diminum sama sekali dan meletakkan dagunya di sana. Wajah datar itu terus menatap bulatan oranye yang tinggal sepertiga dengan pandangan jemu dan serius. Entah dia itu sebenarnya melihat panorama tersebut atau tidak.

Uchiha Sasuke tampak ragu untuk memulai pembicaraan yang sudah hening selama setengah jam tersebut. Yah, walau dia biasanya memang seperti itu, tapi ini situasi yang berbeda.

Dia datang kemari untuk membicarakan suatu hal penting. Sesuatu yang mungkin salah dan ada kalanya lebih benar untuk dia lakukan sejak dahulu namun baru kali ini dia menyampaikannya. Namun, yang membuatnya ragu adalah, dia takut jika membicarakan hal ini justru akan membuat orang yang berada dihadapnnya ini kecewa, bahkan buruknya tidak mau mengenalnya kembali.

Sasuke menghela napas sesaat dan kini Ia telah siap untuk mengatakannya.

"Sakura." Suara datar namun tegas itu akhirnya keluar juga. Gadis berambut merah muda tersebut tiba-tiba menjadi tegang saat namanya dipanggil. Sakura makin menundukan wajahnya dan menjawab panggilan Sasuke dengan sebuah anggukan.

Didekatkannya strawberry milk shake miliknya yang sudah tak lagi terlalu dingin dan menyeruputnya perlahan. Sasuke melihat tindakan Sakura tersebut dengan serius.

"Kurasa kita harus memperjelas hubungan ini." Sasuke melihat kedua bahu ringkih Sakura menegang hebat.

"Ya, katakana saja apa yang sebenarnya kamu inginkan." Ucap Sakura berusaha menahan suaranya agar tetap seperti biasa dengan mati-matian. Ternyata usahanya berhasil juga.

Sasuke agak sedikit kaget ketika Sakura tidak menyebut namanya. Sakura tidak pernah menggunakan aku-kamu. Dia selalu menggunakan nama panggilan untuk menyebutnya. Sasuke mengeratkan tangannya. Mencoba menyakinkan diri dengan ucapannya setelah ini dan akan menerima resikonya walau seberat apapun.

"Aku ingin kita mengakhirinya." Loloslah sudah empat kata tersebut dengan mudah walau usaha untuk mengeluarkan kata tersebut butuh keberanian yang besar dan pemikiran yang lama sekali.

"Ya."

Kini giliran Sasuke yang mengang. Hei, salah dengar kah dia ketika sakura menjawab kata hanya seperti itu? Itu mustahil. Sakura tidak akan menjawabnya semudah itu. Paling tidak itulah reaksi yang Sasuke pikirkan tentang Sakura. Sakura itu tidka akan bisa terlepas darinya. Sakura itu sangat manja padanya. Sakura itu sangat rapuh terhadapnya. Tapi mengapa begini?

"Kurasa aku sudah terlalu menyusahkanmu. Inilah akhirnya," Sakura berkata kembali, namun sayangnya wajahnya tetap saja tertunduk. "Pacaranlah dengan Hinata. Aku tahu kamu menyukainya."

Sasuke tercengang. Matanya membulat kaget mendapati ekspresi wajah Sakura yang tersenyum lemah tanpa matanya yang tidak berkaca-kaca. Ini seperti bukan Sakura yang dia kenali sebelumnya.

"Kau serius?" Sasuke masih sedikit syok namun tentu saja dia bisa menjaga ekspresinya ini.

"Aku serius. Tentang janji kita saat kecil itu lupakanlah karena tidak selamanya hanya kamu yang bisa menjagaku," Sakura menyeruput minumannya kembali. Dadanya sudah berdebar sangat kencang dengan berbicara seperti 'topeng' yang tengah ia mati-matian pakai sudah seperti ingin retak dan menampilkan ekspresi wajah aslinya yang buruk rupa. "Semoga kamu berbahagia dengannya."

Sasuke mencoba memgang tangan Sakura namun Sakura menolaknya dengan halus perlahan memundurkan genggaman tangannya pada Sasuke. Walau cukup terkejut, Sasuke tetap tersenyum bahagia mendapati respon yang tak terkira dari Sakura.

"Terima kasih."

.

.

.

Flashback

Pandangan emerald itu nanar. Air matanya tak berhenti mengalir dari kedua matanya. Tangan yang berbalut dengan sarung tangan berwarna putih kini ternodai oleh cairan berbau amis berwarna merah pekat. Salju yang turun perlahan tak jemu membuat dua tubuh orang dewasa yang tergeletak tak beradaya menutupi sebagian badan.

Salju yang seputih kapas kini mulai ternodai dengan berwarna merah. Bau bakar tercium oleh indra penciumannya walau masih terasa kental bau amis yang mendominasi. Tubuh mungilnya tertunduk, luka di keningnya yang lebar kian mengeluarlkan cairan merah yang serupa di tanah bersalju tersebut.

Suara indah nan cempreeng yang selalu Ia keluarkan dengan ceria tak lagi bisa Ia keluarkan. Walau ingin tapi rasanya tak sanggup, suaranya seperti tetahan oleh suatu benda tak kasat mata. Tangan mungil lain yang lebih putih darinya melingkar di lehernya dari belakang.

Tangisan orang yang tengah memeluknya tersebut tak surut menenangkannya. Rambut biru kehitaman milik teman baiknya menggesek halus rambut merah mudanya. Anak laki-laki yang tengah memeluk anak perempuan yang sedang terduduk tak manis meraung di antara mobil yang terbalik dan terbakar juga dua orang dewasa yang tergeltak tak bernyawa dilumuri oleh darah.

"Saku… Hiks…," suara tangisan anak kecil laki-laki itu mulai mereda disertai sesegukan ringan. "Ada aku… Hiks.. Di sini… Aku… Selamanya akan bersama dengan Saku… Aku akan menjaga Saku…"

Flashback Off

.

.

.

"Sudah lama menunggu?" tanya seseorang yang kemudian menggeser kursi di depan gadis berambut merah muda yang tengah terbengong menuju masa lalunya.

"Tidak." Cepat-cepat dia menggeleng. "Maaf merepotkanmu, Naruto."

Pria berambut blonde jabrik dengan potongan aksen miring ke samping itu hanya menampakan cengiran khas miliknya. Guratan-guratan seperti kucing sedikit menghias pipi berkulit tan tersebut. "Ada apa memanggilku kemari?" manik sapphire yang enerjik itu menatap intens manik emerald yang kini sedikit meredup.

"Aku sudah putus dengannya." Jawab Sakura dengan cepat.

Uzumaki Naruto menatap sahabatnya itu dengan wajah tidak percaya, Sakur balas kembali dengan pandangan serius. "Lalu?"

"Aku memintanya untuk berpacaran dengan Hinata." Sakura mengaduk-aduk minuman keduanya dengan lesu tanpa berniat meminumnya.

Naruto menyeruput Ice lemon tea yang sebelumnya sudah dipesankan oleh Sakura hingga tandas setengahnya. "Lalu?" tanyanya lagi tanpa ada rasa berminat.

"Maafkan aku. Aku tahu kau menyukai Hinata tapi, aku ingin Sasuke bahagia sebelum aku pergi." Ucap Sakura dengan suara pelan namun tetap terdengar oleh Naruto.

"Apa maksudmu dengan pergi?"

"Aku akan pergi ke Suna. Di sana ada kerabat Ibuku yang akan mengadopsiku."

Naruto tahu, selama ini sejak umur Sakura menginjak delapan tahun Ia telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan hidup mandiri dengan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menjadi model majalah sejak kecil hingga kini. Apalagi Sakura tidak pernah mau dirawat oleh kerabat dekat maupun jauh dari pihak keluarganya karena Sakura yakin dengan adanya Sasuke bersamanya maka dia akan baik-baik saja.

Dan mengapa tiba-tiba Sakura ingin diadopsi seperti itu?

"Kau bercanda. Jangan kira hanya karena kau putus kau mau diadopsi? Bukankah dulu kau yang bilang bahwa kau tidak ingin diadopsi, huh?!" geram Naruto. Dia sedikit memukul permukaan meja pelan yang sejurus kemudia membuat penghuni café menatapnya dan kembbali sibuk menekuni kegiatan masing-msing.

"Tidak. Sebenarnya ini sudah lama sekali aku pertimbangkan dan baru kali ini aku mengambilnya. Lagipula…," Sakura menggantungkan kalimatnya membuat Naruto penasaran akan kelanjutan kalimat tersebut.

"Lagipula apa?" tanya Naruto tidak sabar.

"Lagipula ini adalah usahaku untuk memulai melupakan Sasuke yang selalu dekat denganku. Aku akan melupakannya, Naruto." Sakura menatap Naruto dengan tegas dan serius. Tidak dengan pandangan main-main atau takut seperti biasanya.

"Kau tahu Sakura, tidak semudah itu melupakan orang yang kau cintai." Naruto mengelus pucuk kepala Sakura dengan lembut, tatapan matanyapun ikut melembut seiring dengan sisiran lembut tangan Naruto. "Dan aku juga tidak semudah itu akan menyerahkan Hinata pada Sasuke."

Sakura menunduk, rintik kecil mulai berjatuh dari matanya. "Kau benar…," Sakura mulai terisak-isak sepelan mungkin. "Aku pun tak semudah itu menyerahkan Sasuke pada Hinata, tapi… Ini demi kebahagiannya…"

Dan malam yang mulai berlarut itupun menyisakan serentetan air mata yang mengalir dari pelupuk mata Sakura…


Tsudzuku


Arena Bercucol Ceria

Fanfic ini sudah saya perbaiki di sana-sini. Omong-omong dari chapter awal ini saya pernah mengambil salah satu deskripsi dari fanfic seseorang dan saya lupa nama fanfic dan juga author yang pernah sama ambil salah satu deskripsinya. Bila ada yang merasa pernah baca karena kemiripan salah satu deskripsi saya, tolong PM saya.

Saya mau minta maaf kepada author tersebut karena telah mengambil deskripsinya sekaligus meminta izin kalau memang orang yang bersangkutan bersedia.

Terima kasih telah menyukai fanfic saya dan banyak dukungannya untuk membuat saya menjadi author yang lebih baik lagi.

Terima kasih banyak!