A/N: Minggu UTS paling menyebalkan sepanjang sejarah saya pernah UTS. Setiap detik selalu membuat saya mau berteriak "!" keras-keras. Peduli amat disangka sinting sama orang.

Disclaimer: Masih kepunyaannya JK Rowling. Saya gak ambil untung sama sekali dari cerita ini. Kalo saya ambil untung, mending saya quit aja jadi mahasiswa, lanjut jadi penulis fanfiksi seumur hidup =3=

Warning: Penuh dengan analisis geblek dan pertarungan gaje =3= Sho-ai bertebaran dan ada incest.


Makan malam di kastil tua Skotlandia merupakan hal yang jarang terjadi pada siapa pun. Apalagi didampingi dengan pemandangan indah taman yang terawat rapi dan lampu kuning taman yang bersinar temaram. Belum lagi suara lembut deburan ombak di tebing, tepat di bawah kastil, ikut meramaikan suasana makan malam yang terbilang cukup sepi.

Sialnya, suasana syahdu tersebut harus terganggu dengan kesibukan Interpol.

Remus melirik sebal ke arah seorang agen—Avery, kalau tak salah—yang sibuk berbicara pada seseorang pada walkie-talkie-nya dan berdiri terlalu dekat dengan meja makan. Ia sudah menyelesaikan entree dan sudah setengah jalan menghabiskan main course-nya sejak agen Interpol tak tahu diri itu berbicara dengan suara lantang.

Sang model berambut cokelat memiringkan dan mencondongkan tubuhnya mendekati kakeknya. Dengan mata masih terpancang pada sosok agen tersebut, Remus berbisik, "Haruskah kita makan malam di bawah pantauan Interpol begini?"

Sir Albus Dumbledore sebagai pemilik kastil hanya bisa tersenyum. Pria tua dengan janggut putih panjang itu malah menepuk-nepuk kepala Remus, cucunya, dengan santai. "Mereka melakukan itu untuk melindungi pusaka keluarga kita, Remus."

"Tapi, aku tidak suka..." gumam Remus. Mata cokelatnya masih melirik kesal ke arah sang agen. "Memangnya apa yang perlu diawasi di ruang makan, Kek?"

"Kau dan ayahmu, bocah."

Remus mendelik tak senang ke arah datangnya suara. Di sana, Rufus Scrimgeour, sang kepala Interpol duduk manis sambil menyuap sepotong daging panggang ke mulutnya. Di sampingnya duduk Severus Snape yang menyantap santapan malamnya dalam diam. "Apa maksudmu aku dan ayahku harus diawasi?" tanya Remus, kesal dengan sikap Scrimgeour yang menyebalkan.

"Karena kalian datang tanpa diundang." jawab Scrimgeour dengan entengnya. "Kalian datang tiba-tiba, tepat saat Scarlet Hand mengirimkan surat ancaman. Bukankah itu cukup aneh, hm?"

"Kau mencurigaiku dan putraku?" geram Tom Riddle. "Kau berani menuduh keluarga terpandang Dumbledore sebagai pencuri? Ini penghinaan!" Ia mengakhiri kekesalannya dengan menggebrak meja makan, membuat para penghuninya tersentak kaget.

"Datang tepat setelah Scarlet Hand memberikan surat ancaman rasanya terlalu pas untuk disebut kebetulan. Bukankah begitu, Severus?" kata Scrimgeour santai.

Pria berambut hitam lurus dan agak berminyak yang duduk di samping Scrimgeour hanya mendengus pelan, lalu mengangguk. Setuju dengan atasannya.

Tom Riddle yang melihatnya semakin kesal saja. Ia menggebrak meja dan berbalik pergi, melupakan santap malamnya yang belum selesai. Harga dirinya terlalu tinggi. Ia tak sudi makan bersama dengan orang-orang yang mengiranya penjahat.

"Dad!" Remus memanggil sosok ayahnya yang semakin menjauh. Mata cokelatnya lalu berbalik ke arah kakeknya dan penuh rasa penyesalan ia berkata, "Santap malamnya sangat lezat, Kek. Tapi, aku harus menyusul—"

"Biarkan saja dulu, Remus." kata Dumbledore tenang. Kakek berumur tujuh puluhan lebih itu hanya tersenyum dan menepuk pundak Remus. "Lanjutkan saja makan malammu, Remus. Biar kusuruh Winky untuk mengantarkan makan malam Tom ke kamarnya."

Remus melirik sekali lagi ke ayahnya sudah tak ada, menghilang. Sepertinya dia sudah menaiki tangga dan memutuskan untuk mengurung diri di sana. Merasa tak banyak yang bisa ia lakukan, Remus kembali melanjutkan makan malamnya.

Sementara itu Sirius Black hanya bisa terdiam menyaksikan perdebatan sengit antara Scrimgeour dan Riddle. Memang, sih. Kedatangan dua orang ini terlalu mepet dengan surat pemberitahuan Scarlet Hand. Wajar saja kalau sang inspektur Interpol ini curiga. Tapi, masa' iya anggota keluarga ingin mencuri pusaka milik keluarganya sendiri? Tidak masuk akal bagi Sirius.

Kecuali...

"Nama belakang mereka berdua berbeda, kan, James?" gumam Sirius pelan pada sahabatnya.

James yang menyibukkan diri dengan daging domba panggang di piringnya mendongak dan menatap Sirius heran. "Apanya? Siapa? Kenapa?" tanyanya beruntun dengan mulut penuh dengan daging.

"Tom Riddle dan Albus Dumbledore." sahut Sirius. "Dua orang itu punya nama belakang yang beda. Nama keluarga yang berbeda."

"Bukankah tadi Sir Dumbledore sudah bilang kalau Tom Riddle itu anak angkatnya?" Kingsley yang ikut mendengarkan percakapan dua anak buahnya ini angkat bicara. "Mungkin, Riddle tak ingin mengganti nama keluarga sebelumnya untuk menghormati mereka. Mungkin, kan?"

Sirius mengangguk-angguk mengerti. "Berarti, dia bisa saja..."

"Sebentar," James Potter, detektif berkacamata yang semula menganggumi santapannya sekarang melirik sahabatnya itu, sedikit bingung. "Kau mencurigai Tom Riddle sebagai Scarlet Hand?"

"Entahlah, James. Kriterianya sama. Rambut hitam dan tatapan matanya yang tajam, lalu senyum penuh kemenangan yang terpasang di bibirnya itu mengingatkanku pada Scarlet Hand..."

"Kau tidak boleh main tuduh, Sirius!" desis Kingsley. "Kau lupa dengan siapa kita berurusan? Keluarga Dumbledore! Mereka keluarga bangsawan terhormat di Skotlandia dan juga Inggris! Tom Riddle sendiri CEO perusahaan retail besar! Kau tak bisa main tuduh orang-orang seperti ini!"

Sirius hanya terdiam mendengar omongan atasannya. Mata abu-abunya sekarang sudah teralihkan pada sesosok malaikat berambut cokelat keemasan, duduk dengan anggunnya. Kulitnya begitu putih, bagai bersinar di bawah kilau lampu dan sinar rembulan. Segala perdebatan tentang Scarlet Hand dan Tom Riddle yang mengamuk sementara sirna ditelan angin malam. Yang ada di otaknya sekarang hanyalah Remus Riddle.

Dan entah sejak kapan, pemuda manis dengan mata amber itu sudah menginvasi seluruh relung di pikiran sekaligus hati sang polisi.

Mungkinkah ini yang disebut sebagai cinta pada pandangan pertama?


Harry Potter © JK Rowling

Magic Kaitou by Aoyama Gosho

DNAngel by Yukiru Sugisaki

Saint Tail by Megumi Tachikawa

Nancy Drew: Legend of The Crystal Skull © Her Interactive

Nancy Drew: The Secret of Scarlet Hand © Her Interactive

Scarlet Hand © are. key. take. tour


Makan malam baru saja selesai—diakhiri dengan hidangan pencuci mulut berupa chocolate mousse kesukaan Remus—dan para polisi segera kembali ke posnya masing-masing. Sirius sendiri memutuskan untuk memeriksa sendiri ruang penyimpanan Crystal Skull di kastil tersebut. Semula, permitaannya sempat ditolak mentah-mentah oleh Severus, tapi berkat bujuk rayu dari Dumbledore, sang agen Interpol menyerahkan kunci ke ruang penyimpanan dengan berat hati.

"Kembalikan kepadaku secepatnya, Black." desis Severus tak senang saat menyerahkan sebuah kunci dari perunggu ke tangan Sirius. Tak ingin berlama-lama di ruangan tersebut, sang polisi Interpol langsung membalikkan tubuhnya dan menghilang di belokan.

Dumbledore tersenyum melihat sikap Severus dan kembali mengalihkan pandangan ke arah Sirius dan James. "Mari. Kuantarkan ke tempatnya." katanya.

Keempatnya—bersama dengan Kingsley—berjalan beriringan menuju tempat penyimpanan Crystal Skull. Tempat penyimpanannya merupakan tempat terpencil dan tertutup. Terletak di puncak menara kastil, satu-satunya jendela yang ada di ruangan itu mengarah langsung ke tebing. Tepat di bawahnya adalah ombak yang menerjang dengan ganasnya . Crystal Skull diletakkan di dalam kotak kayu dengan ukiran antik—menceritakan tentang suku Maya dan upacara tradisional mereka. Di sekitarnya terdapat beberapa rak berisi artefak kuno lainnya—kebanyakan dari abad pertengahan—dan juga beberapa baju zirah, lengkap dengan pedang dan tamengnya.

"Ruang penyimpanan yang menarik." kata James. Matanya menatap berkeliling dengan kagum. Ia lalu mendekati dua pedang yang dipajang di atas dinding, saling silang. Tak jauh dari pedang tersebut terdapat dua set samurai. "Ini asli?" tanyanya, ragu.

"Ya. Dua pedang itu kudapat dari ayahku, sementara samurai itu kubeli saat berada di Kyoto. Menarik, kan?" jawab Dumbledore sambil tertawa.

"Lalu, artefak yang ada di sini, apakah semuanya Anda beli?" Kali ini giliran Kingsley yang bertanya. Matanya berjengit saat melihat beberapa boneka voodoo di dalam kotak kaca. Paku-paku kecil masih menancap di sekujur tubuh boneka tersebut.

"Beberapa kutemukan saat melakukan penggalian dan ekspedisi. Aku senang berkelana ke hutan dan bertemu penduduk lokal." ucap Dumbledore. "Boneka voodoo itu hanya suvenir, kok, tenang saja." kata Dumbledore buru-buru saat melihat ekspresi ketakutan terpampang di wajah Kingsley.

Sirius berjalan mengelilingi kotak kayu tersebut. Terletak tepat di tengah-tengah ruangan, kotak tersebut menurut Sirius malah rawan untuk dicuri. "Apa kotak ini selalu berada di tengah begini?" tanyanya.

"Tentu tidak." sahut Dumbledore buru-buru. Terdengar sedikit nada kecewa pada suaranya. Ia lalu berjalan dan menghampiri Sirius. "Sebenarnya kotak kayu ini semula kusimpan di dalam lemari kaca tertutup itu."

"Lalu, kenapa sekarang ada di atas meja begini?" tanya James, ikut memperhatikan kotak kayu tersebut. "Boleh kubuka?"

Dumbledore meraih sesuatu di sekitar lehernya—sebuah kalung ranta dari perak. Menggantung pada rantai tersebut sebuah kunci kecil berwarna perunggu, tampak sangat usang. Ia melepaskan kalung tersebut dan menyerahkannya kepada James. "Kata Rufus, itu untuk memudahkan mengawasi Crystal Skull dan menangkap Scarlet Hand."

"Menangkap?" ulang James. Tangannya terhenti di udara tepat saat akan memasukkan kunci ke lubangnya. Matanya menatap bergantian dari Dumbledore lalu Sirius. "Bukannya dengan menaruh Crystal Skull ini di fokus ruangan malah memudahkan Scarlet Hand untuk mencurinya?"

"Tipikal Scrimgeour." dengus Kingsley, tak senang. "Yang ada di otaknya hanyalah kemudahan untuk dirinya sendiri. Ia ingin kemudahan saat mengawasi, tak peduli kalau tindakannya itu malah membahayakan artefak yang akan dicuri."

"Bagaimana kalau dia gagal melindungi artefaknya? Kenapa, sih, orang itu lebih mementingkan dirinya sendiri dan bukan orang lain?" gerutu James.

Sirius tidak terlalu mempermasalahkan mengenai sifat egois para agen Interpol. Baginya, yang lebih penting sekarang adalah melindungi Crystal Skull. Ia berjalan mengelilingi ruangan yang cukup sempit itu. Tangannya bergerak di atas batu-batu besar yang membentengi ruang tersebut. Beberapa bagian sudah ditumbuhi lumut dan mulai retak. Meski terlihat tua dan rapuh, batu-batu itu terlalu tebal. Tak mungkin digeser begitu saja. Butuh dinamit atau bahan peledak lainnya untuk membuat lubang besar di tembok ini. Tak mungkin Scarlet Hand mau menimbulkan keributan untuk menerobos masuk.

Mata sang polisi sekarang teralihkan pada jendela batu yang berhadapan langsung dengan Crystal Skull. Jendelanya tidak dikunci. Sirius melongokkan kepalanya keluar jendela, mengecek apakah satu orang dewasa akan muat untuk lewat melalui jendela tersebut. Nyatanya tidak. Hanya kepalanya saja yang bisa lewat dan pundaknya tertahan oleh kusen jendela. Sirius lalu melirik ke bawah dan melihat keganasan air pasang. Ombak juga cukup ganas di bawah sana. Bunuh diri kalau Scarlet Hand mau keluar ataupun masuk dari jendela ini.

Fokus Sirius berikutnya adalah pintu. Satu-satunya akses masuk yang paling mungkin untuk dicapai. Terbuat dari kayu oak tua yang sangat kokoh dan tebal. Satu slot besi besar menjadi pengunci utamanya terpasang di bagian luar ruangan. Gembok besar dan masih baru mengunci slot tersebut. Satu-satunya alat untuk membuka gembok tersebut hanyalah kunci elektrik yang dipegang oleh Dumbledore.

"Anda tak pernah meninggalkan atau menitipkan kunci elektriknya, Sir?" tanya Sirius. Mata abu-abunya masih mengamati dengan seksama kunci yang menggantung terbuka.

"Tidak pernah." sahut Dumbledore singkat. "Aku selalu menyimpan kunci masuk ini di samping tempat tidurku dan tak pernah sekali pun aku menitipkannya pada orang lain."

Sirius hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Dumbledore. Ia lalu memutar tubuhnya dan kembali bertanya, "Sepertinya Anda hanya mengganti gemboknya dengan versi yang lebih modern. Kenapa tidak sekalian mengganti slot pintu dengan yang lebih baru?"

"Ah, gembok tua itu rusak beberapa minggu yang lalu—mungkin hampir sebulan. Penguncinya sudah terlalu lemah dan tidak mengikat dengan baik. Kemungkinan besar rusak karena umur. Kata Ollivander—orang yang membuatkanku pengunci ini—kerusakannya sudah kelewat parah dan tak mungkin diperbaiki. Dia sendiri yang menyarankan padaku untuk menggantu gembok usang yang sudah tua itu dengan yang lebih modern." kata Dumbledore. Sang kakek tua berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah kunci dengan kode-kode elektrik berjajar di sepanjang batangnya.

James melirik dari balik punggung Dumbledore dan bersiul pelan, kagum dengan desain yang begitu unik sekaligus modern. "Kunci yang menarik." katanya.

"Terima kasih, Tuan Detektif." balas Dumbledore riang. Ia lalu memasukkan kembali kunci tersebut ke saku kemejanya dan tersenyum ceria. Mata birunya yang berkelip jenaka menatap tiga orang polisi Scotland Yard dan bertanya, "Jadi, bagaimana? Kalian menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk menangkap Scarlet Hand dan melindungi Crystal Skull-ku?"

James dan Kingsley saling pandang. Kalau mau jujur, keduanya belum memikirkan sama sekali ide untuk menjaga Crystal Skull sekaligus menangkap Scarlet Hand. Pencuri serba hitam itu kelewat licin bagai belut kalau kata James. Kau pegang ekornya, ia masih bisa menggeliat lepas dari cengkeraman tangan dan kabur. Sungguh pencuri yang menyebalkan.

"Sebenarnya," gumam Sirius lambat-lambat. Mata abu-abunya melirik Crystal Skull di dalam kotak, slot di pintu, dan lemari penyimpanan. Seulas senyum tersungging di bibirnya yang kemerahan. "Sebenarnya aku punya satu ide. Tapi, Interpol sama sekali tak boleh tahu tentang ini."


Sirius kembali dari menara dengan senyum cerah menghias di bibirnya. Sebuah rencana brilian yang ia harapkan dapat menangkap Scarlet Hand sekaligus melindungi Crystal Skull. Rencana yang bisa berjalan dengan baik selama Interpol brengsek itu tidak mengetahui sedikit pun tentang ini. Semoga saja rencana yang mendadak muncul tadi bisa menjadi rahasia di antara Sirius, Kingsley, James, dan juga Dumbledore.

Sirius merutuk pelan saat tubuhnya kembali terantuk dinding batu. Dia harus bilang pada Dumbledore mengenai penerangan kastil yang kelewat minim. Selain kamar, ruang makan, dan ruang keluarga, lorong-lorong di kastil ini kelewat gelap sampai sulit untuk melihat ke depan. Entah apa maksud si kakek tua berjenggot putih itu; penghematan atau go green.

Sirius memutuskan untuk tidak memikirkan tentang itu terlalu lama. Sekarang, titik berikutnya yang harus Sirius waspadai adalah waktu kedatangan sang pencuri. Kalau berdasarkan surat pemberitahuan sekaligus dugaan kasar Inspektur Scrimgeour, Scarlet Hand akan datang saat malam bulan purnama.

Pendapat sang inspektur Interpol cukup berdasar mengingat di surat pemberitahuan, sang pencuri menuliskan mengenai 'pasang naik' dan 'bulan memantulkan sinar'nya. Kalau tak salah, dua hari lagi adalah malam purnama dimana bulan berada pada posisi paling cerah. Kondisi ini juga mempengaruhi pasang dan surut air laut.

Tapi, Sirius merasa ada yang tak beres dengan surat ini.

"Kenapa 'memantulkan sinarnya'?" gumam Sirius. Ia membaca ulang surat pemberitahuan dengan seksama. "Bulan tidak punya sinar. Satu-satunya sinar yang ia pantulkan adalah sinar matahari. Selain itu, apa gunanya memantulkan sinar saat sudah mempunyai sumber cahaya sendiri?

"Atau sebenarnya ada kesalahan di surat ini? Apa jangan-jangan Scarlet Hand salah tulis? Tapi, kalau iya, itu sungguh kesalahan yang sangat tolol...

"Apa ada maksud tersembunyi dari kalimat-kalimat ini? Jangan-jangan, yang ia maksud dengan sinar adalah—"

Rentetan kalimat penuh kalkulasi milik sang detektif terhenti di tengah jalan saat mata abu-abunya melihat sosok pemuda berambut cokelat keemasan. Sosok itu berbaring di sofa empuk berwarna merah, tak jauh dari perapian yang menyala. Mata cokelat yang begitu familiar tak tampak, terhalangi oleh kelopak mata dan bulu mata yang lentik. Dada pemuda itu naik dan turun dengan begitu teratur, tenang. Di atas lantai batu dekat sofa terdapat sebuah majalah mode yang jatuh. Sepertinya terlepas dari genggaman tangan sang pemuda berambut cokelat.

Sirius tersenyum kecil dan berjalan menghampiri Remus yang tertidur. Ia lalu menggeret sebuah ottoman berbahan kulit mendekat ke sofa. Sang detektif memperhatikan sambil tersenyum sosok menawan yang terlelap di depannya. Baginya, sang model tampak jutaan kali lebih menarik saat tertidur seperti ini.

Bibir merahnya begitu menggoda, mengundang untuk dicicipi dan dicecap. Kulitnya yang putih pucat tampak berkilau di bawah sinar rembulan dan derak api di perapian. Rambutnya... Sirius tak pernah menyangka kalau rambut manusia bisa terasa selembut itu. Rasanya bagai memegang sutera terbaik dunia; begitu lembut dan halus. Lalu kulitnya—

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sirius terlonjak dari tempat duduknya saat mendengar suara dingin nan lantang tersebut. Tubuhnya memutar dan mendapati seorang Tom Riddle berdiri angkuh di ujung ruangan. Tangannya terlipat di depan dada dan mata birunya menatap tajam ke arah Sirius. Seklias, sang detektif sempat merasakan hawa kebencian menguar dari sepasang mata safir tersebut.

Ah, mungkin itu hanya perasaannya saja.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Kembali Tom Riddle mempertanyakan hal yang sama. Ia sekarang berjalan menyeberangi ruangan sementara matanya melirik tajam ke sosok Sirius yang masih mematung, tak bisa bicara.

"Um... Saya hanya kebetulan lewat dan—"

"Dan memutuskan untuk mengambil untung atas putraku?" desis Riddle.

"Bukan begitu, Sir. Hanya saja, aku khawatir dengan kondisinya. Kalau dia dibiarkan tertidur terus di luar begini dengan hembusan angin yang kelewat dingin, aku jadi khawatir kalau ia akan—"

"Simpan omong kosongmu." potong Riddle. "Lebih baik kau pergi saja. Sudah ada aku di sini. Biar aku saja yang membawa Remus kembali ke kamarnya. Terima kasih sudah mau bersimpati."

Sirius menjauh dari sofa saat Tom Riddle mengambil sebuah selimut tebal yang terlipat rapi di bawah meja. Ia lalu menyampirkan helai selimut tersebut menutupi tubuh ramping Remus, membungkus sang model dalam kehangatan.

Memutuskan bahwa tak ada yang perlu ia lakukan lagi di tempat itu, Sirius berangsur-angsur menghindar. Kakinya membawa tubuh sang detektif menjauh, tapi saat sampai di ujung ruangan, ia terhenti. Entah terdorong oleh rasa apa, Sirius menoleh ke belakang dan jantungnya serasa berhenti berdegup seketika.

Ini pasti hanya matanya yang memainkan ilusi. Ya. Pasti matanya yang kelewat lelah—atau mungkin efek samping dari jetlag—membuatnya melihat hal-hal aneh. Terlalu aneh, sampai-sampai Sirius yakin sepenuhnya bahwa itu hanya ilusi mata. Mungkin, posisinya yang salah. Mungkin, kalau Sirius tidak berdiri di posisi ini, dia bisa melihat apa yang ada dengan perspektif lebih jelas, bukan ambigu begini.

Sangat tidak mungkin seorang ayah mencium putranya sendiri telak di bibir, kan?


Sirius tidak bisa tidur tenang kemarin malam. Otaknya terus berputar, mencari jawaban atas misteri di balik surat pemberitahuan terkutuk itu. Semalaman dia terbangun demi menyelesaikan masalah, tapi sahabatnya yang cerewet bernama James Potter memaksanya untuk mematikan lampu, membuatnya tak bisa bekerja. Polisi berkacamata satu itu tak bisa tidur kalau ada sumber cahaya barang setitik saja masih bersinar di dalam ruangan. Katanya, tidurnya jadi tak pulas dan maksimal.

Sirius Black berjalan menuruni tangga batu menuju ruang makan. Kata pelayan kastil—namanya Filch kalau tak salah—sarapan sudah disiapkan di ruang makan. Si pelayan melotot saat Sirius bilang minta diantarkan ke kamar dan permitaan itu berakhir dengan ceramah panjang dari si pelayan mengenai kamar tidur yang tidak higienis bila dijadikan tempat makan juga.

"Selamat pagi, Mr. Black." sapa Dumbledore ceria. Sang kakek pemilik kastil itu sedang sibuk mengolesi selai bluberi di atas roti panggangnya. "Silakan duduk. Aku juga baru mulai makan, kok."

Sirius tersenyum singkat dan mengambil kursi tak jauh dari sang pemilik kastil. Ia mengambil sepotong telur mata sapi dan sebuah roti panggang sambil menatap berkeliling, mengabsen dalam hati siapa saja yang sudah bangun. Severus Snape ada di pojok meja makan, sibuk bercakap-cakap dengan Scrimgeour. Kingsley belum ada—masih tertidur kalau tak salah—dan James masih di kamar mandi—kemewahan kamar mandi membuat detektif satu itu memutuskan untuk berlama-lama.

"Ke mana putra Anda, Sir?" tanya Sirius, penasaran.

"Tom dan Remus sudah sarapan pagi-pagi. Remus ada pemotretan dan Tom memaksa untuk mengantarnya pergi. Selai?" kata Dumbledore, menyodorkan sebotol selai ke arah Sirius.

Sirius menolak selai pemberian Dumbledore dan mulai menyantap sarapannya. Dalam hati, ia agak menyesal tidak bangun lebih pagi supaya bisa bertemu dengan sang model. Lagipula, ia ada sedikit pertanyaan tentang yang ia lihat tadi malam. Ia mau memastikan kalau yang ia lihat adalah ciuman sederhana antara ayah dan anak.

Mana ada ayah mencium putranya sendiri di bibir? Seingat Sirius, ayahnya tak pernah—bahkan tak sudi—menciumnya dengan begitu intim. Jangankan mencium di bibir, berada satu ruangan dengan Sirius saja membuat Orion Black ingin mati cepat.


"Oh, ayolah, Sirius. Kau masih mau baca sekarang? Aku mau tidur!"

James Potter mendelik kesal ke arah sahabatnya, Sirius Black, yang masih sibuk dengan surat pemberitahuan Scarlet Hand. Lampu meja yang berada di samping tempat tidur keduanya masih menyala, membuat James kesulitan tidur.

Tidak bisa, James. Aku harus menemukannya." gumam Sirius. Matanya masih sibuk menyusuri surat tersebut, sibuk mencari kata atau apapun yang aneh. "Aku yakin ada sesuatu yang tersimpan di balik kata-katanya ini."

"Apa pun itu tidakkah itu bisa menunggu besok pagi saja?" erang James. Ia mengambil bantal berisi bulu angsa dan menutupi mukanya. Sayang, tindakan itu tidak berhasil. "Aku mau tidur, tahu!"

"Cerewet kau, James! Tidur saja sana, seperti Kingsley! Dia bisa, kok, tidur dengan lampu menyala!"

Benar kata Sirius. Sang Inspektur Met tertidur pulas di sofa bed. Dia bahkan mendengkur cukup keras, membuat James dan Sirius berjengit kesal. Keduanya salah memilih untuk tidur bertiga di ruangan yang sama. Mereka lupa kalau atasan mereka itu adalah tukang ngorok nomer satu se-Met...

Sirius sendiri tidak mungkin bisa tidur kalau belum menemukan titik pencerahan dari misteri yang ia pecahkan. Otaknya enggan untuk berhenti bekerja dan terlelap barang semenit saja. Sekarang, sudah dua hari mereka di kastil itu dan belum ada titik terang mengenai waktu kedatangan sang pencuri. Memang Interpol berpendapat bahwa Scarlet Hand akan datang pada malam bulan purnama sekitar dua hari lagi. Tapi, Sirius tak yakin dengan itu semua. Rasanya, ada pesan tersembunyi di surat itu...

"Pokoknya, aku mau lampu itu mati sekarang!" Tak sabar, James beranjak dari tempat tidur dan mematikan lampu duduk di samping Sirius dan kembali ke sisi tempat tidurnya. Ia hiraukan protes keras dari Sirius dan berkata, "Berani kau nyalakan, lebih baik kau tidur saja di lorong!"

Sirius mendengus kesal. Ia tahu betul kalau James tak bisa tidur dengan lampu menyala. James yang kurang tidur adalah James yang pemurung. Seharian ia akan mengeluh dan tak bisa diajak kerja sama. Di saat genting seperti ini, sungguh Sirius tak mau berhadapan dengan James yang satu itu. Tapi, sekarang ia juga butuh pencahayaan.

Ah, mungkin ini memang waktunya istirahat, pikir Sirius. Surat ini bisa menanti sampai besok.

Sang detektif merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tatapannya menatap nyalang ke langit-langit. Lampu gantung tampak berkilau diterpa sinar rembulan dari luar. Ia lalu memiringkan kepalanya, menatap bulan yang hampir sempurna. Menurut perhitungan kalender bulan, dua hari lagi adalah bulan purnama. Itu berarti, Scarlet Hand akan datang sekitar dua hari lagi.

"Kenapa dia harus menunggu sampai bulan purnama?" gumam Sirius, bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa dia tidak ambil saja sekarang? Lagipula, apa maksudnya dengan 'sinar rembulan'? Bulan tidak menghasilkan sinar."

Kembali Sirius terdiam, sadar kalau omongannya tidak akan didengar. Dua orang yang berada satu kamar dengannya sudah berlabuh ke pulau kapuk, meninggalkannya seorang diri di dunia penuh misteri.

Sirius mendesah dan kembali menatap bulan. Beruntung langit cukup cerah, sehingga ia bisa memperhatikan satelit alami bumi itu lebih jelas. Bintang-bintang juga tampak berkelap-kelip di langit berwarna biru tua. Rupanya tak jauh dari tebing dimana kastil itu berdiri, terdapat sebuah mercusuar tua yang masih bekerja. Jaraknya mungkin sekitar beberapa ribu meter dari tebing kastil. Sinar berwarna putih tersebut menyorot memutar, mengawasi perairan John O'Groats. Sirius bahkan baru menyadari kalau kilau lampunya merangsek masuk ke dalam kamar, saking dekatnya mercusuar tersebut dengan kastil.

Mengalihkan perhatiannya dari mercusuar tersebut, Sirius kembali melihat bulan. "Bulan itu bulat..." gumam Sirius. Ia lalu meilirik lampu duduk yang ada di sampingnya. "Bohlam juga bentuknya agak bulat. Semua lampu berwarna bulat, kecuali lampu fluorescent dan halogen. Sebentar, bulat itu kan tergantung armaturnya... Bulat dan menghasilkan sinar sendiri..."

Menyadari sesuatu, Sirius kembali mengalihkan perhatiannya ke mercusuar di tepi tebing. "Sebentar... Mercusuar tadi itu sinarnya sampai ke kamar ini, kan?" gumamnya. Tepat saat ia menutup mulutnya, sinar putih mercusuar menyorot—cukup terang—ke dalam kamar. Cukup terang sampai-sampai bisa mengusik tidur seorang James Potter.

"Aduh... Sudah berapa kali kubliang, matikan lampunya, Sirius!" geram James yang terbangun oleh sorot mercusuar. Sang polisi berambut hitam berantakan itu berdiri ogah-ogahan dan memakai kacamatanya, siap mengomeli temannya.

"Itu bukan aku. Lihat." Sirius menunjuk sinar terang yang menerobos masuk ke kamar mereka. "Itu dari mercusuar."

James mengerenyit, bingung. "Brengsek... Rasanya kemarin aku masih bisa tidur nyenyak, kenapa sekarang harus terganggu sinar begini? Menyebalkan!"

Tiba-tiba, Sirius melompat dari tempat tidur dan menatap liar ke arah James lalu lampu mercusuar. Benar kata sahabatnya itu. Kalau lampunya saja seterang ini, James pasti tak bisa tidur sejak pertama kali mereka sampai di sini. Kemarin, seharusnya James juga terbangun seperti ini. Tapi, kenapa sekarang—

Mendadak, kalimat yang berulang kali dipertanyakan Sirius menjadi jelas. Buru-buru, Sirius mengambil jaket dan melesat menuju pintu.

"Hei! Kau mau ke mana?" panggil James, bingung melihat temannya yang begitu terburu-buru.

"Menara penyimpanan." jawab Sirius singkat. "Kau bangunkan Kingsley dan aku akan ke tempat Dumbledore untuk meminta kuncinya!"

"Tak bisakah kau saja yang bangunkan Kinglsey dan aku yang pergi ke menara?"

Sayang, keluhan James tak didengar Sirius. Sang polisi sudah berlari keluar ruangan, mencari dalam sinar remang kamar Dumbledore. Di otaknya, hanya ada satu yang terpikirkan: Crystal Skull dalam bahaya.


Beruntung Sirius mempunyai ingatan yang baik. Ia segera menemukan kamar Dumbledore dan mengetuk—menggedor—pintu kayu tersebut dengan tergesa-gesa. Hanya butuh waktu sekitar dua-tiga detik sampai pintu akhirnya dibuka.

"Anda harus ikut saya ke menara penyimpanan! Crystal Skull dalam bahaya!" ucap Sirius terburu-buru. Napasnya tersengal-sengal sehabis berlari sepanjang lorong.

"Apa maksud—"

"Sinar yang dimaksud oleh Scarlet Hand bukan sinar bulan, melainkan sinar mercusuar. Mercusuar tua yang kemarin malam belum menyala, mendadak menyala malam ini. Dia menghasilkan sinarnya sendiri dan bentuk sinarnya bulat, sama seperti bulan. Ah! Penjelasannya nanti saja! Aku butuh kuncinya sekarang!"

Dumbledore mengangguk mengerti. Ia bergegas ke lemari kecil di samping tempat tidur dan membuka laci. Sayang, kunci yang biasa ia simpan di sana telah raib. "Hilang..." gumamnya. "Kuncinya hilang..."

Sirius menggertakkan giginya, kesal karena sudah dilangkahi oleh Scarlet Hand. Dia harus segera mengejar pencuri sialan itu kalau mau menyelamatkan Crystal Skull.

"Sir, tolong bangunkan para Interpol. Biar aku yang mengejar Scarlet Hand." kata Sirius dan pemuda itu kembali berlari menyusuri lorong remang menuju menara penyimpanan. Satu-satunya yang ia pikirkan sekarang adalah Crystal Skull.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Sirius hingga akhirnya ia sampai di lorong tunggal menuju menara penyimpanan. Tinggal berbelok di ujung lorong dan ia akan langsung berhadapan dengan tangga naik ke ruang penyimpanan. Langkahnya sempat terhenti saat dua orang polisi Interpol terkapar di atas lantai batu, tak sadarkan diri. Sepertinya Scarlet Hand sudah sampai.

Sirius merendahkan tubuhnya dan memeriksa denyut nadi dua orang polisi itu. Masih ada. Rupanya Scarlet Hand hanya membuat keduanya tak sadarkan diri. Memutuskan kalau tak ada waktu untuk menyadarkan dua orang itu, Sirius berlari menyusuri tangga.

Scarlet Hand benar-benar beruntung. Dia berhasil membuat Interpol salah duga mengenai waktu kedatangannya, sehingga pengamanan di sini masih belum maksimal. Lihat saja dua orang polisi tak bersenjata yang ditempatkan untuk menjaga tangga masuk. Pantas Scarlet Hand bisa melenggang masuk dengan tenangnya.

Sirius menggeram kesal saat melihat pintu di kamar puncak tampak terbuka sedikit. Dilihat dari situasi, sepertinya si pencuri masih ada di dalam ruangan. Mungkin, dia sempat mengejarnya. Tanpa ambil pusing, Sirius langsung mendorong pintu kayu itu terbuka dan masuk ke dalam ruangan.

Benar dugaan Sirius. Scarlet Hand masih berada di ruangan itu, berdiri di samping lemari kayu yang sudah terbuka. Crystal Skull tergenggam di tangan kanannya. Sesaat Sirius sempat bertanya-tanya, kenapa si pencuri tidak membuka kotak yang berada di tengah-tengah display dan langsung tahu letak Crystal Skull berada?

"Ah, Mr. Black." ucap Scarlet Hand. Bibir merahnya tersungging, membentuk senyum. "Sepertinya kau berhasil menebak dengan benar waktu kedatanganku, ya."

Untuk pertama kalinya, Sirius bisa memperhatikan sosok Scarlet Hand, pencuri handal yang tak pernah gagal. Selama ini, sang detektif hanya bisa mengejar bayangnya saja tanpa pernah sedikit pun bertatapan langsung dengan sosok misterius tersebut. Sekarang, dari jarak yang cukup dekat, Sirius bisa melihat balutan pakaian hitam ketat yang membalut tubuh ramping sang pencuri. Sirius juga bisa memperhatikan betapa mengkilatnya sepatu boots kulit—begitu tinggi sampai di bawah lutut—yang dikenakan sang pencuri. Solnya tebal, meredam langkah kaki pemakainya. Namun, Sirius masih tak bisa melihat jelas rupa sang pencuri. Melihat warna matanya saja masih belum jelas gara-gara topeng hitam yang menutupi setengah wajah Scarlet Hand. Topeng itu tergolong sederhana dan terbuat dari material kulit hitam yang panjang dengan dua lubang untuk mata. Sisanya tampak menjuntai dari balik surai hitam sang pencuri.

Meski tak bisa melihat jelas wajah si penjahat, entah mengapa Sirius merasa mengenali sosok pencuri ini.

"Daripada kau bengong di pinggir jalan begitu, bagaimana kalau kau menyingkir, Tuan Detektif?" kata Scarlet Hand. Suaranya terdengar begitu tenang dan santai, meskipun sekarang dia berhadapan dengan seorang polisi. "Aku harus segera keluar dan membawa Crystal Skull ini pulang."

Tersadar dari lamunannya, Sirius malah bergerak maju dan semakin menghalangi pintu keluar. Sang polisi bersurai hitam ini bahkan mengambil sebuah pedang yang dipajang di dinding, menghunuskan dengan yakin ke arah sang pencuri. Seulas senyum tersungging di wajah sang detektif sebelum ia berkata:

"Maju kalau kau berani, Scarlet."

Scarlet Hand terdiam sejenak sebelum mendengus geli melihat sikap Sirius. "Mau apa kau denganpedangitu? Kau mau membunuhku?" desisnya. "Kau hanya buang-buang waktu saja, Black. Lebih baik kau minggir kalau tidak mau cela—"

Kalimat itu terpotong di tengah jalan saat Sirius maju dan menyebetkan pedangnya ke arah Scarlet Hand. Beruntung gerak refleks sang pencuri sangat cepat. Sebelum ujung pedang itu mengenai wajahnya, Scarlet Hand melompat mundur, menghindar. Matanya yang semula berkilat penuh humor berubah menjadi serius dan waspada.

Sirius menegakkan tubuhnya dan menunjuk ke arah sang pencuri dengan mata pedangnya. "Aku sudah bersumpah akan menangkapmu dengan cara apapun, meskipun itu harus melukaimu terlebih dulu."

Lagi, Sirius maju tanpa peringatan. Pedang tersebut ia ayunkan ke arah sang pencuri—kali ini tepat ke bagian torso. Beruntung Scarlet Hand kali ini lebih siap menghadapi serangan. Ia segera mengelak ke samping dan langsung menyambar sebuah samurai yang dipajang di atas meja. Dengan satu gerakan sederhana pada ibu jarinya, Scarlet Hand membuka sarung pedang dan melemparkannya entah kemana.

TRANG!

Bunyi dua buah pedang bertabrakan terdengar nyaring, memecah keheningan malam. Dua orang yang saling beradu menekan musuhnya, tak mau mengalah. Tekanan yang terlalu berat dari masing-masing membuat keduanya terpaksa mundur dan kembali menyerang. Satu mengincar area perut dan yang lainnya menangkis.

"Ugh!" Sirius mengerang kesal saat Scarlet Hand lagi-lagi menyerangnya dengan serangan tak terduga. Yang lebih menyebalkan lagi ketika si pencuri mengambil pisau antik yang juga disimpan di kotak terbuka. Berutung Sirius cepat mengambil tindakan dan menangkis tiga buah pisau yang dilemparkan. Mungkin, kalau ia berhasil melewati malam ini dengan anggota tubuh utuh, dia harus menasehati Dumbledore untuk menyimpan koleksi-koleksinya yang berbahaya dalam kotak tertutup. Kalau perlu dimasukkan ke dalam brankas juga.

Lamunan Sirius hampir membuat sang detektif kehilangan lehernya. Dengan cepat, Sirius mengangkat pedang dan menahan serangan Scarlet Hand dari kiri. Keduanya saling mendorong, mencoba untuk melukai.

"Menyerah saja, Black." gumam Scarlet Hand. Suaranya masih terdengar tenang seperti sebelumnya. "Biarkan aku lewat dan kau akan selamat malam ini."

Tak disangka, Scarlet Hand mengangkat kakinya dan menendang perut Sirius dengan lututnya. Sirius merunduk sambil memegangi perutnya yang sakit, terbatuk-batuk. Untuk sementara, ia lupa dengan pintu keluar yang ia jaga sedaritadi. Sekarang, pintu itu bebas diakses oleh sang pencuri. Bahkan, Scarlet Hand tidak mau menunggu waktu lebih lama dan segera melesat menuju pintu keluar.

Si pencuri serba hitam hampir saja keluar ruangan, namun langkahnya terhenti saat dua buah pisau—pisau yang sama yang ia gunakan untuk menyerang Sirius—tertangkap ekor matanya. Dua belati tajam melesat tepat ke arahnya, mengancam jiwanya. Tak punya pilihan lain, sang pencuri menangkis serangan tersebut.

Saat itulah Sirius menyerang.

Lengah oleh pisau-pisau tadi, Scarlet Hand tak sempat menangkis serangan sang detektif. Ia hanya bisa mundur selangkah, menghindari sabetan pedang melukai wajahnya. Sayangnya, pedang tersebut sudah mengenai pipi kirinya dan nyaris melukai matanya. Beruntung matanya tak apa-apa.

Sialnya, serangan Sirius berhasil merusak topeng sang pencuri, merobeknya pada bagian mata dari bawah sampai atas.

Sirius melangkah mundur, memperhatikan sosok pencuri yang sekarang menunduk dan menutupi wajahnya. Topeng yang semula melilit di sekitar matanya telah jatuh ke atas lantai bebatuan, rusak pada bagian matanya. Sungguh Sirius tidak bermaksud untuk merusak topeng sang pencuri. Dia hanya ingin menggertak Scarlet Hand untuk mundur sampai bala bantuan datang, tapi ternyata...

Tunggu. Bukankah ini kesempatan langka bagi Sirius untuk melihat langsung wajah pencuri yang merepotkan ini? Dia bisa mengejek Interpol yang tidak kompeten itu dengan menangkap pencuri ini seorang diri. Belum lagi posisinya di Met akan langsung melonjak tinggi berkat prestasinya ini.

"Angkat kedua tanganmu." perintah Sirius. Sang detektif berambut hitam itu mengarahkan pedang yang ia pegang ke dagu Scarlet Hand, memaksanya untuk mendongak. "Kau sudah kalah sekarang, Scarlet Hand. Tunjukkan saja wajahmu dan aku bisa langsung menggiringmu ke penjara."

Selama beberapa detik, Scarlet Hand tidak berkutik. Ia terdiam dan tidak menggubris perinah Sirius. Tapi, pada akhirnya ia mengangkat kedua tangannya ke udara, mengalah. Crystal Skull masih tergenggam erat di tangan kanannya. Perlahan-lahan, kepalanya mendongak, menatap Sirius.

Mata Sirius membelalak tak percaya saat melihat wajah Scarlet Hand. Wajah yang ia kenal, bahkan ia lewatkan dua hari terakhir ini hidup satu atap dengannya. Orang yang benar-benar tak terduga. Lambat-lambat mulut sang detektif membetuk satu kata—sebuah nama—dalam kebingungannya:

"Riddle...?"

To Be Continued


A/N: Ditamatkan di tengah tugas me-layout denah menanti. Belom buat apa-apa, pulang kemaleman, dan ngantuk super duper. Kayaknya saya lanjut molor aja daripada ngerjain tugas... #eh Maaf, buat yang review chapter lalu belum bisa saya bales. Semoga chapter ini bisa saya bales deh :D

Euuh... Biarpun review gak dibales, masih mau review, kan? :3