"Papa, Naruto dimana…" Air mata kembali meleleh mengaliri pipi Kurama saat Kyuu mengeratkan pelukan sebagai jawaban.

"Papa… kapan Naruto pulang?"

Kyuubi menggeleng pelan, "Maafkan Papa…"

"Bohong!" teriak Kurama keras, "Naruto janji mau main game denganku! Papa bohong!"

"Maafkan Papa… Jangan benci Papa ya…" suara yang terdengar putus asa itu membuat Kurama menangis semakin keras. Ia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi, kenapa Naruto tidak pulang?

Apa Naruto takut Kurama marah karena ia pulang terlambat? Kurama tidak akan marah.. Ia janji tidak akan marah asalkan Naruto pulang.

Kenapa Papanya bersikap seolah Naruto tidak akan pernah pulang?

Kenapa Papanya terus minta maaf?

"Papa.. dimana Naruto.. Papa…"

"Maafkan Papa, Kurama…"

.

.

There's No Regret in My LIfe –

Sequel of "There's No Next Time"

Disclaimer "Naruto": Kishimoto Masashi

This story: KyuuRiu

Pair: SasuNaru (main)

,

Rated: T

Genre: Hurt/Comfort - Romance

Warning: abal dan ga jelas. Again.. main characters-nya numpang nama lagi :')

Typo(s) and mis-typo(s)

.

.

Part 11: That Faraway Place

.

.

"Dei.. maaf merepotkanmu." Gumam Kyuubi sebelum menarik nafas dalam-dalam. Kedua tangannya menggenggam tangan kanan wanita berambut pirang panjang itu. Itachi ada di sana, begitu juga dengan Shion. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menunjukkan raut cemburu.

"Harusnya aku yang minta maaf kepada Kyuu-kun dan yang lainnya karena hanya bisa membantu disini." Balas Deidara. Tangan kirinya mengelus perutnya yang mulai membesar. Bibirnya tersenyum simpul ke arah Kyuubi, lalu beralih ke suaminya.

Kyuu balas tersenyum ke arah Dei, namun matanya tak mampu menatap manic biru istri rivalnya. Mata yang masih terlihat sembab itu…

Kyuubi melepas genggaman tangannya, kemudian ia menghela nafas panjang. Saat itulah, Shion mendekati Kyuu, lalu memeluk lengan suami yang sangat dicintainya itu.

"Itachi-san, semuanya sudah siap." Ucap Pein yang tiba-tiba masuk. Mereka pun saling tatap untuk beberapa saat, lalu sama-sama mengangguk.

Walau rencana berubah total, mereka yakin.. begini adalah yang terbaik. Fugaku dan Minato yang harusnya mengurus para wartawan kini tinggal di rumah. Kyuubi benar, sejak awal dirinya dan Itachi lah yang terlibat dalam penyelidikan. Jadi akan lebih 'natural' jika mereka berdua yang berada di depan kamera.

Hari ini adalah hari pertarungan mereka…

Sorot kamera dan begitu banyak, juga kilatan lampu flash langsung menghujani Itachi, Deidara, dan Kyuubi yang keluar ke lobi utama gedung perusahaan milik keluarga Uchiha. Kali ini kilatan-kilatan lampu itu terasa begitu menyilaukan, bukan hanya karena mata mereka yang masih sama-sama sembab, namun juga karena jumlah wartawan yang datang bertambah banyak.

Kalau tempo hari wartawan yang datang adalah wartawan dari majalah bisnis atau siaran-siaran gossip murahan, kali ini wartawan dari Koran local dan berita harian juga ikut bergabung.

Insiden kali ini bukan lagi masalah Sasuke yang mengacaukan pesta pertunangannya dan malah kabur dengan seorang pemuda, melainkan insiden kecelakaan parah yang menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan, juga hutan milik pemerintah Konoha. Yang lebih parah lagi, pengendara dan seorang penumpang mobil sampai saat ini belum diketahui kejelasan nasibnya.

"Maaf kami tidak menjamu tamu dengan baik, suasana kediaman Uchiha, juga kediaman Uzumaki sedang tidak kondusif untuk menyambut tamu sebanyak ini…" ucap Itachi beberapa saat setelah mereka bertiga duduk. Berulang kali ia mengetukkan jarinya ke kursi untuk membantu usaha mati-matiannya menahan suara agar tidak bergetar.

"Jujur, aku –kami tidak tahu harus mengklarifikasi tentang apa, jadi.. mungkin ada yang ingin ditanyakan dari teman-teman wartawan?"

Itachi tersenyum getir. Ahh.. lagi-lagi mereka tidak menyampaikan informasi dan malah langsung bertanya. Biarlah. Toh kali ini mereka bukan sedang menghadapi sebuah 'skandal'.

Jujur, bibir Itachi seolah terkena lem kuat sehingga pria berkuncir ini harus berusaha mati-matian hanya demi memunculkan segurat tipis senyum.

Seorang wartawan mengangkat tangannya, lalu dengan hati-hati mulai bertanya, "Maaf, kudengar tim gabungan polisi dan SAR telah berhasil menemukan 'sesuatu' di bangkai mobil yang jatuh dan terbakar hingga hampir tidak bersisa."

"Kyuu." Bisik Itachi terdengar jelas oleh semua orang. Suaranya yang lirih itu masih bisa tertangkap microphone di hadapannya.

"Memang benar, mereka menemukan adikku, juga Sasuke." Tidak ada senyum di bibir Kyuu, bahkan sorot mata yang biasanya terlihat tajam itu kini seolah kehilangan kilatnya.

Seketika, suara gaduh yang berasal dari para wartawan di hadapan mereka terdengar.

Itachi menggenggam erat tangan Dei. Dia tahu, wanita pujaannya itu membutuhkannya.

"Beberapa jam lalu, pihak kepolisian juga memberikan keterangan bahwa Uchiha Sasuke, juga Uzumaki Naruto sudah ditemukan. Namun mereka tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi kedua korban tersebut. Mereka menjelaskan bahwa pihak keluarga korban lah yang berhak memberikan keterangan mengenai kondisi korban. Apakah pihak keluarga bersedia memberitahukan kepada kami perihal tersebut?"

Seorang wartawan dari liputan harian Konoha memberikan penjelasan, sekaligus pernyataan yang –jujur- menjadi tujuan utama dalam kenverensi pers kali ini. Dengan begini, pemuda bermata lavender yang menempatkan dirinya di tengah kerumunan wartawan tidak perlu mengeluarkan suaranya.

"Mereka…"

" –sudah tenang." sahut Kyuu menyerobot kalimat Itachi yang belum selesai. Sontak kegaduhan yang sempat terjadi, kini terulang lagi.

Pria bermata ruby itu jelas berusaha sangat keras untuk menjaga suaranya. Senyum menyedihkan terukir tipis di bibirnya, membuat sang istri yang melihat dari kejauhan tak kuasa menahan butiran air yang meluncur di pipinya.

Itachi menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya yang terpotong. "Sasuke sudah pulang, begitu juga dengan Naruto. Mereka tidak akan membuat lelucon yang menyusahkan kalian lagi. Aku, sebagai seorang kakak, meminta maaf atas kejadian sebelumnya, juga… terima kasih karena teman-teman memberi banyak perhatian kepada adikku, juga Naruto."

Pemuda berkuncir longgar itu kembali menarik nafas dalam usai menyelamatkan kalimat-kalimat panjangnya.

"Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan –" Kyuu memotong kalimatnya sendiri ketika melihat lengan kanan berkulit pucat terangkat ke atas. Orochimaru.

Sekali lagi, tindakan pria pemilik majalah berkasus ini memudahkan tugas pemuda Hyuuga yang membaur dengan kerumunan wartawan. Mereka tahu betul apa yang ingin dia tanyakan.

Kyuu menggerakkan tangannya, mempersilakan pria bernata tajam itu untuk menyuarakan rasa penasarannya.

"Kudengar, pihak kepolisian tidak akan melakukan tindakan otopsi Pihak keluarga juga langsung membawa pulang mayat korban tanpa membiarkan polisi menyelidiki terlebih dahulu. Bukankan itu aneh?" tanyanya lancang seperti biasa.

Kyuubi menghela nafas. Bukan bagiannya menjelaskan hal seperti ini.

"Tidak ada yang aneh. Kami hanya tidak ingin mengusik ketenangan Naruto, juga Sasuke. Aku secara pribadi tidak ingin adikku dipotong-potong hanya untuk… maaf."

Deidara tersengal. Pikiran kacaunya membuatnya salam memilih kata. 'Dipotong-potong', itu bukan sebuah kata yang pantas diaplikasikan kepada seorang manusia.

Dei mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku secara pribadi tidak ingin adikku dibedah hanya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak penting. Lagipula, izin untuk melakukan otopsi memang sepenuhnya berada di tangan keluarga. Jika kami tidak mengizinkan, pihak kepolisian, atau siapapun tidak berhak melakukannya."

Wanita yang kini memakai setelan warna hitam itu kembali menghela nafas, berniat untuk melanjutkan penjelasannya. Namun sebelum itu terjadi, Kyuu menyentuh tangan Dei, memberi isyart bahwa ia yang akan meneruskan.

"Sejujurnya, apa tujuan dari otopsi itu? Setahuku, yah.. mungkin pengetahuanku selama bekerja di luar sana memang sangatlah kurang, tapi sebenarnya tujuan dari otopsi adalah untuk mengetahui sebab kematian seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti atau semacamnya. Atau, bisa juga untuk tujuan riset atau penelitian. Dan kurasa, memang tidak perlu dilakukan otopsi karena sebabnya sudah jelas. Lagipula… sudah tidak ada yang bisa dilihat, atau dibedah."

Kali ini Kyuu tersenyum. Senyumnya terlihat aneh. Sangat aneh. Mereka yang datang pasti mengira senyuman Kyuu sebagai senyum frustasi atau senyum palsu yang berusaha ia lakukan untuk menghibur dirinya sendiri.

Hanya Itachi dan Shion yang tahu arti sebenarnya dari senyuman pria detektf itu.

Dia pasti puas dengan ucapannya sendiri. Bukannya bermaksud merendahkan diri, ucapan Kyuu barusan menunjukkan betapa hebat dirinya. berita tentang ia yang bekerja sebagai detektif terkenal di Negara yang katanya paling romantic itu sudah menyebar luas. Lagi, kalimat terakhirnya melahirkan asumsi kepada mereka yang datang bahwa keadaan korban memang sangat-sangat mengenaskan.

Mungkin, memang sebaiknya tidak dibicarakan.

"Mereka sudah pulang…" Itachi memecah keheningan. "Seperti yang kami harapkan, mereka sudah pulang. Jujur, kami tidak menyangka mereka akan pulang dengan cara seperti ini. Pagi itu Sasuke bilang ingin menyelesaikan sesuatu, jadi pulangnya agak terlambat. Tidak kusangka, dia pulangnya sangat terlambat. Juga, dia benar-benar menyelesaikan semua masalahnya."

"Pagi itu ya… Putraku mengajak Naruto main game jika dia pulang kuliah nanti. Bocah sialan yang biasanya langsung girang kalau mendengar kata game itu hanya mengatakan 'bagus' tanpa meng-iya-kan ajakan putraku. Aahh.. dia terus menangis karena pamannya tak juga pulang."

Random..

Ucapan Kyuu sangat random. Bahkan ia tak sadar kalau matanya berair. Jujur, pikirannya mulai kacau, lebih kacau dari sebelumnya. dadanya terasa sesak dan nyeri.

Namun dalam keadaan begini, semua orang pasti mengerti alasannya. Bahkan tidak ada dari mereka yang menanyakan pertanyaan konyol, menanyakan bagaimana perasaan Kyuu dan keluarganya.

"Kalian boleh datang ke rumahku, atau rumah Kyuu. Hanya saja.. kami berharap agar kalian tenang dan menghargai privasi keluarga kami. Kalau boleh jujur, kami sangat terpukul, terutama Kaa-san, juga Kushina-san.. kami berharap kalian mengerti." Itachi kembali angkat suara. Sebenarnya, ini adalah ultimatum untuk mereka yang bisanya mengajukan pertanyaan konyol.

"Aku.." Kyuu berdiri, lalu membungkukkan badannya dalam. Kyuu yang biasanya tidak akan melakukan hal memalukan begini. Jadi, anggap saja ini sebagai selebrasi awal atas keberhasilannya. Walau begitu, entah mengapa dadanya terasa sesak. Kepalanya pusing dan nafasnya sempat terengal.

"Mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang mendoakan mereka, kepada semua yang membantu mereka untuk pulang. Juga, yang sudah datang hari ini. Terima kasih dan.."

Kyuu menegakkan badannya, lalu mengangkat kepala. Ia tersenyum, pandangannya mulai kabur dan badannya terasa sangat berat.

Kyuu.. semakin kesulitan bernapas. Mungkinkah.. ini yang sering dirasakan Naruto ketika penyakitnya kambuh? Entahlah.. yang jelas, seolah udara di sekitar Kyuu seakan penuh dengan butiran-butiran abu vulkanik yang menggores paru-parunya hingga terasa perih.

" –maaf telah banyak mere –"

'bruaakkk!'

"Kyuu!" Itachi reflek berteriak.

Kyuubi tiba-tiba melemas. Tubuh tak bertenaganya menghantam sudut meja, menjatuhkan beberapa microphone yang berada di atasnya.

Pein yang berada di dekat mereka langsung berlari mendekat, begitu juga Konan.

Apa-apaan ini? hal begini tidak ada dalam scenario. Kenapa Kyuu seenaknya saja menambahkan adegan!?

"Kyuu.. hei!" Itachi coba mengguncang tubuh lemas yang kini tergeletak di lantai itu. Nihil. Tidak ada reaksi.

Nafas Kyuu terdengar berat. Matanya setengah terpejam.. ini membingungkan.

"Kyuu-kun…" suara Dei bergetar, ia mulai terisak.

"Brengsek!" umpat Itachi tanpa sadar. Ia membopong tubuh rivalnya itu, lalu meminta Pein untuk membawa Kyuu masuk.

"Pein, bawa dia masuk. Aku harus berada di sini."

Pria kepercayaan keluarga Uchiha itu mengangguk, lalu menggantikan Itachi menggendong Kyuu.

"Dei.. kau masuk dengan Konan, ya?"

Deidara menggeleng. Ia menutup mulut dengan kedua tangan. Kali ini dia benar-benar menangis. "Kyuu-kun –"

"Dia baik-baik saja. Kau istirahat ya.. kumohon?" Itachi memberi penekanan pada kata 'kumohon', sedikit memaksa. Dei akhirnya mengangguk dan masuk bersama Konan.

Sementara Itachi tinggal untuk meminta para wartawan untuk menyudahi konfrensi kali ini.

Jujur, keadaan Kyuu mempermudah Itachi untuk meyakinkan mereka bahwa memang tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.

Mungkinkah.. Kyuubi sengaja melakukannya agar semua cepat berakhir? Walau begitu, tindakan sembrononya sempat membuat Itachi panic.

"Hei…" bisik Shion tak kuasa menahan air mata begitu Pein menidurkan tubuh lemas Kyuubi di atas sofa di dalam sebuah ruangan di kantor itu. Sesungguhnya ia ingin berlari menghampiri suaminya sesaat setelah Kyuu tak sadarkan diri. Namun pikiran rasionalnya memaksa Shion untuk tetap berada di ruangan.

"Pein… bantu aku."

Pein mengangguk. Ia mengikuti instruksi Shion untuk melepas sepatu Kyuubi, lalu mengangkat kedua kakinya. Sementara Shion menarik dagu Kyuu, lalu dengan saksama menempelkan telinga kanannya ke dada sang suami. Terlihat jelas bahwa Shion mati-matian mengatur nafasnya sendiri agar tetap stabil. Kalau tidak, dia tidak akan bisa mendengar deru nafas pria tercintanya.

Beberapa saat kemudian, wanita yang berprofesi sebagai perawat itu menghela nafas panjang. "Pein, kau boleh turunkan kakinya."

"Bagaimana keadaannya?" gumam Pein cemas. Bagaimanapun pria arogan yang kini tergolek lemas adalah temannya sejak dulu.

"Dia… hanya butuh istirahat" balas Shion tersenyum. Jujur, Pein bisa melihat keganjilan dari senyumnya. Ia tahu Shion menyembunyikan sesuatu. Lagi, mata Kyuu yang masih setengah terbuka dengan pandangan yang kosong itu terlihat sangat aneh.

Wanita yang sudah memiliki satu anak itu lalu mengambil sapu tangan dari sakunya, lalu mengusap wajah Kyuu yang menurut Pein sama sekali tidak berkeringat. Sesekali Shion mendekatkan bibirnya ke telinga Kyuubi, lalu mengucapkan sesuatu.

Pein menghela nafas berat, ia lalu berbalik hanya untuk mendapati Konan dan Deidara yang terlihat cemas. Terutama Dei, dia terlihat sangat-sangat khawatir.

"Kyuubi hanya butuh istirahat." Ucap Pein menghampiri Dei yang duduk di kursi seberang. Ia menepuk pundak Konan, memberinya isyarat agar ia ikut bersama Pein.

"Keadaan Kyuubi aneh." Bisik pria yang memakai perching itu saat mereka sudah cukup menjauh.

"Kau benar. Kyuubi sepertinya sedang benar-benar 'sakit'. Aku yakin, sudah berhari-hari dia tidak tidur."

Keheningan pun tercipta. Kyuubi yang masih terbaring lemas ditemani Shion yang masih setia berbisik padanya.

"Kyuu.. bangun…" gumam Shion hampir tanpa suara. Bibir merah mudanya lalu mencium pipi suaminya, lalu berpindah ke kelopak mata yang basah.

Kalau diperhatikan, entah sejak kapan Kyuubi mengeluarkan air mata.

Sementara itu Dei mencoba menenangkan diri. Ia… hanya tidak ingin memperparah keadaan. Lengan langsatnya membelai perut yang membuncit, sesekali bibirnya mengucapkan bahwa semua akan baik-baik saja. Seakan ingin menenangkan bayi di kandungannya, Dei memaksa dirinya untuk tersenyum.

Bohong. Dei hanya ingin menenangkan dirinya sendiri…

Hening tercipta cukup lama sampai Itachi masuk ke ruangan itu. pein dan Konan langsung menemuinya. Mereka membicarakan sesuatu selama beberapa menit. Sulung Uchiha mengangguk, lalu kedua orang kepercayaannya pun keluar dari ruangan.

"Dei…"

Deidara yang tadinya duduk, langsung berdiri. Ia menghampiri sang suami, lalu menghamburkan dirinya dalam pelukan erat.

"Itachi… Itachi… Ita –chiii… " tangisnya pecah. Tubuh Deidara bergetar hebat. Nafasnya tersengal berkali-kali.

Seolah hanya nama suaminya lah yang ada dalam kamus-nya, ia terus menyebut nama Itachi.

Pria yang kini balas memeluknya berbisik berkali-kali. Walau pertahanannya jelas-jelas sudah runtuh, ia tetap sok kuat ingin menenangkan wanitanya.

Deidara menggeleng. Ia semakin menenggelamkan wajahnya ke dada Itachi.

Menyedihkan.

Mereka yang seolah menjadi 'yang terhebat' di Konoha kini tersedu-sedu di dalam sebuah ruangan dengan suasana kelam yang menyesakkan dada.

Ya.

Mereka hanyalah orang-orang lemah. Sangat lemah…

"Dei.. istirahat di ruanganku ya?" Dei hanya diam menanggapi permintaan Itachi. Ia tetap memeluk erat suaminya sampai Shion mendekat dan mengatakan sesuatu kepada mereka.

"Deidara-san, sebaiknya kita pergi ke ruangan lain. Aku akan memeriksa tekanan darah dan detak jantungmu."

"Tapi.. Kyuu-kun?" Dei mendongak menatap Shion. Bagaimana bisa dia mengajaknya ke ruangan lain sementara suami Shion sedang terbaring lemas?

Kalau diperhatikan, kelihatannya Deidara adalah orang yang paling mengkhawatirkan Kyuubi saat ini.

Shion menggeleng pelan, "Kyuu hanya terbentur, sudah kuobati memarnya. Selebihnya, dia hanya butuh tidur."

Shion tersenyum menenangkan, ditariknya lengan Dei perlahan agar ia melepaskan Itachi. Deidara yang masih bingung hanya mengangguk singkat dan mengikuti langkah kaki Shion.

Sementara Itachi yang ditinggal di ruangan itu bersama Kyuubi mulai berjalan mendekati sulung Uzumaki yang masih terbaring.

"Kyuu.." gumam Itachi membelai puncak kepala Kyuu. Matanya masih setengah terpejam, pandangannya masih kosong. Namun bibir Kyuubi bergerak mengucapkan sesuatu tanpa suara.

'Keriput… sebentar…'

Bisik Itachi pada dirinya saat ia membaca gerakan bibir Kyuubi. Ia hanya bisa diam dan menunggu. Tadi Shion member isyarat padanya, dia bilang Kyuu ingin mengatakan sesuatu.

Dalam keadaan begini, Itachi tidak mungkin memaksanya cepat-cepat bicara. Ditatapnya ruby Kyuu yang masih belum berhenti meneteskan air mata.

Nafas Kyuubi mulai tersengal, bibirnya kembali bergerak mengucapkan sesuatu.

"Naruto…"

Tangan kanan Kyuubi memegang dadanya sendiri, meremasnya kuat.

"Adikku, Naruto…" bibirnya tersenyum, suaranya kini diselingi isakan yang sudah tak bisa lagi ditahan.

Air mata semakin deras mengalir, isakannya semakin keras. Kyuu menutupi matanya dengan lengan kiri. Sementara itu tangan kanannya masih saja meremas dada.

"Naruto.. hkk.. Naru –to.."

"Kyuu…" gumam Itachi tak digubris sama sekali. Tubuh sulung Uchiha itu pun membeku. Pipinya kini basah, nafasnya pun mulai tak beraturan.

Menyedihkan…

"Naruto.. ahahahahaha…. Naruto… hahahahahaaa… Naruuuttooo!"

Kali ini Kyuubi terbahak.

Masih dengan air mata yang deras mengalir dan isakan yang keras terdengar. Dia tertawa. "Anak itu berulang tahun hari ini.. tapi.. aku memberinya hadiah yang mengerikan. Ahahahahaaa… Aku memang payah!"

"Kyuu!"

Seperti saat itu, Kyuu tertawa. Dia yang seharusnya menangis malah terbahak seolah sudah kehilangan akal sehatnya. Itachi menarik tubuh Kyuubi untuk duduk. Disingkirkannya lengan Kyuu yang menutupi mata.

"Tenanglah!" bentak Itachi mencoba menyadarkan rivalnya itu.

"Hahahaha!" Ruby itu akhirnya menatap onyx Itachi. terlihat sangat frustasi. Kyuubi bukannya mengalami gangguan mental atau sejenisnya. Dadanya yang sesak juga bukan karena suatu penyakit atau semacamnya. Dia hanya… terlalu sedih.

Ini menyakitkan. Sangat menyakitkan, hal paling menyakitkan dari apapun yang pernah Kyuu alami. Saking menyakitkannya, sampai-sampai Kyuubi bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini.

"Bagaimana aku bisa tenang, hah? Brengsek! Aku belum bisa tenang! Aku tidak bisa tenang!? Kalau saja kau –"

Itachi menarik tubuh bergetar itu ke dalam pelukannya. Memaksa ocehan gilanya berhenti. Kalau boleh jujur, dia tidak mau melakukan ini…

"Diamlah, Setan Kecil."

Bukannya ingin mengingatkan Kyuubi akan masa lalu mereka berdua, hanya saja.. mungkin dengan ini, Kyuubi akan mulai tenang? Paling tidak, Kyuu akan meluapkan emosinya kepada Itachi yang 'mengkhianati' kepercayaannya, bukannya menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Otouto-nya, juga Naruto.

Kyuu yang terdiam beberapa saat, langsung mengumpat begitu dia mendapatkan kembali kesadarannya. "Kau Keriput brengsek!"

Walau begitu, dia samasekali tidak mencoba melepaskan pelukan mantan kekasihnya. Jujur, Kyuu sedang butuh ditenangkan, dan sebuah pelukan adalah cara menenangkan yang sangat manjur. Dari siapapun itu tak masalah selama itu membuat Kyuu merasa bahwa masih ada yang akan selalu mendukungnya, membuat Kyuu merasa bahwa ia tidak sendirian.

"Kau gila." Balas Itachi singkat, namun mewakili seluruh perasaannya saat ini.

Kyuubi memilih diam. dia sedang mengumpulkan keberanian, sekaligus kata-kata untuk mengatakan sesuatu. Dia tidak tahu apa yang akan Itachi katakan setelah mendengar ini, tapi keriput sialan itu harus tahu…

"Aku tidak akan membiarkan sejarah menyedihkan itu terulang lagi."

"Aku tahu. Kau sudah katakan itu berulang kali." Gumam Itachi membalas ucapan yang seharusnya tak perlu ditanggapi itu.

Kesunyian kembali menyelimuti selama beberapa saat sampai akhirnya Kyuubi melepaskan pelukan Itachi. Mendudukkan diri tepat di samping Itachi, Kyuu menatap lekat mata yang dulu pernah hanya tertuju padanya itu.

Kyuubi mengambil nafas dalam, lalu bibirnya mulai bergerak. "Aku… ingin mengatakan sesuatu padamu. Berjanjilah untuk mendengarkan sampai selesai…"

.

.

Kediaman Uzumaki

"Jii-chan.. mana Naruto?" tanya Kurama dengan mata yang masih merah. Ia baru saja bangun tidur dan di rumahnya ada banyak sekali orang yang datang membawa bunga.

Tapi kenapa wajah mereka murung?

Kenapa beberapa malah menangis?

"Baa-chan…" merasa diabaikan, tangan kecil Kurama menarik-narik rok panjang Baa-chan kesayangannya. "Kenapa Baa-chan menangis?"

Kali ini, sang Jii-chan yang sedari tadi memegang tangan Baa-chan mengacak lembut rambut Kurama. Bibirnya tersenyum, seolah mencoba mengatakan sesuatu, namun tak sepatah katapun keluar.

Kushina kini malah menenggelamkan wajahnya ke dada Minato, tubuhnya bergetar hebat, Kurama mendengar ia terisak beberapa kali.

Kenapa tangisan Baa-chan bertambah keras?

"Kurama.. masuk ya…" gumam Iruka yang tiba-tiba muncul. Digendongnya Kurama, lalu mulai berjalan menjauhi pasangan suami-istri itu.

"Iruuukaa.. turunkan aku!" rengek si bocah dengan nada naik. Kenapa dia tidak boleh dekat-dekat Jii-chan dan Baa-channya?

"Naruto belum pulang! Dia bilang mau pulang! Ada pesta di rumah tapi Naruto belum pulang! Aku mau Naruto pulang!"

Bentaknya dengan kalimat khas anak-anak. Tak sedikitpun terselip kesedihan di sana, padahal semalam dia meraung menanyakan pamannya yang belum kembali itu.

"Kurama.. tidak ada pesta…" Iruka mencoba menenangkan bocah berambut orange, tangannya mengelus lembut puncak kepala si Uzumaki muda.

"Ada! Alarm handphone Mama ketinggalan, bunyi! Lagu kesukaanku! Mama bilang kalau bunyi, itu tandanya hari ulang tahunku! Orang-orang datang membawa bunga untuk hadiah aku. Kenapa Naruto tidak datang!?"

Iruka membatu mendengar kalimat panjang itu, matanya yang sedari tadi berkaca-kaca tak mampu lagi membendung air mata.

Satu tetes…

Dua tetes…

Dan Iruka hanya bisa memeluk Kurama erat.

"Maaf… Selamat Ulang Tahun…" iruka sadar, ini kalimat terbodoh yang dia ucapkan di saat seperti ini. Tapi hari ini adalah hari ulang tahun Kurama, namun… hari ini juga merupakan hari pemakaman tuan muda kesayangannya, paman dari bocah yang dipeluknya saat ini.

Sementara itu, tangis Kushina kembali pecah. Ini terlalu kejam untuk Kurama –tidak! Ini terlalu kejam untuk dirinya sendiri.

Kehilangan putra bungsunya, melihat cucu-nya yang tidak tahu apa-apa menghadapi situasi ini di hari ulang tahunnya.

"Iruukaaa…"

Kurama kembali merengek. Ia tidak tahu kenapa, tapi matanya muai terasa panas.

Apa ini?

Sepertinya Kurama mengingat sesuatu…

Kenapa dia ingin menangis?

Kenapa matanya terasa sakit?

Kenapa seperti ada sesuatu yang menekan dadanya kuat-kuat?

"Dimana.. Naruto?" bisiknya lirih tanpa sadar. Bersamaan dengan itu, meluncur tetesan pertama air matanya hari ini.

"Iruka, kapan Naruto pulang?" tanyanya sekali lagi karena pria berkuncir yang menggendongnya tak juga menjawab.

"Iruukaaa…"

Iruka yang tak mampu menanggapi, malah terus berjalan menjauhi ruangan yang dipenuhi orang-orang yang datang untuk pesta ulang tahun Kurama.

Ini pesta ulang tahun untuknya, kenapa Iruka menyeretnya menjauh dari keramaian?

Tunggu!

Kenapa Kakashi malah mengalungkan rangkaian bunga-bunga kecil berwarna putih ke foto besar Naruto yang diletakkan di atas peti kayu coklat yang tertutup rapat?

Bukannya Kurama yang berulang tahun?

Kenapa foto Naruto?

Ini.. pasti ada yang salah!

"Turuuunkaan akuuuu." Rengek Kurama terdengar dari kejauhan. Namun Iruka sama sekali tidak menggubrisnya. Ia berjalan semakin jauh dan semakin jauh hingga akhirnya menaiki tangga menuju laintai dua.

"Minato…" gumam Kushina saat dirinya mulai kembali tenang. Tanpa sedikitpun memandang sang suami, bibirnya kembali bergerak. "Bukankah ini terlalu sadis…? Mempermainkan hidup seseorang…"

Minato mengeratkan pelukan di pinggang sang istri. Jauh di lubuk hatinya, ia menyalahkan dirinya atas kejadian ini. Namun ia juga mengutuk takdir yang seolah-olah mempermainkan keluarganya.

Kenapa kedua putranya harus terjatuh di lubang yang sama?

Percuma.

Mengutuk takdir tidak akan bisa membawa Naruto kembali. Menyalahkan dirinya sendiri juga malah semakin membuat hatinya terasa sakit. Tenggelam dalam kesedihan pun tidak akan ada gunanya.

Tapi… menangis sebentar tidak apa-apa kan?

Berdoa untuk kebahagiaan Naruto atas pilihannya juga boleh kan?

Harusnya, tidak ada yang melarang. Ya.. memang tidak ada. Minato tidak akan pernah bisa lagi melarang Naruto untuk berhubungan dengan Sasuke. Minato tidak lagi bisa.

Minato menatap sekeliling. Orang-orang yang datang menemuinya, juga Kushina untuk mengucapkan bela sungkawa. Sebagian dari mereka datang hanya demi keperluan bisnis, namun tak sedikit yang menemui Minato dengan wajah muram, bahkan sesekali meneteskan air mata.

"Paman, bibi.. maafkan aku…" gumam Neji yang menemui Minato dan Kushina saat itu. Dia datang bersama Hinata yang sedari tadi sesenggukan. Bagaimanapun juga Naruto dan Sasuke sudah seperti keluarganya sendiri.

Minato hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Dia sepenuhnya sadar, pemuda Hyuuga di hadapannya adalah salah satu tersangka atas kejadian kali ini. Namun dia juga merupakan sahabat putranya. Pasti… dia juga merasa kehilangan. Sama seperti Minato.

Sementara Kushina tersenyum getir. Tangan kanannya terulur menyentuh pipi Neji, kemudian bibirnya mulai bergerak. "Terima kasih sudah menjadi teman baik untuk Naruto…"

Neji hanya bisa menggigit bibirnya, kemudian menunduk meluapkan air mata yang telah gagal dia bendung.

Adegan itu seolah terus terulang setiap kali ada orang yang berbicara dengan mereka. 'Maaf…' juga 'Terima kasih' seolah menjadi mantra ampuh yang menyamarkan rasa kehilangan.

Bohong… Semua orang tahu, semua orang menyadari betapa kehilangannya mereka.

Begitu seterusnya selama berjam-jam. Sampai akhirnya orang yang berdiri di depan Kushina adalah seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini.

"Kaa-san."

"Putraku, Kyuubi..." gumam Kushina tersenyum. Senyumnya terlihat sangat tulus, namun air matanya entah mengapa tak berhenti berlinang. Tangannya terlepas dari lengan Minato yang sedari tadi ia cengkram. Tubuh berbalut stelan serba hitam itu langsung menghamburkan dirinya ke pelukan si sulung.

"Kaa-san…" bisik Kyuu hampir tanpa suara. Pita suaranya seolah tercekat saat matanya menangkap foto sang adik yang dikalungi rangkaian bunga berwarna putih. Ditambah Kaa-san yang kini menangis di dadanya…

Shion yang sedari tadi diam tiba-tiba saja mendapat tepukan di pundaknya, membuatnya tersadar akan matanya yang mulai basah.

"Maaf ya, Shion… kau harus terjebak dalam keluarga yang bobrok ini…" ucap Minato tanpa hati membuat Shion reflek memeluk mertuanya itu. Bahkan pria yang selalu membanggakan keluarganya itu mengatakan sesuatu yang buruk.

"Tou-san tidak boleh berkata seperti itu."

Minato hanya mengangguk dan tertawa lirih, menertawakan dirinya sendiri.

Lima menit Shion dan Minato terhanyut dalam lamunannya masing-masing sampai akhirnya Shion memutuskan untuk melepaskan pelukannya. Ia menatap azure sang mertua, lalu dengan nada yang mantap Shion berkata, "Tou-san, keluarga ini adalah yang terhebat yang pernah kutemui. Aku sangat bahagia menjadi bagian darinya…"

Shion mendapatkan sebuah senyum dan sentuhan lembut di puncak kepalanya sebagai balasan.

Benarkah?

Benarkah keluarga yang gagal dipimpin Minato ini adalah keluarga yang terbaik?

"Temanilah Kurama. Iruka pasti kewalahan menghadapinya…" gumam Minato setelahnya. Shion mengangguk sekali, lalu memberi isyarat kepada Kyuubi yang masih bersama ibu mertuanya.

Kyuu menutup matanya perlahan, lalu membukanya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Shion pun meninggalkan ruangan dengan helaan nafas berat. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan orang yang paling sulit dihadapi, putranya sendiri. Apa yang harus Shion katakan kepada bocah yang genap berusia tiga tahun itu? Menjelaskan perihal kepergian pamannya bukanlah perkara mudah.

Apa yang harus Shion lakukan?

Shion menghela nafas berat setibanya ia di depan pintu kamar. Dia bisa mendengar rengekan Kurama, juga isakannya. Shion lalu mengikat rambutnya tinggi, sedikit berantakan. Setelahnya, jemarinya membuka perlahan handle pintu kamar itu.

"Mamaaaa!" teriak bocah kesayangannya saat Shion masuk. Tak ada nada manja, tak ada tawa saat Kurama berlari memeluknya. Bocah itu langsung meraung begitu ia menubruk kaki Shion. Berkali-kali ia menanyakan keberadaan Naruo, kenapa dia tidak datang di hari ulang tahunnya.

Wanita itu berjongkok, lalu menggendong anaknya. Pandangannya lalu tertuju kepada sang kepala pelayan yang kini berdiri di samping mereka.

"Ituka-san, sebaiknya beristirahat dulu. Aku akan mengurus Kurama."

Kali ini, Iruka hanya mengangguk, lalu langsung undur diri meninggalkan ruangan. Padahal biasanya, dia akan ngotot meminta Shion yang beristirahat terlebih dahulu. Sekali-sekali, mungkin tidak apa-apa bersikap egois… mungkin begitu yang dipikirkan Iruka.

Shion membawa putranya ke kasur, mendudukkannya, lalu mengusap air mata dan ingus di wajah Kurama dengan sapu tangan.

"Mamaaa…" Kurama kembali merengek. Sedangkan Shion masih asyik dengan sapu tangan di wajah putranya.

"Dimana Naruto…" tanyanya lebih tenang. Sesekali bocah manis itu masih tersengal, namun ia tak lagi meraung. Kedatangan Shion nampaknya dapat sedikit menytabilkan emosinya.

Usai mengusap wajah Kurama dengan sapu tangan, Shion mendudukkan dirinya di samping Kurama. Ia lalu menjulurkan tangannya mengambil gelas Kristal berisi air putih di meja kecil, menyodorkannya kepada sang putra.

Kurama memegangnya dengan kedua tanga, lalu menariknya mendekati bibir, Shion membantunya. Setelah menghabiskan beberapa teguk, ia menjauhkan gelas itu. sang ibu tersenyum, lalu mengembalikan gelas ke tempat semula.

"Mammaaa…"

Kurama mendapati telapak Mama-nya menyentuh puncak kepala. Ia mendongak dengan wajah cemberut.

"Apa yang Iruka-san katakan padamu?" tanya Shion dengan nada yang sangat berhati-hati.

"Iruka bilang Naruto sudah pulang. Tapi dia nangis."

Sesekali bocah itu mengusap hidungnya, kemudian menarik-narik rok sang Mama.

"Dengar, Iruka-san menangis karena Naruto pulang ke tempat yang jauh…"

Kurama memiringkan kepalanya, bingung. Namun entah mengapa matanya kembali berair.

Naruto di tempat yang jauh… Iru artinya dia tidak akan bisa bertemu dengan pamannya itu.

"Kenapa jaauhh…" suaranya mulai bergetar. Shion pun tak mau repot-repot menyeka air mata bocah itu.

"Aku mau kangen, tapi jauh…"

Shion tersenyum getir mendengar kalimat rancu itu. Kurama pasti mau bilang kalau dirinya akan merindukan sang paman yang kini jauh.

"Naruto pulang ke Surga." Lengan langsat Shion menarik Kurama, mendudukkannya di pangkuan. Ia menatap dalam manic biru di hadapannya. Ia tersenyum lalu mencium puncak kepala putranya.

"Kenapa jauh? Dimana Surga? Mau kesana, Mama…"

Shion menggeleng pelan. Ia mengusap kepala putranya, lalu mulai bercerita tentang Surga. Tentang tempat yang berada di negri yang jauh yang dikelilingi samudra luas berair jernih. Tempat dimana matahari selalu bersinar terang dan udara selalu terasa sejuk dan segar. Tempat dimana semua hewan menjadi teman. Tempat yang penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, sangat menyenangkan.

Tempat Naruto berada saat ini.

Tak sekalipun Shion menyebut bahwa adik iparnya sudah tiada. Bukannya dia berbohong. Hanya saja, dia merasa bahwa itu semua terlalu rumit untuk Kurama. Shion menjamin putranya akan tahu yang sebenarnya, tapi tidak saat ini…

"Baa-chan juga menangis karena jauh?"

Shion mengangguk, lalu tersenyum. Putranya malah kembali menangis keras. Dia merasa tidak akan bisa menahan rasa kangennya kepada sang paman. Tidak apa-apa kan menangis? Tohh Baa-chan dan Iruka juga menangis. Mama juga sempat menangis..

"Kenapa harus jauh…?"

Yang ini Shion tidak bisa jawab. Bukan apa-apa, hanya saja dia sudah kehabisan kata-kata. Shion tak sanggup lagi mengarang lebih banyak.

"Maammaaaaa!"

"Maaf…" bisik Shion memeluk putranya.

Saat itulah Shion merasakan belaian tangan di puncak kepalanya. Shion mendongak hanya untuk mendapati ruby suaminya yang terlihat lebih cerah dari yang tadi. Dia tahu, Kyuubi sudah baik-baik saja.

"Biar aku…" gumamnya lirih. Sang istri mengangguk, lalu menyerahkan putranya kepada Kyuubi.

Kurama menatap Papa-nya sekilas, lalu kembali menangis. "Paappaaaaa!"

Kyuubi menepuk-nepuk ringan kepala putranya sambil tertawa renyah.

"Kenapa dipukul?" bentak Kurama kesal. Dia sedang menangis membayangkan betapa sulitnya untuk bertemu Naruto, tapi Papa-nya malah memukulnya.

"Papa tidak memukul Kurama. Ini namanya membagi kekuatan."

Kali ini kurama mengeryitkan dahinya. Beberapa saat mereka terdiam sampai akhirnya Kyuu kembali bicara.

"Hmm.. Kurama adalah seorang pria kan?"

Kurama mengangguk mantap. Dia ingat papanya pernah bilang bahwa pria adalah dia yang melindungi keluarganya, juga orang-orang yang dicintainya, termasuk istri dan anak-anaknya. Sama seperti Papa-nya yang hebat. Kurama kelak akan menjadi seorang pria yang keren.

"Pria yang hebat?"

Kurama kembali mengangguk.

"Seorang pria yang hebat tidak akan menangis keras-keras…"

Melihat senyum di wajah Papa, kurama mengeryitkan dahi. Bukannya kemarin pria yang kini memangkunya juga menangis?

"Tidak boleh nangis? Papa kemarin menangis!"

Kyuubi tertawa canggung ketika telunjuk kecil putranya mengarah tepat ke dirinya, Shion yang sedari tadi duduk di samping mereka terkikik menahan tawa.

"Pa –papa tidak bilang begitu!" suara Kyuubi naik, wajahnya memerah. Ahh… sudah lama sekali sejak Shion melihat Kyuubi gugup. Kalau tidak salah, saat itu adalah ketika Kyuu melamarnya.

"Papa bilang, tidak boleh keras-keras…" Kyuu menarik nafas dalam, lalu kembali memasang muka serius. "Apa waktu itu Papa menangis keras?"

Kurama menggeleng, lalu menggumam tidak jelas, membuat Kyuu kembali mendapatkan harga dirinya di hadapan si bocah.

"Menangis keras itu buang-buang tenaga. Pria sejati menggunakan tenaganya untuk bekerja dan melindungi hal-hal yang berharga. Bukan untuk menangis. Mengerti?"

Kyuu kembali menarik nafas dalam. Sungguh ini hal yang sulit dipahami, bahkan untuk seorang jenius seperti dirinya. "Seperti Jii-chan… dia tidak membuang tenaganya untuk menangis…"

Jauh di lubuk hatinya, Kyuubi sangat menghormati pria tegas itu. jujur, dia adalah sosok ideal seorang pria, seorang pahlawan bagi Kyuu. Sayang sekali, Kyuu tidak akan bisa menjadi sepertinya. Bisa dibilang, Kyuu tidak memiliki hati seperti itu.

Sedangkan Kurama yang menganggap dirinya mengerti apa itu pria hebat mulai menyeka air matanya. Dia bertekad untuk mulai menyimpan tenaganya.

"Papa!"

"Hmm?" gumam Kyuu yang baru saja lepas dari lamunannya. Tangannya kjembali menepuk-nepuk kepala putranya.

"Aku akan menyimpan tenaga untuk pergi ke Surga! Aku akan bertemu Naruto!"

'degh'

Baik dada Shion maupun Kyuubi terasa sangat nyeri. Namun yang bisa mereka lakukan hanyalah tersenyum.

Bocah itu belum tahu dimana 'Surga' dan dia sudah sesumbar akan pergi. Bukannya mereka tidak bisa bertemu lagi dengan Naruto, suatu saat, mereka pasti akan bertemu. Tapi, 'suatu saat' itu nampaknya masih lama. Kalau boleh, masih sangat sangat lama…

Kyuubi tidak bisa membayangkan raut macam apa yang akan Kurama buat kelak ketika ia sudah dewasa dan mengetahui apa itu Surga. Hanya satu hal yang bisa Kyuu pastikan, Kurama pasti akan marah padanya. Tidak apa-apa jika putranya itu marah, memukulnya, atau apapun.. asal jangan membenci dan mengacuhkannya.

"Papa mau kuajak?"

Kyuu kembali tersadar dari lamunannya. Dia melirik Shion, lalu kembali menatap lekat putra semata wayangnya.

"Boleh…"

"Oke! Besok kalau aku sudah besar, kita akan ke Surga menemui Naruto!" ucapnya penuh semangat.

Kyuubi reflek memeluknya erat, lalu menarik Shion dengan sebelah lengannya, memeluknya juga. Jantungnya berdetak cepat dan matanya mulai terasa kembali panas.

"Kita akan ke Surga… menemui Naruto."

.

.

Tbc

.

.

Akhirnya chap ini kelar…

Mohon maaf sangat atas keterlambatannya yang teramat sangat sangat ini. tapi Kyuu senang bisa melanjutkan ini.

Kyuu mengucapkan banyak terima kasih atas review dan saran dan perhatian dan waktu berharga yang dipakai readers-sama untuk membaca fict abal Kyuu.

Belakangan Kyuu menemui banyak sekali deadline.

Project bersama teman-teman yang aduh bikin pusing banget, plus kakak Kyuu yang minta Kyuu jadi asistennya (si TonTon, yang dulu sempet bantuin Kyuu ngetik beberapa chap di Night Kingdom akibat keadaan jari Kyuu saat itu).

Tapi dia kejam banget ngasih deadline-nya. Uhuhuh… semoga kelar deh. aamiin (-/l

|\-)

Kyuu mohon maaf banget gak sempat balas review, kalau sempat.. kalau tuhan mengizinkan, Kyuu akan balas di chap depan. Maaf banget.

Kyuu juga mengucapkan terima kasih atas review di chapter sampah Sorry, I'm GAY. Yang beberapa waktu lalu Kyuu update.

Seriousely, Kyuu merasa kurang kurang dan sangat kurang (ajar) untuk chap itu. kyuu pikir akan mendapat flame, tapi ternyata readers-sama member banyak masukan dan semangat.

Kyuu sangat senang.

Sekali lagi maaf dan terima kasih.

.

.

Akhir kata,

Review Please