Hotaru menatap rumahnya yang sunyi. Pintu dan jendela masih tertutup rapat. Dia meletakkan pot yang digunakannya untuk menyiram bunga di teras rumah. Setelah mencuci tangan, Hotaru membuka pintu rumahnya.

"Shion-chan sudah bangun belum ya?" gumam Hotaru

Ruangan masih tampak berantakan. Barang-barang berceceran dimana-mana.

'Tck, anak itu pasti masih tidur!'

Hotaru melangkah menuju ke kamar Shion. Putrinya itu masih meringkuk di balik selimut walaupun fajar telah jauh merangkak pergi. Shion tidur dengan nyenyak sampai tidak menyadari kehadiran Hotaru.

"Ya ampun, Shion-chan! Bangun! Mau jadi apa kau ini? Jam segini masih tidur!" Hotaru menggoyangkan tubuh Shion

Shion membuka kelopak matanya malas. Suara lantang Hotaru telah mengganggu tidurnya.

"Bangun Shion! Hari sudah siang! Mau jadi apa kau ini?" ulang Hotaru lagi.

"Ck, Kaa-san berisik sekali sih!" kata Shion kesal.

"Bagaimana Kaa-san tidak berisik! Kau ini perempuan, Shion! Tidak baik kalau tidur sampai siang hari!"

Hotaru berjalan menuju ke arah jendela kamar. Daun jendela yang masih terkunci, ditolaknya perlahan. Cahaya matahari yang terik mulai menerjang masuk. Angin yang datang terasa hangat sekaligus panas. Shion mengerutkan dahi. Matanya terasa silau dengan cahaya itu.

"Kau ini tidak pernah menyenangkan hati Kaa-san. Pantas saja tidak ada laki-laki yang mau denganmu! Pemalas!" omel Hotaru lagi.

Shion mendecih. Dia bangkit dan mulai menyusun bantal-bantal yang berserakan diatas kasur. Selimut yang masih menutupi tubuhnya, ditarik dan dilipat.

"Kenapa sih Kaa-san tidak habis-habisnya mengatakan hal yang sama! Dulu, waktu ada orang datang melamarku, kenapa Kaa-san tidak menerimanya?"

"Kau mau mempunyai suami nelayan seperti Tou-sanmu itu? Penghasilan tidak menentu, hidup tidak terurus, dan dimadu. Kau mau seperti itu?" Hotaru seolah-olah melampiaskan kemarahannya.

Shion hanya terdiam. Dia turun dari kasur.

"Penghasilan tidak menentu pun, bisa juga membelikan tanah untuk Kaa-san. Sejak Tou-san meninggal, pandai-pandailah Kaa-san menuntut hak Kaa-san dari istri kedua Tou-san!" Shion menjawab tanpa menghiraukan Hotaru yang sedang marah.

"Kau pikir Kaa-san ini bodoh? Kaa-san isteri pertama tahu. Semua harta itu sudah sepantasnya milik Kaa-san!".

"Tapi Tou-san hanya memberikan setengah hartanya saja untuk Kaa-san. Yang selebihnya itu, semua milik istri keduanya Tousan." Kata Shion sambil duduk di tepi ranjang.

"Kenapa kau malah berpihak pada istri kedua Tousanmu itu, huh?"

Shion tersenyum. "Tidak kok Kaa-san! Aku hanya heran saja dengan harta-harta itu. Huh! Aku benci sekali dengan perempuan jalang yang berani-beraninya merebut Tousanku! Apalagi putrinya itu! Huh! Rasanya aku ingin menenggelamkannya dilaut. Biar mati seperti Tousan!"

Hotaru terdiam. Teringat mendiang suaminya yang telah lama meninggal dunia akibat mati lemas saat menangkap ikan dilaut.

Tak lama setelah Inoichi meninggal dunia, madunya telah diusir keluar dari desa itu. Hasil pernikahan Inoichi dan istri keduanya, anak pertama pasangan itu selamat dilahirkan dan diberi nama Ino. Dan kini, istri kedua Inoichi itu sudah menghilang. Sebelum pergi, dia sempat menyerahkan Ino kepada Kurenai.

Kurenai yang saat itu masih gadis, langsung mengambil keputusan untuk menikah. Siapa yang sangka bahwa Asuma, adik Inoichi sendiri sudi memperistrikan wanita itu. Alasannya Ino adalah ahli keluarga mereka juga.

"Kenapa Kaa-san diam?"

Hotaru segera menggeleng.

"Kapan kau akan mulai bekerja?" tanya Hotaru mencoba mengalihkan topik..

"Ck, Malas!" Shion mendecih

"Shion, Kaa-san ini semakin hari, semakin tua. Sudah tidak sanggup lagi mencari uang untuk kita berdua."

"Ck, satu hari nanti, pasti ada orang kaya yang akan datang melamarku. Kaa-san tidak usah khawatir." Shion tersenyum dengan angan-angannya.

"Sudahlah, Shion! Jangan terlalu banyak berangan-angan. Kau itu SMA saja tidak lulus. Tidak akan ada orang kaya yang mau memandangmu kalau kau sendiri tidak berusaha menonjolkan dirimu itu." Sindir Hotaru.

Senyuman Shion langsung lenyap mendengar ucapan ibunya.

"Kau sadar sedikit, Shion. Di desa kita ini, sudah tidak ada lelaki yang pantas dijadikan suami. Dulu masih ada Neji, tapi kau yang tidak pandai menggunakan peluang. Alih-alih, malah Ino yang dipandangnya."

Mendengar nama Ino langsung membuat emosi Shion naik ke ubun-ubun (?)

"Kaa-san, Neji itu pasti sudah dipelet oleh Ino. Karena itu, Neji tidak bisa membedakan kalau aku ini lebih cantik daripada Ino!" ungkap Shion geram.

Hotaru tersenyum. Hati Shion sekeras hatinya. Sangat pantang jika barang miliknya dirampas oleh orang lain.

"Tapi tidak apa-apa! Neji kan tidak jadi menikah dengan Ino. Aku masih ada peluang..." sambung Shion penuh harap.

X.x.X.x.X.x.X

Balkon yang hanya diterangi cahanya lampu antik yang samar-samar itu menampakkan keindahan ibukota Tokyo pada malam hari. Itachi mengeluh berat, dia baru sadar sudah hampir seminggu lamanya dia berada di apartemen Sasori. Namun tidak ada perubahan apa-apa yang dirasakannya. Hidupnya masih sama. Dikelilingi masalah yang belum selesai.

"Kasihan Ino! Kau tidak boleh menyiksanya seperti ini, Itachi!" kata Sasori sambil menghampiri Itachi yang sejak tadi hanya menopang dagu dan menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa. "Kau tidak bisa membiarkan hidupmu tak terurus seperti ini. Kalau terus-terusan begini, satu masalahpun tidak akan selesai."

"Entahlah, Sasori. Sebenarnya aku juga tidak mau seperti ini. Tapi...entahlah."

Sambil menyandar di jeruji balkon, Sasori memandang wajah Itachi yang masih kusam. Sudah berungkali ia menasehati Itachi supaya pulang kerumahnya. Tetapi lelaki itu sangat keras kepala dan memilih tetap tinggal disini.

"Kalau aku pikir-pikir, rasanya aku merasa bersalah sudah membentak Kaa-san seperti itu. Padahal aku tahu Kaa-san tidak salah. Dia hanya ingin aku melupakan Konan."

"Lalu... apa yang membuatmu tidak puas?"

"Yang membuat aku tidak puas itu, kalau pun Kaa-san ingin memilih isteri semata-mata untuk aku melupakan Konan, kenapa Kaa-san harus memilih Ino?"

"Memangnya kenapa? Tidak boleh?"

"Sudah tidak apa perempuan lainkah sampai-sampai harus memilih Ino?"

Sasori menghela napasnya perlahan. Menurutnya alasan Itachi itu sangat tidak masuk akal.

"Aku tidak menyukainya!" keluh Itachi tiba-tiba

"Kenapa kau tidak menyukai Ino? Sudah berkali-kali aku tanya, tapi kau tidak pernah menjawabnya."

Itachi membalikkan badannya. Dari menikmati pemandangan malam yang hening, kakinya melangkah menuju keruang tamu. Otaknya mencoba mengingat pertanyaan yang ditanyakan oleh Sasori tadi.

"Bagaimana kau bisa mengenal Ino?" Sasori bertanya lagi.

"Dia anaknya mantan pelayan dirumahku dulu."

"Oh... jadi begitu! Mungkin Ino sudah menjadi jodohmu, Itachi. Terima sajalah. Apa susahnya? Lama-lama kau tolak pun, kenyataannya masih sama." Terang Sasori sambil duduk disebelah Itachi

"Menurutmu, apakah aku akan bahagia menjalani hidup dengan Ino?"

Entah mengapa secara tiba-tiba Itachi menanyakan hal itu.

"Mungkin. Kalau kau pandai mencari arti kebahagiaan itu sendiri, kau pasti akan bahagia."

Mata Itachi mengerjap tak mengerti. Dahinya berkerut mencoba menganalisa kata-kata Sasori

"Hn. Apa kau bahagia hidup dengan Sakura?"

"Tentu saja."

"Kau dan Sakura saling mencintai. Sedangkan aku? Apa yang bisa aku harapkan dari Ino? Cinta? Aku tak akan pernah jatuh cinta padanya. Itu yang kau katakan akan bahagia?"

"Itachi, cinta bukan faktor utama untuk membuat hidup seseorang bahagia. Cinta hanyalah salah satu faktornya saja."

Hening mulai menyusup di antara mereka.

"Dulu aku suruh kau pacaran dengan perempuan baik-baik, tapi kau malah memilih Konan. Sekarang saat kau dikecewakan Konan, malah Ino yang tidak bersalah kau jadikan mangsa keadaan."

"Kapan aku menjadikan Ino sebagai mangsa ku?"

"Kalau kau sudah menyiksa istri mu seperti itu, bukankah itu mangsa namanya? Kau menghukum Ino karena kau marah pada Konan, kan?"

Itachi terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk membalas kata-kata Sasori itu.

"Sebaiknya...kau pulang ke rumahmu. Aku tidak bermaksud mengusir. Aku hanya kasihan pada istrimu yang tidak kau pedulikan. Rugi sekali menjadi lelaki seperti mu! Tidak bisa menghargai orang!"

Mendengar kata-kata itu, Itachi mendesah keras. Setiap perkataan Sasori terus terngiang-ngiang di kepalanya. Bagai menarik dirinya untuk mengikuti saran dari temannya itu.

"Kenali dulu sifat dan pribadi Ino. Setelah itu terserah padamu akan melanjutkannya atau tidak. Kalau kau tidak bahagia, kenapa harus dilanjutkan? Bebaskan dia!"

'Bebaskan dia?' Itachi tampak berpikir.

X.x.X.x.X.x.X

Ino berdiam diri di kamarnya dan Itachi. Memperhatikan suasana kamar yang agak suram dan sepi. Itu membuatnya merasa bosan. Dia baru saja merapikan kamar ini. Berbagai barang milik Itachi telah disusun rapi. Namun, hanya album-album laki-laki itu yang menarik perhatiannya. Ino membukanya beberapa kali. Kemudian ia tersenyum sendiri ketika melihat foto Itachi bersama teman-temannya. Jika mengingat Itachi, Ino menjadi gelisah. Dia tahu dia tidak seharusnya risau dengan kepergian laki-laki itu. Tapi...entahlah! Jika sedang sendirian seperti ini, dia selalu teringat Itachi.

Entah kemana laki-laki itu pergi. Kalaupun ia marah pada Ino, kenapa harus mengaitkan masalah mereka dengan keluarganya? Kasihan Kaa-san! Pasti wanita itu sedang merindukan anaknya saat ini.

Ino terkejut ketika mendengar suara riuh rendah orang-orang yang sedang berbicara di ruang tamu pagi beranjak keluar dari kamar dan menuju ke bawah.

"Ino-chan! Ayo sini. Kaa-san akan memperkenalkanmu pada seseorang."

Matanya terpaku pada beberapa pasang mata yang sedang menatapnya. Ada seorang wanita yang agak tua dan seorang laki-laki tampan berkulit tan di sisinya.

"Kushina-nee, ini adalah menantuku. Istri Itachi. Ino namanya... Ino ini anaknya Kurenai," ujar Mikoto sambil menarik tangan Ino dengan lembut.

"Ino, kenalkan ini Nee-san nya Kaa-san. Kushina Baa-san." Kata Mikoto lagi

Ino tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya dan mencium tangan itu dengan penuh rasa hormat.

"Ini Ino?" Kushina tampak tidak percaya.

Ino mengangguk. "Ne Kushina-san."

"Panggil baa-san saja, Ino-chan." Kata Kushina sambil tersenyum.

Ino membalas pandangan Kushina yang tidak berhenti memandangnya sejak tadi.

"Perkenalkan, ini putra kesayangan Kushina Baa-san. Namanya Naruto," terang Mikoto lagi

Ino menoleh dan mendapati lelaki berkulit tan itu sedang tersenyum kearahnya.

"Hai, aku Naruto!" laki-laki itu berkata ramah.

"Mereka baru saja pulang dari Jerman, Ino-chan. Sebelumnya mereka tinggal disana."

Ino terdiam mendengarnya.

"Ino-chan, tolong buatkan minuman untuk Kushina Baa-san ya. Sebentar lagi Kaa-san akan menyiapkan makan siang." Pinta Mikoto lembut.

Tak lama kemudian, Naruto meminta izin untuk duduk di luar. Tidak mau menganggu perbincangan kedua kakak-beradik yang sudah lama terpisah itu.

Kushina terdiam sejenak. Tiba-tiba ia kehilangan kata untuk bersuara. Wajah Ino yang baru ditatapnya tadi bagai mengingatkannya dengan memori lamanya. Mencengkam ke dasar hati sampai Kushina merasa masa lalunya baru saja terjadi semalam.

"Kushina-nee!" tegur Mikoto perlahan

Kushina tersentak dan segera memalingkan wajahnya kearah Mikoto.

"Apa yang nee-san pikirkan?" tanya Mikoto seolah mengerti dengan sikap Kushina

"Ah, tidak. Hanya saja rasanya aku tidak percaya Ino sudah sebesar ini. Sudah menjadi wanita dewasa." Ujar Kushina dengan suara lirih, "Ah, Kurenai juga, bagaimana kabarnya? Baik-baik sajakah?"

"Kurenai baik-baik saja. Seminggu lalu aku datang ke rumahnya. Hanya saja..."

Tiba-tiba Mikoto terdiam sejenak. Mengingat bagaimana Kurenai mengusir Ino seminggu yang lalu. Rasanya Mikoto tidak sanggup menceritakan itu pada Kushina. Dan ia juga tidak sanggup menceritakan bagaimana Ino dan Itachi menjadi sepasang suami-istri.

"Hanya saja apa, Mikoto?"

"Ah, daijoubu. Bukan apa-apa." Jawab Mikoto

Kushina menghela napas berat. "Kalau aku ingin berjumpa dengan Kurenai, menurutmu apakah Kurenai akan menerimaku sebagai tamunya?"

"Aku tahu yang aku lakukan selama ini salah. Aku terlalu tenggelam dengan hiburan dunia. Tapi sekarang aku sudah tidak bekerja seperti itu lagi. Kau mau memaafkanku, Mikoto?".

Mikoto tidak langsung menjawab, dia tampak berfikir sejenak.

'Maaf?'

Entahlah, dia tidak tahu apakah dia sudah memaafkan Kushina atau belum. Kalau dipikir-pikir, kesalahan yang dilakukan oleh Kushina kepadanya dan Kurenai sangatlah besar. Tetapi mereka adalah saudara kandung, kakak beradik. Walau bagaimanapun, mereka tetap mempunyai ikatan darah.

Kushina menyeka air matanya dengan tisu. Sesekali ia memandangang Ino yang sedang menghidangkan minuman diatas meja dengan telaten.

"Eh, Naruto-san kemana?" tanya Ino ketika iris aquamarine nya tidak menangkap sosok Narutp disitu.

"Sepertinya di luar. Tolong kau panggil, Ino-chan. Sebentar lagi kita akan makan siang bersama." Ujar Mikoto

"Ha'i." Ino mengangguk seraya berjalan keluar dan mencari-cari sosok Naruto.

Tak lama kemudian dilihatnya Naruto sedang termenung menatap hamparan bunga-bunga yang cantik yang setiap hari dirawat oleh Ino.

"Naruto-san, Kaa-san menyuruhmu masuk. Sebentar lagi Kaa-san akan menyiapkan makan siang."

Naruto yang sedang termenung sedikit terkejut dengan kehadiran Ino yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Ah, ne. Sebentar lagi aku masuk."

Ino mengangguk dan membalikkan badannya untuk masuk kembali kedalam Mansion Uchiha.

"Ino!" panggil Naruto tiba-tiba.

Ino membalikkan badannya lagi dan berdiri menghadap Naruto

"Bisa kita berbicara sebentar?"

Ino terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berjalan kembali kearah Naruto.

"Sudah berapa lama kau menikah dengan Itachi?"

"Hah? Apa?"

Naruto tersenyum. Mungkin Ino tidak mendengarnya tadi.

"Sudah lama kau menikah dengan Itachi?" Naruto mengulangi pertanyaannya.

Ino terdiam sejenak. "Kurang lebih 4 bulan."

"Wah, masih pengantin baru dong!"

Ino hanya tersenyum.

"Lalu...kalian akan berencana bulan madu kemana?"

"Tidak kemana-mana," jawab Ino singkat. Terlihat jelas Ino sedang menyembunyikan senyum pahit dari Naruto.

"Naruto-san...anak kandungnya Kushina Baa-san?" Ino memberanikan diri untuk bertanya.

"Kenapa? Tidak percaya?"

"A...ano, bukan begitu. Hanya saja... ah, tidak ada!"

Ino cepat-cepat memotong ucapannya sambil menggigit bibir bawahnya. Sedikit menyesal sudah menanyakan itu pada Naruto. Namun, dilihatnya Naruto hanya tersenyum menanggapinya.

"Sebenarnya aku ini hanya anak tirinya Kaa-san. Tousanku orang Jerman, menikah dengan Kaa-san sejak aku masih kecil."

"O-oh begitu. Pantas saja namamu Naruto. Seperti nama orang Jepang pada umumnya."

Naruto tersenyum lagi. Dia mulai merasa nyaman dengan keramahan gadis bersurai blonde itu.

"Hmm...kalau Ino-chan sendiri bagaimana? Keluargamu dimana sekarang?"

"Sebelumnya aku dan keluargaku tinggal di Konoha. Tousan sudah lama meninggal. Aku hanya tinggal berdua dengan Kaa-san. Tapi setelah menikah dengan Itachi, Mikoto-sama memintaku untuk tinggal disini."

Naruto hanya terdiam mendengar penuturan Ino.

"Ngomong-ngomong...sejak tadi aku belum melihat Itachi. Dia kerja hari ini?"

"Err... Itachi? Dia..."

"NARUTO!" Suara yang tiba-tiba menyela ucapan Ino membuat Naruto dan Ino serentak berpaling. Bagai tidak percaya, Itachi sedang tersenyum kearah mereka.

"Oi, Itachi! Kemana saja kau? Aku baru saja menanyakanmu pada istrimu ini..." Naruto berkata dengan ceria saat Itachi menghampirinya.

"Bagaimana kabarmu? Kapan kau tiba di Jepang?" senyuman Itachi semakin melebar

"Semalam. Kaa-san ada didalam. Sedang berbicara dengan Mikoto baa-chan."

"Oh begitu? Ayo masuk!"

Naruto hanya mengangguk.

X.x.X.x.X.x.X.x

"Kaa-san, maafkan aku. Aku tahu aku sudah bersalah pada Kaa-san. Aku janji aku tidak akan mengulanginya lagi."

Perkataan Itachi setelah Naruto dan ibunya pulang kembali terngiang di kepala Ino. Rasanya Ino tidak percaya. Itachi yang seminggu lalu dilihatnya begitu bengis dan garang. Tetapi hari ini, laki-laki itu tampak begitu lembut. Memeluk Kaa-san dan mengecup tangan wanita itu dengan penuh rasa hormat.

'Ah, kenapa aku malah memikirkan laki-laki itu?' batin Ino kesal. 'Tidak. Tidak! Aku sama sekali tidak memikirkan Itachi! Aku hanya tidak percaya dengan semua yang terjadi hari ini.' Batin Ino lagi.

Ino tersentak dari lamunannya saat dia mendengar suara engsel pintu yang dibuka oleh seseorang. Dia menoleh dan mendapati Itachi masuk sambil memandangnya dengan pandangan yang susah diartikan. Ino tidak berani membalas tatapan dingin laki-laki itu.

"Kau tidak menyentuh barang-barangku selama aku pergi kan?" tanya Itachi sambil memandang kearah album fotonya yang tersusun rapi di dalam lemari

Ino menggeleng pelan. Tidak berani berterus-terang bahwa dia memang telah menyentuh bahkan melihat-lihat album foto tersebut.

"Mulai hari ini, aku mau barang-barang kita dipisah. Mengerti?"

'Di pisah?' batin Ino bertanya-tanya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Itachi. 'Apakah Itachi akan menempati kamar ini juga?' Otaknya terus saja bertanya. Dilihatnya Itachi sudah bergerak ke meja kerjanya. Mengambil pelekat berwarna merah dan gunting sebelum menuju kearah kasur King sizenya –dan Ino— Ino memandang tidak mengerti.

"Apa yang kau lakukan, Itachi-san?"

Itachi tidak menjawab dan melanjutkan kegiatannya. Hari ini dia ingin rancangan awalnya selesai. Dia harus memisahkan barang-barang didalam kamar itu.

"Oke, selesai! Mulai sekarang, tempatmu ada disebelah sana. Ini kawasanku! Kau tidak boleh masuk ke kawasanku, mengerti?"

"Kamar mandi bisa kita pakai bersama. Lemari juga, kau ambil yang sebelah kanan dan aku ambil yang sebelah kiri.

Lidah Ino terasa kelu seketika. Matanya memperhatikan kamar mereka yang sudah dipenuhi perekat berwarna merah.

"Untuk apa kau melakukan ini semua, Itachi-san?"

"Jangan banyak tanya! Dengar dan ikuti saja perintahku."

Ino hanya mengangguk kecil.

"Dan satu lagi, hal ini hanya kita berdua saja yang tau. Kaa-san, Tou-san, dan Sai tidak boleh tau. Siapapun yang mengetuk pintu, jangan kau biarkan masuk." Itachi memberi arahan.

Kemudian Itachi melangkahkan kakinya menuju tempat tidurnya. Tubuhnya direbahkan begitu saja. Dia merasa sedikit lega karena rencana awalnya berhasil dilaksanakan.

To Be Continued

Maaf ya lama banget gini updatenya. :( Semoga masih ada yang mau baca dan suka dengan fic ini.

Gimme review, pwease?