"You're My Wife"

Pairing : ItaIno

Rated : T

Genre : Romance-Drama

Summary : "Jangan pikir aku menerimamu, karna aku ingin menolonngmu! Tak pernah terlintas dalam pikiran aku perempuan kotor sepertimu bisa menjadi istriku. Kalau bukan karena Kaa-san, jangan harap aku akan menerimamu!" kata-kata kasar Itachi begitu menusuk hati Ino.

Warning : OOC, Typo(s), Gaje, abal, dll

Don't Like? Don't Read

Ino berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Suasana bising terdengar di segenap penjuru rumah, langsung tidak menarik minatnya. Dia gelisah. Sudah berkali-kali dia mencoba menghubungi Neji. Namun, Ino selalu saja gagal. Ino takut seandainya akan terjadi hal buruk di saat pernikahan mereka yang hampir tiba dua hari lagi.

Para kerabat yang datang untuk mempersiapkan pernikahannya sudah semakin ramai. Malah majikan tempat ibunya –Kurenai- bekerja sebagai pembantu rumah juga turut hadir untuk membantu menyediakan persiapan sebelum pernikahan. Mikoto-sama memang baik. Apa saja keperluan Ino semua di sediakan, walaupun kini ibunya sudah berhenti bekerja.

Setahu Ino, Mikoto-sama mempunyai dua orang anak. Kedua-duanya lelaki. Suami Mikoto-sama sendiri bekerja sebagai arsitek. Ibunya pernah bercerita tentang anak sulung Mikoto-sama yang sering mengurung diri di dalam kamar karena kekasih yang membuatnya kecewa. Tetapi Ino tidak berminat untuk tahu. Dia kini hanya memikirkan Neji. Itu yang lebih penting.

"Bagaimana, Ino? Berhasil kau hubungi Neji?" Tenten, sahabat karibnya Ino muncul dari depan pintu.

Ino tersentak. Ia menggeleng pelan.

"Aish! Kemana sih Neji pergi? Aku gelisah sekali nih." Adu Ino bersama keluhan kecil.

Ibunya, Kurenai pun memandang ke arah mereka. Di hati Kurenai, perasaan gelisah juga ikut dia rasakan.

Ibu mana yang tidak gelisah apabila melihat putri mereka khawatir tak menentu?

"Aku cuma berharap Neji ada di waktu pernikahan kami nanti." Kata-kata Ino terdengar perlahan

"Kau jangan main-main, Ino! Pernikahanmu cuma tinggal dua hari lagi."

"Aku tahu!"

"Lalu? Kau harus mencari Neji hari ini juga. Sekurang-kurangnya kau tahu dimana dia berada." Balas Tenten

Ino menghembuskan nafasnya dengan berat. Tak ada kata-kata yang terucap di bibirnya. Dia takut dan gelisah. Kata-kata Tenten seolah-olah menakuti dirinya.

"Betulkah Neji itu benar-benar ingin menikahimu? Jangan-jangan dia.." ucapan Tenten terhenti

"Jangan-jangan apa?" tanya Ino sambil berdiri

Tenten menghampiri sahabatnya. Jelas sekali wajah Ino sedang gelisah. Wajahnya asik berkerut-kerut sejak tadi. Tenten mulai simpati. Perlahan-lahan tangan sahabatnya itu di genggamnya.

"Dari dulu kan aku pernah mengatakan padamu kalau aku tidak suka kau berpacaran dengan Neji. Kau ingat kan?"

Ino mengangguk perlahan

"Sejak Neji melamarmu, aku sudah curiga kalau dia itu tidak serius. Dia bukannya ingin menikahimu! Dia cuma tidak mau kau sekolah tinggi-tinggi. Dia takut, pendidikanmu lebih bagus daripadanya! Aku rasa Neji itu sengaja mengambil kesempatan, sebab kau terkenal di desa kita ini." Begitu panjang penuturan Tenten. Menggambarkan ketidaksukaannya terhadap sikap Neji.

Ino kembali duduk di kursi. Gelisah dan takut bercampur menjadi satu perasaan yang sukar di gambarkan. Andaian itu cukup melemaskan jiwanya

"Bagaimana kalau tiba-tiba Neji membuat masalah sebelum pernikahan kalian berlangsung? Apa yang akan kau lakukan?" Tenten mulai risau

Dia sebenarnya tida suka mengandaikan masalah seperti itu kepada Ino. Tetapi Tenten sangat marah dengan sikap Neji. Lelaki itu bagai tidak mau tahu dengan pernikahan yang hampir tiba. Hilang dengan tiba-tiba tanpa di ketahui oleh siapapun.

Ino masih diam. 'Betulkah Neji hanya mengambil kesempatan? Aish! Tidak mungkin! Neji selalu mengatakan kalau ia mencintaiku. Dia tidak akan menipuku!' bisik hati kecil Ino.

Tiba-tiba terdengar Tenten mengeluh. Mungkin rasa bersalah karna sudah mengatakan hal yang bukan-bukan. 'Seharusnya aku menenangkan Ino, bukan membuatnya semakin gelisah!'

"Kau tak mencari Neji ke rumahnya?" suara Tenten mulai mengendur

"Sudah."

"Apa kata keluarganya?"

"Keluarganya pun tidak tahu. Yang mereka ingat, Neji ada di rumahku."

"Lalu, bagaimana sekarang?"

Ino duduk membatu di atas kasur. Dia tidak dapat memberi jawaban atas pertanyaan Tenten. Yang di pikirkannya saat ini hanyalah Neji.

"Aku tidak bermaksud apa-apa, Ino. Aku hanya khawatir kalau Neji itu hanya ingin mempermainkanmu!"

"Tidak mungkin. Neji bukan lelaki seperti itu."

"Ino.. kau ini.."

"Sudah berapa kali aku katakan.. jangan tuduh Neji seperti itu! Aku tak suka!" Ino sedikit berteriak. Beberapa pasang mata tertuju kearah mereka.

Tenten kehilangan kata-kata. Ada linangan air yang mulai menggenang di pelupuk matanya secara tiba-tiba. Sampai hati Ino membentaknya hanya karna ingin membela Neji. Padahal hubungan persahabatan mereka lebih lama dari perkenalan Ino dengan Neji.

"Sudahlah. Jangan ganggu aku!" bentak Ino.

Tenten menunduk. Ia melangkah perlahan.

"Kalau begitu, aku pulang dulu ya." Kata Tenten sambil berlalu

"Ten!" panggil Ino.

Langkah Tenten terhenti. Ketika itu pipinya sudah basah dengan air mata. Merasakan persahabatan mereka semakin renggang. Apakah nanti setelah Ino berumah tangga, hubungan mereka akan terhenti begitu saja?

"Aku minta maaf. Aku tidak suka mendengar kau berbicara seperti itu. Tolonglah, jangan memusingkan kepalaku lagi!"

Ino yakin Neji bukan lelaki seperti yang di maksudkan oleh Tenten. Dia begitu mengenali Neji, walaupun usia perkenalan mereka tidaklah lama.

'Aku terlalu mudakah untuk menjadi seorang istri?' batin Ino dalam hati ketika mengingat penolakan ibunya dulu.

Ino akui dia masih muda. Baru saja menginjak usia 20 tahun. Tetapi itu bukan penghalang untuknya memadamkan api cinta terhadap Neji, lelaki pertama yang hadir dalam hidupnya.

Ino masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Tenten yang terpaku di situ. Dia ingin menyendiri. Baginya menenangkan pikiran adalah jalan yang terbaik.

"Selamat siang."

"Selamat siang.." Tenten menuju pintu yang terbuka luas. Sebagai sahabat Ino yang bersama-sama dari kecil, Tenten sudah menganggap rumah Ino sebagai rumah sendiri.

"Oh, Konohamaru! Ada apa?" tanya Tenten ketika melihat seorang bocah lelaki di halaman rumah.

"Apakah Ino-nee ada dalam?"

"Ada, di kamarnya. Kenapa?"

"Neji-nii mengirimkan Ino-nee bungkusan dan surat ini."

"Mana Neji-nii?"

Konohamaru hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu.

"Lalu, kau ambil barang-barang ini dari siapa?"

"Ada orang yang mengantarkan," jawab Konohamaru perlahan

"Siapa?"

"Tidak tau.. aku tak kenal."

"Hmm.. yasudahlah."

Tenten mengamati sepucuk surat di tangannya dan bungkusan itu sebelum masuk kedalam rumah.

"Siapa Ten?" tiba-tiba Ino muncul

Tenten menunjukkan surat dan bungkusan kecil itu kepada Ino.

"Untuk siapa?"

"Untukmu."

"Dari?"

"Neji."

Dengan perasaan yang berdebar, di raihnya surat dan bungkusan itu. Hatinya tidak menentu. Gemetar, khawatir dan gundah mulai bercampur menjadi satu.

Ino,

Memang sulit untukku membuat keputusan ini.

Berhasil mendapatkan cintamu, adalah satu anugrah yang terindah bagiku, dan akan kukenang sampai kapanpun.

Tapi... maafkan aku.

Pernikahan ini tidak dapat di lanjutkan.

Bohong sekali seandainya aku katakan kalau aku sanggup menerimamu apa adanya.

Aku bukan lelaki yang sanggup menerima kelemahan orang lain

Aku menginginkan kesempurnaan, dan aku tidak bisa menerima kenyataan seandainya gadis yang akan kunikahi sebenarnya sudah tidak suci lagi.

Cukuplah sampai disini hubungan kita.

Anggaplah aku menolakmu karna kita masih muda dan labil.

Tidak mampu mengarungi sebuah bahtera pernikahan yang murni itu bersama..

-Neji-

Ino merasa air matanya sudah mengalir dengan deras. Tidak tahu sudah berapa kali ia membaca isi surat yang diterimanya itu. Begitu sakit hatinya, seperti tertusuk belati yang tajam.

'Kenapa kau membuatku seperti ini Neji? Apa salah aku sampai kau tega memfitnahku begitu? Aku malu! Di mana aku letakkan wajahku yang telah kau permalukan ini? Tega sekali kau!' Ino menjerit dalam hati

.

.

.

.

Karna fitnah yang kau ciptakan itu, kesucianku mulai di pertanyakan oleh orang desa! Kesucianku pula diperkotak-katikkan! Sedangkan kau tau, aku tak mungkin menjadi perempuan murahan seperti itu. Sampai hati kau meniggalkan aku bersama dengan tanda tanya di benak semua orang. Ibu! Betapa kecewanya ibu dengan berita itu. Ibu seolah-olah tidak mempercayaiku lagi. Ibu jatuh sakit dengan isi surat yang kau titipkan tempo hari itu. Dan kini, hidupku telah hancur. Tempat yang seharusnya kau tempati sebagai suami itu telah di gantikan oleh orang lain. Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tidak aku kenali watak dan sifatnya. Betapa tersiksanya aku sekarang! Seharusnya kau tahu itu..

"Enak sekali hidupmu! Kau yang berbuat, malah aku yang harus menikah denganmu demi menutupi aib keluargamu!"

Jeritan lelaki itu begitu menyentakkan Ino yang sedang duduk termenung sendirian di dalam kamar. Air mata yang sudah kering, mulai menggenang lagi. Ino berpaling perlahan. Itachi tampak kusut walaupun lengkap dengan black suits yang dipakainya sewaktu melangsungkan pernikahan tadi.

"Wanita murahan!" umpat Itachi

"Jangan menuduhku seperti itu!"

"Lalu, kau ingin aku berkata apa? Memang wanita murahanlah namanya kalau tunanganmu sendiri menuduhmu sudah tak suci lagi!" umpatan Itachi semakin kuat

Ino mendengus perlahan. Dia ingin berkata sesuatu, tetapi tidak jadi ketika melihat Itachi melangkah ke dalam kamar mandi. Lantas, kata-kata amarah ibunya dua hari lalu kembali terngiang di pikirannya.

"Ibu tak menyangka kau berbuat seperti ini!" saat itu, semua mata hanya tertuju ke arahnya

"Kau ingat dirimu itu apa, Ino? Kita ini hanya perempuan desa. Kenapa kau sanggup menjual kesucianmu itu?" ucap Kurenai marah

"Aku tak melakukannya, Ibu!" balas Ino setelah agak lama mendiamkan diri.

"Jangan kau menipuku! Kalau kau tak melakukannya, Neji tidak akan meninggalkanmu!"

"Ibu tak mempercayai anakmu sendiri? Aku sanggup bersumpah kalau aku tidak melakukan seperti yang Neji tuduhkan itu!"

"Bagaimana kita akan berhadapan dengan orang desa, Ino?"

Ino tidak mampu menjawab kata-kata ibunya. Dia melihat air mata sudah menggenang di kelopak mata Kurenai.

"Kau pergilah! Beri tahu orang desa pernikahanmu tidak jadi diadakan. Ibu tak mau memikirkan apa-apa lagi. Ibu sudah terlalu malu dengan perbuatanmu ini!"

"Ibu!"

Kurenai terdiam

"Tidak baik berkata seperti itu, Kurenai," kata Mikoto mencoba meredakan keadaan

"Apa yang aku katakan itu, memang kenyataannya, Mikoto. Aku malu mengakui dia sebagai anakku!"

"Aku sanggup membuktikan pada Ibu kalau aku ini masih suci!"

Entah bagaimana kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Ino. Mikoto dan Fugaku bertukar pandang

"Bagaimana kau membuktikannya? Kau itu perempuan yang sudah tak suci lagi! Tidak ada siapapun yang sanggup bertanggung jawab terhadap kesalahanmu itu!"

"Kalau Ibu ingin tau kalau aku masih suci atau tidak, aku akan tetap menikah dua hari lagi!" tegas Ino

Bibir masing-masing terkunci. Menanti kata-kata Ino yang seterusnya.

"Aku akan menikah dengan siapa saja. Ibu boleh mencari calon suami untukku."

"Kau sudah gila, Ino? Kau pikir pernikahan ini masalah sepele?"

"Aku tak sanggup menerima tuduhan Ibu. Aku tidak ingin orang desa memfitnahku. Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menikah asalkan Ibu bisa tahu kalau aku ini masih suci!"

Kurenai terdiam. Mikoto kembali memandang Fugaku. Ino berpaling ke wajah Mikoto dan Fugaku dengan penuh harapan.

"Mikoto-sama, Fugaku-sama, Tolonglah saya. Saya ingin membuktikan kalau saya tak bersalah. Mikoto-sama dan Fugaku-sama, tolong carikan seorang lelaki yang sanggup menikah dengan saya."

"Ino! Masuk ke kamar!" teriak Kurenai.

"Saya mohon. Carilah siapapun. Saya tak akan menolaknya! Saya ingin membuktikan kata-kata Sasori itu hanyalah fitnah. Saya masih suci, Mikoto-sama." Ucap Ino sambil melutut di hadapan Mikoto. Dia menangis tersedu-sedu.

"Ya ampun Ino! Bangun sayang! Jangan berlutut seperti ini." Bujuk Mikoto. Namun, saat itu Ino sudah tidak menghiraukan apa-apa lagi. Dia hanya mampu menangis dan memohon-mohon.

"Tak tau balas budi. Nama saja orang desa, tapi berlagak jadi seperti orang kota."

Lamunan Ino hilang. Dia tidak menoleh ke arah Itachi walaupun hanya sekali. Dia merasa bersalah dengan Itachi dan keluarga Mikoto-sama. Dia tidak menyangka Mikoto-sama sanggup menerima keputusannya dengan mengusulkan hal yang membuatnya terkejut. Tetapi Ino tidak akan menolak. Dia hanya ingin ibunya tahu dia ini masih suci. Itu saja!

"Jangan pikir aku menerimamu, karna aku ingin menolongmu! Tak pernah terlintas dalam pikiranku perempuan kotor sepertimu bisa menjadi istriku. Kalau bukan karena Kaa-san, jangan harap aku akan menerimamu!" kata-kata kasar Itachi begitu menusuk hati Ino.

"Kalau kau tak setuju.. kenapa kau terima?"

Kekusutan yang sedang melanda ditambah lagi dengan tuduhan dan hinaaan Itachi, Dia semakin tertekan.

"Aku tak bisa tinggal disini. Semakin lama aku melihat wajahmu, semakin panas hatiku ini!" Itachi segera mencapai kopernya. Baju-baju yang di bawa sejak semalam tidak dipakainya. Tanpa menunggu lama, Itachi berlalu.

"Jangan harap aku mau tinggal seatap dengan perempuan kotor sepertimu! Aku tidak akan pernah memberi nafkah lahir maupun batin untukmu. Dan aku rasa hukuman itu sesuai agar kau tahu, kau tak bisa mempermainkan perasaan lelaki seenaknya!" ucap Itachi membuat Ino berpaling menatapnya. Tetapi saat itu Itachi sudah hilang di balik pintu.

'Kami-Sama! Benarkah yang aku dengar tadi? Apakah begini berakhirnya kehidupanku?'

Saat itu air mata Ino jatuh lagi. Perlahan dan kembali deras bagaikan hujan yang turun dari langit.