Pair:Pin x Ayane (Saya bikin fic ini karena obsesi pribadi dan mau tau ada lagi enggak orang lain yang suka pairing ajaib ini :)
Warning:Kemungkinan Typo atau OOC, semoga sih enggak. Bakal Fluff kalo enggak gagal. Chapter 1 masih set up.
Based on: Waktu 6 makhluk ini ngumpul di rumah Ryuu dan Ayane pulang bareng Pin (lupa deh itu anime episode berapa)
A/N: edited version karena yang sebelumnya agak OOC :D semoga yang ini enggak :3
Kimi ni Todoke © Shiina Karuho
Last Longer © Nana
Yano melirik pria besar disampingnya, dalam benaknya tak terpikir bahwa akan berjalan pulang berdua dengannya.
"Apa? Jangan naksir aku. Aku tidak tertarik dengan anak kecil!" kata pria besar itu galak, ia masih berjalan sambil menghentakkan kakinya.
Yano langsung membuang muka dan ia sungguh menyesal telah membuang beberapa detik waktunya untuk melirik si bodoh itu. "Entah sudah berapa kali kau mengatakan itu, bodoh!"
"Jangan panggil gurumu sendiri 'bodoh'!"
"Itu kenyataan! Lagipula siapa juga yang suka padamu. Aku ini masih normal asal kau tahu."
"Tapi kau mengikutiku terus."
"Jangan kepedean. Kau yang mengikutiku duluan. Rumahku memang kearah sini!"
Adu mulut mereka akhirnya berhenti dengan sendirinya saat Yano dan pria besar yang ternyata gurunya itu berada di persimpangan jalan. Mereka berdua saling bertukar pandang, menyadari bahwa jarak diantara mereka sedikit berjauhan karena mereka akan berjalan kearah yang berbeda.
"Akhirnya, aku bisa tenang sekarang. Sayonara, Pin." Yano melambaikan tangannya sedikit tidak peduli pada Pin dan berjalan menuju rumahnya.
Belum sampai langkah ketiga, Yano merasakan tarikan yang cukup kencang pada pergelangan tangannya.
"Apa? Jangan bilang kau takut pulang sendiri." terdengar penekanan nada pada kata tertentu.
Pin bergidik dan gerakannya terhenti sejenak, "Ti..tidak mungkin aku takut! Ahahaha!"
Perlahan tapi pasti, senyum licik Yano mulai terlihat—dalam hati ia sudah tertawa sangat keras. Ia berjinjit dan mendekatkan wajahnya pada wajah Pin, "Lalu, kenapa nada suaramu bergetar begitu? Kenapa tanganmu dingin? Kenapa kau berkeringat? Kenapa kau….pucat? Hmmm?"
"U…uh…itu…"
Yano tertawa keras.
"Ja…jangan tertawa! Wajar kan kalau aku takut! Aku pernah kerasukan sebelumnya, dan kau tahu itu."
Yano menoleh ke belakang sembari menunduk dan menghela napas, 'kau kan cuma demam waktu itu.'
"Tanggung jawab! Aku juga jadi begini karena ceritamu soal nenek tua itu!"
Yano melirik Pin dengan wajah malasnya, sedikit tidak percaya bahwa gurunya adalah orang yang penakut seperti ini. Yah, salahnya juga sih, cerita horrornya jauh lebih meyakinkan daripada cerita Sawako—Yano pintar memainkan ekspresi wajah dan ia bangga karenanya. Jujur saja Sawako tidak terlalu pandai cerita seram, hanya saja wajahnya terlalu mendukung sehingga ia selalu berhasil.
"Baiklah. Kuantar." Tiba-tiba wajah Pin berubah ceria kembali, ia tipe orang yang tidak bisa berbohong karena semua isi hatinya terbaca dengan jelas di wajahnya.
Sesampainya di depan apartemen kecil dan sederhana itu, Yano berhenti dan Pin segera membuka pagar untuk masuk. "Cowok macam apa yang menyuruh seorang cewek mengantarnya sampai rumah."
"Jangan galak begitu, lain kali aku yang akan mengantarmu sampai rumah, ahahaha."
Yano melipat lengannya dan berbalik, "Tidak usah, kau tidak perlu memaksakan diri, Pin. Sudah ya, aku pul—"
"Hei, tunggu…"
Yano kembali berbalik, "Apa lagi? Aku tidak mau mengantarmu sampai kamar."
"Bukan itu, coba panggil aku dengan seharusnya."
"Ha?"
"Coba panggil aku dengan 'sensei'."
Dahi Yano berkerut, ia berpikir apa ada sesuatu yang salah pada kepala Pin. Sebelumnya Pin tidak pernah menyuruh seseorang memanggilnya dengan sebutan 'sensei', bahkan ia tidak pernah protes dipanggil 'Pin'.
"Akan kulakukan. Kalau kau hafal nama lengkapku." balas Yano iseng.
"Panggil aku sensei. Yano Ayane."
Bola mata Yano melebar saking terkejutnya. Ia kaget akan kenyataan Pin yang mengetahui nama lengkapnya.
"Aku ini tidak sebodoh Ryu. Kalau cuma nama lengkap saja aku pasti hafal." Katanya percaya diri. "Sekarang, panggil aku sensei!" muncul satu kilatan kecil di samping wajah Pin, wajahnya tersenyum licik.
"Ta..tapi, kau selalu memanggilku 'gadis make-up tebal'!" teriak Yano kesal. Tentu saja ia mengira Pin tidak hafal namanya. Paling banter ia memanggil orang dengan 'Kau'.
"Kau lebih senang dipanggil begitu?" tanya Pin santai.
Yano mengeram kesal, "Tentu saja tidak! Bodoh!"
"Sensei…"
"Apa?"
"Kau janji memanggilku sensei." tagihnya.
Yano hening dan tidak menjawab apa-apa.
"Ayo… aku menunggu…"
"…Kenapa?"
"Ha?" kini Pin yang bengong.
"Kenapa tiba-tiba kau ingin dipanggil seperti itu?" tanya Yano.
Pin melipat lengannya di depan dada, "Hmmm…" ia melihat langit malam seolah akan mendapatkan jawaban dari sana "tidak ada alasan khusus. Kurasa sesekali aku pantas mendapatkan panggilan itu karena aku ini memang sensei-mu kan?"
Karena sudah sangat lelah, Yano akhirnya meluluskan permintaan aneh gurunya itu—toh ia juga sudah berjanji.
"Baiklah sensei, aku pulang." Pin tersenyum bangga. "Jaga dirimu, nenek hantu itu hobi mendatangi kamar yang berantakan…" Kini wajah tersenyum itu berubah pucat dalam sedetik.
"Dasar ka..kau!"
Yano berlari kecil sambil terkikik pelan, tetapi kikikannya berhenti ketika Pin meneriakinya dari belakang.
"Jangan lupa cuci kaki dan tanganmu! Jangan lupa sikat gigi sebelum tidur! Dan jangan lupa—"
"BERISIK! Aku bukan anak kecil!"
.
.
.
Saat istirahat siang, Yano menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal setelah pacarnya selesai menelpon. Ia melampiaskan kemarahannya pada Yoshida dan Kuronuma yang sedang memakan bekal. Kuronuma terlihat sedikit takut karena belum pernah melihat Yano semarah itu sebelumnya. Namun Yano tidak bisa berhenti, ia terlalu kesal.
Setelah amarahnya mulai mereda, ia misuh-misuh di hadapan kedua sahabatnya. Ngoceh tentang betapa menyebalkannya seorang pacar yang terlalu posesif. Mood Yano sedikit rusak akibat telepon barusan. Entah sejak kapan pacarnya terlalu mencampuri kehidupan pribadinya. Memangnya apa perlunya dia tahu Yano sedang apa dan bersama siapa? Cowok itu memang berstatus pacarnya, tapi bahkan orangtua Yano tidak terlalu posesif sampai harus menelpon tiga kali sehari.
Pin kembali memasuki kelas dan anak-anak pun kembali ke kursinya masing-masing. Sebelum memulai pelajaran, ia meminta satu orang relawan untuk membantunya menyusun data-data murid yang dibuat oleh Zen untuk ditulis kembali dalam laporannya.
Rupanya, kebiasaan lama Kuronuma atau yang lebih akrab dipanggil Sadako belum berubah. Melihat teman-temannya yang terlihat tidak mau repot-repot menjadi relawan, ia mengajukan dirinya.
"Selain kau, Kuronuma Sawako. Kau sudah terlalu sering menjadi relawan, turunkan tanganmu." Kata Pin menolak.
Kazehaya sudah akan mengangkat tangannya untuk menawarkan bantuan lagi, namun tangannya kembali turun setelah Pin berkata seperti itu. Ia tidak menyangka bahwa Pin cukup memperhatikan kenyataan bahwa Kuronuma memang terlalu sering menjadi relawan.
'Terakhirkaliakuberurusandengannya,akukerasukan.Tidakakankubiarkananakitujadirelawanlagi.' batin Pin.
"Ayoo… kalau tidak ada satupun yang mengangkat tangan, maka aku yang akan memilih."
Masih belum ada yang mau mengangkat tangannya, beberapa bahkan terlihat tidak peduli.
"Baiklah, mohon bantuannya Yano Ayane-san."
"Apa?" sahut Yano yang terhenyak kaget dengan spontan. Dagunya yang sedari tadi ditopang oleh tangan kirinya kini jatuh.
"Pulang sekolah nanti, di ruanganku." lanjutnya. "Yak, sekarang kita mulai pelajarannya!" lanjut Pin sebelum Yano sempat melayangkan protes.
To be continued…