"Sasuke ni aitai desu. Sasuke ni—furetai desu." *
Naruto © Kishimoto Masashi
Hotarubi no Mori E © Yuri Midorikawa
この森の春
(Spring in This Forest)
by ceruleanday
September, 2011
Inspirited from Yuri Midorikawa's great masterpiece—Hotarubi no Mori E
Kaki-kaki ini melangkah cepat menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pepohonan kecil. Bagai tungkai-tungkai kurus belalang yang tak lelah melompat ke dedaunan hijau. Musim semi di desa Obaa-chan memiliki aroma yang jauh berbeda. Sejuk sekaligus wangi. Bunga-bunga tumbuh di petak-petak tersendiri—memisahkan warna hijau daun dan coklat tanah yang dingin. Pagi itu, aku masih bimbang tuk tidak mengikuti langkah Ojii-chan yang lambat dan pelan. Rambut putihnya terkena kibasan angin pagi yang tenang, namun tidak cukup kuat menerbangkan topi bercuping lebar milikku. Sesaat melalui area yang jauh lebih dalam di hutan Yamashi no Mori, sensasi berbeda terasa jauh lebih menenangkan. Tidak seperti suara nyaman Obaa-chan saat mendongengkanku kisah Nekomata no Monogatari. Dan, tidak seperti nyanyian tua Ojii-chan di petang hari.
Umurku delapan tahun. Aku sangat suka memakai dress musim semi selutut bersama topi bercuping lebar berwarna putih gading. Kedua kakiku pendek dan aku selalu terjatuh jika berlari menuruni undakan terjal berupa gundukan batu dan tanah. Sifatku yang tidak suka diam mengindikasikan banyak hal. Suara Ojii-chan menggema pelan dari arah berbeda di hutan ini. Tetapi, aku terpisah terlalu jauh dengannya sehingga aku tak berani keluar dari hutan ini sendiri. Aku mendengar banyak hal mengerikan mengenai Yamashi no Mori. Aku takut sekaligus penasaran—
—penasaran dengan bunyi tonggeret musim semi yang bersenandung merdu di sekitarku.
Saat rasa nyeri dari luka kecil di lututku sedikit berkurang, aku melihat banyak pepohonan hijau yang sangat tinggi. Mereka menjulang ke langit seakan bernyanyi untukku. Meski cahaya mentari hanya berupa titik-titik kecil di tanah, rasa takutku terkalahkan oleh keinginan kuat tuk menggapai hal-hal misterius dalam Yamashi no Mori di desa Obaa-chan dan Ojii-chan.
Aku kembali berlari. Meski lagi-lagi, aku terjatuh. Untuk luka yang kedua, aku memutuskan untuk berhenti melangkah. Aku tidak menangis dan tak'kan menangis. Aku bukan gadis cengeng. Di sekolah, aku termasuk anak yang kuat—meski kebanyakan dari temanku berkata bila aku kuat karena dahiku yang lebar ini. Tidak perlu paham apa maksud kata-kata temanku itu sebab Obaa-chan bilang, dahi lebarku adalah bagian spesial dari diriku yang tak dimiliki orang lain. Aku sebenarnya tidak paham karena aku masih delapan tahun.
Bunyi semak-semak yang saling bergesekan menarik perhatianku. Aku menoleh dan mengamati melalui kamera mata beririskan hijau ini. Angin sejuk berhembus dan menerbangkan topi yang kukenakan. Ia terbang bagai terbawa oleh tangan-tangan ajaib milik Tuan Angin. Aku berdiri dan berlari pelan, berusaha menyeimbangkan langkahku yang limbung. Hanya sejauh tiga meter, aku berhenti dan memunguti topi kesayanganku. Namun, yang terlihat lain oleh mata ini hanya sosok pemuda berpakaian musim semi dengan—
—topeng nekomata.
Ia—ia seakan bersembunyi—ah tidak—ia muncul dari balik pohon tua nan tinggi di hadapanku. Aku—aku terperangah oleh sosoknya. Ia—bukan Tuan Nekomata yang hadir dalam dongeng Obaa-chan, 'kan? Ia juga bukan pelindung Yamashi no Mori yang selalu disebut-sebut Ojii-chan, 'kan?
Tapi—ia Tuan Nekomata. Sama seperti gambar Obaa-chan di buku tulisku. Nekomata-sama.
"Apa kau terluka?"
Suaranya sangat merdu. Meski bukan suara milik Ojii-chan, suara miliknya jauh lebih menenangkan saat serangga-serangga musim semi bernyanyi mengitari pepohonan rimbun di hutan ini. Kedua kakiku menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Mata hijau ini hanya mengamati tanpa berkedip. Rasa takut berpaling pada kekaguman luar biasa. Aku menunduk dan melihat semut-semut berjalan di bawah kakiku. Sesaat kemudian, dua buah tangan bersama sehelai kain putih tertangkap basah oleh zona lapang pandangku.
Rambutnya sehitam batu arang yang terbakar bersama tungku hangat. Terkena sedikit titik-titik kekuningan cahaya mentari dan membuat gradasi warna lembut yang indah. Tubuhku yang pendek membuat sosok itu tak bisa mencapai lututku yang terluka. Maka, terlihat jelas olehku bagaimana ia dengan cekatan membungkus kedua lututku yang berdarah dengan kain miliknya. Haruskah aku berkata terima kasih pada Tuan Nekomata yang baik hati itu? Apa—apa Tuan Nekomata ini akan memakanku? Bukankah semua youkai sangat suka memakan manusia, terlebih aku yang masih—
"Setelah ini, langsung pulang. Apa kau tersesat?"
Aku mengangguk sekali. Dan, ia berdiri tegap. Tinggiku nyaris hanya mencapai perutnya saja. Aku benar-benar pendek. Sangat pendek!
Kami tidak berbicara satu kata pun. Aku pun tidak mengikutinya saat sosok Tuan Nekomata bertopeng itu berbalik dan melangkah maju. Langkahku yang terdengar tak bersahutan dengan langkahnya membuat sosok itu berhenti dan aku berlari mengejarnya.
Aku takut tapi aku tidak merasa demikian. Ia sangat asing bagiku. Obaa-chan dan Ojii-chan selalu khawatir jika aku berbicara pada orang asing. Sebab, orang asing sering membahayakan anak kecil apalagi di tengah hutan seperti sekarang ini. Namun, hati ini berkata lain. Aku hanya ingin mengikuti Tuan Nekomata itu. Ingin terus mengikutinya dan tetap mengikutinya meski semak-semak pepohonan terkadang memisahkan kami.
Aku terpisah dengan Tuan Nekomata. Sendiri di antara pohon-pohon yang gelap. Suara-suara tak menyenangkan membuatku terkejut. Aku tersigap dan mengerjapkan mata beberapa kali saat seekor kelinci hutan melompat ke arahku. Bentuknya sangat lucu dan warnanya putih seperti salju. Aku tidak tahu jika di dalam hutan Yamashi no Mori menyimpan hal-hal menakjubkan seperti ini. Kupeluk kelinci putih itu dan tak ingin melepasnya.
"Hangatnya." ungkapku pada si kelinci putih.
Dari balik semak-semak, sebuah tangan pucat mencuat dari sana. Aku nyaris berteriak dan kelinci yang kupeluk pun melompat kembali ke balik semak-semak. Tangan itu perlahan menjadi sebuah wujud—Tuan Nekomata.
"Jangan terpisah. Kau tidak tahu apa yang ada di dalam hutan ini. Kelinci itu juga—kelinci itu bukan kelinci yang baik."
"Eh?"
Suara melolong tajam mendenging di pendengaranku. Dengan telapak tangan ini, suara lolongan itu sedikit berkurang menembus membran timpani telingaku. Angin jahat menderu bersama lolongan yang memekikkan. Lirih dan sangat menyakitkan. Kupastikan, kali ini tak boleh ada satu pun angin jahat yang menerbangkan topiku sekali lagi. Angin-angin itu bergerak bagai badai di musim salju. Sangat dingin dan membekukan. Gelap terasa meyakinkan kala kedua mata ini terbuka.
"A-apa itu?" tanyaku berbisik.
Kelinci itu—atau bukan—aku tidak tahu. Kelinci itu telah berubah rupa menjadi bayangan hitam mengerikan dengan gigi-gigi tajam yang tentu saja tak mungkin dimiliki seekor kelinci. Sosoknya menjadi raksasa dan begitu besar. Melompat sekali dan menjulang menutupi bayanganku sendiri.
Aku tidak pernah takut dengan apapun. Aku tidak pernah takut dengan anak nakal yang sering mengolok-olok dahi lebarku. Aku tidak pernah takut dengan intimidasi konyol dari anak-anak perempuan lain yang mengataiku sebagai gadis aneh oleh karena rambut merah muda milikku. Aku tidak pernah menangis meski—aku tersudutkan di pojok kelas. Tersudutkan oleh kota yang begitu bising. Aku lupa kalau aku pernah menangis di suatu hari—di hari di mana aku kehilangan Okaa-san dan Otou-san.
Kali ini, aku menangis lagi. Karena, aku—
—akan merasakan kehilangan. Lalu, aku sendiri lagi. Lagi. Dan, lagi.
Cahaya terang bersinar meski hanya terlihat melalui kelopak mata yang memejamkan kedua mata ini. Lolongan kelinci menyeramkan itu menghilang sedikit demi sedikit. Aku menunggu hingga kedua mata ini siap berakomodasi pada cahaya yang amat terang itu. Sedikit, kubuka mataku—memandangi sebuah wajah tanpa topeng Nekomata yang sangat—indah.
"Nekomata-sama..." bisikku tertahan.
Ia masih berwujud manusia. Pakaian musim seminya terkibas oleh angin ribut yang kian melemah. Hanya, wajah miliknya memiliki warna pucat bagai mayat tanpa darah. Di salah satu sisi pipinya, coretan berwarna merah terang mirip huruf hiragana 'so' membentuk seolah ia bukan manusia. Dan—ia memang bukan manusia.
"Anda siapa?"
Aku bertanya. Mengumpulkan segenap tanya yang membuncah hanya dalam dua kata saja. Sosok itu tak berbalik hingga bayang hitam kelinci putih jahat itu lenyap dan keadaan telah kembali seperti semula. Ia memerlihatkan wajah di balik topeng Nekomata miliknya kepadaku. Dan, ia memerkenalkan dirinya sebagai.
"Aku Sasuke. Penjaga Yamashi no Mori atas perintah Nekomata-sama—dewa hutan ini."
Suatu hari, Obaa-chan pernah berjanji akan membawakan sekeranjang penuh jeruk manis dari perkebunannya. Jeruk-jeruk manis itu adalah bukti kasih sayang mereka dan janji yang sudah ia ujarkan padaku sebelumnya. Kata Obaa-chan, perkebunan di desa mereka sedang mengalami masa-masa subur yang menyenangkan. Dewa tanaman dan tumbuhan di desa menjaga dengan baik perkebunan warga di sana. Suasana sejuk pun menjadi salah satu daya tarik desa Obaa-chan dan Ojii-chan tinggal. Aku—aku sangat betah berlama-lama di sana.
Relasi keluarga yang dengan baik hati bersedia memungutku hanyalah paman dan bibiku saja—Sarutobi Asuma-jii-san dan Kurenai-baa-chan. Setahun lalu, Okaa-san dan Otou-san meninggalkanku seorang diri. Kecelakaan penerbangan yang sangat menggemparkan ibukota menjadi alasan pelik yang tak bisa dipersalahkan. Aku masih cilik dan aku masih sangat butuh ayah dan ibu. Tapi, mereka sudah tak ada untukku. Aku tak harus bersedih karena aku masih punya Obaa-chan dan Ojii-chan. Ya.
Tidak mengapa. Semuanya akan baik-baik saja. Obaa-chan sering mengucapkan hal itu padaku. Setiap kali aku tertidur di pangkuannya, Obaa-chan akan mengulang-ulang perkataannya hingga air mata ini mengering di pagi hari.
Tidak selamanya aku akan sendiri. Suatu hari nanti, akan ada yang memahami dan menemaniku.
Aku percaya. Di desa ini, aku memercayai hal itu. Sebab, Sasuke adalah bukti nyata dari segalanya. Meski—ia sama sekali berbeda denganku.
Kami melangkah bersama melalui jalan setapak demi setapak di Yamashi no Mori. Aku tak lagi takut 'tuk berlari jika bersama Sasuke. Kalau aku terjatuh, ia akan ada di depan sana, menatapku 'tuk berdiri dengan kaki-kaki ini kembali. Walau, ia tak pernah sekalipun menyentuhku—secara literally.
"Sasuke, apa Sasuke selalu sendiri di hutan ini?" tanyaku polos. Sepotong kayu tergenggam di antara kedua tangan kami—seakan menjadi penghubung langkah agar aku tidak terpisah lagi dengannya. Jika kayu ini tak ada, kedua tangan kami pasti saling berpegangan. Untuk beberapa saat, Sasuke tidak menjawab. Ia hanya melangkah bersama topeng Nekomata yang masih menempel di wajahnya.
"Hn." jawabnya.
Senang. Aku tak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. Tidak hingga Sasuke menunjukkan banyak hal mengenai hutan ini dan dirinya. Aku tidak pernah tahu jika makhluk-makhluk gaib seperti kelinci tadi ataupun Sasuke benar-benar hidup di Yamashi no Mori. Jadi, legenda itu memang ada! Hanya, tak ada yang menyadarinya. Tapi, kenapa bisa. Kenapa warga desa tak pernah menyadari keberadaan Sasuke di hutan ini—padahal tadi dirinya seorang yang mendekatiku.
"Sedang memikirkan sesuatu?"
"Eh! Um, apa Sasuke pernah keluar dari hutan ini?"
Kami mencapai anak tangga terbawah dari gerbang batas antara desa dan Yamashi no Mori. Gerbang khusus itu diperuntukkan untuk para dewa hutan sehingga beberapa lonceng yang berbunyi lirih bersama beberapa piring kue manju dan jeruk-jeruk manis tersedia di sana. Kedua mataku membulat hebat saat melihat kue manju lezat yang pernah kucicipi di perayaan Tanabata. Aku pun berlari dan menghiraukan jawaban Sasuke.
"Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak bisa."
Samar-samar, suara itu terbawa oleh angin sejuk musim semi. Tepat di anak tangga teratas, aku berjongkok. Mengamati kue-kue manju lezat yang masih hangat. Tepat di bawah patung jizou yang sedang berdoa, piring-piring sesembahan untuk dewa tertata begitu teratur. Pasti ini dari warga desa. Ah, tentu saja dari mereka. Jeruk-jeruk ini mirip seperti jeruk dari perkebunan Obaa-chan.
Tanpa ragu, kuambil salah satu kue manju dan nyaris mencomotnya. Tapi, seseorang telah memukul kepalaku dengan sepotong kayu kecil hingga kue manju itu jatuh dari tanganku. Aku berbalik dan mendapatkan wajah bertopeng Sasuke. Bibirku pun menjadi manyun, bersungut-sungut karena kue manju yang ingin kumakan malah jatuh dan jadi kotor.
"Sasuke! Ittai!" teriakku setengah kesal. Kedua tanganku terkepal dan menempel di kedua sisi pinggangku.
Tangan pucat Sasuke memungut kue manju yang terjatuh tadi. Ia mengembalikannya di atas piring dan menangkupkan kedua tangannya seakan berdoa tepat di depan patung jizou itu. Kuamati dirinya yang begitu damai membacakan doa pada patung jizou. Dari balik senyum kekanakanku, ada perasaan hangat yang membuncah di hati ini. Hati seorang anak kecil tentunya.
"Kau tidak boleh mengambil sesembahan untuk para dewa secara sembarangan. Kau bisa kena kutukan." ucapnya santai seakan tanpa intonasi dan nada. Aku merengut kesal mendengarnya.
"Demo! Aku sering mengambil kue manju di gunung Nanatsuji! Kue manju di sana enak sekali lho!" pekikku dengan kedua tangan bergerak membentuk bola dunia. Mengutarakan hal yang bahkan Sasuke tak paham sama sekali. Aku yakin, ia tidak tahu Nanatsuji itu di mana. "Kusarankan agar kau ke gunung Nanatsuji kalau mau mendapatkan kue manju yang jauh lebih manis! Hihi."
Dari balik topeng Nekomata-nya, Sasuke mendengus. "Aku tidak suka makanan manis."
"Tidak suka makanan manis pasti karena takut gendut, iya 'kan?" godaku. Aku tertawa mengikik membayangkan jika Sasuke jadi gendut dalam baju dan rupa topeng Nekomata-nya.
Sasuke adalah makhluk asing yang kukenal hari ini. Ia tak bersuara banyak jika ia tak mau. Ia berbeda dari siapapun. Ia nyaris menyerupai manusia tapi ia bukan sepertiku. Sangat jauh berbeda. Ia dan pakaian musim semi ala pemuda kota terlihat begitu spesial di mata anak kecil sepertiku. Ia jauh seperti sosok kakak, tuan baik hati, dan teman bagiku. Aku tidak mengenalnya—namun aku ingin tahu lebih banyak darinya.
Angin menderu hebat sesekali. Rok dress musim semiku terkibas olehnya. Aku menahannya sembari memejamkan mata. Debu-debu itu akan memberi efek kurang menyenangkan pada mata hijauku nantinya. Dan, aku bodoh. Lagi-lagi, aku membiarkan topi kesukaanku terbang dibawa oleh angin nakal itu.
Ia tidak menyentuhku, tetapi aku merasakan kehadirannya yang begitu dekat dari jangkauanku.
"Jangan ceroboh. Nanti terbang lagi." tuturnya sembari memakaikan dengan baik topi bercuping lebar milikku itu. Rona merah ini tak bisa berhenti menghilang di kedua belah pipi putihku. Aku hanya menunduk hingga ia menepuk sekali ubun-ubun kepalaku. "Kau tidak takut padaku?"
Sekali mendengarnya, aku tahu aku harus menjawab apa. Gelengan adalah jawabku.
Meski tak bisa melihatnya, aku yakin di balik topeng itu, Sasuke tersenyum.
"Sasuke itu—Sasuke itu sebenarnya seperti apa?" tanyaku malu. Pertanyaan yang sangat ambigu. "Apa seperti—umm—hantu?"
"Kalau kau berpikir begitu, maka aku adalah hantu." jawabnya. Kebingungan membuatku memutar otak.
Tapi, aku tidak menyerah begitu saja. "Apa Sasuke adalah siluman?"
"Kalau kau berpikir begitu, maka aku adalah siluman."
Aku mengernyitkan alis. "Bukan begitu! Aku—aku hanya ingin tahu sebenarnya—sebenarnya Sasuke itu seperti a—pa."
Desau pepohonan mengisi kekosongan antara keduanya. Sasuke kembali mengamati patung jizou yang berdiri menghadap wajahnya. Nyanyian tonggeret musim semi membalikkan kesunyian yang ia timbulkan. Entah apa yang dipikirkan oleh Sasuke sekarang, ia tampak tidak begitu ingin menjawab pertanyaanku. Hanya saja, aku benar-benar ingin tahu tentang dirinya.
"Aku hanya ingin—!" teriakku kemudian. Namun, suara Sasuke yang pelan mematahkan suara itu kembali ke dasar tenggorokanku.
"Nekomata-sama memberikanku sebuah kehidupan yang berbeda. Aku seharusnya sudah mati bertahun-tahun lalu. Aku hanya anak kecil yang lemah dan sakit. Aku hilang di hutan ini dan aku tahu aku pasti akan segera mati. Tapi, Nekomata-sama membuat tubuh ini—tubuh semu di mana jiwaku bisa tumbuh di dalamnya. Hanya—"
Titik-titk sinar mewarnai telapak tangan pucatnya. Aku melihat cahaya itu seakan menembus melewati tubuhnya. Ia—seperti ruh dalam sebuah tubuh yang asli dan nyata.
"—Nekomata-sama berkata agar aku tidak menyentuh manusia. Jika pantangan itu kulakukan, maka aku akan menghilang selamanya dari hutan ini. Tak ada lagi yang bisa menjaga hutan ini dari makhluk-makhluk jahat itu."
Kenyataannya terlalu pahit untuk kudengar. Kenyataannya terlalu gamang 'tuk dipahami oleh anak kecil sepertiku. Kenyataannya terlalu sederhana namun begitu menyakitkan 'tuk didengar. Dada ini rasanya begitu sakit. Jadi, untuk alasan itulah Sasuke tak mau menyentuhku tadi. Ya. Pasti karena alasan itu.
Kedua tanganku menggenggam erat hal kosong dan menumpu tepat di dadaku. Aku menunduk dan mengamati bercak sinar mentari yang menerangi lantai berbatu anak tangga teratas gerbang batas antara Yamashi no Mori dan wilayah desa Obaa-chan dan Ojii-chan. Kulirik jalan beraspal dari ketinggian seperti ini dan mendapatkan sebuah sepeda berkeranjang berwarna merah muda. Keranjang sepeda itu dipenuhi jeruk-jeruk berwarna oranye.
"Kurasa, nenekmu datang untuk menjemputmu. Turunlah ke bawah."
Seorang wanita tua yang sudah bungkuk berdiri di bawah sana seakan sedang menatapku. Tetapi, ia tak bergerak melangkah maju menaiki undakan anak tangga. Hanya senyum khas Obaa-chan yang selalu tersungging di bibirnya. Wajah tuanya sama sekali tidak memberi makna buruk. Obaa-chan selalu tahu aku berada di mana. Bahkan mungkin, Obaa-chan bisa melihat aku sedang berhadapan dengan Sasuke. Ah! Aku mungkin bisa memerkenalkan Sasuke pada Obaa-chan. Bukankah berkat Sasuke, seluruh desa ini menjadi aman dan kesuburan memberkahi kebun-kebun warganya?
Kuayunkan sebelah tanganku pada Obaa-chan dari kejauhan. Kupanggil nama Obaa-chan dan berseru riang. Lalu, Obaa-chan balas menganyunkan tangannya. Aku menoleh dan memandang Sasuke yang turut megikuti arah pengelihatanku.
"Ne, ne, Sasuke! Aku akan memerkenalkanmu pada Obaa-chan! Ayo turun ke bawah! Aku mau berterima kasih pada Sasuke karena sudah menolongku di dalam hutan tadi. Obaa-chan pasti akan memberi Sasuke beberapa butir jeruk dari kebun Obaa-chan yang terkenal lezat itu!" pekikku riang sembari melangkah menuruni undakan anak tangga. Masih dengan keceriaan itu, kulambaikan tanganku pada Obaa-chan. Hanya, saat berbalik aku tak melihat Sasuke mengikutiku. Ia masih di atas sana dan berdiri menatapku. Aku pun berhenti.
"Sasuke! Ayo ke bawah!" teriakku. Namun, Sasuke sama sekali tak menggubris teriakanku yang benar-benar keras itu. "Sasuke-baka!" Karena kesal, aku malah mengatainya bodoh.
"Sakura... Sakura... kau bicara pada siapa, Nak?" tanya Obaa-chan dengan suara seraknya.
Ah, apa pengelihatan Obaa-chan mulai memburuk ya? Apakah Obaa-chan tidak bisa melihat aku sedang bicara dengan—Sasuke?
"Obaa-chan! Di atas sana ada teman yang sudah menolongku 'tuk bisa keluar dari hutan ini. Dia lah yang menunjukkan jalan agar aku bisa sampai di sini!" jawabku seraya menunjuk-nunjuk sosok Sasuke yang masih dengan pose berdiri di atas sana. Deru angin ikut mengibaskan anak-anak rambut kehitamannya yang begitu legam.
"Seseorang? Mm, Obaa-chan tidak melihat apapun di atas sana, Sakura."
"Eh?" Tidak mungkin. "Tapi di atas sana ada seseorang yang—sudah menolongku. Dia—dia Sasuke." ucapku makin memelan.
Kening Obaa-chan mengerut dan kedua mata tuanya berusaha berakomodasi penuh pada objek yang berada di kejauhan. Namun, aku yakin dan benar-benar yakin jika Obaa-chan tak bisa melihat Sasuke. Tepatnya, bukan sudah tidak mampu menangkap objek dari kejauhan itu melainkan tidak bisa melihat Sasuke. Tidak bisa melihatnya. Karena, karena Sasuke bukan manusia seperti diriku maupun seperti Obaa-chan.
Aku terdiam. Mataku entah mengapa terasa basah. Basah. Aku tidak tahu mengapa. Tidak tahu.
"Sasuke!" Suara masa cilikku memekikkan begitu dalam namanya. Namun, ia tak pernah menjawab. Aku menunggu dan menunggu. Dan, mataku semakin basah. Aku harus kehilangan lagi.
"Namamu?"
Suara merdunya mengalun pelan terbawa angin. Air mata ini mengering dengan sendirinya. Kudongakkan wajahku dan menatap topeng Nekomata yang melekat di wajahnya. Dengan lantang, aku bersuara. "Haruno Sakura! Namaku Haruno Sakura!"
"Hn."
Dengan lirih, aku bertanya. "Mata koko ni kureba aeru?"**
"Hn."
Aku tertawa meski aku tidak tahu harus mengeluarkan ekspresi apa. Aku hanya bisa berjanji padanya. Dan, janji itu akan selalu kutepati setiap tahun. Selalu. Selamanya. Karena, Sasuke lah temanku. Ia temanku...
"Aku akan datang lagi tahun depan! Tahun depan lagi. Lagi dan lagi! Tunggu aku ya!"
'Aku akan menunggumu. Aku akan terus menunggumu, Sakura.'
Nyanyian itu berupa bunyi-bunyi musim semi yang khas. Sekeranjang penuh jeruk-jeruk manis itu akan sangat enak bila dinikmati di atas sebuah kotatsu dengan kipas angin yang memutar pelan dalam ruangan ber-tatami. Tak harus seorang diri jika kau memiliki seorang teman untuk saling berbagi. Karena, aku yakin, suatu hari nanti, saat aku sudah jauh lebih dewasa, aku akan bisa berbagi banyak hal dengannya.
...dengan penjaga Yamashi no Mori itu.
Sasuke.
続く
Dictionary :
* Aku ingin bertemu dengan Sasuke. Aku ingin—menyentuh Sasuke.
** Apa kita bisa bertemu lagi di sini?
A/N:
New fic from the best angsty manga I've ever read. Mungkin fic ini sangat jauh dari manga aslinya. Tentu saja. Kalau sama, berarti saya plagiat dong. Tee hee. :p
Mind to review? Arigatou, minna-sama.
