Siapa sih yang nggak kenal dengan Weasley Corporation?

Weasley Corporation, perusahaan yang diwariskan turun temurun dari keluarga Weasley dan bergerak di bidang pulp and paper. Nama Weasley Corporation semakin melejit saat perusahaan itu diambil alih oleh Arthur Weasley, ayah Ron. Ia berani merambah ke dunia properti dan bisnis perumahan, sesuatu yang awalnya diremehkan oleh orang-orang pada waktu itu. Tak disangka, beberapa tahun kemudian permintaan konsumen untuk permukiman melonjak tinggi, membuat Weasley Corp. semakin sukses tak alang kepalang. Seolah itu semua tak cukup, Arthur juga mencalonkan diri menjadi anggota DPR, membuat popularitasnya semakin meningkat.

Kekayaan keluarga Weasley semakin meningkat ketika anak-anaknya yang berjumlah 5 orang itu mengikuti jejak kesuksesannya. Percy Weasley, anak tertua dalam keluarga memilih untuk mengambil jalur yang sama dengan ayahnya: menjadi anggota DPR. Meskipun Arthur senang, tapi ia juga khawatir dengan nasib Weasley Corp. karena Percy tidak mau berurusan dengan tetek-bengek perusahaan. Putra kedua dan ketiga yang kembar identik, Fred dan George Weasley juga tidak peduli dengan perusahaan yang menurutnya tidak sesuai dengan kepribadian mereka. Mereka lebih sibuk mengurusi Zonko's Joke Shop, toko yang menjual alat-alat untuk mengerjai orang lain–sangat khas Fred dan George. Awalnya mereka hanya iseng saja saat membangun toko itu, tapi semakin lama pengunjungnya semakin banyak, membuat Weasley bersaudara itu semakin kewalahan. Perlahan-lahan laba toko itu merangkak naik. Para pengamat bisnis menyimpulkan, hanya soal waktu sebelum kekayaan Weasley bersaudara itu dapat mengalahkan kekayaan ayahnya sendiri.

Sayangnya, kehidupan rumah tangganya tak sesukses pekerjaannya. Beberapa bulan lalu, Arthur Weasley bercerai dengan istrinya, Molly, seorang chef di hotel bintang lima yang wajahnya sering menghiasi layar kaca. Entah apa alasan yang membuat mereka berpisah, karena mereka tidak mau membahasnya lebih lanjut. Semenjak mereka bercerai, Arthur tidak mood lagi mengurusi Weasley Corp. dan memilih untuk fokus mengabdi untuk pemerintah. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan untuk mewariskan perusahaan itu ke anak laki-laki terakhir yang dimiliknya, Ron Weasley. Sementara adik Ron, Ginny Weasley dijadikan sebagai direktur salah satu cabang di perusahaan itu.

Sekarang, Ron Weasley mengatur jalannya Weasley Corporation dan menjadi miliuner dalam umur yang sangat muda.

Red-Haired Millionaire

A Harry Potter Fanfict

Disclaimer: all characters owned by J.K. Rowling

Warning: OOC, rated T, friendship/romance/action, AU, gaje, alay, typo, abal, etc. got any comments/critic/suggestion? just press 'review' button & write it down! I will reply it asap :)

A/N: this is my first fic on HPI. Enjoy!

Chapter 2

Vain Girl

"Jadi...selama ini...kamu..." Hermione tak sanggup berkata apa-apa saking terkejutnya. Semua orang yang mendengar perkataan Ron barusan terpaku, seolah-olah waktu berhenti. Mereka sulit percaya kalau anak baru yang penampilannya seperti anak kampung abis main layangan itu adalah pemilik perusahaan besar. Ron tersenyum penuh kemenangan.

"Lo...Ron Weasley? Pemilik Weasley Corp.? Kok gue nggak pernah liat lo di TV?" tanya cowok yang digandeng Hermione itu berusaha memecah keheningan. Rambut pirang-putihnya sangat kontras dengan blazer hitam yang dipakainya.

"I hate publication. And by the way, jangan pernah memandang seseorang hanya dari penampilannya saja, karena bisa jadi orang itu LEBIH BAIK daripada lo" Setelah memberi 'kata-kata bijaksana' itu, Ron berbalik dan menggandeng Harry. "Yuk, Har, kita ke kantin sekarang"

.

.

.

.

.

"Kok lo nggak kaget sih pas gue bilang kalo gue itu pemilik Weasley Corp.?" tanya Ron saat mereka berdua sibuk mengunyah makan siang mereka di kantin. Walaupun judulnya 'kantin', tapi tempat ini lebih cocok disebut cafe internasional. Ruangannya yang luas dan cozy membuat murid-murid betah disana. Beberapa ada yang asyik mengerjakan tugas atau surfing internet –kantin itu menyediakan free Wi-Fi. Sistem kantin tersebut seperti kantin di sekolah luar negeri, setiap orang yang ingin makan tinggal mengambil makanan itu di rak kaca dengan tray yang telah disediakan. Ron mengambil makaroni pedas dan soft drink, sementara Harry mengambil pizza dan lemon tea.

"Gue udah tau kok" jawab Harry pendek sambil menyeruput lemon tea-nya. Mendengar kata-kata Harry, Ron terlonjak dari tempat duduknya.

"Kok...lo...bisa...tau sih?"

"Piece of cake. Gue tahu semua keluarga Weasley rambutnya merah, dan...pas gue liat berita perceraian orangtua lo di TV, kabarnya lo langsung keluar dari sekolah lo yang lama, iya kan? Jadi pas ada anak baru yang rambutnya merah juga dan nama belakangnya berinisial W, gue langsung yakin kalau itu elo" jelas Harry panjang lebar. Awalnya Ron tersanjung karena ada orang yang mengikuti perkembangan dirinya, tapi setelah itu ia cemberut lagi karena Harry berteman dengan dirinya karena dia orang kaya. Terus buat apa dong gue mati-matian nyembunyiin nama belakang gue? gerutu Ron kesal.

Melihat perubahan raut muka Ron, Harry jadi bingung sendiri. "Emang tadi gue salah ya informasinya?"

"Eeh...e-enggak kok. Pada awalnya gue seneng temenan sama lo karena lo udah baik sama gue sejak awal, meskipun temen-temen yang lain ngejauhin gue semua. Gue kira lo emang bener-bener tulus temenan sama gue. Ternyata..." Ron menundukkan wajahnya, membiarkan Harry melanjutkan sendiri kata-katanya. Ia memainkan jari-jemarinya, khasnya kalau lagi cemas atau takut.

.

"Gue emang tulus temenan sama lo kok"

Ron mendongakkan kepalanya lagi. Apa telinganya tidak salah dengar? Harry Potter yang menjadi bintang di lapangan hijau itu katanya tulus berteman dengan anak pemilik perusahaan raksasa? Kok rasanya klise sekali ya?

"Haha, udah deh nggak usah kaget kayak gitu. Gue juga mau temenan sama lo karena gue rasa...lo itu temen yang baik. Lo nggak pamer kekayaan kayak anak lain disini, meskipun sebenernya lo bisa" jelas Harry lagi. "Banyak anak-anak sini yang kekayaannya dari orang tuanya malah menyombongkan diri masing-masing. Tapi elo...enggak, meskipun keluarga lo kaya tujuh turunan. Lo masih mau mengurusi Wesaley Corp. meskipun lo masih muda. Lo bener-bener bekerja pake keringet sendiri, nggak cuma ngandelin harta orang tua. Makanya kehidupan lo masih tetep sederhana. Lo masih pake tas atau sepatu yang masih layak pake. Gue bener-bener salut sama lo"

Ron menatap mata emerald yang berada dibalik lensa bening itu. Tidak ada sorot mata kelicikan, kedengkian, atau kebencian. Sebaliknya, mata itu menunjukkan kesungguhan kalau ia benar-benar ingin berteman dengan Ron. Ron tersenyum lebar mendengar kata-kata Harry barusan, raut mukanya kembali cerah. Tapi untuk memastikan, cowok berambut merah itu bertanya sekali lagi.

"Har?"

"Ya?"

"Kalo misalnya...uhm...gue bukan orang kaya, gimana?"

"Kaya atau miskin, gue nggak peduli. Your attitude can't be bought by money, rite?" Harry mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. Senyum yang diberikan khusus untuk sahabanya yang baru. Ron membalasnya dengan cengiran lebar.


"...Jadi, pada tahun 1927, George Washington telah..." Samar-samar terdengar suara wanita mid-thirty asyik berbicara sendiri di depan kelas. Lebih tepatnya, dia berbicara dengan papan tulis yang ada di hadapannya dan bukan dengan murid-muridnya yang masih terjaga. Sisanya sudah teler karena sistem pengajaran wanita itu, Mrs. McGonagall, seperti kaset lagu oldies yang rusak karena di-replay ratusan kali, hehehe. Setengah murid-muridnya yang masih terjaga itu juga termasuk Harry, Ron, dan beberapa siswa lain yang tidak tertarik dengan pelajaran Sejarah. Yah, termasuk Hermione dan pacarnya, sih. Mereka berdua justru asyik 'mojok' di sudut kelas.

.

"Tapi gue masih penasaran, kok lo bisa temenan sama si sombong Hermione itu sih?" tanya Ron keheranan setelah selesai nontonin kegiatan pacaran mereka dengan jijik. Harry cuma tertawa mendengarnya.

"For your information, dia itu temen gue dari kecil...gue udah ngganggep dia sebagai saudara, begitu pula sebaliknya. Dari dulu dia memang seperti itu, tapi sebenernya dia baik kok"

"Baik apanya...dasar kucing garong! Sombongnya nggak ketulungan! Emang apa sih, yang bagus dari dia?"

"Well, dia itu model terkenal. Wajahnya biasa nampang di majalah mode, atau runway bergengsi macam Fashion Week. Gue nggak terlalu ngerti sih, yang jelas dia memang jadi bintang baru di dunia entertainment. Selain itu dia juga pinter. Pekerjaannya sebagai model nggak mempengaruhinya untuk selalu masuk sepuluh besar. Baru-baru ini dia menerbitkan novel, dan jadi best seller. Tau kan novel yang judulnya 'Serendipity?'"

"Hah? Jadi 'Serendipity' itu...yang nulis Hermione? Gila..." Ron menggeleng-gelengkan kepala tak percaya, mengingat kalau buku itu adalah salah satu favoritnya sejak ia membelinya seminggu lalu. Harus diakui, novel yang berisi tentang kisah percintaan yang ber-setting di zaman perang itu memang bagus. Tapi sayangnya, buku itu ditulis oleh seorang cewek yang sudah membuat Ron ilfeel pada pandangan pertama. Iih...sori aja yah! Gue bakal bakar nih buku! batin Ron dalam emosinya yang mendadak membara.

"Yups. Gue juga sempet nggak percaya sih, soalnya dimana-mana tuh...jarang banget ada cewek cantik, tapi juga pinter! Biasanya kan cantik-cantik tapi otaknya kosong, atau pinter-pinter tapi kacamatanya tebel. Tapi Hermione beda. Dia bisa matahin mitos itu semua. Sekarang dia jadi terkenal banget di sekolah. Kalau kata anak-anak sih...alpha female"

"Tapi buat apa coba kalau perilakunya nggak sehebat ketenarannya?" dengus Ron kesal. Merasa kalau ia semakin kesal kalau membicarakan cewek satu itu, ia mencoba mengganti topik. Tentu saja tidak jauh-jauh dari Hermione "Trus, trus...cowoknya itu siapa sih? Kok kayaknya gue pernah lihat..."

"Tentu saja lo pernah lihat. Dia kan Draco Malfoy, gimana sih? "

"Malfoy? Ooh...pemilik Malfoy Enterprises itu ya? Perusahaan raksasa yang berkuasa di bagian furnitur itu kan?" tebak Ron. Harry mengangguk. "Abis rambut ubanannya ngingetin gue sama saingan kerja bokap due dulu, pas dia masih megang Weasley Corp. Kalau nggak salah namanya Malfoy juga"

"Mungkin yang lo lihat dulu itu bapaknya, Lucius Malfoy. Sampai sekarang perusahaannya masih dipegang dia, kok. Draco cuma numpang terkenal aja. Masih hebatan lo, kali, bisa megang banyak perusahaan sendirian"

"Gue nggak bener-bener sendirian kok, kan adek gue masih mbantu gue juga. Bedanya dia dipekerjakan di cabang perusahaan" ujar Ron, lalu ia bercerita tentang adiknya, Ginny yang juga pindah ke Hogwarts High School tahun ini juga. Bedanya, Ron dan Ginny terpaut setahun.

"Eh? Ginny yang itu? Itu adek lo?" Harry terkejut saat tahu kalau Ginny Weasley, anak baru yang dalam sekejap bisa menarik perhatian banyak orang karena sifatnya yang kalem dan anggun itu. Selain itu dia juga cantik, membuat semua cowok betah memandanginya. Including Harry himself, of course. Jadi wajar saja kalau ia berusaha mengorek banyak informasi tentang gadis berambut merah kecoklatan itu dari teman sebangkunya a.k.a calon kakak iparnya.

"Iya, memang kenapa? Lo naksir dia?" tebak Ron tanpa basa-basi. Kontan saja kalimat terakhir itu membuat semburat merah menghiasi pipi Harry yang putih.

"Semua cowok normal pasti naksir dia lah..." jawab Harry sekenanya, pipinya masih memerah. "Jadi...gimana? Lo bisa comblangin gue sama dia, nggak?"

"Yaah...liat aja nanti. Gue kan nggak tau selera adek gue kayak gimana. Ntar kalau lo mau..." Tiba-tiba perkataan Ron dipotong oleh suara ketukan penghapus papan tulis di atas meja.

"Okay, class! Saya akan membagi kelas ini menjadi pasangan-pasangan secara acak. Setiap pasangan mempunyai tugas untuk membuat makalah dan slide show tentang Perang Dunia II. Minggu depan kalian harus mengumpulkannya dan mempresentasikan di depan kelas. Ada yang mau ditanyakan mengenai tugas ini?" Suara Mrs. McGonagall yang nyaring berusaha menyeruak masuk ke sela-sela pembicaraan para siswa yang tumpah tindih. Mendengar kata-kata 'tugas', 'makalah', 'presentasi', semua murid XI IPA 1 otomatis terdiam ketakutan, tapi tak urung juga mereka penasaran dengan kelanjutannya.

Setelah puas mendapat ketenangan di dalam kelas, Mrs. McGonagall tersenyum tipis, lalu bangkit dari mejanya dan mengambil sebuah mangkuk kaca besar di bawah meja. Mangkuk itu beris gulungan kertas kecil-kecil, seperti yang biasa Ron lihat di acara undian di TV dan arisan keluarga. Wanita itu memasukkan tangan dan mulai mengobok-obok isinya sebentar, lalu kembali meletakkannya di atas meja.

"Kalian bisa maju satu-persatu dan mengambil undian yang ada di mangkuk ini. Setiap undian yang akan kalian dapat berisi sebuah angka. Angka itu adalah nomor urut kelompok kalian. Siapapun yang mendapat undian yang sama, harap menuliskan nama kalian di papan tulis sesuai dengan urutan kelompok tadi dan berkumpul dengan pasangannya. Setelah itu kalian bebas berdiskusi tentang tugas kalian. Nah, silahkan maju, dan sekali lagi, jangan ribut, jangan berebut. Semuanya akan mendapat giliran"

Satu-persatu siswa maju ke depan dan mengambil undiannnya. Saat giliran Ron tiba, cowok berambut merah itu maju dan mengamati sekilas kertas undian yang tergeletak tak berdaya di dasar mangkuk. Isi mangkuk itu hanya separo, karena Ron berada di urutan tengah-tengah. Otak Ron berputar cepat, berusaha untuk menebak isi tiap undian yang sekarang ada di hadapannya. Salah mengambil, ia bisa menyesal seumur hidup karena bekerjasama dengan orang yang salah. Sambil merapalkan doa-doa yang dihapalnya, Ron memasukkan tangannya ke mangkuk itu dan mengambil salah satu kertas undian dengan memejamkan mata. Perlahan-lahan dibukanya gulungan kertas itu.

"Tiga belas" gumam Ron sambil menuliskan nomor undiannya di papan tulis, lalu kembali lagi ke bangkunya. Dilihatnya Harry sudah siap-siap berdiri untuk menyambut gilirannya.

"Semoga kita satu kelompok, ya, Har" ujar Ron sambil menepuk-nepuk bahu pemain sepakbola itu. Harry hanya mengangguk singkat, lalu berjalan maju ke depan meja. Tanpa pikir panjang Harry mengambil salah satu undian yang ada dan menuliskan namanya di papan tulis. Ia tidak peduli dengan siapa ia harus berkerjasama, karena ia sudah mengenal baik semua murid yang ada di kelas ini,begitu pula sebaliknya. Sementara Ron masih baru di sini, dan satu-satunya yang teman yang dekat dengan dirinya baru Harry saja. Ron yang setengah berharap nama harry berada tepat di bawah namanya, kini mendesah kecewa. Nomor undian yang dipilih Harry adalah 20, jauh sekali dengan miliknya. Ron kembali memperhatikan setiap siswa yang maju untuk mengambil undian, namun masih tak ada satupun yang menuliskan namanya di nomor 13.

Sampai akhirnya tibalah giliran Hermione yang duduk bersama Draco di belakang sendiri. Dengan angkuhnya ia melenggang melewati murid-murid lain yang dianggapnya tidak selevel dengannya. Dagunya dinaikkan, dadanya dibusungkan, pandangannya melawan gravitasi. Setelah sampai, ia mengulurkan tangannya yang putih dan mulus itu ke dalam mangkuk, lalu mengambil sebuah undian dan membacanya sekilas. Tiba-tiba mulutnya menganga lebar, karena nomor undian yang sekarang ada di genggamannya adalah: tiga belas.

.

.

.

.

.

A/N: hehe, akhirnya selesai juga ini chap XD. Maaf sekali buat semua readers dan reviewers yang menunggu-nunggu kelanjutan fic ini, aku memang lagi fokus dengan pembuatan fic Love You For Eternity. Tapi sumpah aku nggak ngangka kalau hits & visitor yang kudapat bisa sebanyak ini! Kirain bakal dapet banyak flame, hehe. Abis aku masih baru di fandom ini ^^. Muakasih banyaaak yaa untuk semua kritik dan masukan yang membangun dari kalian semua~~ *hug*.

Eh, tapi pada nyadar ga kalo dari kemarin aku membuat Harry dan Ron berasa jadi kayak pasangan homo, bukan temen biasa? Dari makan bareng di kantin sampai gandengan tangan (eh, tapi temen biasa juga kayak gitu yah?). Bahkan sampai di scene pas Harry ngomong ke Ron "Your attitude can't be bought by money, rite?" itu sebenernya kata-kata 'attitude' adalah 'heart'. Bneran! Gak boong! Parah banget kan kalo aku sampe nge-pairing kedua orang ini? Huhu...padahal trending pairing disni kalo gak Drarry ya Dramione. Memang sih ada Dramione, tapi bukan itu pairing utamanya. Sowrry bangeeeet buat semua Drarry FC, aku terpaksa membuat tokoh favorit kalian deket sama Ron (bukan, sekali lagi mereka bukan sho-ai, apalagi yaoi. Ugh, jangan sampe deeh... T_T)

Oh iya, banyak-banyaklah memberi review untuk mempercepat apdetan~ :D