A/N : yeei akhirnya selesai juga! banzaaii \(^0^)/. Fic ini terinspirasi ketika Sora membaca sebuah novel yang dipinjamkan teman Sora semasa smp dan teringat kembali ketika sedang bengon di kamar. hahaha... Trus karena pengen juga bikin ficnya, akhirnya Sora kerjain dan selesai deeh. Semoga para readers suka^^

Disclaimer : mas Masashi Kishimoto yang manganya makin bikin gregetan aja.. aarrgghhh, gw penasaran sama lanjutannya.

Famdom : Naruto (pastinya!)

Warning : typo, keabalan, mpreg untuk chap depan, yaoi (boyxboy) and many more. *Readers : bilang aja lo males nulisnya* ditimpuk sendal

DON'T LIKE, DON'T READ, DON'T FLAME.

.

.

.

.

.

Normal P.O.V

"Pencopet! Tolong ada pencopet!" teriak seorang gadis berpakaian minim di tengah kerumunan orang-orang di siang hari yang lumayan terik pada pertengahan musim panas tahun itu. Baju tanpa lengan yang ketat dengan rok mini memamerkan tubuh si gadis, ditambah dengan dandanannya yang mencolok itu saja sudah banyak yang memperhatikannya, apalagi dengan suara teriakannya yang memekik telinga, menambah ia menjadi pusat perhatian banyak orang di sekitarnya.

Baik yang sedang berjalan bersama teman, pasangan dan keluarga juga yang tengah sibuk meneliti barang baru di depan etalase toko.

Beberapa pria, baik yang masih muda ataupun yang dewasa segera mengejar si pencopet dengan sekuat tenaga sesuai arah yang ditunjukkan sang gadis, yang tentunya juga dengan bermacam-macam alasan. Bagi yang memiliki rasa keadilan tinggi, mereka patut diberi aplouse juga dijadikan contoh karena niat yang tulus. Namun ada juga yang hanya sekedar ingin cari muka supaya kata-kata semacam 'Keren, gagah dsb' diberi untuk mereka. Bahkan ada juga beberapa sekedar ingin yang melampiaskan kekesalan dengan menghajar si pelaku jika tertangkap.

Ingat kata orang pintar kan? Seribu orang, seribu alasan, seribu tindakan, seribu jalan.

See?

Poor si pencopet jika ia tertangkap.

Sementara si pencopet dikejar kumpulan pria layaknya gerombolan singa yang mengejar 1 monyet. Si gadis sibuk menangis sambil dihibur orang-orang di sekitarnya. Meratapi hilangnya si tas bersama perangkat di dalamnya. Si ponsel, si duit bahkan si foto gebetan. Yang artinya hilang kesempatan untuk memelet si doi. Rugi si gadis, untung si pujaan. Di dalam hati, si gadis berambut pink tersebut sedang mengucapkan sumpah serapah dengan begitu beringas, meski di permukaan dia hanya menangis dengan gaya yang begitu feminim.

Ternyata si korban bermuka 2... ck, ck, ck...

Di tempat tak jauh dari si korban, si pencopet bertubuh lebih pendek dari pemuda kebanyakan itu, tengah berlari dan menghindar dengan lihai di kerumunan orang yang memadati jalan. Bergerak tanpa pola tertentu membuatnya bisa dengan mudah berada jauh dari orang-orang yang mengejarnya, karena mereka hanya berlari lurus tanpa strategi cerdik. Memang pas diumpamakan seperti gerombolan singa yang mengejar seekor monyet di hutan.

Jelas tidak mungkin dapat.

Di saat si singa mengejar dengan berpijak pada tanah, si monyet bisa leluasa berpindah dari 1 dahan ke dahan lain dengan kemampuannya. Bahkan jika si monyet berdiam diri di atas pohon saja, sampai lebaran singapun si singa tak akan mungkin dapat menggapai si monyet. Jadi bingung siapa raja hutan yang sebenarnya.

Si pencopet yang sudah mulai bosan bermain-mainpun mulai memasuki gang-gang kecil, berbelok dengan santai sambil terus berlari mengingat gang-gang kecil itu adalah 'rumahnya'. Ia terus berlari menuju ujung gang yang lain tersebut yang ternyata menghubungkannya ke tepi pantai.

Merasa sudah tak diikuti, iapun melepas jaket kumuh juga topi lusuh yang menutupi surai pirang lembutnya. Lalu meraih kacamata hitam dan masker yang bertengger manis di wajahnya. Membuangnya dengan santai ke tong sampah terdekat.

Ia terus berjalan perlahan di tepi pantai, menikmati semilir angin juga suara deburan ombak. Tenang dan juga nyaman. Rambut pirang berantakannya bergerak pelan ditiup angin, mata yang lebih indah dari laut juga langit biru itu bersinar memancarkan kekuatan hatinya. Bibir cherry pinknya juga 3 garis di tiap pipinya membuatnya tampak begitu manis. Dan kulit tan yang membungkus tubuhnya begitu eksotis, sehingga siapapun yang melihatnya takkan mampu menolak untuk ia dekati.

Dan hanya 1 orang beruntung yang telah dan masih memilikinya hingga saat ini.

.

.

.

.

.

Naruto P.O.V

Namaku Naruto, 16 tahun (lebih 3 bulan), laki-laki. Alasan kenapa aku selalu memperkenalkan diriku sebagai laki-laki adalah karena dari 100% orang yang melihatku, 95%nya pasti selalu mengira aku adalah perempuan. Sial! Apa wajahku sebegitu miripnya wanita hingga mereka pikir aku termasuk dari kaum hawa tersebut? Menyebalkan.

Pernah 1 kali aku menghajar pria hidung belang yang berani mengelus bokongku di dalam kereta. Akibatnya ia masuk rumah sakit selama 1 minggu karena kuhajar habis-habisan. Rasakan itu. Itu akibatnya kalau berani macam-macam dengan Uzumaki Naruto.

Aku sering berjalan-jalan di pantai ini. Karena meskipun pemandangannya indah, tempat ini tidak ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berlibur. Tidak ada jalan besar yang menghubungkan pantai ini dikarenakan letaknya yang terpencil, sehingga belum ada orang yang berniat menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata akibat minimnya akses untuk mengunjunginya. Paling-paling hanya penduduk sekitar sini saja yang datang untuk jalan-jalan. Sama seperti yang sedang kulakukan saat ini.

Aku terus menikmati suasana di pantai ini sambil tetap berjalan menuju rumahku. Ya, rumahku berada di dekat sini. Di pinggir pantai, di belakang sebuah toserba. Rumah yang kutempati itu hanyalah rumah tua yang ditinggal oleh pemiliknya. Tapi walaupun tua, itu tempat tinggal yang nyaman untuk ditinggali, dengan 1 ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur juga kamar mandi. Bahkan barang-barang dan peralatannya pun masih lengkap. Aku bisa menikmati matahari terbit dari jendela kamarku juga matahari terbenam dari dapur.

Ya, kalian pasti banyak yang berpikir itu rumah yang bagus, menurut yang kudengar, pemilik asli rumahku itu meninggalkan bangunan itu karena terus teringat dengan kenangan tentang anaknya yang telah meninggal. Jadi mereka pergi karena airmata yang selalu jatuh setiap menginjakkan kaki di sana.

Menyedihkan memang, tapi kesedihannya menguntungkanku.

Licik?

Kurasa tidak, aku menganggapnya lebih ke bencana membawa anugrah.

Aku sedikit mempercepat langkahku, matahari sudah semakin tinggi dan sebentar lagi waktunya makan siang. Jadi aku harus bergegas, karena pasti dia telah menungguku di meja makan untuk makan siang bersama, teman hidupku, suamiku.

Aku tersenyum tipis menatap cincin yang menghiasi jari kiriku. Cincin pernikahan kami. Ya, aku sudah menikah, dan aku menikah dengan seorang laki-laki. Di negara ini, negara Hi, pernikahan sesama jenis bukanlah hal yang tabu. Sehingga tidak aneh jika banyak pasangan sejenis yang nampak bertebaran dimana-mana sambil bermesraan. Itu hal yang biasa. Aku sendiri tidak merasa aneh dengan hal seperti itu, karena sebenarnya ayah angkatku, Umino Iruka adalah salah satu dari mereka.

Aku tinggal dengannya sampai sebelum aku menikah dengan suamiku. Kami tinggal di flat sederhana yang tak begitu jauh dari rumahku sekarang. Ia bekerja sebagai seorang pelayan di salah satu restoran mahal di kota ini, lalu menjalin hubungan dengan Manager di tempatnya bekerja, Kakashi Hatake. Kakashi-san sering berkunjung dan menginap di tempat kami. Akupun jadi dekat dengannya dan sudah menganggap ia sebagai keluargaku sendiri.

Dulu aku sering dibuat bingung akan sesuatu. Ketika Kakashi-san datang berkunjung dan menginap, mereka selalu menyuruhku tidur lebih awal dan tak kan pergi tidur sebelum aku benar-benar terlelap. Dan keesokan harinya aku pasti mendapati ayahku tidak bisa masuk kerja dengan alasan sakit. Ia juga tetap di dalam kamar, tepatnya di atas ranjang dan tak akan bergerak jika hari belum beranjak siang. Sehingga Kakashi-sanlah yang akhirnya membuatkanku sarapan lalu mengantarku sekolah.

Aku sempat berpikir kalau Kakashi-san pasti melakukan sesuatu pada ayah, hingga ayah selalu seperti itu. Dan saat itu aku mengira bahwa Kakashi-san melakukan hal yang jahat ketika aku melihat ayah berjalan tertatih-tatih sambil sesekali meringis. Karena takut sesuatu yang buruk terjadi pada ayahku, akupun tidak memperbolehkan Kakashi-san datang ke rumah sambil menangis mengatakan kalau ia jahat karena telah membuat ayah kesakitan.

Saat itu ayah menjelaskan kalau itu bukan salah Kakashi-san sendiri, tapi salah mereka berdua. Mereka berdua mengaku salah karena telah membuatku sedih dan menangis, dan mengatakan kalau ia baik-baik saja, namun mereka tetap saja tak mau menjelaskan apa yang menyebabkan ayah jadi begitu, dengan salah tingkah mereka bilang aku akan tau sendiri hal itu setelah besar nanti. Dan sekarang aku tahu apa itu, karena aku sendiri telah mengalami apa yang dulu ayahku alami.

Mengingat hal itu membuat wajahku memanas.

Aku tinggal dengan ayah angkatku sejak usiaku 6 tahun, dimana saat itu aku sedang berusaha untuk mencopet dompetnya. Ia memergokiku dan dengan lembut ia menawariku untuk tinggal dengannya, bukannya membawaku ke kantor polisi seperti orang kebanyakan. Setelah itu aku menangis sekencang-kencangnya melihat ketulusan dalam matanya, dan memilih untuk hidup dengannya sebagai ayah dan anak. Kubiarkan ia memelukku yang begitu dekil dan membawaku ke kehidupannya.

Aku tidak ingat siapa ayah dan ibu kandungku, karena yang kutahu aku sudah menjadi anak jalanan sejak berusia 3 tahun. Aku bersama anak jalanan lainnya harus berusaha bertahan hidup dengan mengemis di pinggir jalan untuk mendapatkan sesuap nasi dari orang yang bersedia menampung kami. Kami setiap harinya harus memberikan sejumlah uang padanya sebagai ganti makan untuk 1 hari. Dan mulai mencopet ketika kami berusia 5 tahun akibat semakin sedikitnya uang yang kami dapat dari mengemis.

Mereka bilang mereka menemukanku sedang bermain sendiri di pinggir jalan, sehingga mereka memungutku dan menjadikanku salah satu 'anak mereka'. Sebenarnya tidak semua dari mereka orang jahat karena pada dasarnya itu adalah cara mereka bertahan untuk hidup. Begitupun aku yang bertahan hidup dengan mencopet. Aku kembali mencopet setelah aku lulus SMP, dan itu kulakukan diam-diam karena tidak mau membuat ayah khawatir dan sedih.

Aku tidak melanjutkan sekolahku karena tidak ingin lebih menyusahkan mereka, ayah dan Kakashi-san, meskipun mereka bersikeras untuk menyekolahkanku, tapi aku tetap menolak dan akhirnya memilih untuk kembali seperti ini. Aku hanya ingin berdiri sendiri di atas kakiku yang pastinya dengan usahaku sendiri.

Tak lama setelah itu akupun bertemu suamiku, Uchiha Sasuke. Ia lebih tua 3 tahun 3 bulan dariku, usianya kini 19 tahun lebih. Kami menikah ketika aku genap berusia 16 tahun, usia yang legal untuk menikah di negara ini. Dan sekarang pernikahan kami memasuki bulan ke-3. Ketika kami menikah, seharusnya aku memiliki marga selain marga yang kudapat dari ayah angkatku, tapi karena kami sama-sama laki-laki, Sasuke memberikan kebebasanku untuk mengambil keputusan tentang hal tersebut. DAn akhirnya kuputuskan untuk tak memakai marganya sampai aku siap, dan diapun setuju.

Ia memiliki nasib yang sedikit berbeda dariku sebelumnya. ia memiliki seorang kakak laki-laki juga orang tua yang lengkap, sesuai yang ia beritahukan padaku. Ia memilih meninggalkan rumahnya ketika ia tamat SMA, dan memulai hidup sendiri. Ia melakukan hal itu karena tidak bisa lagi bersabar akan sikap ayahnya yang selalu membanding-bandingkan ia dengan sang kakak.

Sejak ia masuk SMA, pertengkaran antara ia dan ayahnya semakin sering terjadi dan hal itu memuncak setelah ia lulus. Ia berkata tidak ingin mengikuti perintah sang ayah untuk kuliah di luar negeri seperti kakaknya, pertengkaran mereka menghebat dan diakhiri dengan ayahnya yang dengan emosi menampar Sasuke. Saat itu Sasuke berkata kalau ia akan membuktikan kalau ia bisa hidup tanpa bantuan ayahnya bahkan mampu melampaui sang kakak. Itulah saat terakhir kalinya Sasuke menginjakkan kaki di kediamannya, dengan hanya bermodalkan pakaian di badan juga kartu identitas ia meninggalkan rumahnya, menghiraukan panggilan sang ibu juga sang kakak untuk kembali.

Ia hidup tak menentu saat itu, beberapa kali ia bekerja di toko, cafe ataupun restoran namun semuanya tak bisa ia lakukan dengan baik karena gaya hidupnya sebelumnya. Ia berulang kali dipecat dari pekerjaannya dan akhirnya ia mulai menapaki jalan yang tak jauh berbeda denganku. Iapun kini memilih menjadi seorang penipu. Dengan modal tubuh, wajah juga wibawa yang ia punya, ia sudah banyak menipu namun korbannya tak ada yang dari kalangan menengah ke bawah. Ia selalu menipu kaum atas yang kebanyakan wanita.

Memang harus kuakui suamiku itu laki-laki yang tampan, entah sudah berapa banyak wanita juga pria yang mengejarnya tapi pada akhirnya ia malah memilihku dan itu membuatku sedikit tersanjung.

Kami pertama kali bertemu ketika kami baru selesai dengan pekerjaan kami masing-masing di depan sebuah toko. Ia yang berniat menipuku dan aku yang berniat mencopet dompetnya. Dan pertengkaranpun menemani perkenalan pertama kami tesebut, saat kami sadar kami rekan seprofesi -yah, seorang penipu dan pencopet tidak jauh beda kan?- dan adu mulut itupun semakin tak terelakkan. Ia yang dengan seenaknya memanggilku 'Dobe' dan aku yang tak mau kalah dengan sengaja menjulukinya 'Teme'.

Entah mengapa setelah itu kami jadi sering bertemu, entah di taman, di jalan bahkan di toilet umum. Dan perlahan-lahan kami mulai dekat dengan status teman yan tak jelas. Beberapa kejadianpun membuat kami semakin akrab dan tak lama kemudian dia memintaku untuk jadi kekasihnya di depan banyak orang di sebuah pusat perbelanjaan di kota. Akupun dengan malu-malu menerimanya dan sahlah kami jadi sepasang kekasih sejak saat itu.

Meskipun sudah menjadi kekasihnya, hubungan kami tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, masih sering adu mulut dan bertengkar hanya karena hal sepele. Tapi tak ada satupun dari kami yang berniat untuk mengakhiri hubungan itu. Bahkan ia bisa menerima aku yang dengan tegas menolak untuk kontak fisik yang lebih dari sebuah pelukan, pegangan tangan juga ciuman, itupun bukan ciuman di bibir.

Setengah tahun setelah kami berpacaran ia melamarku dan meminta restu dari ayah juga Kakashi-san -yang entah mengapa mereka sampai saat ini belum juga menikah- dengan serius. Awalnya ayah menolak karena menganggap aku masih terlalu muda untuk manjalani kehidupan pernikahan. Namun dengan keteguhan Sasuke dan keinginanku untuk bersama Sasuke, akhirnya ayah mengalah dan mengizinkan kami menikah ketika aku sudah berusia 16.

Aku masih ingat dengan jelas pernikahan sederhana kami saat itu. Hari dimana aku berusia 16 tahun adalah hari yang takkan pernah aku lupakan. Kami menikah di gereja di dekat flat ayah, dengan saksi seadanya aku berjalan memasuki Virgin Road ditemani ayahku di sisiku.

Aku memakai tuxedo putih dengan tudung transparan sepinggang juga buket bunga kecil di genggaman tanganku. Sebenarnya aku memakai tudung juga memegang bunga adalah karena keinginan Sasuke, ia bersikeras ingin aku melakukannya dan akhirnya aku mengalah. Aku bisa melihat ia menatapku sambil tersenyum tipis di depan altar didampingi Kakashi-san di sisinya.

Ketampanannya terlihat begitu sempurna di mataku. Ia dengan tuxedo putih yang hampir mirip dengan yang kupakai berdiri dengan gagah sambil menantiku untuk berada di sisinya. Rambut gelap yang bermodel, kulit putih susu tanpa cacat, mata layaknya malam juga hidungnya yang mancung. Bahkan tangan yang biasa menggenggamku itu terasa begitu hangat saat ia mengulurkan tangannya untuk menyambutku.

Dan semua berlangsung seperti mimpi, dimana kami mengucap janji, saling memakaikan cincin dan ketika dengan lembut Sasuke menyibak tudung yang kupakai dan tersenyum sebelum menciumku, mengikatku dengannya lewat ikatan suci ini.

Dengan wajah memerah aku menunduk mendapati tepukan tangan setelah pastur mengatakan kami telah sah sebagai teman hidup. Bagaimana tidak, itu ciuman pertamaku dan aku melakukannya di depan banyak orang. Tawa pelan dari Sasuke bisa kudengar melihat wajah merah padamku ketika kami mulai berjalan meninggalkan geraja untuk memulai hiudp baru sebagai pasangan menikah yang telah sah. Isak haru dari ayahpun tak luput dari pendengaranku. Dimana ia meneteskan air mata di temani Kakashi-san.

Setelah menikah kami tidak langsung tinggal di kediaman kami sekarang, kami sempat tinggal di flat ayah untuk beberapa hari dan baru pindah ketika kami berjalan-jalan di pantai sambil berpegangan tangan dan menemukan rumah tak berpenghuni itu.

Kamipun pindah dari flat ayah 2 hari kemudian setelah memastikan bahwa rumah itu kosong. Dan malam pertama kamipun kami lalui di rumah itu. Mengingatnya membuat suasana jadi tambah 'panas' saja. Karena tak ingin dipergoki sedang melakukan 'itu' oleh ayah, Sasuke menahan dirinya dan bersabar sampai kami pindah.

Malam pertama itu kami lalui di malam kepindahan kami ke rumah itu. Aku terus menangis malam itu, bukan berarti aku cengeng, hanya saja rasa yang dirasakan oleh tubuhku juga hatiku membuatku tak bisa menahan air mataku untuk tetap di tempatnya.

Sasuke memperlakukanku dengan hati-hati dan lembut, ia juga tak henti-hentinya mengucapkan kata untuk menenangkanku. Tapi tetap saja, perasaanku campur aduk. Bahagia -tentu karena akhirnya aku bisa memiliki juga dimiliki orang yang kucintai-, takut -jelas, karena saat itu adalah saat pertamaku- dan semua rasa itu memenuhi dadaku hingga terasa sesak. Airmataku semakin mengalir ketika dengan mataku sendiri aku melihat darah juga 'benih cintanya' mengalir di antara kakiku. Dan saat itu yang kulakukan hanya terisak di dalam pelukannya, keesokannya aku terbangun dengan ia yang tersenyum lembut padaku sambil mengucapkan selamat pagi.

Dan itu adalah saat paling bahagia yan kurasakan sampai saat ini.

"Tadaima," ucapku sambil membuka pintu depan sambil melepaskan sepatu. Aku terus berjalan menuju ruang makan dan mendapati ia yang menatapku dan berkata untuk menyambutku.

"Okairi, Dobe," sahutnya mengulurkan tangannya padaku, menuntunku untuk duduk di sisinya.

"Kita makan apa untuk siang ini, Teme?" tanyaku sambil duduk di tempatku yang biasa, di sampingnya yang diduduk di ujung meja makan.

"Onigiri bento dan takoyaki untuk penutup yang kubeli di toko sebelah,"

Mendengar jawabannya membuat aku cemberut.

"Kenapa kau tidak membelikanku ramen instan? Kau kan bisa sekalian membelinya kalau kau ke toko sebelah, Teme?"

"Terlalu banyak makan ramen tidak baik untuk kesehatanmu, Dobe. Kadar garam dan MSGnya terlalu tinggi untukmu."

"Aku tidak peduli. Kau kan tau aku sangat suka ramen. Kau menyebalkan!" sungutku.

"Hn."

"Apa-apaan itu? Kau sengaja mengejekku ya dengan menyahuti seadanya?"

Dan pertengkaran kecil kamipun menemani makan siang hari ini, sama seperti siang-siang yang lalu. Meskipun kesal tetap saja aku memakan yang ia belikan, karena meskipun ia tak membelikan ramen kesukaanku, ia membelikan jus jeruk kegemaranku untuk minum.

"Nee, Teme. Hari ini aku dapat pancingan besar, lho." Ujarku padanya seusai kami makan.

"Lihat!" sambungku sambil menunjukkan sabuah dompet berwarna pink yang lumayan tebal padanya. Lalu dengan semangat akupun mulai memeriksa dengan mengeluarkan semua benda yang ada di dompet tersebut. Sasuke hanya memperhatikanku dalam diam.

Di dalamnya ada kartu identitas, hmm... nama gadis itu kalau tidak salah Haruno Sakura. Wah, dia seumuran Sasuke. Dia memiliki beberapa ATM juga kartu kredit. Dia juga menyimpan fotonya sendiri dan teman-temannya, sepertinya. Bahkan ada foto lelaki tampan, sepertinya itu foto orang yang ia sukai.

"Wah, Sasuke coba lihat. Uangnya banyak sekali. Dengan uang segini pasti cukup untuk kita beberapa minggu ke depan. Kita juga bisa membeli barang-barang yang kita butuhkan. Iya, kan?" ujarku menjejerkan uang yang kudapat dari dompet curianku padanya.

Namun ia hanya diam sambil menatap uang yang ada di atas meja. Lama ia menatapnya dan kemudian beralih menatapku dengan intens. Aku tau apa yang ia pikirkan kalau sudah begini. Segera kubereskan benda-benda yang yang ada di meja. Membuang bekas makan kami ke dalam tong sampah dan membereskan isi dompet itu. Ketika aku akan beranjak ke kamar, tiba-tiba Sasuke menggenggam pergelangan tanganku. Kutolehkan kepalaku untuk menatap ke arahnya.

"Naruto, berhentilah melakukan pekerjaan itu,"

"Maaf, Sasuke. Aku tidak bisa," jawabku tegas sambil mengeleng.

"Kenapa kau begitu keras kepala?" sahutnya tak mau kalah.

"Kau sudah tau kan jawabanku, aku tak kan berhenti jika kau juga tak berhenti melakukan pekerjaanmu itu. Kau tidak lupa kan?"

"Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kita sudah menikah, jadi kau tidak perlu lagi bekerja,"

"Kau juga harus ingat Sasuke, aku ini laki-laki. Perempuan saja banyak yang bekerja sesudah menikah, kenapa aku tidak?"

"Jika kau bersikeras mau bekerja aku tidak mempermasalahkannya, asalkan bukan pekerjaan seperti ini,"

"Memangnya kenapa dengan pekerjaanku? Kau keberatan?"

"Kau tau apa alasanku melarangmu, Naruto. Mengertilah."

Ucapannya membuatku terdiam. Ya, aku mengerti apa yang menjadi alasanmu Sasuke. Sebenarnya argumen ini sudah sering kali berputar di pembicaraan kami. Ia tidak ingin aku mencopet lagi karena sudah lelah mengkhawatirkanku dikejar-kejar orang di luar sana. Ia merasa dengan uang hasil pekerjaannya saja sudah bisa mencukupi kebutuhan kami. Aku sadar itu, uang Sasuke lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Tapi, aku tetap saja tidak bisa berdiam diri. Sementara ia sendiri menanggung resiko besar dalam pekerjaannya, masa aku hanya diam di rumah menunggunya pulang sambil bersantai dan menonton tv? Tentu aku tidak bisa. Itu tidak adil.

"Cukup aku yang melakukan pekerjaan kotor ini Naruto. Aku tidak mau kau menjadi orang sepertiku," tambahnya sambil memeluk pinggangku dari depan. Hingga aku terduduk di pangkuannya.

Dengan perlahan kuusap rambut bermodelnya dan hal itu membuatnya semakin membenamkan wajahnya di dadaku. Lama kami berdiam seperti ini mencoba menenangkan diri masing-masing. Dan aku yakin Sasuke masih tetap akan mencoba untuk membujukku esok, lusa dan seterusnya.

"Aku hanya merasa semuanya tidak adil jika aku menurutimu Sasuke, kau juga harusnya mengerti apa keinginanku,"

"Aku mencoba Naruto, aku mencoba. Tapi, tidak semudah yang dibayangkan,"

"Aku mengerti," balasku lirih. Ia menatapku dan mempersempit jarak wajah kami dengan perlahan.

"Aku hanya tidak ingin kehilanganmu," bisiknya menggetarkan gendang telingaku.

Dan kemudian yang kurasakan adalah sesuatu yang lembut menyentuh bibirku, membuaiku hingga aku pasrah akan apa yang aku terima nantinya. Mengikuti permainan cintanya hingga matahari terbenam di ufuk barat dan kembali bersinar di ufuk timur. Mendengarkan bisikannya semalaman suntuk, menatap matanya lewat mataku dengan pandangan yang mengabur akibat air mata yang mengalir, membiarkan suaraku mengalun layaknya untaian lagu indah di telinganya.

.

.

.

.

.

TBC...

Gimana?

saya banyak mengucapkan terima kasih buat semua yang udah mau baca fic Sora.

tentang semua kesalahan dan kekurangannya, moga para readers mau membantu Sora untuk memperbaikinya dengan memberi saran dan kritiknya.

so, mind give some review?

thank you.

With love, Sora no Michi