Doa Terakhir

By : Razux

Disclaimer : Gakuen alice belong to Higuchi Tachibana.

.

.

.

Chapter IV


A.E 853- Alyphiul

Natsume membuka mata merah keemasannya, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit tinggi yang tidak asing baginya. Bangkit dari tempatnya berbaring, dia menemukan dirinya berada di atas ranjang besar empuk dengan selimut sutra menutupi tubuh. Menatap sekeliling lagi, dia menemukan dirinya berada dalam sebuah kamar besar dan megah yang sekali lagi, tidak asing baginya.

"Kakak! Kau sudah bangun!" teriak Aoi yang terbagun dari tidurnya. Ekspresi kelegaan memenuhi wajahnya yang telah duduk di samping tempat tidur Natsume untuk menjaganya sejak dia menemukannya tidak sadarkan diri di atas lantai.

Natsume menatap hati-hati wajah Aoi. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih, tapi melihat wajah gadis di depannya, dia tahu siapa itu. "A-Aoi?" panggilnya pelan, walau dari pada panggilan lebih tepat terdengar seperti sebuah pertanyaan.

"Kakak.." Balas Aoi pelan. Dia bisa melihat ekpresi hati-hati di wajah Natsume. Mata yang menatapnya sekarang memang mata Kakaknya, namun, dia tidak tahu mengapa, dia juga merasa bukan. Ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskannya saat menatap sepasang mata keemasan yang ada di depannya.

Menoleh wajah menatap sekeliling lagi, Natsume mengangkat tangan menyusuri rambut hitamnya. Seketika juga dia sadar betapa besar dan panjangnya tangannya sekarang. Menoleh kepala menatap Aoi lagi, dia melihat gadis itu menatapnya takut bercampur khawatir sekarang. "K-Kakak, ada apa denganmu?"

"A-aku—" jawab Natsume terbata-bata, walau akhirnya terputus saat dia melihat pintu kamar tempatnya berada terbuka. Seorang pria dan wanita berjalan masuk dengan wajah penuh kekhawatiran, namun seperti Aoi pada saat dia membuka mata dan melihatnya, ekspresi kekhawatiran itu segera berubah menjadi kegembiraan dan kelegaan.

"NATSUME!" Panggil wanita itu cepat dan berlari mendekati Natsume. Tidak mempedulikan pandangan bingung pemuda bermata merah keemasan itu, dia segera memeluknya dengan erat sambil berlinang air mata. "Syukurlah! Syukurlah kau sudah sadar! Kau tidak tahu betapa khawatirnya Ibunda, Ayahanda dan Aoi selama kau tidak sadarkan diri."

Kehangatan pelukan serta kata-kata yang diucapkan wanita yang memeluknya membuat Natsume sadar. Dia tahu wanita yang memeluknya sekarang, begitu juga dengan pria yang kini berdiri di samping mereka sambil tersenyum lembut, mereka adalah Raja dan Ratu dari Kerajaan Alyphiul, Ioran dan Kaoru; Ayah dan Ibu kandungnya.

Mengangkat tangannya, Natsume membalas pelukan Kaoru dengan erat. Ya! Dia tahu siapa dirinya sekarang, dia adalah Natsume. Pangeran sekaligus pewaris tahta Kerajaan Alyphiul, dia bukanlah Natsume, anak kecil yang terbuang oleh keluarganya sendiri di Kerajaan Aera.

"Ibunda, Ayahanda, Aoi," panggil Natsume pelan dan melepaskan diri dari pelukan Kaoru. "Maaf membuat kalian khawatir. Tapi, apa yang terjadi padaku?"

"Kau tidak sadarkan diri selama dua hari, Natsume," jawab Ioran pelan sambil menepuk-nepuk pundak putranya dengan lembut. "Dan Tabib tidak tahu penyebabnya."

"Dua hari?"

Kaoru mengangguk kepala dan duduk di samping tempat tidur Natsume sambil menghapus air matanya. "Iya. Aoi yang menemukanmu. Kau harus tahu betapa khawatirnya kami semua."

"Aoi?" menatap Aoi lagi, Natsume bisa melihat adiknya itu masih menatapnya dengan khawatir bercampur takut. "Tenanglah, ini aku. Maaf telah membuatmu khawatir."

Ucapan dan pandangan Natsume langsung membuat Aoi merasa lega. Sepasang mata merah keemasan yang menatapnya kini telah kembali seperti semula. Yang di depannya memang Kakaknya. Yang dirasakannya barusan pasti hanyalah khayalannya saja. Meloncat memeluk Natsume, Aoi segera memendamkan wajah pada celah leher Kakaknya. "Kakak! Kakak! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku!" tangisnya.

Natsume membiarkan Aoi menangis. Tangannya membelai lembut rambut adiknya tersebut. Menatap Ioran dan Kaoru, dia bisa melihat mereka berdua tersenyum gembira. Keluarganya, orang-orang ini adalah keluarga yang selalu ada untuknya. Menoleh wajahnya lagi, pandangannya kemudian jatuh pada lukisan yang terpasang di dinding kamarnya. Menatap lukisan dari pemuda yang duduk sambil tersenyum di bawah sebatang pohon sakura, Natsume mengepal erat tangannya.

Natsume.

Dia adalah Natsume dari Alypiul, bukan Natsume dari Aera. Dia bukanlah sosok dari pemuda dalam lukisan tersebut. Yang dilihatnya, dialaminya, pasti merupakan mimpi—sebuah mimpi yang begitu nyata hingga menakutkannya. Lalu, pandangan matanya kemudian jatuh pada gadis yang sedang menari sambil tersenyum.

Mikan.

Kesakitan yang luar biasa langsung menyerang hatinya. Sangat sakit. Dia ingat semuanya, wajah itu, senyum itu, tawa itu, suara, sentuhan, kehangatan, lalu; air mata. Gadis dalam lukisan, gadis yang selalu hadir dalam mimpi serta pikirannya selama ini adalah dia; Mikan, Putri dari Kerajaan Aera lima ratus tahun lalu.

.xOx.

"Natsume," panggil Ruka pelan. Membuka pintu kamar sahabatnya, dia melihat pemuda bermata merah keemasan itu sedang berdiri tegap menatap lukisan yang masih terpasang di dinding kamar tersebut. Mendekatinya, mata biru langitnya menatap Natsume yang tidak bergerak dan menghela napas. "Kau tidak apa-apa?"

"Aku tidak apa-apa, Ruka." Jawab Natsume datar, tetap tanpa menoleh wajah menghadap sahabatnya.

Ruka menghela napas lagi mendengar jawaban Natsume. Dia tahu, Natsume sedang berbohong. Menoleh wajah menatap lukisan di depan, dia hanya bisa menelan ludahnya. Lukisan itu menakutkan baginya. Dia tidak tahu bagaimana Natsume masih bisa tetap tenang meski telah melihatnya. Demi semua Dewa dan Dewi, pemuda dalam lukisan itu memiliki wajah dan fisik tubuh yang sama persis dengan Natsume, terlebih lagi, lukisan itu dilukis lebih dari lima ratus tahun yang lalu.

"Apakah menurutmu mereka bahagia dalam lukisan ini, Ruka?" tanya Natsume tiba-tiba.

"Eh! T-tentu," jawab Ruka terbata-bata karena terkejut. Menatap Natsume sejenak, dia kembali menatap lukisan di depan mereka. "Kurasa siapa saja yang melihat lukisan ini akan langsung sadar betapa bahagianya kedua model tersebut saat lukisan dibuat."

Ruka tidak berbohong dengan jawabannya. Lukisan di depannya sekarang, siapapun pelukisnya, telah berhasil menangkap kebahagiaan kedua modelnya. Cinta kasih yang terjalin antar mereka terlihat jelas walau tidak ada kontak fisikpun diantaranya.

"Apakah menurutmu gadis itu tetap tersenyum bahagia seperti ini hingga akhir hayatnya?" tanya Natsume lagi.

"N-Natsume.." Ruka sangat bingung, dia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan sahabatnya menuju sekarang.

"Wanita tua itu mengatakan mereka terpisah dan terbunuh," sambung Natsume tidak mempedulikan Ruka. Tangannya terangkat menyentuh pipi gadis dalam lukisan, sedangkan mata merah keemasannya memancarkan kesedihan yang sangat dalam. "Pada akhir hayatnya, apakah dia menangis? Apakah dia takut? Apakah dia sedih? Apa— "

"NATSUME!" teriak Ruka keras sambil menguncang tubuh Natsume. Mata biru langitnya bersinar penuh ketakutan melihat sikap sahabatnya sejak kecil itu. Ucapan Natsume barusan, ekspresi wajahnya, dia seakan tidak mengenalnya lagi. "A-ada apa denganmu?"

Natsume tersadar dan menatap Ruka. Dia bisa melihatnya dengan jelas ketakutan sahabatnya. Mengepal tangan, dia menurunkan kepala ke bawah, menghindari tatapan serta pertanyaan Ruka. Apa yang harus dijawabnya? Apa yang harus diceritakannya untuk menjawab pertanyaan yang diajukan? Sebab dia sendiri juga tidak mengerti lagi apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya sendiri.

Ruka melepaskan tangannya. Sebagai sahabatnya sejak kecil, dia tahu, Natsume tidak memiliki jawaban akan pertanyaannya sekarang. "Mungkin memang tidak masuk akal dan pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh, tapi, apakah kau mengenal gadis ini, Natsume?"

Natsume mengangkat kepala menatap Ruka. "A-aku, aku tidak mengenalnya Ruka," membalikkan wajahnya menatap lukisan sang gadis, Natsume menelan ludah dan mengangkat tangan menyusuri rambut hitamnya. "Aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku tidak pernah melihatnya di dunia ini. Aku tidak mengenalnya…."

Ada nada keputus asaan dalam suara Natsume. Ruka bisa mendengar dan melihatnya. Natsume yang selalu penuh kepercayaan diri, kini terlihat begitu bingung dan penuh keraguan. Menarik napas, Ruka tersenyum lembut penuh pengertian. "Kalau benar-benar tidak mengenalnya, bagaimana kalau kita ke Desa Issil lagi untuk bertanya pada wanita tua pemilik lukisan ini sebelumnya?"

Natsume segera menoleh wajah menatap Ruka. "Maksudmu?"

"Aku akan menemanimu ke sana, Natsume." Senyum Ruka.

.xOx.

Membuka pintu kamar wanita tua yang berada dalam salah satu rumah di Desa Issil, Natsume dan Ruka melihatnya terbaring lemah di atas tempat tidur. Matanya terpejam, seakan tertidur. Namun, saat mereka berdua melangkah kaki masuk, mata itu segera terbuka. Melihat siapa yang masuk, wanita tua itu tersenyum lemah. "Selamat siang, Yang Mulia Pangeran."

Natsume berjalan mendekati wanita tua itu diikuti Ruka. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, namun mata emasnya berkata lain, ada kebingungan di dalamnya. "Siapa Mikan?"

Pertanyaan Natsume membuat membuat wanita itu kembali tersenyum. "Kenapa anda bertanya seperti itu pada hamba, Yang Mulia?"

"Karena kaulah satu-satunya yang memiliki jawabannya," menelan ludah, Natsume kembali bertanya, "Beritahu aku, siapa dia sebenarnya?"

Wanita tua itu tertawa lemah, "Yang Mulia Pangeran. Anda mengenalnya, bukan?"

"Tidak!" balas Natsume setengah berteriak. Kedua tangannya tergepal erat. "Aku tidak mengenalnya! Aku tidak pernah bertemu dengannya! Aku tidak pernah meli—"

"Anda mengenalnya, bukan, Yang Mulia?" potong wanita tua itu pelan. Matanya menatap lembut Nastume. "Anda memang tidak pernah melihat ataupun bertemu dengannya. Tapi, jawablah dengan jujur, tanya pada diri anda sendiri, anda mengenalnya, kan?"

Ucapan wanita tua itu membuat Natsume terdiam. Mengenalnya walau tidak pernah melihat ataupun bertemu? Itu mana mungkin. Tapi, jika bertanya pada dirinya sendiri dengan jujur, jawabannya hanya satu; ya. Dia mengenalnya, mengenalnya dengan baik. Senyumnya, tawanya, kepolosannya, kenaifannya, kehangatannya, air matanya—dia telah mengenal Mikan sepanjang hidupnya.

Natsume menurunkan kepala ke bawah, kembali mengepal tangannya. "Ya…" akunya pelan sambil mengangkat kepala lagi menatap wanita tua itu. "Aku mengenalnya. Aku tahu siapa namanya, senyumnya, tawanya, kepolosannya. Karena itulah aku ingin bertanya padamu, kenapa? Kenapa aku bisa mengenalnya?"

Air mata mengalir menuruni pipi wanita tua tersebut. Tertawa pelan, dia mengangkat kedua telapak tangannya yang tua menyentuh dada. Matanya berbinar gembira menatap Natsume. "Doa, Yang Mulia," jawabnya pelan. "Kerena doa terakhir Sang Putri. Doa terakhir yang telah dikabulkan Dewi Altha."

"Doa terakhir?" sela Ruka pelan. Dia yang dari tadi diam membisu tidak dapat lagi menghentikan dirinya yang tidak mengerti sedikit pun pembicaraan yang terjadi di depannya.

"Kau mengatakan mereka terpisah dan terbunuh," potong Natsume tiba-tiba, membuat Ruka dan wanita tua itu kembali menatapnya. Suaranya sangat pelan, sebab dia telah berusaha mati-matian mengucapkannya. "Akhir kisah mereka, bisakah kau menceritakannya padaku?"

"Kenapa anda bertanya seperti itu pada hamba, Yang Mulia?" tanya wanita tua itu kembali dengan sebuah senyum sendu. "Melebihi siapapun di dunia, bukankah andalah yang sesungguhnya paling tahu akhir kisah mereka, Yang Mulia?"

Natsume tertegun. Dia tidak menemukan suara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sedangkan Ruka yang benar-benar sudah sangat frustasi dengan pembicaraan yang didengarnya memilih untuk diam.

"S-siapa kau sebenarnya?"

"Hamba hanyalah seoarang wanita tua biasa, hamba hanyalah keturunan dari penghianat yang tidak seharusnya hidup." jawab wanita tua itu pelan penuh kesedihan. Matanya tiba-tiba terasa berat, air mata mengalir menuruni pipinya. Namun, tawa kecil meluncur keluar dari bibirnya. "Doa terakhir. Hamba bahagia. Tidak pernah hamba menyangka akan melihat dengan kepala mata sendiri saat doa terakhir Sang Putri mulai terpenuhi. Hamba bahagia karena hamba akhirnya bisa menembus dosa keluarga hamba meski sedikit…"

Menoleh wajah menatap Natsume, wanita tua itu kembali tersenyum lembut untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya, menutup mata untuk selamanya. "Hamba tidak bisa memberitahu anda apa-apa lagi, Yang Mulia. Jika anda benar-benar ingin mengetahui kebenaran dan segalanya, pergilah ke Benua Barat, pergilah ke reruntuhan Kerajaan Aera. Carilah cerita akan kehidupan masa lampau anda…"

.xOx.

Natsume berjalan pelan menuju kamarnya. Dua hari telah berlalu semenjak kematian wanita tua itu dengan menyisahkan begitu banyak pertanyaan, dan dalam dua hari itu juga, dia tidak tidur sama sekali. Dia tidak berani menutup matanya, sebab dia tidak mau, atau sejujurnya takut. Bagaimana kalau dia memimpikannya lagi? Memimpikan dirinya sebagai Natsume dari Aera lagi. Dirinya ingat betapa bingungnya dia saat sadar dari mimpi itu. Mimpi itu seakan membuatnya tidak tahu lagi siapa dirinya sebenarnya.

Membuka pintu kamarnya, mata merah keemasannya terbelalak saat melihat sosok Ioran yang sedang berdiri menatap lukisan di dinding kamarnya. "Ayahanda, kenapa anda berada di sini?' tanyanya sambil berjalan mendekati Raja Alypiul.

"Lukisan yang indah, ya, Natsume?" tanya Ioran tanpa menoleh wajah pada putranya yang telah berada di samping. "Aku mengerti kenapa kau tidak membiarkan Aoi membuangnya."

Natsume tidak membalas ucapan Ioran. Dia diam menatap ayahnya penuh tanda tanya. Sikapnya yang berubah selama dua hari ini telah membuat Aoi dan Kaoru sangat khawatir. Aoi berusaha untuk membuang lukisan tersebut. Dia berasumsi bahwa lukisan itulah penyebabnya perubahan sikapnya, yang mana memang tidak salah seluruhnya. Namun, Natsume tidak mengijinkannya, sebab membuang lukisan itu baginya adalah membuang Mikan. Bagaimana mungkin dia melakukan itu?

"Ibumu dan Aoi sangat khawatir dengan perubahan sikapmu, Natsume," lanjut Ioran lagi dan tertawa kecil. "Bukan hanya mereka, bahkan Ruka, para Mentri, dan Jendral juga. Rakyat pasti akan ikut khawatir jika mengetahuinya."

"Maafkan aku.." Natsume tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia tahu, dia telah membuat semua orang khawatir, tapi dia benar-benar tidak berdaya sekarang.

Menoleh wajah menatap Natsume. Ioran kemudian mengangkat tangan menepuk pundak putranya dan tersenyum lembut. "Aku juga khawatir, Natsume. Tapi, aku tahu, apapun yang kau hadapi, kau pasti bisa melewatinya. Aku percaya padamu."

Natsume tertegun mendengar kepercayaan Ioran akan dirinya. Selalu lembut dan penuh pengertian, itu adalah sosok Ayahnya, Sang Raja Alypiul yang sangat dihormati semua orang. "Terima kasih, Ayahanda."

"Bagus," tawa Ioran dan kembali menoleh wajah menatap lukisan di depan. "Kau tahu, Natsume. Kurasa, kau perlu istirahat dari tugasmu sebentar. Bagaimana kalau pergi berlibur?"

"Ayahanda, aku tidak per— " jawab Natsume. Namun, Ioran segera mengangkat tangannya member perintah untuk berhenti berbicara.

"Bagaimana kalau kau pergi ke Benua Barat? Ke reruntuhan Kerajaan Aera." tanya Ioran sambil tersenyum.

Mata Natsume terbelalak mendengar pertanyaan Ioran.

"Kurasa kau bisa berangkat besok. Aku sudah meminta orang mempersiapkan semua kebutuhanmu selama perjalanan, jadi kau tidak perlu khawatir."

"D-dari mana kau tahu semua ini, Ayahanda?" tanya Natsume menatap ragu-ragu Ioran. Dia tidak tahu dari mana Ayahnya tahu semua itu. Apakah Ayahnya menyembunyikan sesuatu darinya?

Ioran tertawa melihat reaksi Natsume. "Tidak perlu khawatir, Natsume. Aku mengetahuinya dari Ruka. Kau pikir kalian bisa merahasiakan semuanya dariku, ya?"

Natsume diam membisu. Ruka. Ya, dia seharusnya menyadari ini. Menatap diam Ioran, dia seharusnya sadar bahwa, Ayahnya itu pasti akan mengintrogasi sahabatnya tersebut. Ioran memang terkenal sebagai Raja yang lembut dan baik hati, namun, selain itu, dia juga terkenal sebagai Raja yang sangat cerdik dan banyak akal. Ya! Dia tidak mungkin menjadi Ayahnya jika bodoh dan tidak berguna, kan?

"Pergilah ke Benua Barat, Natsume," Lanjut Ioran lagi pelan sambil tersenyum. "Cari jawaban dari apa yang menganggumu. Aku memang tidak mengerti apa-apa. Tapi ingatlah selalu, betapa menakutkan atau membingungkannya dirimu akan jawaban yang kau cari, kau selamanya tetaplah putraku, Pangeran Mahkota, calon Raja Kerajaan Besar Alypiul."

.xOx.


Author Note's : Hm…. Hai para pembaca di Fandom Gakuen Alice yang budiman! Hmmm, lama tidak jumpa. Setelah jalan-jalan ke sana-sini, akhirnya aku kembali lagi, dan memutuskan untuk melanjutkan Fic ini ( hahahahaha ).

Yup! Fic ini adalah fic The Pray. Hanya saja, aku memutuskan untuk menulis ulang dengan mengubah beberapa setting dan juga judul. Aku mengubah judulnya dari 'The Pray' menjadi 'Doa Terakhir'. Mohon dukungannya ya^^ Seperti biasa!^^

Razux