Life of A Rose
Hanachi Soraria
Disclaimer: Vampire Knight dan segala isinya milik Matsuri Hino.
Plot dan Original Character milikku
Warning: OC, OOC, typo(s)
Terima kasih kepada Black Rose 00, karena aku bisa memperbaiki beberapa kalimat yang rancu. Dan terima kasih untuk orang-orang yang telah memberi review. Kalimat dari kalian memberiku dukungan dan mendorongku untuk melanjutkan cerita ini. (Meski sempat lama tidak dilanjutkan #Author dilempar beton.)
Chapter 2: What is your Secret?
Kedua gadis itu berjalan berdampingan di koridor.
Untuk yang pertama kalinya, Yuki bisa melihat wajah gadis baru di sebelahnya dari jarak dekat. Ia melihat wajah yang bisa dikatakan mempesona padanya. Rambut panjang sepinggang dengan warna cokelat kemerahan, mata yang berwarna cokelat gelap, hidung mancung, kulit putih dengan pipi merona. Semua terlihat normal, namun ada sebuah kejanggalan tidak kentara yang membuat Yuki tidak bisa berpaling dari Misa. 'Sesuatu…'
"Ada apa?"
Yuki salah tingkah ketika Misa menatapnya dan segera menyusun kata-kata."Bo..boleh kutahu alasanmu datang ke Cross Academy?"
"Hmm.." Misa berpikir sejenak. Ia tahu bukan itu yang sebenarnya ingin ditanyakan Yuki, namun ia membiarkannya. "Apa ya? Nii-san yang minta aku kesini, tapi aku tidak pernah tahu alasannya. Dia selalu mengalihkan pembicaraan."
"Kamu datang ke Cross Academy karena permintaan kakakmu?"
"Ya. Sebenarnya aku berniat menolak ketika ditawari oleh Nii-san. Tapi, ketika dia bilang bahwa permintaan ini adalah permohonan seumur hidupnya, aku langsung menerimanya. Waktu itu wajah Nii-san kelihatan panik. Coba kamu melihatnya, lucu sekali lho." Misa tertawa kecil.
Kalimat itu sama sekali tidak mengandung humor di telinga Yuki.
"Tanpa dipikir dengan keras pun sebenarnya aku tahu alasannya. Mungkin karena sekarang aku sedang jadi target makhluk buas yang belum teridentifikasi. Mau kuceritakan?"
Yuki tidak bisa berkata-kata dan menutup mulutnya dengan salah satu tangan. Ia berhenti berjalan dan menampilkan wajah tegang saat menatap Misa. Makhluk... yang belum teridentifikasi...? Jangan-jangan...
Melihat tubuh Yuki yang membeku, Misa tertawa nyaring, "aku cuma bercanda lho, Yuki. Mana ada yang seperti itu? Alasanku berada disini sekarang sederhana kok. Karena akademi ini tempat yang cukup dekat dari rumahku. Hanya itu."
"Ha..hanya itu? Ahaha.. te..tentu saja. Memangnya.. apa lagi alasannya ya? Ha..ha.."
Koridor yang sepi dipenuhi oleh tawa gugup Yuki. Misa tersenyum simpul. Misa mengalihkan pandangannya ke semak mawar yang tumbuh di dekat koridor. Ia berjalan mendekatinya dan memetik sekuntum mawar secara hati-hati.
"Kamu suka mawar?"
"Mawar?" Yuki meletakkan tangannya di depan dada berusaha menenangkan diri.
"Ya. Di rumahku banyak ditanam bunga mawar." Misa tersenyum menatap Yuki. "Ibuku salah satu penggemar mawar."
"Kalau ditanya suka, ya. Ada apa, tiba-tiba?"
Misa hanya tersenyum membalas pertanyaan Yuki dan berjalan mendahului. "Ayo, aku ingin segera melihat kamarku."
"Ayo."
Misa mencengkram mawar di tangannya.
XXXXX
"Hmm…. Jadi ini ruanganku? Aku dapat ruangan pribadi? Tapi kenapa kasurnya ada dua?" Misa menunjuk kedua tempat tidur yang berada berseberangan secara bergantian.
Yuki yang tadinya berdiri di depan pintu, memasuki ruangan dan menyalakan lampu kamar itu kemudian menjelaskan. "Bukan begitu Kiribara-san. Setiap ruangan memang diisi dua siswi. Hanya kebetulan siswinya berjumlah ganjil, mungkin?" Pernyataan itu berubah menjadi pertanyaan. Yuki tidak terlalu yakin karena ia tidak pernah menghitung keseluruhan siswi di Cross Academy.
Misa menggangguk. Di dalam hati, gadis itu sedikit kecewa karena tadinya ia berharap mendapatkan teman berbincang di tempat yang asing. Namun kali ini ia kembali menggangguk dan berkata dalam benaknya bahwa ini cukup baginya. Mungkin ia akan mendapat teman sekamar lain waktu.
"Terima kasih ruangannya ya, ee.. Kurosu-san."
"Panggil saja aku Yuki, Kiribara-san."
"Baiklah, sebagai gantinya… Misa, panggil aku Misa." Gadis berambut cokelat sepinggang mengulurkan tangan kanannya.
Yuki menyambutnya dengan senang hati. "Baiklah, Misa."
Ketika tangannya disambut Yuki, Misa menarik Yuki dalam pelukannya. "Salam kenal, Yuki. Semoga kita bisa berteman dengan baik."
Dengan tanda tanya besar Yuki membalas pelukannya.
Tanpa mereka sadari, seseorang dengan rambut perak muncul di depan pintu kamar dan menghentikan pelukan dadakan itu.
"Waktunya patroli malam, Yuki." Suara dinginnya mengisi ruangan yang hening, mengagetkan kedua gadis.
"Ze.. Zero! Jangan muncul tiba-tiba! Kau membuatku kaget!"
"Waktunya patroli malam." Zero mengacuhkan Yuki dan mengulangi kalimatnya, kali ini dengan nada memerintah.
"A..aku tahu."
Yuki menatap Zero. Untuk apa repot-repot datang ke asrama perempuan untuk memperingatkannya pada patroli malam? Toh biasanya ia yang mengingatkan Zero pada tugas wajibnya yang artinya tentu saja ia lebih 'rajin' dari pada Zero kalau soal patroli. Dan lagi Zero tahu kalau ia sedang mengantar Misa, harusnya Zero mengerti kalau ia akan segera menyusul untuk melaksanakan tugasnya. Dan yang terakhir… ada apa dengan nada perintah yang dingin itu?
"Ya, sebentar. Aku masih ada informasi yang harus disampaikan pada Misa."
Zero mengangkat sebelah alisnya dan menyingkir dari depan pintu. Ia bersandar di dinding depan kamar Misa dan hanya mengeluarkan sepatah kata. "Cepat selesaikan."
Yuki mengerutkan kening. Untuk apa menunggu? Memangnya aku bakal membolos? Enak saja.
Bibir Misa mengerucut. Ia sedikit kesal dengan kemunculan Zero tapi toh Yuki memang harus menjalankan tugasnya. "Jadi? Ada yang belum kamu beritahukan padaku, Yuki?"
"I..iya. Seragammu akan kuantar besok pagi. Dan besok aku akan ke kamarmu untuk berangkat ke kelas bersama. Oh, ya kalau ada keperluan, kamarku berada lima ruangan dari kamarmu. Dan toilet ada di sana."
Kepala Yuki menyembul dari pintu untuk memberitahukan letak toilet yang diikuti oleh Misa. Zero yang berdiri di samping pintu, menghalangi pandangan Misa dan menatap gadis yang tingginya nyaris sepantar dengannya itu dengan tatapan dingin.
"Apa?" Ujar Misa ketus. Meski lelaki itu masih memancarkan aura menakutkan, namun ia tahu Zero tidak akan secara sengaja melukainya. "Kau mengganggu pandanganku, Tuan kedisiplinan yang SANGAT ramah. Bisakah kau minggir sedikiiiiiiiiittt saja?"
"Hmph."
Tatapan dingin dan sinis beradu dengan dahsyat. Seakan melihat aliran listrik antara dua tatapan dan tulisan 'kau akan mati' pada Zero dan Misa, akhirnya Yuki memutuskan untuk undur diri dan menarik Zero untuk melaksanakan patroli malam.
"Ka..kalau begitu sampai jumpa besok. Ingat jam malam, Misa."
Setelah beberapa langkah, Yuki melambaikan tangannya berharap akan dibalas oleh gadis baru. Namun pandangan gadis itu sudah tidak padanya lagi. Sesuatu, dibawah sana- Misa sedang menatap keluar jendela. Entah apa yang ia pandang, namun gadis itu terlihat sangat kaku. Yuki sedikit merasa cemas dan melangkahkan kakinya untuk mendekatinya, tetapi ia berhenti ketika Misa, seakan tidak menyadari keberadaan dua anggota kedisiplinan yang masih memperhatikannya, berbalik dan memasuki kamarnya.
Suara pintu dikunci terdengar.
XXXXX
Misa mengunci pintu kamarnya. Ia merasa sedikit tidak enak pada Yuki yang tadi sempat melambai padanya, namun tidak ia balas itu. Tentu saja bukan niatnya. Keadaan membuatnya melakukan itu.
'Mawar. Mawar merah yang indah. Benar-benar sangat menakutkan.'
Gadis itu menghela nafas. Entah kenapa perasaan sepert tercekik dan sesak selalu muncul ketika melihat bunga cantik berduri itu. Perasaan yang sangat-sangat ingin ia enyahkan.
Sesuatu yang membuatnya rindu sekaligus ngeri.
Ia terdiam sebentar, kemudian berjalan di ruangan sambil menggeret kopernya. Setelah meletakkannya di samping kasur, gadis itu duduk di kasur dan memejamkan mata. Suara-suara di sekitarnya menjadi nyata. Dua suara langkah yang berbeda menjauhi kamarnya. Itu suara langkah kaki Yuki dan si mata tajam yang bernama Zero. Kemudian gadis itu menengokkan sedikit kepalanya. Suara angin dari luar bangunan, suara dengkuran dari sebelah ruangan, suara detak jantungnya… kemampuan aneh yang semakin lama berkembang dan membuatnya terganggu. Kemampuan yang muncul semenjak ia diserang makhluk itu…
GRUUUK..
Ia menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, berharap mendapatkan sesuatu untuk dimakan.
'Tentu saja tidak ada makanan. Memang ini hotel?' Dimana aku bisa mendapatkan makanan? Aku belum makan semenjak pagi tadi. Bodoh sekali aku menolak tawaran makan siang dari Nii-san karena semangat bisa segera sampai ke tempat baru.'
"Mungkin tidak ada salahnya mengejar Yuki? Kalau aku jelaskan, pasti Yuki mengerti kenapa aku keluar di jam malam." Gadis itu mengangguk membenarkan pernyataannya. "Toh ini tidak disengaja. Ya, benar. Tidak sengaja." Gadis berambut cokelat sepinggang itu menggambil senter dari tasnya dan berjalan keluar kamar.
XXXXX
Kedua petugas kedisiplinan berpatroli. Mereka menatap sekitar dari atas bangunan. Yuki melihat murid-murid Night Class lewat jendela ruang kelas. Matanya terfokus pada Kaname yang duduk di pinggir dekat jendela. Yuki mengepalkan kedua tangannya di depan dada, merasakan jantungnya yang berdebar. Kegiatannya terhenti ketika mendengar suara dingin Zero yang mencoba bicara padanya.
"Yuki, kuberitahu padamu.. jangan terlalu dekat dengannya."
Wajah Yuki memerah. "E…eh… Kaname-senpai? Su..sudah kukatakan Zero, kami tidak dekat. Bahkan aku tidak… a..eh.. lagipula aku.. dia.. Kaname-senpai bukan.. sudah kukatakan Kaname-senpai itu vampire yang baik. "
Zero terlihat kesal melihat Yuki. Ia menyilangkan kedua tangannya.
"Tidak ada vampire 'baik', Yuki. Kenapa kau tidak mengerti? Semua itu hanya kedok untuk menarikmu. Kenapa kau tidak pernah sadar?"
Yuki menatap balik Zero dengan kekesalan. "Tapi Kaname-senpai tidak begitu! Aku… kau tahu itu!"
Zero memijat keningnya. Ia melihat Night Class dari sudut matanya. Yuki yang menatapnya dengan kesal dan sebuah pikiran yang dari tadi terus mengganggunya membuatnya pusing.
Akhirnya Zero menghela nafas. "Sebenarnya pertanyaan awalku tadi bukan untuk para penghisap darah, Yuki. Kau sudah tahu kalau aku membenci para penghisap darah sialan itu, tidak perlu kukatakan dua kali pun kau sudah mengerti…"
Kali ini Yuki memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud perkataan Zero.
"Yang kumaksud adalah Misa Kiribara. Aku tidak ingin kau terlalu dekat dengannya."
"ke.. kenapa?"
Sebuah jeda panjang muncul. Zero menatap Yuki lama kemudian membuang pandangan ke arah Night Class.
"Misa Kiribara… ada kemungkinan dia adalah vampire. Ia pernah diserang oleh Pureblood. Dan mungkin ia akan segera jatuh ke level-E. Kalau memang benar begitu…Aku akan segera mendapat tugas untuk membunuhnya."
Yuki teringat guyonan Misa yang membuatnya tegang.
-Aku cuma bercanda, lho. Mana ada makhluk seperti itu?-
'Misa...'
XXXXX
Gadis itu mengerutkan keningnya. Senter yang ia pegang menerangi koridor yang bisa dikatakan begitu menyeramkan saat malam. Entah di bagian mana sekarang ia berada. Kali ini Misa mulai ragu dan memutuskan untuk kembali. Namun langkah kakinya terhenti ketika mendengar sebuah suara dari arah pepohonan. Ia menyipit dan melemparkan pandangan ke sebelah kanannya, berharap bisa melihat menembus pepohonan. Ia tidak salah mendengar, malah bukan hanya sebuah suara melainkan suara beberapa gadis yang beradu pendapat.
"Kau terlalu ceroboh. Sekarang bagaimana kita bisa melihat siswa Night Class?"
"Sudah, jangan berisik. Cepat bantu aku."
Misa menggeleng. "Penyusup Day Class. Pantas saja kepala sekolah menyiapkan anggota kedisiplinan. Bagaimana murid Night Class bisa tenang kalau mereka dibuntuti oleh fans perempuan yang nekat seperti mereka?"
Misa mendengar suara Yuki di antaranya. Ia memutuskan untuk memasuki wilayah pepohonan tersebut dan menambah kecepatannya ketika merasa sudah mendekati sumber suara.
"Darahmu.. harum sekali. Benar-benar mengundang selera."
Langkahnya terhenti tepat dibalik sebuah semak ketika mendengar suara yang familiar itu. Kemudian dengan perlahan ia mengintip dari balik semak. Matanya terpaku pada taring. 'Taring... memangnya... manusia punya taring seperti itu?'
Lelaki pirang yang tadi mencoba mendekatinya saat ia masih bersama Reo, menarik tangan Yuki yang memegang tongkat. Lelaki itu menggenggam tangan Yuki erat dan mendekatkanya pada bibirnya. Kemudian kedua murid yang Misa asumsikan sebagai Day Class jatuh tidak sadarkan diri.
"Yuki!"
Yuki menengok ke asal suara yang memanggilnya. Misa berada beberapa meter darinya, tersangkut di antara semak-semak.
"Misa! Apa yang kau lakukan?"
Suara Aido memotong pembicaraan mereka. "Hei, hei. Kalian lupa aku ada disini?" Aido mengalihkan perhatiannya ke Misa. "Kamu.. anak baru tadi ya? Sepertinya ini hari keberuntunganku." Aido tersenyum menampilkan gigi putih teraturnya.
Taring...
Tiba-tiba suara pistol yang dikekang terdengar.
"Menghisap darah di lingkungan sekolah dilarang keras oleh peraturan sekolah. Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu karena bau darah, vampire?"
Yuki terkejut oleh kedatangan Zero "Zero.. Hent…"
DOR.
Meleset.
Aido melepaskan Yuki dan menatap lambang yang muncul di pohon. "Kau membuatku kaget!"
Sebuah bayangan muncul dari antara pepohonan. Bayangan milik sang pureblood. Kaname Kuran berjalan mendekat.
"Bisakah kau simpan Bloody Rose itu? Senjata itu sangat berbahaya bagi 'kami'." Kaname menarik kerah Aido. "Aku akan membawa mereka ke ruang kepala sekolah. Boleh'kan?"
Zero menatap tajam siswa berseragam putih itu kemudian memasukkan pistolnya ke saku.
Kaname menatap siswa Night Class lain yang sedari tadi hanya melihat Aido membuat ulah. "Kau juga akan mendapatkan hukuman Kain."
Lelaki yang dipanggil Kain membelalak kemudian menghela nafas.
"Ayo kita kembali, Yuki." Zero mengalihkan pandangan pada Yuki.
Yuki menatap Zero dan yang lainnya dengan gugup. "A..aku akan membawa kedua siswi ke ruang kepala sekolah. Kalian duluan saja."
"Apa kau katakan? Memangnya kau sanggup membawa mereka?"
"Ka.. kalau begitu biarkan aku membawa yang satu itu?" Yuki menunjuk Misa yang masih bergelut dengan semak-semak.
Kali ini semuanya menatap ke arah Misa yang masih berusaha melepaskan diri.
Kaname menatap gadis asing dan mendekatinya. Ia ingin memastikan bahwa gadis ini tidak mendengar pembicaraan yang baru terjadi meski itu adalah hal yang mustahil. Ia sepertinya sudah berada lama di situ dan mendengar pembicaraan mereka. Tapi ia melihat gadis asing itu tidak bereaksi apapun terhadap pembicaraan mereka.
"Kau baik-baik saja?" Kaname mengulurkan tangan kanannya. Ada suatu kejanggalan yang dimilikinya yang membuat Kaname tidak nyaman. Namun niat untuk membantu gadis itu keluar dari semak tidak terhenti.
Misa ragu namun ia tidak ingin tersangkut lebih lama. Ia menerima uluran tangan Kaname dan Kaname membantunya untuk keluar dari semak-semak.
"Terima kasih." Misa memberikan senyuman sekilas pada Kaname kemudian berjalan mendekati Yuki.
Misa membersihkan roknya dan menatap Yuki. "Sebelum kamu bicara, dengarkan alasanku. Aku ingin mencarimu untuk menemukan kantin. Tadi siang Nii-san menawariku makan tapi aku menolaknya karena aku terlalu senang untuk bisa segera sampai ke sini dan sekarang aku menyesalinya. Aku hanya mencari sepotong roti untuk mengganjal perutku yang berbunyi. Coba dengar." Gadis itu bicara tanpa menarik nafas. Ia berusaha membuat Yuki percaya dengan suara perutnya yang berbunyi dengan jeda beberapa menit. "Aku benar-benar lapar."
Ia menunjuk kedua siswi Day Class yang pingsan. "Yang pastinya aku tidak sama seperti mereka yang mencoba menyelundup demi melihat siswa Night Class seakan mereka idola internasional. Yah kalau memang juga… aku tidak peduli. Aku tidak tertarik dengan hal itu. Kau mengerti'kan, Yuki?"
Mendengar perkataannya, Yuki dan Aido menatap Misa tidak percaya. Baru kali ini mereka mendengar kata 'tidak peduli' dari mulut seorang gadis Day Class, selain Yori tentunya.
Misa menarik tangan Yuki. "Kamu mau antar aku ke kantin'kan?"
"Jam malam, Misa. Tidak mungkin kantin buka." Yuki menatap Misa lekat, mencari reaksi lain.
Setelah melewati ini... bukannya aneh kalau tidak ada reaksi? Tembakan? Misa mendengar tembakan Zero'kan? Bukannya aneh kalau ada orang yang tidak bereaksi ketika melihat seseorang akan ditembak di depan matanya? Barusan… ia tidak mendengar percakapan yang baru saja terjadi? Atau… berpura-pura tidak mendengarnya supaya tidak terlibat? Bagaimana dengan kedua siswi Day Class yang pingsan? Apa ia juga berpura-pura tidak melihatnya? Kenapa ia bisa seacuh itu? Ia bersikap layaknya tidak terjadi apapun.
"Tapi aku lapar. Tidak bisakah kita ke tempat lain yang ada makanan? Atau kita bisa keluar mencari makana... ah~ permintaan yang mustahil."
Zero terdiam dan menatap Misa yang memelas. Akhirnya lelaki bermata violet itu buka mulut, "aku tahu tempatnya. Ayo kita pergi dari sini."
Yuki kaget terhadap keputusan Zero. Ia membiarkan Misa pergi dari sini? Bagaimana kalau gadis itu tahu tentang vampire? Atau... mungkin Misa benar adalah seorang vampire sehingga ia acuh? Kecurigaan itu terus berputar di kepala Yuki.
Misa menatap Zero. "Ada apa ini? Tiba-tiba tuan kedisiplinan yang 'ramah' benar-benar jadi ramah. Kau tidak bermaksud menjebakku dan melakukan pembalasan bersambung'kan? Atau kau mau memaksaku menandatangani perjanjian 'jadi pacarmu' supaya aku mendapatkan makanan? AAAHHH Kau lelaki yang KEJAAAAMMM."
Zero memutar bola matanya. "Dalam mimpimu." Ia mendengus kesal dan meninggalkan tempat itu.
"Apa kau baru saja mendengus padaku? Eeeehh.. Tunggu. Aku ikut."
'Kiryu...memakluminya?' Kaname menatap Zero dan Misa bergantian.
Misa tersenyum menatap Yuki yang berlutut dekat kedua gadis Day Class yang tidak sadarkan diri. "Yuki tidak ikut?"
"A..aku harus mengurus mereka."
"Oh? Memangnya mereka kenapa?"
"Mereka pingsan..."
"Lalu?" Misa memiringkan kepalanya dan memberikan Yuki tatapan kebingungan "Mereka tidak minta kau khawatirkan. Kan mereka yang membuat diri mereka sendiri pingsan. Kenapa harus mengurus mereka?" Misa mendekati Yuki dan menarik tangan gadis yang lebih pendek darinya itu. "Bahkan itu bukan urusan Yuki kalau mereka terkena masalah yang lebih besar dari ini... konsekuensi karena mereka menjadi penyelundup'kan?" Misa tersenyum, gadis itu berpaling pada Zero yang pergi meninggalkannya. "AH! Tunggu tuan kedisiplinan yang tiba-tiba ramah!" Misa melepaskan tangannya dari Yuki dan mengejar Zero.
Pandangan Yuki mengikuti Misa yang berjalan menjauh. Kaname menatap Yuki dan merasakan ketidaknyamanannya.
"Tenang saja Yuki, memang ada kemungkinan gadis itu berpura-pura tenang dan tidak mendengar apapun. Tapi aku yakin Kiryu tahu apa yang dia lakukan. Yang barusan gadis itu katakan… jangan dimasukkan dalam hati." Kaname berlutut di samping Yuki. "Aku akan membawa mereka ke ruang kepala sekolah, kau ikut?"
Yuki menggangguk. Pikirannya masih terpaku pada Misa. Namun bukan hanya Yuki saja yang merasakan ketidaknyamanan itu. Siswa Night Class masing-masing memendam perasaan yang sama.
Sesuatu... ada sesuatu yang tidak beres pada gadis itu... Ia seperti kehilangan rasa... Kata-katanya barusan... bukanlah bisa dikatakan kejam?
.
.
To be Continued
Aduh.. maaf ya... aku baru update lanjutannya.. beribu-ribu maaf...
mudah-mudahan selanjutnya bisa lebih cepat...
Trus adegan cintanya belum kelihatan ya? Aku akan usahakan di cerita berikutnya.
ditunggu reviewnya yaaaaa...