A/N :Don`t like don`t read. Bertema tentang hubungan sesama pria. Berasal dari imajinasi saya yang terlalu tinggi. OOC tingkat dewa. Alternative Universal. Typo sulit dihindari. Chara punya om Masashi Kishimoto. Happy reading.

AKU!

Bunyi bel memekik nyaring berulang kali, memanggil penghuni apartemen untuk membukakan pintunya. Seorang pria berambut pirang panjang, Sang penghuni apartemen, Deidara, hanya mendecak kesal sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju pintu masuk apartemennya.

"Kau lupa bawa kunci atau ap –" Ucapannya terpotong ketika melihat seorang pria berdiri di depan pintu bukanlah orang yang ia sangka-sangka kehadirannya. Ia terdiam sebentar melihat pria berambut raven yang ditata mencuat ke atas. Mata onxy pria itu hanya menatap datar pada Deidara. Deidara diam memalingkan wajahnya ke samping sebelum mempersilakan pria itu masuk.

Pria itu berjalan terlebih dahulu. Memposisikan dirinya senyaman mungkin di sofa. Sementara Deidara hanya menduga-duga apa maksud dari kedatangan orang yang mirip atau bisa dikatakan identik dengan penghuni apartemen lainnya.

"Kau sudah mengenalkukan?" Pria itu melipat kakinya sambil melontarkan pertanyaan pada Deidara. Gaya yang angkuh sama seperti teman seapartemennya.

"Hm." Deidara mengangguk pelan sambil duduk di sofa di sebrang pria itu.

"Aku tidak suka berbasa-basi. Aku akan menangguhkan semua biaya adikmu sebagai imbalannya aku ingin kau meninggalkannya," Ucap pria itu datar.

Deidara hanya menautkan alisnya, berfikir.

"Aniki memang bodoh. Jadi pergilah." Kali ini ada sedikit rasa simpati yang tersirat dari ucapan pria itu walaupun diucapkan dengan nada datar dan tanpa sedikit pun ekspresi.

Daidara hanya mengendus. Entah kenapa ia merasa sedikit sakit hati walaupun pada kenyataanya dia sudah menjual harga dirinya sendiri. "Semua Uchiha tidak berbeda," Ucapnya sambil tersenyum sinis, terlihat menantang.

Sasuke, pria itu, hanya mengerutkan keningnya. Tidak suka dengan perkataan Deidara yang terkesan meremehkan. "Sebenarnya apa yang kau harapkan, heh? Adikmu atau…" Sasuke memberi jeda. "…kakakku?"

Deidara hanya menguatkan hati. Berusaha tidak berekspresi, tidak takut, tidak malu, tidak merasa terintimidasi, tidak ada sesal, hanya duduk diam menatap onyx pria itu.

Sasuke yang mulai jengah melihat wajah tanpa ekspresi milik Deidara. Sedikitpun tidak tergambar malu di sana. "Kau licik. Kau sadar adikmu tidak akan bertahan karena itu kau tetap menjerat kakakku atas yang namanya cinta, cintanya! Kau sadar siapa dirimu? Kau laki-laki! Dia pun begitu! Hubungan kalian tidak ada tujuannya! Tidak ada keturunan! Hanya sebagai pemuas sex saja! Mungkin kakakku begitu terobsesi denganmu, sekarang! Obsesi akan langsung menurun jika sudah mendapatkan obsesi itu dan beralih pada obsesi lain. Apa kau bisa mengerti!"

"Sudah cukup bicaranya, hm?" Semua ocehan Sasuke hanya ditanggapai dengan dingin.

Sasuke hanya menautkan alisnya, tidak mengerti.

"Kau memang benar. Aku licik tetapi kau salah jika kau bilang aku mengharapkan kakakmu. Sedikit pun tidak! Kau tahu sejak kapan aku jadi pemuas sexnya? Saat aku kuliah. Dia memperkosaku. Kau straight-kan? Bagaimana kalau kau diperkosa pria? Malu, merasa jijik, takut, begitu terhina, rasa ingin mati, apa lagi dia orang yang dekat deng –"

"Kau bo-ho-ng!" Potong Sasuke. Ia mendesis menatap Deidara.

Deidara hanya mengelikkan bahu seakan-akan itu hanyalah hal sepele walaupun pada dasarnya ia sama sekali tidak ingin mengingat hal itu sedikitpun. "Kau bisa menanyakannya. Hidup kalian sangat menyenangkan yah?" Deidara tersenyum sinis, lagi. Merenggangkan otot lehernya lalu menyenderkan tubuhnya dibantalan sofa. "Kau ingin tahu bagaimana menderitanya aku? Aku harus keluar dari Konoha University. Kau familiar-kan dengan nama itu? Universitas milik kalian…" Ia mendecak, kesal. Kemudian, tertawa seakan-akan itu hal yang lucu. "…mati-matian aku mendapatkan beasiswa dari sana. Bersaing dengan ratusan orang, lalu aku melepaskannya begitu saja. Kami mencari tempat baru di Ame. Hidup melunta-lunta bahkan adikku putus sekolah selama setahun. Sulit mencari tempat tinggal, bahkan kami pernah hanya minum air putih selama seminggu. Apa kau bisa membayangkannya…" Sekian kalinya Deidara menyunggingkan senyuman sinis. "…semua perlahan normal sampai aku bertemu dengannya lagi. Adikku sakit dan apa yang bisa aku harapkankan? Dia memecatku hanya untuk memberi tahu siapa yang menjadi bosnya." Deidara tersenyum puas melihat ekspresi Sasuke yang terlihat tidak percaya. "Sekarang beginilah aku, seperti seorang gigolo bukan? Harusnya kau bertanya apa yang membuatku bertahan selama ini? Kujual semuanya, harga diri, jiwa, bahkan tubuh menjijikan ini. Pantasnya aku mendapatkan balasan yang setimpal. Kau tidak perlu khawatir. Setelah ini, aku akan pergi meninggalkannya tetapi jangan lupakan janjimu. Oh yah, Naruto bilang, ia akan kembali sehat dengan sekali lagi dikemo." Deidara berdiri berjalan menuju kamar mengacuhkan pria yang masih terpaku di sofa. "Aku akan berkemas sekarang. Kau bisa pulang dengan tenang." Ujar Deidara sambil berlalu.

Sasuke hanya terdiam duduk di sofa menatap lantai di bawahnya. Tangannya mengerat jeans yang ia pakai dengan gemas, membayangkan ekspresi Deidara yang seperti,

Entah apa namanya hanya saja ia merasa sangat malu dengan dirinya sendiri. "Dasar Aniki bodoh! Kenapa melakukan itu padannya?"

Naruto P.O.V

Aku menyesal membuatmu menderita seperti ini. Aku memang terlalu manja. Menumpukan semuanya padamu tanpa memperdulikan apa hal yang akan terjadi. Setelah kematian ayah, kau yang menjadi kepala keluarga. Diusiamu yang hanya tujuh belas tahun kau harus banting tulang bekerja sambilan menjadi kuli di malam hari. Tanganmu sangat kasar dengan banyak kepalan di pangkal jari-jarimu. Selekas pulang bekerja kau malah berkutik dengan tumpukan buku yang tebalnya hampir setinggi mangkuk ramen.

Sementara aku?

Aku memang bodoh. Sekeras apapun aku berlatih aku hanya bisa duduk di bangku cadangan. Padahal jika saja aku bisa ikut pertandingan, aku bisa mendapatkan beasiswa dari sekolah. Aku tidak sepertimu yang selalu mendapatkan juara pertama di sekolah. Setiap hari aku selalu mendapatkan omelan dari wali kelasku karena nilaiku yang buruk.

Maaf yah, karena menyembunyikannya darimu.

Sekarang pun aku masih merepotkanmu. Aku sakit dan terpaksa harus di sini dengan selang infuse yang selalu menggantung di samping ranjang.

Kau tahu, aku takut. Semakin hari semakin takut. Aku takut untuk tidur dan tidak bisa membuka mata kembali. Semakin lama rambutku semakin gugur berjatuhan seperti daun kering dimusim gugur. Aku tersiksa karena terus menerus menelan obat yang tidak ada habisnya juga harus terus merasa mual yang tidak terkira setelah menjalani kemo. Semua kupaksakan, hanya ingin mendengar dua kalimat sakral itu.

Aku sembuh.

Sungguh terlalu muluk, pada kenyataannya aku bisa merasakannya.

Sengaja saat terakhir kau datang, kukatakan padamu bahwa sekali lagi dikemo aku akan keluar dari rumah sakit. Kau terlihat sangat bahagia mendengarnya. Sesak, dada ini rasanya sesak sekali. Melihat kau bahagia karena kebohonganku. Harusnya aku menjadi actor, bukan?

Hah, itu sudah terlambat.

Kali ini kau kembali datang setelah hampir sebulan kau tidak menengokku. Kau pucat dan lemah tetapi tetap memaksakan senyumanmu seolah menunjukkan tidak terjadi apa-apa.

"Sebaiknya kau istirahat. Kau terlihat lelah."

Kau hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalamu, bersikukuh untuk terus terjaga tetapi nyatanya kau pun tertidur sampil menumpukan kepalamu di ranjangku. Perlahan aku mengusap helaian pirangmu.

Dei, apa kau masih ingat bagaimana wajah ibu?

Aku belum pernah melihatnya. Apa dia cantik? Apa dia sepertimu?

Maaf, lagi-lagi ini salahku.

Hah, kenapa air mata ini tidak berhenti juga.

Mungkin aku harus berbaring.

Hah, lagit hari ini cerah yah, Dei.

Seorang pria sedang duduk termenung di ranjang rumah sakit. Pandangannya menatap keluar jendela, memandangi kumpalan awan yang bergerak perlahan menuju ke utara. Rambut ravennya yang biasa diikat rapih kini dibiarkan begitu saja dipermainkan angin. Matanya yang sekelam malam hanya memandang kosong ke langit. Hanya suara tetesan cairan infuse menjadi pengisi dikeheningan ruangan tempatnya dirawat.

Pintu bergeser, menampakkan seorang pria dengan rambut ravennya yang di tata mencuat ke atas. Ia berjalan mendekati pria yang duduk di ranjang. Beberapa saat memandangi pria itu yang hanya termenung di dunianya sendiri. Ia meletakkan sebuah kantong belanjaan di meja di samping ranjang.

"Apa yang menarik darinya selain rambutnya yang panjang dan wajahnya yang seperti wanita?"

Hening, tidak ada respon.

"Lupakanlah dia. Kau bukan gay. Jalani hidupmu. Kau hanya tertarik padanya yang berwajah seperti wanita. Itu artinya kau bukan gay. Carilah wanita yang lebih cantik. Kau bisa melakukannya. Aku akan memban –"

"Sasuke, berhentilah. Ini bukan kau."

Sasuke, pria berambut raven yang ditata mencuat keatas, hanya menatap nanar pada pria yang ada di depannya. Pria itu sama sekali tidak menoleh sedikitpun padanya. Ia mendecak kesal melihat kakaknya yang tidak menggubris kehadirannya dan perasaan itu kemudian berubah menjadi amarah.

"Bisakah kau seperti dia, heh! Dia mengorbankan semuanya untuk adiknya, Brengsek! Lihat aku! Kau pikir hanya kau yang ada di dunia ini! Kau ingin mengakhiri hidupmu, heh! Apa kau tidak memikirkan aku sedikit pun! Bagaimana mungkin kau egois ingin meninggalkanku sendirian! Ayah dan ibu sudah tidak ada, hanya kau yang kumiliki! Apa kau mengerti, brengsek!" Sasuke memukul kepala pria itu dengan bantal. Itachi, sang kakak, hanya terdiam menerima pukulan dari adiknya.

Melihat respon Itachi yang seperti itu, Sasuke menunduk pasrah. Genggaman tangannya mengendur, membiarkan bantal yang ada digenggamannya terlepas jatuh kelantai. Sekuat tenaga ia menahan emosinya. Sedih, sesal, marah, dan kecewa semuanya menjadi satu. Sekarang ia benar-benar menyesal melakukannya.

"Maaf merepotkanmu, Sasuke." Tangan Itachi terjulur memengusap puncak kepala Sasuke. Ditepisnya uluran tangan kakaknya. Ia mendecak, kesal.

"Dasar bodoh."

Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong. Bau khas alcohol tercium pekat seakan menempel diindra pembau. Seorang pria berambut raven yang dirikat kebelakang berlari tergesah-gesah menyusuri koridor rumah sakit. Mengabaikan teguran dari beberapa suster, ia terus melajukan langkah kakinya menuju sebuah ruangan kelas tiga yang diisi empat orang pasien. Ia mengatur nafasnya yang memburu. Sedikit ragu, ia melangkahkan kakinya menuju ranjang paling pojok yang hanya disekat oleh selembar kain berwarna biru muda.

'Aku menemukannya. Dia… koma.'

Perlahan pria itu mengulurkan tangannya, mengeser kain biru itu. Ia memejamkan matanya, takut kalau hal yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi.

Perlahan kelopak matanya terbuka. Dilihatnya seorang pria sedang terbaring diranjang rumah sakit dengan banyak selang terpasang ditubuhnya.

"Dei," Panggil lirih pria itu.

Tidak ada jawaban.

Diberanikannya melangkahkan kaki mendekati pria itu. Ia terdiam sambil memandangi wajah pria yang sangat ia rindukan yang sedang terbaring lemah di ranjang.

"Maaf." Ujarnya sekali lagi.

'Jika kau menemuinya kali ini, apa kau akan merelakannya?'

"Aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa. Aku memang egois sampai kapan pun akan tetap sama. Jadi, kumohon, biarkan seperti ini."


Dua tahun kemudian,

"Heh, are you kidding? Aku tidak mau! Kau saja yang membelinya!" Seorang pria berambut raven yang ditata mencuat ke atas sedang berteriak histeris menerima telfon dari kakaknya. Ia berjalan sambil membawa tas kuliahnya yang di genggamnya sambil sedikit terayun ke depan. "Kau pikir kau siapa, idiot!" Makinya sekali lagi.

'Hei, aku ini kakakmu. Yang sopan sedikit.' Ucap pria yang saat ini masih menjabat sebagai kakak kandungnya. 'Kau tahu sendiri, dia tidak suka kalau aku menghilang saat dia baru bangun tidur.'

"Makanya bangunkan dia, idiot."

Terdengar hembusan nafas berat dari sang kakak. Mungkin jengah mendengar sang adik selalu memanggilnya dengan sebutan idiot. 'Apa susahnya membelikan seledri di supermarket, heh?' Tanya sang kakak sedikit menaikan nada suaranya.

"Aku tidak suka dengan tante-tante di sana. Mereka menggerubungiku bagaikan semut, kau tahu!" Sedikit bergidik ngeri, mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu dimana dirinya dicium oleh tante-tante girang yang menurutnya cacat mental, ia langsung menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan bayangan mengerikan itu.

'Sasuke, bukankah kau sudah berjanji jadi adik yang baik?' Tuntut sang kakak pada sang adik, Sasuke.

Sasuke hanya bisa mengumpat kemudian menyetujui permintaan kakaknya.

Setelah berbelanja, yang harus disukurinya ternyata ia tidak sampai bertemu dengan tante-tante girang, ia lekas ke rumah kakaknya sambil membawa sekantong penuh dengan seledri, berharap seledri ini cukup untuk dua bulan ke depan sehingga nasibnya akan aman dari monster-monster sakit jiwa itu. Ia membuka pintu gerbang rumah mewah yang ada di pinggir pantai, rumah kakaknya sekaligus seseorang yang entahlah, bisa dikatakan kakak iparnya. Sambil memasang airphone ditelinganya ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tidak menyadari hal aneh sedang terjadi.

"Baka! Seledrinya," Ujarnya acuh sambil meletakkan kantung belanjaannya di meja dapur. "Apa kau tidak bosan setiap hari masah sup ayam?" Sasuke beralih mendekati kulkas dan membukanya, mengeluarkan botol air minum beserta gelas yang ia ambil dari rak. Sambil menyandarkan tubuhnya ke kulkas ia mengamati seluruh ruangan yang menurutnya sepi. Oh, tentu saja ia lupa membuka airphone-nya.

Plurp!

Duuk!

Terdengar bunyi benda jatuh juga bunyi semburan air yang keluar dari mulut Sasuke. Tanpa sadar Sasuke membelakkan mata menatap seorang pria berambut pirang panjang yang kikuk menatap kehadirannya. Manik biru pria itu melirik ke samping, tepatnya di balik sofa. Pria pirang itu, Kakak iparnya, sedikit membungkukkan badan menyapa kehadirannya kemudian segera berlari ke lantai dua sambil memeluk tubuhnya yang topless karena hanya memakai celana pendek saja. Onxy Sasuke kembali mengarahkan pandangnya ketika seseorang memanggil namanya.

"Sasuke, bisa kau ambilkan selimut yang ada di sana?" Pinta seorang pria berambut raven yang baru saja muncul dari balik sofa sambil tersenyum penuh dengan kejanggan.

"Dasar Brengsek, bisakah kalian melakukannya di atas saja, hah!"

"Terima kasih, Tuan Uchiha, kami sangat berterima kasih atas donasinya untuk anak-anak penderita kanker. Saya sangat terharu dengan bantuan yang anda berikan." Seorang wanita muda dengan rambut indigonya yang yang panjang, menatap haru pada lukisan-lukisan yang dibuat oleh anak-anak asuhnya-yang mengidap penyakit kanker- yang tergantung disepanjang dinding galeri.

"Saya rasa anda terlalu berlebihan, Nona Hyuuga."

Wanita yang dipanggil dengan sebutan Nona Hyuuga hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Itachi.

"Saya rasa tidak. Anda memang baik. Beruntunglah wanita yang ada di samping anda," Ujar sang Hyuuga sambil melirik cincin perak dengan berlian kecil yang menghiasi jari manis Itachi. Itachi hanya tersenyum penuh arti sambil melihat seorang pria –yang sedang sibuk memperhatikan lukisan-lukisan di dinding sambil menggenggam brosur di tangan– tidak jauh dari hadapannya.

"Mau ku perkenalkan padanya?"

Hyuuga itu menatap Itachi dengan antusias. Senyumnya terlihat sedikit canggung melihat Itachi malah menghapir seorang pria sambil menautkan jari-jarinya pada pria itu.

"Dia pendampingku, Uchiha Deidara," Ujar Itachi sambil tersenyum memperkenalkan Deidara pada sang Hyuuga. Deidara yang sedikit risih langsung melepaskan genggaman tangan Itachi sambil tersenyum janggal.

"Hyuuga Hinata. Senang berkenalan dengan anda, Uchiha Deidara," Sapa sang Hyuuga ramah sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan yang diterima oleh Deidara dengan baik.

"Senang berkenalan dengan anda, Nona Hyuuga."

"Sudah kuduga ide menikah ini memang aneh. Seharusnya aku tidak –" Deidara hanya bisa menggeram sambil mengacak rambutnya frustasi meninggalkan Itachi yang sedang menahan tawa di belakangnya. "Diam!" Bentak Deidara sambil memberikan death glare miliknya.

"Kenapa harus risih? Negara menjamin pernikahan kita."

"Sekali lagi kau mengatakannya aku akan pergi, mengerti." Ancam Deidara.

"Kau tidak akan meninggalkanku."

"Cih, percaya diri sekali kau."

"Akukan sudah menjadi orang baik."

"Kau semakin aneh, Itachi."


"Sepertinya dia mengalami amnesia. Hal ini bisa saja terjadi karena si penderita sendiri tidak menginginkannya, akhirnya ingatannya pun hilang."

"Apa ia bisa sembuh?"

"Mungkin, tetapi mungkin saja tidak. Jika itu terjadi, saya khawatir dia akan mengulangi percobaan bunuh dirinya. Saya harap Anda menjaganya dengan baik."

"Hei, apa kau baik-baik saja?" Deidara berulang kali menjentikkan jarinya di depan wajah Itachi, yang baru saja ditanggapi oleh orang yang bersangkutan dengan bingung. "Kau baik-baik saja?" Tanya Deidara sekali lagi, memastikan keadaannya baik-baik saja.

Itachi hanya tersenyum kemudian mengambil sumpitnya dan mulai memakan sup ayam yang telah dibuatkan Deidara untuk makan malam mereka. "Enak." Ujarnya sambil tersenyum simpul memandangi Deidara yang mengangguk meng`iya`kan. Bunyi dentingan sumput terdengar bagai melodi diantara mereka.

Kembali pria raven itu kembali termenung, melihat kekasihnya dengan lahapnya menyantap makanan kesukaannya.

Rasa sesak selalu menganjal dihatinya ketika melihat pria dihadapannya sedang tertawa.

Yah, ini semua semu. Ada waktunya ini akan kembali pada tempatnya yang mungkin saja bisa menghancurkan semuanya. Semua kebahagiaan semunya.

Sebuah cinta sama artinya dengan sebuah keegoisan. Tidak ada kata kamu, kami, kita ataupun mereka, yang ada hanyalah aku.

'Tuhan, jika kau memang benar ada, walaupun ini salah biarkanlah seperti ini. Sebagai balasannya, aku akan menjadi orang baik selama sisa hidupku.'

The End

A/N : Terima kasih atas dukungannya. Semoga fic saya berkenan dihati. Terima kasih untuk semuanya yang sudah membaca fic saya ini. Fic ini didedikasikan Ulva chan, YamanakaEmo, Back dan juga Ai Hinata Lawliet yang senantiasa meriview fic saya dari awal saya mempublis cerita pertama saya. Terima kasih juga untuk semuanya yang sudah menyempatkan waktunya untuk mereview.

Sekali lagi terima kasih. LOVE U.