Splashing Sound

Warning: PWP! Yaoi, twincest, bathtub-smex!

Disclaimer: Blue Exorcist©Kazue Kato

A.N.: Terima kasih bagi yang sudah baca, review, ataupun fave. Seriously guys, I love you all. Kalian penyemangat saya. Review kalian itu bagai kue blackforest, dan fave kalian adalah krim di atasnya yang manis(-kelamaan curcol).

Walaupun saya udah gak baca/nonton AoEx lagi, tapi... I must end what I've done.

Read at your own risk! Keep away from children, and from your parents!


Recap:

Dengan nafas yang terengah-engah, Rin membiarkan kepalanya bersender di pinggiran bathtub, ekornya yang tadi digigitnya kini terkulai di dasar air. Ia kemudian tersentak saat pemuda di atasnya mulai beranjak. Rin menarik tangan pemuda itu.

"Aku... akan lebih membencimu—haah—jika kau langsung pergi begitu saja..." ucapnya di antara nafasnya yang berat.

"Tenang saja," Yukio tersenyum, "aku hanya ingin mengambil lotion itu."


Setelah mendapat apa yang ia cari di salah satu lemari kamar mandi, Yukio kembali masuk ke dalam bathtub, kemudian menuangkan isi lotion tersebut di jari-jarinya. Rin memandangnya penasaran, bingung apa yang mau dilakukan adiknya itu dengan lotion di tangannya.

Yukio mendekati telinga kakaknya dan berbisik pelan, "...Bersiaplah."

Rin lalu menoleh ke bawah dan melihat jari tengah Yukio yang mulai memasuki tubuhnya. "K-kau mau apaa—," erangnya. Ia merasa aneh dengan benda tak familiar yang memasuki tubuh bagian bawahnya itu. Tapi Rin merasakan jari itu tak lagi bergerak.

Yukio hanya menghembuskan nafas. Ia mengusap dahinya yang basah oleh keringat dengan lengan kirinya. Tentu saja ia tak akan mungkin mengucapkan tiga kata tersebut, hal itu terlalu beresiko. Bukan hanya itu, sebenarnya yang ia lakukan sekarang lebih beresiko lagi. Tabu... sangat tabu. Suatu hal yang salah. Suatu hal yang ia ingin benar.

Ia mengesampingkan segala pikirannya tersebut, sudah terlambat untuk mundur. Melihat jari tengahnya yang sudah masuk setengah bagian, Yukio lalu memasukkan jari keduanya—jari telunjuk. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat Rin menggertakkan gigi, tangannya secara spontan menggenggam lengan kanan Yukio dengan kuat. Mata Rin yang menatap tajam memberi isyarat bahwa ia tidak menyukai ini. Namun pemuda yang ia tatap tak merespon, malah mulai menggerak-gerakkan kedua jarinya—membuat gerakan seperti gunting, lalu memaju-mundurkannya.

Yukio merasakan otot kakaknya yang tengang. Pemuda itu lalu menelan ludah, kemudian mencium pelan bibir Rin—mencoba membuatnya rileks. Ia tak menyangka bahwa Rin langsung membalas ciumannya. Hal yang kecil, namun membuat dirinya luluh, membuat dirinya hilang kendali, dan membuat dirinya menggigit bibir bawah kakaknya itu. Rin merespon dengan membuka mulutnya, memberikan kesempatan kepada Yukio untuk memperdalam ciuman mereka.

Jari-jarinya mulai bergerak lagi, menginvasi semakin dalam, membuat nafas pemuda iblis itu semakin berat. Mulutnya yang terkunci oleh lidah Yukio sama sekali tak membantu, nafasnya mulai tersengal-sengal. Saat lidah adik kembarannya itu menyapu langit-langit mulutnya, ia mendesah panjang.

Klik. Seperti ada sesuatu yang terlepas dari diri Yukio saat ia mendengar suara manis itu. Ia menarik dirinya dari ciumannya. Napasnya memburu, matanya berkabut. Yukio membebaskan jari-jarinya, lalu menjilat bibir dan berkata, "Balik badanmu."

Ia tidak sekedar berucap, ia memberi perintah.

Kakaknya mengerutkan kening, terlihat tidak mengerti apa-apa. Namun pemuda iblis itu akhirnya membalikkan badan, jujur, ia akan melakukan apa pun yang diminta adik kembarannya dalam keadaan seperti ini—pikiran yang terselimuti oleh nafsu jasmani.

Rin sekarang dalam posisi berlutut membelakangi Yukio. Ia merasakan tangan adiknya mendorong punggungnya ke bawah. Ia menurut, secara tidak sadar makin mengangkat tubuh bagian belakangnya. Sementara itu tangan Yukio yang satu lagi bergerak menyusuri punggungnya, semakin ke belakang, lalu turun di sela-sela pahanya. Rin merinding, tangannya yang bertopang pada pinggiran bathtub kian erat mencengkram. Ekor iblisnya mengibas-ngibas.

"Kak, ekormu mengganggu sekali."

Mendengarnya, Rin agak kesal. Ia menelan ludah dan membalas ucapan Yukio, "Oke, dengan keadaan seperti ini, aku sama sekali tak peduli dengan ekorku, dan aku harap kau juga…uhn—"

Rin menggertakkan giginya, merasakan aliran listrik yang seolah menyetrum tubuhnya dengan nikmat, terutama pada bagian bawah tubuhnya. Ia mengeliat berusaha melepaskan ekornya dari Yukio, dari mulut Yukio.

"Ha-aah, stop."

Yukio tertawa kecil—agak tertahan karena ekor Rin. Ia justru memain-mainkan ekor tersebut dengan lidahnya, menjilatinya dengan gerakan memutar. Rin begidik tiap kali Yukio menggumam dari tenggorokannya, membuat getaran pada ekornya yang menjadi super-sensitif karena rangsangan yang terus-menerus diberikan Yukio.

Yukio benar-benar menikmati reaksi kakaknya itu. Tapi ia tidak akan berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya berpindah menahan pinggang Rin agar tetap pada posisinya, sedangkan kedua jari di tangan kanannya mulai memasuki lagi tubuh Rin yang tadi ditinggalkan. Yukio tersenyum, dengan posisi seperti ini ia lebih leluasa untuk menjelajahi bagian dalam Rin itu.

Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini Yukio tidak sabar dan langsung memasukkan kedua jarinya itu sekaligus. Pemuda di bawahnya meringis, mencoba mengeliat untuk menahan sakit, namun tangan adiknya memaksa tubuhnya dalam satu posisi.

Yukio melepaskan ekor Rin dari mulutnya. "Shh… Tenang kak, aku janji akan membuatmu menikmati ini jika saja…" jemari Yukio semakin liar menjelajahi, "jika saja aku menemukan titik itu."

Tiba-tiba Rin mengerang tertahan, seluruh tubuhnya bergetar.

"Ah, sepertinya aku sudah menemukannya."

Jemari Yukio yang tadinya bergerak tak tentu arah, kini terus-menerus meraba dan menekan-nekan titik itu. Perlakuan adik kembarannya membuat Rin mendongakkan kepala dan melengkungkan punggung. Badannya bergetar seraya suara-suara erangan keluar dari mulutnya, ia tahu sebentar lagi akan mencapai klimaks.

"Yukio—haah…"

Desahan Rin membuat Yukio berhenti. Ia mencondongkan badan ke depan dan menggigit telinga Rin, seraya berkata dengan parau, "Maaf, sepertinya aku terlalu terbawa suasana."

Pemuda iblis itu menggeram kecewa, "Jangan… jangan berhenti."

Yukio menghembuskan nafas panas di telinga Rin, kemudian tergelak singkat. "Jangan bodoh. Siapa yang mau berhenti, kak?"

Kemudian kedua jari itu meninggalkan Rin. Tap. Suara terbuka lotion pun terdengar lagi. Beberapa saat kemudian, pemuda iblis itu merasakan kedua tangan Yukio memposisikan pinggangnya. Namun bukan itu saja, ia juga merasakan sesuatu yang keras dan panas menyentuh bagian belakangnya. Rin membelalakkan mata saat menyadari apa yang akan terjadi—bukan, apa yang akan memasukinya.

Tangan Rin memegang gugup pinggiran bathtub, kukunya agak ngilu karena terlalu kuat mencengkram. Lalu sentakan rasa sakit pun terasa saat Yukio mulai memasuki tubuhnya. Ia melenguh, ekornya meliliti lengan kiri pemuda di atasnya itu.

Yukio mencium leher Rin, menggigitnya, kemudian menghisap kulit sensitif itu. Baru setengah jalan. Ia memijat pelan pinggang Rin, mencoba membuatnya rileks.

Yukio sebenarnya hampir hilang kendali. Sempit dan panas yang menekannya membuatnya ingin langsung membenamkan dirinya dan bergerak liar. Namun ia tidak mau melukai Rin. Ia lalu berusaha menahan diri dengan menggigit keras bibir bawahnya, berharap sakitnya dapat membuatnya tetap sadar.

Saat Yukio sudah sepenuhnya masuk, mereka sama-sama menghela napas. Yukio membenamkan wajahnya di bahu Rin, mengambil beberapa momen sebelum mulai bergerak. Saat ia merasa siap, ia mulai menggerakkan pinggangnya dalam gerakan maju-mundur.

Dan suara-suara sensual pun menggema di kamar mandi itu.


Krek.

Pintu kamar mandi terbuka. Terlihat Rin berjalan pelan ke luar dengan handuk yang melilit pinggangnya.

"Ah, kak. Kenapa lama sekali?" ucap Yukio, melirik dari buku yang ia baca.

Rin menggeram, kemudian melempar pakaian kotor di tangannya ke arah Yukio. Bingo, tepat sekali mengenai wajahnya.

"Memang kau kira membersihkan semua yang telah kau perbuat itu mudah, hah?!" pipi Rin merah, "mana pinggangku sakit sekali… kau harus bertanggung jawab, aku tidak bisa latihan seperti ini. Jalan saja susah!"

Yukio menaruh buku dan pakaian kotor itu di atas meja, lalu ia beranjak mendekati Rin. "Jika kakak masih bersikeras untuk latihan," ia tersenyum menggoda, " aku siap menggendongmu sampai selesai. Mau gaya apa? Bridal style?"

Rin menoyor dahi adiknya. Yukio mengaduh, namun sedetik berikutnya wajahnya menjadi serius. Ia meraba pelan pipi kakaknya itu, dan menatapnya lekat.

"Kau tidak menyesal akan kejadian ini, kan?"

Rin terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Walaupun penyesalan akan datang juga nantinya, aku tidak peduli."

Yukio meresapi perkataan kakaknya itu. Lalu ekspresi wajahnya melunak. Ia tersenyum menampakkan giginya. "Jadi akan ada saat selanjutnya?"

"Hmm… mungkin saja, jika aku jadi yang di atas."

*SELESAI*


A.N.: Uhm… maaf ya, saya memang tidak begitu jago kalau nulis yang adegan masuk-masukan *cough* If you know what I mean…

And hooray for dominating, power-hungry Yukio! #slapped