"Tiga, dua, satu."
"Sembunyi! Ayo, sembunyi darinya!"
.
.
"Jangan sampai Ia menemukanmu."
.
"Atau kau akan—"
.
.
.
.
.
.
Death Note © Tsugumi Ohba & Takeshi Obata
Warning : AU, Includes OC
.
Chapter 2: Sign
.
.
.
Terlampau sering berkutat dengan pelajaran berbau ilmiah, terkadang dapat berdampak menajamkan logika atau melumpuhkan sendi-sendi imajinasi. Pola belajar seperti ini secara tak langsung membentuk cara berpikir mayoritas anak-anak Wammy's House untuk melihat segala sesuatu dari sisi ilmu pengetahuan.
Linda berbeda. Sebagai seorang yang berjiwa artistik tinggi, bilik otaknya dipenuhi hal-hal imajinatif. Terkadang, ia memproyeksikan rupa awan dalam berbagai bentuk saat menengadah ke langit, sementara yang lain menganggap hanya sebagai sekumpulan awan biasa saja. Resiko orang yang terlalu banyak berkhayal, menurut Sophie.
Wammy's House pun tidak luput dari terjangan desas-desus cerita mistis. Misalnya saja, hantu tanpa kepala yang konon katanya sering mondar-mandir di sepanjang koridor lantai dua pada malam bulan purnama, atau kran kamar mandi paling ujung yang mengeluarkan darah alih-alih air, atau tangisan sendu anak kecil.
Tapi, toh akhirnya semua kisah itu hanya menguap begitu saja dan terkubur bersama serangkaian rumor lain karena tak ada satu pun yang pernah mengalami. Tidak ada bukti autentik sama artinya dengan tuduhan tanpa fakta yang mendukung.
Meski begitu, Linda berani bertaruh kalau semalam ia seratus persen sadar dengan apa yang dilihatnya.
Sebuah bola mata—
—bulat, besar, tidak ada hawa kehidupan yang terpancar namun menusuk, berkilat penuh ancaman.
Linda memeluk lutut, badannya kembali bergetar seperti disengat listrik kala mengingatnya. Terasa terlalu nyata untuk sebuah imajinasi umum.
Butuh beberapa menit untuk menenangkan dirinya. Bangkit dari tempat tidur, Linda membuka lemari, mengecek untuk yang kesekian kalinya jika ada sesuatu yang bersembunyi di dalamnya.
Diketuk-ketuknya sisi belakang lemari. Linda sangat berharap ia bisa menemukan pintu menuju dunia fantasi. Mungkin dengan begitu masih jauh lebih baik ketimbang harus berurusan dengan hal gaib.
Namun, sama seperti sebelumnya, nihil.
Tubuhnya dihempaskan di atas kasur. Pelan, ia memijit pelipis.
Ada tiga opsi yang melintas di benak Linda. Pertama, menceritakan pada Sophie kejadian semalam—melihat bola mata yang bulat, besar, dan menyeramkan—lalu menginap di kamar temannya itu. Tapi jika menilik respon Sophie sebelumnya, besar kemungkinan ia benar-benar akan dianggap mengidap sakit jiwa. Ia tahu benar Sophie adalah seorang rasionalis.
Coret opsi pertama.
Kedua, mengadu ke Roger bahwa lemari itu 'berpenghuni' dan sepanjang hari ia merasa dihantui, lalu memintanya untuk memusnahkan lemari petaka tersebut. Tapi sepertinya terlalu tergesa-gesa. Sedikit-banyak Linda masih menyimpan rasa penasaran akan misteri yang terselubung.
Coret opsi kedua.
Ketiga, panggil paranormal atau eksorsis. Berlebihan. Yang ada malah menyulut kehebohan di seluruh panti.
Coret opsi terakhir.
Maka, Linda memutuskan untuk menghadapi semuanya sendirian. Setidaknya, satu hipotesis telah terbukti: memang ada yang ganjil dengan lemari itu.
.
.
"Kau tahu, Linda? Tadi pagi, sebelum ke kelas, aku berpapasan dengan Irvin. Itu lho, si introver pemuja rahasiamu."
"Oh ya?" Linda menanggapi malas-malasan.
"Yup, dan ia menggenggam sesuatu. Sepertinya secarik kertas. Mungkin itu surat cintanya untukmu," Sophie terkekeh. "Tapi, saat aku menyapanya ia malah mengacuhkanku dan berjalan seperti orang kebingungan. Kulihat wajahnya sedikit pucat. Jeez, ia memang anak yang aneh."
Linda memalingkan muka ke arah jendela, tidak tertarik dengan celotehan Sophie. Sudah terlampau sering ia mendapati lokernya dihinggapi sebuah amplop berisikan aneka fotograf hasil jepretan kamera Polaroid Irvin, setiap harinya. Objeknya tidak menentu. Terkadang panorama alam sekitar Wammy's House, aktivitas para penghuni panti yang tertangkap lensa kamera secara tiba-tiba, maupun objek-objek kecil lainnya yang tidak penting; lukisan di ruang musik, tangga menuju lantai dua, piring dan gelas kosong, dan sebagainya.
Awalnya, Linda menyambut antusias 'hadiah' sang 'pemuja rahasia'nya—tak bisa dipungkiri kalau hasil fotonya memang menawan. Namun, lama-kelamaan jadi terasa mengganggu bagi Linda. Puncaknya saat di ulang tahunnya yang ke dua belas ia menerima album dengan puluhan foto dirinya di sana.
Irvin, anak laki-laki berkacamata tebal itu, kemungkinan menguntit Linda.
Mereka juga sangat jarang bertukar sapa. Irvin lebih senang berinteraksi dengan kameranya.
"Oh ya. Aku jadi ingat sesuatu. Kau baik-baik saja kan semalam? Dengan si lemari, tentu saja," tanya Sophie mengalihkan pembicaraan.
'Aku tidak mungkin baik-baik saja setelah apa yang kusaksikan semalam,' ingin rasanya Linda mengatakan yang sebenarnya.
"Ya, begitulah. Semuanya baik dan terkendali. Terima kasih telah mencemaskanku."
"Baguslah kalau begitu. Sudah kubilang, bukan? Kau hanya terlampau paranoid,"
Sang gadis berkuncir dua memilih untuk tidak mempermasalahkan hal ini lebih lanjut dengan teman baiknya. Ia diam.
Ujung kuku telunjuk Linda beradu dengan permukaan meja yang mengilap, mengetuk-ngetuk konstan berirama. Punggung tangan kanan memangku dagu. Suara sang guru berseliweran sambil lalu. Kelas geometri terlalu menjenuhkan untuk diabsorbsi otaknya saat ini.
Pandangannya mengarah ke luar. Langit biru yang bersih dan cerah tergelar sempurna. Pertanda hari baik, kata orang.
Matanya berpindah ke kaca jendela—tergambar dengan jelas refleksi sang guru geometri.
Jantung Linda seakan melompat, berdegup kencang. Pantulan di kaca itu bergerak sendiri!
Dengan cepat, Linda mengalihkan pandangan ke raga guru yang asli lalu ke kaca lagi. Yang bersangkutan masih sama seperti yang tadi; menulis di papan tulis sambil menerangkan materi pelajaran.
Tapi, tidak demikian dengan apa yang direfleksikan di kaca jendela. Perlahan, sosok tersebut memutar lehernya ke samping, menoleh pada Linda. Alisnya bertaut. Mulut robek melebar sampai ujung pipi. Kedua sudut bibir terangkat. Seringai sinis terpaparkan.
Linda melihat kepada murid-murid yang lain. Mereka sibuk mencatat—bahkan ada yang tertidur. Tidak ada yang menyadari keanehan ini, selain dirinya.
Sosok itu lalu mengangkat tangannya, telunjuk terancung ke suatu arah. Seperti ingin menunjukkan sesuatu.
Linda mengerjapkan mata, sedikit memiringkan kepalanya untuk mencari tahu dengan lebih jelas apa yang dimaksud.
Tuk.
Pensil berwarna merah bata bergelindingan sebelum akhirnya terjun menghempas ubin lantai. Atensi Linda sukses teralihkan. Merunduk, dipungutnya alat tulis tersebut. Saat kembali mengangkat kepala, sosok misterius dalam kaca telah menghilang. Semua kembali normal sebagaimana mestinya.
"Kelas kita untuk hari ini berakhir sampai di sini," kata sang guru geometri dengan suara sengaunya. Ia membetulkan letak kacamata dan beranjak pergi dari ruangan.
Linda merutuk dalam hati sebab belum sempat mengidentifikasi arah yang ditunjukan tadi.
"Fuh, akhirnya selesai juga. Aku bisa mati bosan terus berlama-lama di kelas ini." Sophie meregangkan kedua tangan. "Hei, bagaimana kalau sebentar kita main petak umpet? Sudah cukup lama kan kita tidak bermain permainan ini. Aku akan mengajak yang lainnya juga," ajaknya tiba-tiba.
"Tidak. Aku sedang malas."
"Yakin?"
"Seratus persen yakin."
"Baiklah. Bye."
Sophie melambai sekali lalu segera berkemas dan melengos pergi meninggalkan Linda yang diselimuti sebuah tanda tanya di kepalanya.
.
.
"Senang dengan lemari barumu?" nada jahil terselip dalam kalimat si bocah berambut merah.
Bola mata kecokelatan itu berputar. Sungguh bukan sebuah sapaan yang tepat sasaran.
"Ada apa dengan orang-orang pada hari ini? Kenapa semuanya mendadak menanyakan keadaan lemariku?"
"Aku kan hanya bertanya," bibir Matt mengerucut, pura-pura merajuk. Jemari terampilnya menekan-nekan tombol konsol game dengan cekatan.
"Ngomong-ngomong, aku tidak melihat Mello. Di mana dia? Biasanya di mana ada Mello, di situ ada Matt,"
"Pfft. Kata-katamu ambigu," Matt menahan tawa. "Mello tengah menantang adu strategi dengan Near. Main catur. Rutinitas harian," ia tersenyum kecil.
"Oh," tanggap Linda sekenanya.
Sesaat keduanya diam.
Sesekali Linda melirik ke arah Matt—yang duduk persis di hadapannya—lalu membuang tatapan ke lantai. Begitu seterusnya sampai beberapa kali. Ada yang ingin dikatakan meski ia ragu untuk mengungkapkan.
Linda menerka-nerka reaksi Matt dengan apa yang akan ditanyakan nanti. Ia memang tidak bisa dibilang akrab si Pecandu Game. Tapi, tidak ada salahnya untuk berspekulasi.
"Matt…" jeda. "Apa kau percaya hantu?"
Anak laki-laki itu mendongak. Kebingungan menanggapi pertanyaan Linda terlukis di wajah. "Eh? Memangnya kenapa?"
"Jawab saja," desak Linda.
Matt menghentikan permainan, diletakkannya konsol game di atas meja. Menggaruk pipinya yang tidak gatal.
"Err, entahlah. Aku tidak sepenuhnya percaya maupun tidak pula menolak eksistensi makhluk supernatural," jawabnya netral.
"Kalau seandainya aku bilang lemariku itu 'hidup', kau percaya?" Linda sedikit menurunkan intonasi suaranya. Matanya menatap lurus sang lawan bicara.
"Tunggu. Tunggu. Jadi, maksudmu kau telah melihat hantu? Dan hantu itu adalah lemarimu, begitu?" Matt mengambil konklusi dengan cepat atas pertanyaan segala rentetan pertanyaan Linda yang di luar ekspektasinya.
Linda mengangguk perlahan. "Semacam itulah. Kau tahu, kemarin malam aku melihat ada sebuah bola mata yang menyembul keluar dari dalam lemari itu. Ia menatap tajam seolah ingin melahapku," tuturnya dengan suara yang bergetar. Kengerian itu kembali berputar tiap kali ia menceritakannya.
Alis Matt terangkat tinggi. Punggungnya disandarkan di kursi. "Wooow! Benar-benar kisah yang di luar dugaan. Agak sulit diterima akal sehat, memang."
Linda menghela napas pendek, kepala tertunduk. Dalam kasus ini, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun yang bereaksi sama seperti Sophie—termasuk Matt.
"Siapa lagi yang tahu kejadian itu?" giliran Matt bertanya.
"Hanya kau."
"Lalu, kenapa menceritakannya padaku? Apa aku terlihat seperti anggota Ghostbuster?"
Linda mengangkat bahu. "Entah. Aku merasa kau orang yang tepat untuk diceritakan. Alasan yang aneh, aku tahu."
Matt tidak menjawab, sangsi harus berkata apa.
"Matt!"
Yang dipanggil menoleh refleks.
Dari jauh tampak seorang anak laki-laki berambut pirang sebatas bahu mengayunkan langkah ke tempat mereka. Air mukanya beriak kesal. Bisa ditebak kalau hasil permainan catur adalah penyebabnya.
"Ups. Ritual Mello sudah selesai rupanya," Matt nyegir. "Aku ke sana dulu."
Bangkit dari tempat duduk, Matt memutar tubuh ke belakang.
"Aku lupa mengatakan sesuatu. Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa ada hal-hal di dunia ini yang menuntut keyakinan tanpa butuh bukti riil."
.
.
.
Linda kembali ke kamarnya. Di saat seperti ini, melukis adalah jalan terbaik menjernihkan pikiran. Tangannya meraih palet, satu set cat minyak, dan kanvas dalam rak buku yang tersusun rapi.
Dahinya berkerut. Ia menangkap keganjilan kala melihat meja belajar.
Buku sketsa miliknya terbuka. Beberapa halaman tersikap sampai ke entri terakhir.
Linda sangat yakin kalau sebelumnya ia telah menutup buku tersebut dan selalu mengunci pintu setiap kali ke luar kamar, sehingga mustahil ada yang masuk lalu membukanya. Jendela pun terkatup rapat.
Drap! Drap! Drap!
Terdengar layaknya suara orang berlari. Saat Linda menoleh ke belakang, sebentuk siluet hitam melesat cepat seperti angin kemudian lenyap seketika.
Mendekat ke meja, matanya melebar, terkejut dengan gambar yang terlampir pada buku sketsa.
.
.
.
"… 27, 28, 29, 30."
"Selesai! Waktunya untuk mencari kalian."
Seorang anak membuka mata, antusiasme menarik cepat kakinya mengejar dan menemukan mereka yang bersembunyi. Siulan riang meluncur dari mulut.
.
Sophie berlari penuh kehati-hatian, berusaha tidak menimbulkan suara. Di sepanjang jalur yang dilalui, diliriknya ke kanan-kiri tempat yang bisa dijadikan persembunyian. Ada tikungan di sebelah kiri. Sophie berbelok. Sederet pintu kamar terhampar di depannya.
Sunyi senyap. Sebagian besar pemilik kamar sedang tidak berada di tempat.
Salah satu pintu terbuka sedikit. Sophie melongok ke dalam. Nampaklah ruangan segi empat dengan aneka lukisan bergelantungan di tembok. Perabotan berwarna-warni ceria duduk manis, kontras dengan dinding putih monoton. Dengan cepat, ia langsung tahu siapa penghuni kamar itu.
Linda.
Cengiran lebar menghiasi wajah ovalnya, bak menemukan harta karun. Ia berpikir, bukanlah masalah jika ia sembarangan masuk ke ruang privat teman baiknya sendiri.
Sophie gelagapan mencari persembunyian. Waktunya tak banyak lagi. Di bawah meja terlalu sempit, takkan muat. Kolong tempat tidur diisi dengan koper dan kardus-kardus yang entah apa isinya.
Satu-satunya yang tersisa adalah di dalam lemari.
"Ah, sial! Kau berhasil menemukanmu."
Satu pemain telah tertangkap.
"Aku salah memilih tempat bersembunyi."
Dua pemain.
Beberapa rutukkan lainnya menyusul tak lama.
Terdesak, Sophie segera masuk ke dalam lemari. Memosisikan tubuhnya di antara pakaian-pakaian yang digantung. "Pasti tidak akan ada yang akan menemukanku di sini." Sophie tersenyum puas.
Ditariknya pintu—
Blam.
—tertutup sempurna.
Tertinggal hitam, gelap, dan…
.
.
.
"Matt! Matt!"
"Gadis itu mencarimu? Tumben. Ada angin apa ini?" tanya Mello sarkastik. Keningnya mengerut skeptis.
Matt tertawa. "Hari ini aku sedang populer," candanya.
Linda menghampiri Matt—yang kala itu tengah bercengkerama dengan Mello—dengan tergesa-gesa. Matt sendiri tidak bisa menutupi keheranannya melihat tampang Linda dipenuhi kepanikan.
"Aku pinjam dulu Matt sebentar ya, Mello. Penting."
Ditariknya lengan Matt, membawanya kabur sejauh mungkin tanpa memberikan kesempatan bagi Mello untuk protes.
"Ada apa sih?" Matt membuka suara.
Setelah merasa berada di tempat yang aman, Linda mengatur napasnya yang memburu sebelum akhirnya berucap, "Coba lihat ini."
Linda menyerahkan hasil temuannya.
"Uuh, oke. Aku sudah lihat. Terus, apa maksudnya?"
"Ini adalah gambar yang kubuat kemarin siang. Menurutmu, gambar ini terlihat seperti apa?"
"Hmm, coretan biasa," jawab Matt jujur. Menginterpretasi karya seni sama sekali bukanlah keahliannya.
Linda mendecak tidak sabar. "Bukan. Lihat yang lebih teliti."
Sepasang keping emerald memicing, menganalisa goresan tangan di atas kertas persegi panjang.
Keempat sisinya dipenuhi coretan-coretan abstrak yang menyatu; memberikan aksen gelap bagai langit dikala mendung. Dua buah garis berlawanan arah ditarik dari tepi yang satu, melebar di tengah-tengah, lalu menyempit lagi ujung—elips. Di dalam elips terdapat spiral besar, tepat dipusatnya.
"Ini… seperti… erm… mata?"
"Dan itu tercipta selang beberapa jam sebelum aku melihat bola mata dalam lemari," Linda mengimbuh cepat. Ekspresi menegang.
"…"
Diam menggantung di udara.
"Matt, aku rasa ini bukan lagi sekedar penampakan biasa. Sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi. Dan mungkin itu adalah—"
.
.
.
"KYAAAAAAAAAAAAA!"
.
.
.
Pekikan seseorang menggetarkan dinding-dinding Wammy's House sekaligus menyela perkataan Linda. Terlonjak, Matt dan Linda saling bertatap muka.
"Siapa yang berteriak?" tanya Matt.
"… itu suara Sophie."
.
.
Berpuluh langkah kaki berdentum menghantam lantai. Segala aktivitas sejenak ditinggalkan. Sebagian anak berhamburan kalang kabut, sedangkan yang lain saling bertanya apa yang sedang terjadi. Kepanikan melanda Wammy's House.
"Dari mana kau tahu kalau suara tadi bersumber dari kamarmu?" sambil terus memacu kakinya berlari, Matt kembali mengajukan pertanyaan.
"Firasat. Dan firasatku mengatakan ada yang buruk terjadi," sahutan Linda terdengar datar, meski sebenarnya ia jauh dari kata tenang saat ini.
Menapaki tangga ke asrama wanita, mereka bertemu dengan Mello.
"Linda, lemarimu tidak bisa dibuka. Sophie terkunci di dalamnya."
Informasi dari Mello mencekat napas Linda.
Terkunci?
Lemari itu tidak bisa dikunci dari dalam dan yang tahu di mana kuncinya disimpan hanyalah Linda seorang.
Langkahnya berayun lebih cepat menuju tempat yang dituju. Di luar kamar, anak-anak panti berkerumun. Bisik-bisik mereka berdengung seperti segerombolan lebah. Linda tak menghiraukan.
"Keluarkan aku dari sini! Cepat! Aaaaa!"
Sophie terus berteriak kesetanan meski suaranya mulai serak. Pintu lemari digedor kuat.
Tangan Linda bergerak otomatis membongkar isi laci meja, mencari kunci yang diselipkan di antara tumpukan barang. Linda menyambar kunci berwarna perak, memasukan ke lubang kunci lalu memutarnya.
"Che! Cepatlah kau terbuka!" geram Linda dibawah kendali tekanan. Tangannya bergetar. Deretan gigi bergemelutuk.
Cklek.
Terbuka.
.
.
.
Untuk sepersekian detik, Linda tidak mengenali wujud yang nampak di depan matanya.
Sophie terduduk memeluk lutut erat. Pucat pasi menyepuh wajah. Tubuhnya menggigil hebat. Seberkas air mata menggenangi pelupuk mata. Pandangannya membatu. Beberapa helai rambut hitam panjang Sophie menjuntai menutupi paras.
"Uuuh. Uuhh. T-Tolong. Tolong aku."
.
.
"Ia ingin memakanku."
.
.
.
(To Be Continued…)
.
.
A/N:
Akhirnya fic ini bisa update juga dengan penuh perjuangan, keringat, darah, dan air mata #pret
Setelah bermeditasi selama berminggu-minggu mencari wangsit, saya akhirnya mendapat hidayah akan kelanjutan fic ini untuk beberapa chapter ke depan. Yay! \o/ Tapi, tetep aja bikinnya susah mampus w(OAOw)
Saya hanturkan banyak terima kasih kepada Doppelganger's Doll, Claire Barbossa, Ellechi (Dr. KimChie), Ai Eureka Darkberry, Shia Zen, Aratte, Athaya No Fushigi Na Petto, yukka-keehl atas review-nya di chapter satu :'D. Pendapat kalian sangat berharga bagi saya.
Thanks for reading~!
Mind to review? :')