Chappp 13!

Selalu dan selalu saya hanya bisa bilang maaf untuk keterlambatan update. Terima kasih untuk semua saran kritik, dan dukungannya melalui review. Terutama tuyul-putih-kecil-untungnya-gak-dekil bernama ACHAN yang hobi sms 'neechan neechan update fic'. Makasih untuk semangatnya sayang. :*

Buat yang lain, happy reading…. ^_^

.

Naruto by Masashi Kishimoto

The Happiness for You by Ky is Kyra

Chapter 13

Perasaan yang Terpendam

.

Sasuke menghela napas lelah untuk kesekian kalinya. Ia meletakkan kembali berkas yang sedang ia baca di mejanya, lalu pandangannya beralih ke arah sofa yang ada di perpustakaan kecil di rumahnya. Di atas sofa itu, calon istrinya sedang tidur. Iapun mendekati gadis itu dan membangunkannya dengan pelan.

"Naruto, kembalilah ke kamarmu."

Gadis yang ia kira sudah lelap itu membuka matanya dalam sekejap. Ia hanya memberikan tatapan kosong. "Kau masih kerja?"

"Aku akan melanjutkannya besok," ujar Sasuke berbohong. Sejak awal ia berniat melanjutkan pekerjaannya setelah Naruto kembali ke kamarnya.

"Baiklah," ujar gadis itu lemah. Ia mengikuti Sasuke yang menuntunnya ke kamarnya. Begitu sampai di depan kamar Naruto, Sasuke mengecup pelan kening Naruto dan meminta gadis itu untuk segera masuk ke kamarnya dan tidur.

Setelah yakin Naruto mengunci pintu kamarnya, Sasukepun kembali ke perpustakaan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sayangnya, Sasuke tetap tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi oleh sikap Naruto yang ia rasa aneh selama seminggu belakangan.

Calon istrinya itu jadi semakin manja padanya. Tidak hanya ia ingin agar Sasuke yang mengantar dan menjemputnya ke dan dari kampus, ia juga selalu mengikuti Sasuke kemanapun pria berusia 24 tahun itu pergi. Tidak berarti Sasuke bermasalah dengan hal itu, hanya saja Naruto sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih tepatnya gadis itu seperti menahan diri dari mengatakan sesuatu kepadanya.

Ia sempat menanyakan hal itu kepada ibunya, tetapi ibunya hanya mengatakan bahwa kemungkinan itu adalah kegugupan calon pengantin. Hal yang biasa terjadi pada setiap calon mempelai ketika hari pernikahan mereka semakin dekat. Sasukepun hanya berharap bahwa hal itulah yang dialami Naruto.

Menyadari konsentrasinya benar-benar sedang buruk, Sasukepun mematikan komputernya dan memilih untuk beristirahat. Ia berharap tidur dapat membuat pikirannya lebih segar besok.

Niat Sasuke untuk beristirahat harus tertunda begitu ia melihat Naruto menuruni tangga menuju pintu samping yang menghubungkan rumah itu dengan kolam renang. Calon istrinya itu berjalan seperti terhipnotis, sebab ia tidak menyadari sinar terang dari perpustakaan ketika Sasuke membuka pintunya. Penasaran dan sedikit cemas, Sasuke memutuskan untuk mengikuti Naruto.

.

"Aku tidak mengharapkanmu untuk datang, Naruto-san."

Sasuke langsung mengambil posisi sembunyi begitu mendengar suara kakaknya. Rasa ingin tahu semakin menguasainya.

Naruto tidak memberikan respon apapun. Ia hanya diam dan duduk di salah satu kursi di dekat kolam tersebut. Itachi menawarinya segelas minuman.

"Minumlah."

Dengan patuh, Naruto menerima tawaran Itachi.

"Bagaimana?" tanya Itachi setelah Naruto meminum minumannya.

"Naruto tidak pernah menyukai susu, bukan?" Ujar Naruto tanpa melihat Itachi. "Karena itu, kau mencampurkannya ke dalam teh ini."

Itachi tersenyum kecil. "Rupanya kau masih mengingatnya."

"Saat Naruto dibawa ke sini, tubuhnya sangat dingin. Wajar saja, dia memakai pakaian yang tidak layak itu di tengah malam bersalju. Seluruh tubuhnya terluka."

"…"

"Dia hanya menangis dan menangis dan menangis dan menangis…" Itachi mengatakannya seolah-olah dia sedang melihat Naruto di malam natal yang menyedihkan itu. Ingatannya kembali pada malam di saat dia menemukan Naruto yang telah dilukai Gaara. "Dia tidak mau makan, berapa kalipun aku coba membujuknya."

"Jadi, kau membuatkan teh ini untuknya?"

"Ya," ujar Itachi. "Naruto berkata teh itu sangat enak. Ia mengatakannya dengan tersenyum, walau pada akhirnya senyum itu berubah menjadi air mata."

"…"

"Malam itu…" jeda beberapa detik sebelum Itaci melanjutkan ucapannya. "Apa yang sedang kaulakukan, Naruto-san?"

Naruto meremas jarinya sekuat tenaga. Menahan emosi yang meluap-luap setiap kali Itachi menceritakan tentang Naruto yang menangis dan menanyakan apa yang ia lakukan di saat kakaknya itu menangis. Meskipun ia merasa iba mendengar cerita kakaknya, namun iapun merasa diserang dengan pertanyaan Itachi yang seolah-olah menyalahkannya karena ia merasa bahagia di saat kakak kembarnya menderita.

"Naruto-san, bisa kau ceritakan padaku, apa yang sedang kau lakukan di malam natal enam tahun yang lalu?"

"Kau tidak perlu menjawabnya, Naruto."

Naruto refleks menoleh ke arah asal suara begitu menyadari itu adalah suara calon suaminya.

"Sasuke…"

"Kembalilah ke kamarmu. Aku akan menyusulmu sebentar lagi," ujar Sasuke.

Naruto berdiri bimbang. Ditatapnya Sasuke dan Itachi bergantian. Meskipun ia memang ingin pergi dari tempat itu, tetapi raut wajah Sasuke terasa begitu menakutkan bagi Naruto. Ia takut calon suaminya itu akan berbuat nekat pada kakaknya sendiri.

"Naruto, tolong kembalilah ke kamarmu sekarang." Sekali lagi Sasuke meminta Naruto, tapi kali ini nadanya terdengar memaksa.

"Lakukan apa yang diminta calon suamimu, Naruto-san," Itachi berujar tenang.

Naruto akhirnya mengambil langkah. Ia mendekat ke arah Sasuke. "Aku tidak apa-apa," ujarnya.

"Maaf, tapi aku harus bicara dengan aniki," sahut Sasuke tanpa memperdulikan Naruto. Gadis itupun tidak punya pilihan lain selain meninggalkan kedua saudara itu dengan hati cemas.

Setelah yakin Naruto sudah tidak ada di tempat itu, barulah Sasuke memulai 'percakapan' mereka.

"Apakah kau yang memberitahu tentang 'Naruto' pada keluarganya, aniki?"

Itachi menyesap tehnya dengan tenang, lalu menjawab pertanyaan Sasuke dengan tenang. "Ya, aku yang melakukannya."

"Kau…" Sasuke bertanya dengan emosi yang menggelegak di dadanya. Ia teringat pada tangisan Naruto di rumah sakit ketika dia menceritakan masa lalunya pada pemuda bermarga Aburame. "Apa kausadar apa yang telah kau lakukan?"

"Naruto tidak pernah mengenal orang tua kandungnya," ujar Itachi. "Karenanya dia merasa rendah diri. Dia mempertanyakan haknya untuk bahagia hanya karena dia tidak memiliki orang tua."

"Lantas itu menjadi alasan untukmu menghancurkan kehidupan orang lain?!" Seru Sasuke dengan suara tertahan. Tetapi Itachi tampaknya tidak terpengaruh oleh hal itu. Wajahnya tetap tenang dan tanpa eksresi.

"Naruto, dalam ingatanku, selalu dipenuhi air mata. Sejak pertama kali aku melihatnya, sampai ketika kematian menjemputnya, wajahnya terus saja basah oleh air mata," ujar Itachi. Matanya menatap kosong pada minumannya yang tinggal setengah. "Lalu, di suatu pesta yang menyesakkan, aku melihat seorang gadis yang begitu mirip dengannya. Rambut pirangnya, mata birunya, garis wajahnya, semua hal tentang dirinya sangat mirip dengan Naruto. Tetapi, gadis itu tidak menangis, Sasuke,gGadis itu tersenyum dan tertawa dengan polos. Ia tampaknya sangat bahagia."

"…"

"Ketika aku menanyakan namanya, dia bilang namanya adalah Uzumaki Naruto," ucap Itachi dengan tawa pelan. "Kalau kaumenjadi aku, apa yang akan kaulakukan?"

"Aniki…"

"Apa kau akan diam saja, dan menganggapnya kebetulan?"

"…."

"Aku yakin kaupun tidak akan tinggal diam, Sasuke. Kau akan melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan."

Pernyataan Itachi menyusutkan amarah Sasuke, tergantikan oleh syok. "Aniki… kau…"

Ia tidak bisa menyanggah tindakan kakaknya, sebab iapun pasti akan mencari orang tua Naruto dan menanyakan apakah mereka pernah kehilangan seorang anak, lalu memberitahu mereka bahwa anak mereka yang hilang itu tidak lagi berada di dunia ini. Andai ia yang berada di posisi Itachi, sudah pasti dialah yang menghancurkan hidup Naruto yang kini menjadi calon istrinya.

"Nama itu bukan milikku.."

Sasuke terkesiap. Suara tangisan Naruto berdenging di kepalanya.

"Aku bahkan tidak memiliki nama! Aku hanyalah pengganti. Pengganti yang tidak berarti, bahkan meski ibuku tahu bahwa ia telah mati."

"Itu tetap tidak menjadi alasan untukmu menyakitinya, aniki." Ujar Sasuke tegas. "Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku, bahwa aku hanyalah orang luar, bahwa aku tidak berhak ikut campur. Walaupun Naruto benar-benar hancur karenanya."

Kali ini, Itachi menatap Sasuke. Adiknya itupun terkesiap melihat ekspresi wajah kakaknya yang sangat menderita.

"Aniki."

"Aku mengatakannya, Sasuke," Itachi berkata lirih. "Aku mengatakannya."

"…"

"Aku mengatakannya, berdasarkan rasionalku. Aku mengatakannya dengan logika yang kutempatkan di atas emosiku. Dengan logika yang kupaksakan untuk menutupi kebencianku pada orang yang menyakitinya… untuk menutupi kebencianku pada diriku sendiri yang mendahulukan logikaku sebelum hasrat untuk melindunginya."

Lidah Sasuke tiba-tiba terasa kelu begitu suatu kesimpulan tersaji dalam otaknya. Tindakan kakaknya yang menurutnya keterlaluan, wajah yang terluka, dan kata-kata benci yang ia tunjukkan untuk dirinya sendiri. Sasuke tidak pernah menduganya.

Itachi juga mencintai Naruto.

"Naruto…" ujarnya terbata-bata. "Sejak kapan… padanya… kau…"

"Sejak kapan?" Itachi mengulang pertanyaan Sasuke. "Akupun tidak tahu."

"…"

"Yang aku tahu, hanyalah aku membenci orang-orang yang membuatnya menderita. Ia baru berusia 15 tahun, tetapi ia sudah harus menahan perasaannya untuk diungkapkan. Ia harusnya tertawa lepas, bahagia, tetapi ia justru menangis terluka. Ia harusnya mengejar mimpinya, tetapi ia justru melepaskan nyawanya untuk orang yang melukainya."

"Aniki-"

"Karena itu, Sasuke," ucap Itachi, "Aku membencinya. Orang yang telah merebutnya dariku."

"Aniki…" Panggil Sasuke, berharap kakaknya itu menyadari ucapannya.

"Aku rasa kata-kataku kurang tepat. Sejak awal dia bukan milikku. Karena itu…" Itachi tersenyum pahit. "Aku ingin merebutnya."

Sasuke mendatangi Itachi dengan langkah cepat, secepat ia mengayunkan tinju ke wajah kakaknya.

"Naruto yang kaukenal sudah mati!" seru Sasuke, menyadarkan Itachi yang di matanya seolah-olah kehilangan kewarasannya.

Itachi yang tersungkur di lantai setelah ditinju Sasuke tetap diam di tempatnya. Melihat kakaknya seperti itu, Sasukepun sedikitnya merasa iba.

"Bukankah dunia ini benar-benar tidak adil, Sasuke?" ujar Itachi. "Mereka menciptakan dua sosok yang sama, tetapi hanya satu sosok yang bahagia sedangkan yang lainnya menangis."

"Aniki!" Sasuke tidak tahu harus berkata apa untuk menyadarkan kakaknya. Ia tidak pernah menyangka kakak yang ia kenal begitu dewasa tersebut bisa menjadi begitu egois seperti sekarang.

"Sasuke," panggil Itachi yang kini berdiri. "Aku tidak bisa memaafkan sosok yang berbahagia itu."

.

"Naruto," panggilnya pelan pada Naruto yang tampaknya sedang lelap. Gadis itu perlahan membuka matanya. "Maaf membangunkanmu."

Naruto menggeleng pelan. "Aku tidak bisa tidur."

Sasuke mengelus kepala Naruto dengan lembut. Gadis itu balas mengusap pipi Sasuke.

"Aku tidak apa-apa, Sasuke," ujarnya lemah. "Karena kau memilihku. Aku tidak apa-apa."

"Andai aku yang bertemu denganmu saat itu, maka akulah yang akan menjadi aniki," ucap Sasuke. Nadanya penuh sesal.

Naruto tersenyum kecil. "Sebelumnya, kaujuga bersikap seperti itu. Kau memperlakukan aku seperti dia. Ingat?"

"Maaf."

Naruto memejamkan matanya. Mendengar permintaan maaf Sasuke, dia tiba-tiba saja merasa lelah. "Jangan minta maaf lagi. Asalkan kau hanya melihatku, itu sudah lebih dari cukup," gumamnya sebelum tertidur.

Sasuke seperti teriris mendengar gumaman Naruto. Ucapan Naruto membuatnya seolah-olah melihat cermin yang merefleksikan sikapnya di masa lalu. Sasuke benar-benar menyesali sikapnya selama ini. Tidak hanya dia telah memperlakukan Naruto sebagai orang lain, kebahagiaan gadis itu juga dihancurkan oleh kakaknya sendiri.

"Maaf, Naruto. Ini yang terakhir," ucapnya yakin. "Mulai sekarang, aku akan membahagiakanmu."

"…"

"Aku berjanji."

.

"Kau yakin, tidak apa-apa aku ke sini?" Tanya Naruto.

"Hn, kau sudah di sini," jawab Sasuke. Ia lalu mengetuk pintu rumah berwarna putih itu. Tidak lama berselang, pintu itu terbuka, menampilkan sosok Sakura dengan wajah terkejut.

"A.. ah, Sasuke… dan Uzumaki-san. Silahkan masuk."

Naruto menunduk sebentar sebelum melangkahkan kakinya ke apartemen itu. Namun, baru saja ia melewati pintu, sebuah perasaan aneh tiba-tiba saja menyelimutinya.

"Ada apa?" tanya Sasuke yang heran dengan sikapnya. Naruto hanya menggeleng pelan. Ia meraih lengan baju Sasuke dan mengekorinya dengan patuh.

"Duduklah, aku akan buatkan minuman," ujar Sakura seramah mungkin. Meskipun ia masih merasa aneh dengan kehadiran Naruto. "Kau ingin minum apa, Uzumaki-san?"

"Etooo teh?" Naruto berujar ragu-ragu. Ia duduk dengan gelisah di samping Sasuke. Sakura langsung tertawa kecil.

"Kautidak perlu gugup begitu, Uzumaki-san," ujar Sakura. "Di sini adalah rumah Sasuke juga."

Naruto hanya tertawa canggung.

"Di mana Gaara dan anak-anak?" tanya Sasuke yang menyadari rumah itu sangat sepi.

"Mereka sedang ke mini market. Tidak lama lagi mereka pasti kembali." Jawab Sakura dari arah dapur. Tidak lama kemudian ia kembali dan menghidangkan kopi untuk Sasuke, dan teh untuk Naruto. Naruto menggumamkan terima kasih, dan Sakura membalasnya dengan senyum.

"Sasuke, kau harusnya sering-sering datang. Karura dan Amaru menanyakanmu terus," ujar Sakura lagi. "Mereka juga mencarimu, Uzumaki-san."

"Yang mereka cari adalah ibunya, bukan aku," gumam Naruto. Suasana di ruangan itu hening seketika. "Ah, maaf, aku tidak bermaksud-"

"Kau tidak perlu minta maaf," sela Sakura cepat. "Mereka masih belum mengerti arti kata 'mati' atau kematian itu sendiri. Lalu, sejak bertemu denganmupun kami mengarang cerita tentang ibu mereka. Karenanya, mereka hanya tahu bahwa kau adalah ibu mereka. Harusnya akulah yang minta maaf."

"Aku… bukan ibu mereka," ujar Naruto ragu, "Tapi, aku benar-benar menyayangi mereka."

"Itu sudah cukup," ujar Sasuke.

"Tadaima!" suara si kembar terdengar sangat kompak. Mereka berlarian masuk ke dalam ruangan itu.

"Amaru, Karura, jangan berlarian," tegur Gaara.

"Hai!" seru mereka lagi.

"Tousan!" seru Amaru.

"Haha juga!"

"Haha!" seru kedua bocah itu dan langsung menyerbu Naruto. Naruto langsung menyambut mereka dengan antusias.

"Haha, kenapa lama sekali baru muncul?"

"Aku rindu, haha!"

"Aku juga merindukan kalian," ujar Naruto. "Kalian tidak nakal, kan?"

Si kembar langsung menggelengkan kepalanya. "Bibi Sakura selalu bilang kami anak baik."

"Itu baru anak pintar."

Karura dan Amaru tertawa senang mendengar pujian dari ibu mereka.

"Gaara?"

Suara Sakura langsung mengalihkan perhatian semua orang yang ada di ruangan itu kea rah pria berambut merah yang hanya berdiri mematung sejak ia datang.

"Selamat datang, Uzumaki-san," ujar Gaara datar. Ia lalu mengambil tempat di samping Sakura. Begitu ia duduk, suara ponsel langsung terdengar.

"Ah, maaf."

"Maaf."

Sakura dan Sasuke sempat mematung, begitu menyadari ponsel mereka yang berbunyi. "Aku keluar menjawab telepon dulu," ujar Sasuke.

"Aku juga. Sebentar, ya?" Sakura menyusul Sasuke.

Setelah ditinggal oleh Sasuke dan Sakura, keadaan menjadi sangat kikuk antara Gaara dan Naruto. Hanya Karura dan Amarulah yang memecahkan suasana ganjil yang mereka rasakan saat itu. Tidak tahan dengan suasana ganjil tersebut, Gaara memutuskan ke dapur untuk mengambil air minum.

"Air dingin akan membuatmu sakit perut."

Gaara mematung. Begitu juga dengan Naruto."

"Jangan minum air es pagi-pagi. Itu akan membuatmu sakit perut!"

"Barusan… kau bilang apa?"

"Maaf."

Perasaan ganjil yang dirasakan Naruto tampak semakin bergejolak. Tidak hanya rasa aneh yang muncul saat ia melihat Gaara, tetapi perasaan akrab yang ia rasakan sejak ia memasuki rumah itu juga terasa aneh. Seolah-olah ia pernah berada di rumah yang baru pertama kali ia kunjungi itu.

"Aku, Sasuke, dan Naruto pernah tinggal di rumah ini bersama-sama," ujar Gaara. "Rumah ini punya banyak kenangan tentang dirinya."

Naruto hanya diam. Si kembar juga ikut diam. Suasana menjadi semakin ganjil untuk mereka.

"Yang kau katakan barusan adalah kata-kata yang sering diucapkan Naruto padaku, dulu."

Sesak tiba-tiba saja melanda Naruto.

"Naruto juga sering memperingatkanku untuk menyiapkan semua bahan sebelum aku memasak, dan tidak memainkan busa sabun saat mencuci piring, atau memakai sarung tangan saat melakukannya." Gaara tersenyum kecil saat mengingatnya. "Setiap pagi dia akan berdiri di sini, menyiapkan sarapan, bertengkar dengan Sasuke, dan aku akan menengahi mereka."

"Kau… sangat mencintainya."

"Sangat," ujar Gaara. "Tetapi aku juga menyakitinya."

"Dia bahagia," sahut Naruto. "Dia sangat bahagia bisa bertemu denganmu. Aku yakin itu."

"Terima kasih, Uzumaki-san." Gaara mengucapkannya sambil tersenyum. Narutopun balas tersenyum.

Gaara seolah melihat sosok istrinya hidup kembali dan tersenyum padanya.

"Apa kau benar-benar bahagia, Naruto?"

"Maaf, membuat kalian menunggu," seru Sakura. "Eh, ada apa?"

"Naruto, kita harus segera pulang."

"Eeh?" si kembar tampak keberatan. "Masih ingin bersama Haha."

"Aku akan datang lagi." Naruto mencoba membujuk si kembar. "Aku janji akan datang lagi."

"Haii" meskipun keberatan, mereka akhirnya merelakan ibunya untuk pergi.

"Ah, Sakura, Gaara, kami datang ke sini untuk mengantarkan undangan."

"Undangan?" tanya Sakura.

"Kami akan menikah." Sasuke menjawab singkat.

"Selamat! Kami pasti akan hadir iya kan, Gaara?"

"…"

Tidak mendapatkan respon apapun, Sakura berbalik ke arah Gaara dan terdiam sesaat. "Gaara?"

"Aku akan menghadiri pernikahan kalian," ujar Gaar setelah biasa menguasai dirinya.

"Kalau begitu kami pulang dulu," ujar Sasuke. Naruto membungkuk hormat sebelum menyusul tunangannya itu.

.

Suasana di apartemen kecil milik keluarga Sabaku terasa muram malam itu. Sang kepala keluarga, mengunci dirinya di kamar setelah makan malam. Ia tidak mengatakan sepatah katapun sejak kepulangan Sasuke dan Naruto. Panggilan anak-anaknya pun tidak ia pedulikan.

"Gaara," panggil Sakura dari luar. "Aku akan pulang sekarang. Anak-anak sudah tidur."

Gaara tidak menjawab. Ia hanya diam dan berbaring di kamarnya yang gelap.

"Gaara, pernikahan mereka memang cukup mengejutkan," ujar Sakura lagi. "Tapi yang akan dinikahi Sasuke adalah Uzumaki Naruto. bukan Naruto yang kita kenal. Karena itu, tolong jangan abaikan anak-anak. Hanya kau yang mereka miliki saat ini."

"Selamat malam, Gaara."

Gaara tetap diam. Sedikitpun ia tidak berniat untuk menjawab sapaan tunangannya itu. pikirannya sedang dipenuhi oleh kenangan-kenangan tentang istrinya. Narutonya. Jiwanya. Hidupnya.

.

"Gaara," sambut Naruto dengan senyum di wajahnya. Ia memang selalu berusaha untuk tersenyum setiap kali menyambut Gaara. Setidaknya, itulah yang bisa ia lakukan dengan kondisinya saat ini, menurutnya.

Melihat Naruto yang berusaha tersenyum padanya dengan wajahnya yang pucat membuat Gaara semakin mantap pada keputusannya. Ia tidak ingin Naruto menderita lagi, ia tidak ingin Naruto merasakan sakit lagi.

Ia menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidur istrinya. Digenggamnya tangan Naruto selembut mungkin. Matanya menatap wajah pucat Naruto yang masih menunjukkan senyum lemah padanya.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Gaara.

"Aku baik-baik saja," jawab Naruto. "Mereka bersikap baik di dalam sini." Naruto mengelus perutnya ketika mengatakan hal itu.

Mata Gaara hanya menatap hampa pada perut buncit istrinya. Ia lalu kembali mengalihkan tatapannya pada Naruto. "Naruto, kau suka musik, kan?"

Naruto menjawabnya dengan gumaman. Tidak mengerti arah pembicaraan Gaara. "Kau tidak berpikir ingin sekolah musik? Kaubisa jadi violinist, kausuka biola kan?"

Naruto mengernyitkan dahinya bingung. Sedikit rasa tidak nyaman mulai mengusik hatinya. "Gaara, aku kan sudah menikah. Tidak mungkin aku bisa sekolah. Apalagi aku-"

"Kita bisa menyembunyikan pernikahan kita. Mereka pasti berpikir kita ini saudara."

"Tapi kita tidak bisa menyembunyikan kehamilanku, kan?" balas Naruto. Kali ini ia menatap langsung pada wajah Gaara yang semakin membuatnya resah. Ada ekspresi lain di wajah suaminya. Ia yakin pernah melihatnya, namun entah di mana. Ia tidak bisa mengingatnya.

Gaara menguatkan genggamannya pada tangan Naruto. Dikecupnya lembut tangan Naruto, lalu diletakkannya di pipinya sendiri. "Kita bisa memiliki anak di lain waktu, kan?"

Naruto seperti mendengar suara petir menyambar di telinganya. Tubuhnya menegang, dengan sedikit paksaan ia menarik tangannya dari genggaman Gaara. Ia melihat suaminya dengan tatapan tidak percaya.

"Apa maksudmu, Gaara?"

Gaara kembali mengambil tangan Naruto dalam genggamannya, namun Naruto menolaknya. Ia langsung menunjukkan sifat defensif terhadap suaminya sendiri.

"Dengar Naruto, keadaanmu sekarang ini-"

"Aku tahu keadaanku. Aku baik-baik saja. Mereka baik-baik saja."

"Naruto…"

"Apa maumu?!"

Gaara mematung begitu mendengar jeritan Naruto. Kemarahan terpeta jelas di wajahnya. Air mata kembali mengalir di wajah pucatnya. "Naruto-"

"Menjauh tiga langkah dariku!"

Bukannya menjauh, Gaara justru berusaha memeluk Naruto yang justru menolaknya. Gaara lalu mengeraskan suaranya agar Naruto tetap mendengarnya meskipun ia sedang berontak dalam pelukannya. "Dengar, kita masih bisa punya anak nanti. Kalau kau sudah siap. Jadi, kali ini, kita gugurkan saja mereka."

Tubuh Naruto tiba-tiba saja lemas dalam pelukan Gaara. Isakannya mulai terdengar. Menyadari hal itu, Gaara mengeratkan pelukannya. Ia terus membisikkan kalimat-kalimat bujukan. Mengatakan bahwa mereka masih akan bisa memiliki anak.

"Kau…" Naruto bicara dengan pelan, "ingin membunuh mereka?"

Gaara melepaskan pelukannya pada Naruto. dipegangnya kedua bahu istrinya dan ditatapnya Naruto lekat. "Naruto, aku mohon-"

"Kau akan membunuh mereka?"

"Naruto!" sekali lagi Gaara meninggikan suaranya. "Ini untuk kebaikanmu."

Hentakan pelan dirasakan Gaara pada kedua tangannya. Naruto baru saja menolak genggaman di bahunya. Ia menatap Gaara dengan kedua matanya yang basah. "Ceraikan aku, Gaara."

Gaara tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Kalimat yang tidak pernah diduganya akan diucapkan oleh Naruto. Terlebih lagi, ia mengucapkannya untuk mahluk-mahluk yang akan merenggut nyawanya. Kebencian Gaara pada mahluk-mahluk yang tengah bersemayam dalam tubuh istrinya, dan secara perlahan mengambil nyawa istrinya semakin memuncak.

"Ya, aku akan membunuh mahluk-mahluk itu," ujar Gaara dingin. "Kalau itu untuk menyelamatkanmu, aku bahkan rela membunuh darah dagingku sendiri."

Tubuh Naruto langsung kaku mendengar ucapan dingin Gaara. Sekarang ia mengingatnya, wajah penuh kebencian itu, pernah ia dapatkan tertuju untuknya ketika ayah mereka meninggal. Gaara membencinya saat itu. Gaara sangat membencinya. Kini, wajah itu ditujukannya pada mahluk-mahluk tidak berdosa yang akan menjadi anak mereka.

"Menjauh dariku. Pergi dari sini!" jerit Naruto. Ia segera melingkarkan tangannya untuk melindungi perutnya. Tapi Gaara justru semakin mendekat dan memaksa menyentuhnya.

"Aku akan membunuh mereka sebelum mereka membunuhmu! Aku akan menyingkirkan mereka!"

"Pergi! Pergi! Aku benci padamu! Menjauh dariku! Pergi!" Naruto terus menjerit dan memberontak. Ia takut pada Gaara. Instingnya sebagai seorang ibu begitu ketakutan mendengar anak-anaknya akan dibunuh.

"Naruto, aku melakukannya karena aku mencintaimu," sahut Gaara dan terus berusaha memeluk Naruto. Matanya pun telah basah oleh air mata.

"Kankuro-nii! Temari-nee! Tolong aku!" Naruto terus melawan Gaara. Ia berhasil membuat Gaara melepaskannya yang terkejut dengan rasa sakit di bahunya setelah ia gigit. Dengan terburu-buru ia turun dari tempat tidurnya menjauh dari Gaara.

Ia mengambil bantal dan melemparkannya pada Gaara dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih melindungi perutnya. Gaara menghindari lemparan tersebut. Tidak peduli pada Naruto yang terus mengusirnya dan mengatakan benci padanya.

Naruto begitu ketakutan. Ia tidak lagi memikirkan nasib Gaara. Yang ia tahu bahwa Gaara berusaha membunuh anak-anaknya, dan karenanya ia harus menyingkirkan Gaara darinya. Ia tidak peduli. Ia terus melemparkan benda apa saja yang ia dapat. Vas bunga, gelas, teko air minum, piring dan buah-buahan yang ada di piring tersebut dan sekarang ia memegang pisau buah yang baru saja dibawa Kankuro beberapa saat yang lalu. Suara benda-benada pecah ikut memenuhi ruangan yang telah penuh dengan jeritan-jeritan bencinya pada suaminya sendiri.

"Hei, ada apa ini?!" pintu tiba-tiba terbuka dan suara Kankuro langsung menghentikan pertengkaran suami-istri tersebut. Kankuro terlalu terkejut untuk bisa bicara. Setelah menguasai dirinya kembali, ia lalu melemparkan pandangan pada kedua adiknya. "Sebenarnya ada apa-"

"Kankuro-nii, tolong- akhh!" jeritan Naruto kembali mengejutkan Kankuro dan Gaara. apalagi saat ia merosot ke lantai sambil memegangi perutnya dan darah kembali mengalir di antara kakinya.

"Naruto!" Gaara dan Kankuro segera berlari ke arah Naruto namun betapa terkejutnya Kankuro begitu Naruto mengarahkan pisaunya pada Gaara.

"Jangan mendekat!" sahut Naruto di antara rasa sakitnya.

"Naruto?" panggil Kankuro yang masih bingung. Naruto menoleh padanya dan dengan segera ia menangis.

"Kankuro-nii, tolong aku! Dia ingin membunuh anak-anakku. Tolong aku, nii-chan!" tangan Naruto menggapai Kankuro dengan lemahnya. Khawatir pada Naruto, Kankuro segera mendekati adiknya itu dan memeluknya. Dibujuknya Naruto dengan sabar sementara matanya memerintahkan Gaara untuk keluar. Awalnya Gaara menolak, namun melihat tatapan tajam Kankuro, ia menurut juga.

Diangkatnya Naruto ke tempat tidur yang masih mengulang-ulang perkataannya tentang Gaara yang ingin membunuh anak-anaknya. Dengan sabar ia mendengar Naruto dan meyakinkannya Gaara tidak akan bisa melakukannya. Ia lalu memanggil dokter dengan tombol darurat yang ada di dekat tempat tidur Naruto.

Dokter segera datang. Tindakan medis segera dilakukan untuk menyelamtkan Naruto dan bayinya. Tidak butuh waktu lama untuk mereka menstabilkan keadaan Naruto, namun hal itu hanya akan berlaku saat Naruto sedang tidur. Saat ia terbangun, emosinya akan kembali terusik. Ia selalu ketakutan dan keadaannya semakin buruk. Hal ini membuat Gaara mendapat larangan untuk menemui istrinya sendiri.

Gaara yang putus asa karena tidak bisa menemui istrinyapun akhirnya mengalah. Ia membatalkan niatnya untuk menyingkirkan anak-anaknya sendiri. Semua dilakukannya demi Naruto, istrinya.

Hari-hari di mana Naruto tersenyum dan tertawa kembali didapatkan Gaara. Tetapi senyum dan tawa itu tidak bisa dinikmatinya dalam waktu yang lama. Sebulan setelah melahirkan, istrinya kembali ke pangkuan sang Ilahi.

Gaara terjebak dalam dilemma. Rasa cintanya pada istrinya membuatnya membenci bocah-bocah mungil yang begitu mirip dengannya, namun di saat yang sama ia juga ingin menjaga mereka sebagai harta titipan dari istrinya.

.

"Mereka anak-anak kita, Gaara!"

"Gaara!"

"Dia bahagia,"

"Dia sangat bahagia bisa bertemu denganmu. Aku yakin itu."

Kenangan-kekangan terus berulang dalam memori Gaara. Ia merasa dingin dan kesepian. Ia merindukan istrinya. Senyumannya, tawanya, semua hal yang dimiliki istrinya, ia merindukannya.

"Kami akan menikah."

Meski sadar yang dihadapannya bukanlah istrinya, tetapi Gaara tidak bisa berhenti memikirkannya. Ia masih mengejar bayang-bayang istrinya pada sosok yang begitu mirip dengannya itu. Ia tidak bisa merelakan sosok yang begitu mirip dengan Narutonya menjadi milik Sasuke.

Gaara tidak bisa merelakan Naruto.

"Naruto…" panggilnya lirih dan perih. "Aku merindukanmu."

Air mata, sekali lagi, mengalir dalam diam dari sepasang emerald yang kesepian.

.

TBC

Mind to leave some responses? PLEASEEEEEE?

Review next chap:

"Gaara!"

"Jangan pergi."

"Jangan pergi."

"Jangan Pergi!"

Always with love,

Kyra