"Hinata," panggil sang pria.

"Bergabunglah dengan kepolisian. Kita berdua akan menguak kebenaran di antara keluarga kita."

Kepala Hinata terangkat. Iris lavender tanpa lensa kontak safirnya bertumbu pada dua kelereng gelap.

"Aku akan menjaga rahasiamu. Identitasmu. Kau akan bergabung dengan kepolisian sebagai Laventa Walcott."

Genderang badai ditabuh. Keduanya akan berjalan bersama melewati badai tersebut. Baik Sasuke maupun Hinata, tidak ada yang tahu apakah mereka berhasil menembus badai ataukah justru terbawa dan menghilang di dalamnya. Namun, kali ini mereka bisa bergantung satu sama lain. Mereka tidak sendirian.

" … Baiklah."

Naruto © Masashi Kishimoto

(I don't take any profit by publishing this fict)

SasuHina

AU

The Dark Fairy

"Sasuke!" Sang hakim ternama mendobrak pintu kantor detektif yang dikelola Uchiha bungsu. Pria bersurai pirang itu memamerkan ponsel, memperlihatkan sebuah website dengan sajian yang terpampang di sana.

"AKU MELIHAT WEBSITE-MU! KAU BENAR-BENAR SEDANG MENCARI ASISTEN?" Suara serak sang pria terdengar kencang, seolah bisa meledakkan gendang telinga pemuda bermahkota kepala hitam yang tengah duduk.

Uchiha Sasuke menyumpal lubang telinganya dengan telunjuk seraya memutar lensa. Kenapa sahabat karibnya selalu bisa melacak aktivitas yang dia lakukan? Sekalipun dilakukan secara hati-hati, Naruto bisa mencium gelagat aneh dari Sasuke. Inikah akibat dari terlalu sering dan terlalu bersama membina hubungan dengannya?

Sasuke mendorong tubuh Naruto agak menjauh. Sang pria menarik beberapa dokumen dan mengamati kronologi kasus yang tengah dia tangani, mengabaikan sang sahabat.

"Jawab pertanyaanku, Teme!"

Uchiha berdecak. "Benar. Aku sedang mencari asisten."

Tepukan kencang berkali-kali mendarat di lengan Sasuke, dilanjutkan dengan suara kekehan dari sang empunya pirang. "Akhirnya, kau memutuskan untuk mencari pendamping. Kulihat persyaratan asistenmu adalah wanita. Aku benar-benar senang!"

Oniks bergulir menatap safir yang menyala-nyala. Ada rasa bersalah yang mengambang di dalam hati sang pemuda. Rekrutmen asisten itu hanyalah kamuflase. Dia telah memperhitungkan segalanya dengan matang semenjak melihat sosok seorang Walcott. Dusta ini telah dia kobarkan. Mungkin apa yang dia putuskan akan bermuara pada penyesalan. Mungkin apa yang dia rencanakan adalah kesalahan, mengundang sang peri kegelapan untuk bekerja sama. Namun, Sasuke ingin percaya pada intuisinya. Hinata yang lembut, Hinata yang dia kenal bukanlah kepalsuan. Gadis yang telah bermetamorfosis menjadi wanita anggun itu benar-benar menyimpan kebaikan. Hatinya tidak semata dipenuhi keburukan. Seandainya kisah hidup lain disodorkan pada sang wanita, tentu dia tidak perlu mengenakan jubah kekejian. Dia tidak perlu bemandikan darah segar manusia. Di lain sisi, jika hidup memberikan tawaran lain untuk mereka lalui, akankah takdir tetap memberikan pertemuan bagi keduanya?

Chapter 15

She is like a Rhyme

Lavandula terbuka. Wanita Hyuuga mengusap perlahan matanya sebelum menelengkan kepala ke kiri. Lehernya terasa sedikit pegal. Tentu saja. Dia tertidur dalam posisi duduk dan bukan hanya itu saja, dia tertidur amat pulas. Sesuatu yang jarang sekali terjadi. Hinata nyaris tenggelam dalam tangisan ketika mengetahui bahwa keberadaan Sasuke yang menemaninya semalaman bukanlah mimpi. Mereka bereuni dalam rengkuhan. Mereka memanjakan diri atas kerinduan yang terlalu membius kalbu mereka. Mereka larut tanpa kata, hanya mata yang semalam tadi intens bertatapan, hanya ada usapan di helaiannya sesekali, dan hanya ada kecupan singkat yang Sasuke berikan di pipi sebelum kantuk membawa alam pikir keduanya berlayar. Itu kenyataan. Perjumpaan dan kebersamaan mereka malam serta saat ini bukanlah ilusi semata.

Isakan kecil dari Hyuuga Hinata tak pelak mengundang sang pria untuk terjaga. Oniks terbelalak dan alasannya hanya satu, serupa dengan Hinata, Sasuke pun jelas tak menyangka bahwa setelah menanti beberapa tahun, dia bisa kembali bersisian dengan sang wanita. Aroma tubuh yang manis, kulit yang lembut, dan suara yang nyaris redam saking pelannya. Hinata sungguh-sungguh ada di dekatnya. Wanita itu benar-benar kembali padanya.

"Kenapa kau menangis?" Telapak tangan Sasuke kini membingkai wajah Hinata.

Sang wanita yang ditanya menelengkan kepala perlahan. Ada jawaban yang berusaha melesak keluar di sela isakannya.

"A-aku tidak menduga kita akan kembali bersama seperti ini, Sasuke-kun."

Bola mata Sasuke turut berkaca. Dia tahu apa yang Hinata rasakan, sangat mengetahuinya. Dia pun sama. Berulangkali mencoba bertahan dalam rasa rindu. Tak pernah ada wanita lain yang bisa menggantikan Hinata. Tak pernah. Nama Hinata-lah yang secara tak sadar dia ketik. Nama Hinata-lah yang kerapkali meluncur di antara kembang tidur. Nama Hinata-lah yang ingin diucapkannya. Dia tak pernah menerima wanita mana pun. Tak pula mencoba membuka hati pada setiap bunga-bunga kepolisian yang mendekati. Dia menutupi dirinya dengan duri masa lalu. Dia melapisi hatinya dengan es kenangan. Namun, kini, pengorbanan dan kesabarannya membuahkan hasil. Dia bertemu kembali dengan Hinata.

Uchiha lekas mendekap sosok sang wanita, menepuk punggungnya perlahan, menenangkan wanita yang amat dia cintai itu.

"Aku juga. Aku sangat bersyukur, Hinata."

Uchiha muda tahu, kerinduan mereka senada. Cinta mereka setara. Sasuke tahu, bahkan hanya dari gemetaran tangan Hinata yang mencoba membalas dekapan dari dirinya.


Usai membereskan cangkir. Hinata menyuruh Sasuke untuk duduk di meja makan, sedangkan dirinya sendiri mulai berkutat di dapur. Namun, pria yang kini berambut sebahu itu tak menurut. Alih-alih duduk diam sembari menunggu sarapan dihidangkan, Uchiha justru mengekori Hinata di belakang, menawarkan diri untuk membantu sang wanita. Geram karena Sasuke sedikit mengganggunya saat memasak, meskipun Hinata tak menampik betapa gemasnya dia dengan tingkah Sasuke yang seperti anak itik, Hinata mencubit pinggang Sasuke.

"Sasuke-kun mencuci sayuran saja. Biar aku yang memotong dagingnya."

Oniks melirik jemari yang secara terampil mengiris buntalan daging menjadi potongan tipis, mengagumi ketangkasan seorang wanita yang semenjak kecil dilatih sebagai ketua pembunuh bayaran.

Memahami arti pandangan Sasuke, Hinata mengulas senyuman tipis. "Neji yang mengajariku. Saat masih kecil, aku mengidap fobia pada benda tajam. Namun sama seperti anak kecil lain, aku gemar bermain dan salah satunya adalah permainan memasak. Neji-lah yang pertama kali menunjukkan padaku bahwa benda tajam bisa menjadi kawan jika berhasil dikuasai. Ya, latihan dari Neji cukup keras. Jariku terluka karenanya."

Mulut Sasuke terbuka, seakan hendak melontarkan suatu pernyataan. Namun, sang pria memilih kembali merapatkan bibir, mendiamkan diri sembari berpikir waktu lain yang lebih tepat untuk membicarakan hal tersebut. Sebagai gantinya, mereka berdua luluh dalam suasana hangat yang mereka sendiri ciptakan. Memasak dan menyantap sarapan pagi dalam satu meja makan yang sama. Mereka banyak berbincang, mengesampingkan topik berat dan suram. Mereka lebih mengangkat tema yang menyenangkan, seperti kafe yang mulai menjamur di sekitar mereka, toko-toko langganan mereka berdua yang mulai tutup satu per satu digerus persaingan bisnis, dan soal acara komedi yang secara ajaib mereka bedua gemari.

Sasuke menyesap kopi dengan penuh khidmat, merasakan sensasi cairan pekat itu terasa jauh lebih lezat. Kehidupan seperti membuatnya mulai mengidamkan sesuatu. Angan yang ingin dicapainya bersama Hinata.

Tak lama, Uchiha pun undur diri. Dia masih belum boleh terlihat berakrab ria bersama Hinata atau Laventa. Mereka harus memerankan karakter masing-masing secara serius atau rencana mereka bisa digagalkan, entah dari pihak kepolisian atau organisasi lain.

"Aku pergi dulu."

"Ya, hati-hati di jalan, Sasuke-kun."

Uchiha menyunggingkan senyuman sebelum mendaratkan kecupan singkat di bibir Hinata, membuat sang wanita terpaku karenanya. Keduanya melambaikan tangan diiringi senyuman merekah yang tampak cerah. Seulas senyuman adalah isyarat terbaik untuk memulai pagi hari karena melalui senyuman, ada harapan bahwa hari yang mereka jalani akan menjadi hari yang menyenangkan.


Tubuh Hinata beringsut. Dia baru saja menghubungi Ino untuk menceritakan kronologi kejadian yang dialaminya belakangan ini. Jeritan kaget mendengung di telinga Hinata dari seberang sana. wanita Hyuuga itu bisa mengerti maksud teriakan kencang wanita pirang saat Hinata mengatakan identitasnya terkuak oleh Sasuke, perihal kesalahpahaman di antara mereka, dan kerja sama yang tengah mereka rencanakan. Ino berapi-api mewanti ketuanya itu untuk tidak bertindak sembrono. Dari nada bicaranya, Hinata tahu betapa cemasnya sang Yamanaka. Hasilnya? Sang bawahan sekaligus sahabat Hyuuga muda itu akan segera terbang ke kota yang Hinata tinggali. Ino ingin memastikan bahwa Hinata baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri.

Tak berselang jauh setelahnya, Hyuuga Hinata telah bertandang ke sekolah tempat dia mengajar dengan membawa surat pengunduran diri. Kembali, teriakan dia dapat. Kali ini, dari murid-murid yang merasa tak rela dengan kepergian Hinata.

"Sensei, apa Sensei tidak suka mengajari kami?"

"Apa kami sangat nakal?"

Hinata mengelus kepala muridnya satu per satu, berharap dia bisa memberikan penjelasan melegakan untuk anak didiknya. Namun, wanita berambut indigo itu hanya bisa menjawab dengan kata "maaf" berulangkali. Dia tidak dapat membeberkan penjelasan lebih jauh atau kecurigaan dapat tercium dari pengunduran diri yang dia lakukan. Selain itu, mulai dari sini, ada misi lain yang dia emban. Misi untuk mencari kebenaran perihal kelluarganya. Hinata tak ingin salah menyimpan dendam. Ya, bahkan bila perlu, dia tidak ingin mendendam pada siapa pun.

"Aku dendam dengan kalian semua. Aku benci dengan kalian semua. Kalian merebut harta berharga yang kumiliki berulangkali. Suatu saat, tidak akan kubiarkan kalian tersisa. Akan kubalaskan dendam ini pada kalian semua … tanpa terkecuali."

Hinata terkenang janji yang dia buat untuk dirinya sendiri. Janji untuk membalaskan dendam. Dahulu, dia pikir sasaran dendamnya adalah Uchiha dan kepolisian. Namun kini, Hinata tak ingin secara ceroboh membidik target. Dia akan bertindak secara matang dan memastikan bahwa objek balas dendamnya tepat sehingga dia bisa menikam mereka begitu perih.

"Akulah yang sesungguhnya nakal. Akulah antagonisnya, bukan kalian," lirih Hinata tanpa bisa didengar murid di sekelilingnya.


Sebelum bertemu Sasuke di kantor sang pria, Hinata terlebih dahulu mengunjungi Chojuro. Pemuda berambut tufty blue itu sempat mencoba menghubungi Hinata melalui pesan dan telepon, tapi tak pernah mendapat balasan apa pun. Hinata membiarkan ponselnya tergeletak di dalam tas semalam tadi. Ada rasa bersalah di hati sang wanita karena bagaimanapun, dia adalah kekasih Chojuro. Ya, itulah statusnya sekarang meski sesungguhnya dia hanya mencintai Sasuke seorang. Memainkan perasaan orang lain itu kejam. Ah, Hinata ingin terkikik. Dia memang kejam. Kenapa harus merasa aneh dengan perbuatannya sendiri?

Tatkala duduk sembari menunggu Chojuro turun dari lantai tiga, Hinata sempat digoda oleh beberapa senior sang pemuda. Beberapa di antara mereka memuji kecantikannya, sementara beberapa orang sibuk menyoraki hubungan Hinata dan Chojuro.

"Hinata," panggil seorang pria yang tak sang wanita kenal.

Pemilik lensa kontak safir mengerjap.

"Aku tak ingin mengatakan ini, tapi jangan putus dari Chojuro. Dia menjadi sangat ceria sejak berpacaran denganmu."

Dukungan itu seperti jarum bagi Hinata. Wanita muda itu tak dapat merespons banyak. Dia bahkan tak bisa memaksa selengkung senyuman untuk terulas di bibirnya sekadar basa-basi. Hinata tahu, cepat atau lambat dia harus menyudahi sandiwara ini. Dia masih bisa melindungi Chojuro dengan menjadi teman biasa. Selain itu, kerja sama yang dijalinnya dengan Sasuke telah lebih dari cukup untuk mengakhiri hubungan sebagai pasangan dengan junior kepolisian tersebut. Namun, bagaimana caranya sang wanita memulai pembicaraan menyesakkan soal putus? Hinata belum pernah putus dari siapa pun. Ketika bersama Sasuke, dia pergi begitu saja tanpa ada salam perpisahan atau penjelasan.


"Bekerja sebagai asisten Uchiha Sasuke? Detektif ternama di kota ini? Luar biasa." Chojuro terperangah ketika Hinata melaporkan bahwa dirinya berhenti bekerja sebagai guru dan diterima sebagai asisten Sasuke.

Chojuro mendukung seratus persen keputusan Hinata dan tidak menunjukkan sirat kecurigaan sama sekali. Hal inilah yang mau tak mau memperdalam rasa bersalah Hinata.

"Dia detektif laris. Sudah pasti bayarannya sangat besar. Namun, apa benar tidak apa-apa? Bekerja sebagai asisten detektif sangat berbahaya. Kau bisa saja terseret dalam suatu kasus dan menjadi incaran organisasi kejahatan."

"Aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan bertindak ceroboh." Sang Laventa tersenyum, mencoba meyakinkan sang kekasih.

Polisi hijau itu lantas menepuk bahu sang wanita berkali-kali sebelum akhirnya mereka berdua harus berkonsentrasi dengan aktivitas masing-masing. Hinata mungkin tak sadar, tapi ekspresi Chojuro tampak sendu ketika memandangi punggung kecil sang wanita. Dia sadar betul bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara Laventa dan Sasuke, terlebih beberapa rekan mengatakan bahwa Sasuke sempat mencuri pandang beberapa kali pada kekasihnya. Apakah kelak Laventa akan direbut sang detektif? Chojuro menjadi tak tenang.

Ketika kembali memasuki ruangan, seorang senior lain menyikut siku Chojuro.

"Belakangan ini kalian dekat, ya? Kudengar, kalian juga sudah berkencan."

Bola mata sang junior meredup, tapi senyuman terulas di bibirnya. Senyuman yang tampak kosong.

"Tidak juga, Senpai. Kami tidak sedekat itu," tanggap Chojuro singkat seraya berjalan melewati sang senior.


"Perkenalkan, namaku Laventa Walcott. Mulai saat ini aku bekerja sebagai asisten Sasuke-kun. Mohon bantuannya!" Hinata membungkukkan tubuh di sisi Sasuke dan menghadap beberapa bawahan sang pria.

Ada tatapan sinis, heran, dan terpesona yang diperolehnya dari perkenalan ini. Sejauh lensa safirnya memandang, memang tak ada pegawai wanita sama sekali di sana. Kantor Sasuke nyaris seluruhnya diisi pria. Ada pun secuil wanita yang menampakkan batang hidung di sana terdiri dari asisten yang dipekerjakan bawahan Sasuke. Dari sanalah mayoritas tatapan sinis berasal. Barangkali sebetulnya mereka ingin menjadi asisten pribadi Uchiha Sasuke.

"Laventa, masuklah ke ruanganku." Perintah Sasuke kemudian, dengan nada datar yang Hinata sadari palsu.

Sedingin apa pun Sasuke, baik dahulu maupun saat ini, keberadaan Hinata akan membuat perangai sang pria menjadi lebih hangat. Namun, tentu Sasuke harus memasang topeng stoic miliknya agar tidak ada yang berpikiran tidak-tidak soal hubungan mereka berdua meski sebenarnya benar.

Tepat intuisi Hinata. Begitu sang wanita merasuk ke dalam, Uchiha lekas mengunci pintu. Pria yang tampak keren dengan rambut diikat rendah, sedikit banyak membuat Hinata mengingat sosok Itachi, menghampiri jendela dan menyibakkan tirai putih yang menghalangi pemandangan di luar sana. Hyuuga ikut melongok ke luar jendela, berdiri tepat di sisi Sasuke. Dari titik mereka berdiri, pemandangan di bawah sana, utamanya taman yang berada tak jauh dari kantor, bisa terlihat begitu jelas.

"Apa yang harus kukerjakan hari ini, Sasuke-kun?"

Oniks bergulir. "Tidak ada. Temani aku saja di sini."

Hyuuga menarik napas panjang. "Mana bisa begitu. Aku di sini sebagai asistenmu. Aku tetap harus mengerjakan sesuatu."

Sang atasan lantas membuka laci dan menyerahkan beberapa lembar dokumen ke tangan Hinata. "Bubuhkan cap di atasnya. Namun, lihat dahulu isinya. Jika waktunya berbenturan, tanyakan kepadaku."

"Ini semua permohonan penyelidikan?"

Sasuke mengangguk. "Aku tak ingin pilih-pilih dalam bekerja. Sebisa mungkin, aku akan menangani semuanya atau menyebarkan bawahanku untuk kasus yang mereka sanggupi."

Hinata tampak antusias. "Begitu, ya. Selama ini, aku juga selalu bekerja tanpa pilih-pilih. Namun, dibanding ungkapan terima kasih, aku selalu dihadiahi tatapan mengejek, merendahkan, bahkan benci dari korbanku atau tatapan puas dari klienku. Pasti menyenangkan bisa mengerjakan pekerjaan 'bersih' seperti ini."


"Hinata."

Wajah sang wanita terangkat dari dokumen di tangannya.

"Bisa tinggalkan ruangan ini?"

Dahi Hinata berkerut. Sasuke masih berdiri dan bersandar di kusen jendela. Tatapan sang pria tak teralih dari pemandangan di luar sana. Hyuuga lantas beranjak untuk ikut melihat objek yang Sasuke tangkap. Ferrari LaFerrari merah telah mengisi lahan yang semula kosong di sisi kantor. Hinata tak sempat melihat sosok pengemudi di dalamnya. Namun, satu nama yang lolos dari mulut Sasuke telah lebih dari cukup untuk membuat sang gadis bergegas pamit.


Beberapa pegawai membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang hakim genius, Uzumaki Naruto, yang baru saja tiba. Pria pirang itu segera menaiki anak tangga menuju ruangan sang sahabat. Sejujurnya, Naruto tengah disibukkan dengan banyak siding. Namun, dia selalu menyempatkan diri datang menengok Sasuke satu sampai dua kali seminggu jika tidak ada kasus yang membuat keduanya bertemu. Di lain sisi, Naruto merasa penasaran dengan asisten terpilih Sasuke. Siapakah wanita yang bisa membuat Sasuke melupakan sosok Hyuuga Hinata atau Lavender?

Mengenal sang pria semenjak mereka masih berupa bocah ingusan, Naruto tahu hati Sasuke sekeras batu. Pria itu tak akan dengan mudah ditekuk cinta. Tak pula dengan mudah bisa diluluhlantakkan oleh wanita. Maka ketika sang sahabat dibuat tak berdaya oleh seorang Hinata, Naruto tak pernah yakin bahwa Uchiha muda itu bisa kembali jatuh cinta. Namun, berita ini seperti angin musim semi untuknya. Menyegarkan. Paling tidak, sahabatnya itu tak harus memendam cinta buta pada seorang buronan dan kriminal. Ada banyak wanita yang jauh lebih baik di luar sana dan tentu saja, akan menerima sang Uchiha.

"Ini tiket pesawat menuju Barcelona untuk dua orang. Kau bisa ajak orang lain ke sana. Sekali-kali kau juga harus menghibur diri, Sasuke."

Oniks menyipit melihat dua tiket pesawat dikibarkan sang pria pirang. Seperti yang sudah Naruto perkirakan, Sasuke hanya menggumam tipis. Naruto sendiri tak bisa berlama-lama mengejek sang pria yang kembali dihinggapi asmara. Dia harus bekerja. Ada banyak siding yang menantinya. Namun, satu hal bagus didapatkannya hari ini. Satu kalimat yang harganya lebih mahal dari dompet Braun Buffel.

"Terima kasih, Dobe."


Senandung mengiringi langkah Uzumaki muda ketika tubuhnya berarak menjauhi kediaman kantor Sasuke untuk mendekati mobil yang dia parkirkan. Namun, tatkala melabuhkan pandangan kembali ke kantor. Vista sang pria bertumbukkan dengan sosok yang tengah tertawa di balik jendela lantai dasar. Sosok wanita bersurai ikal yang tampak menikmati pembicaraan dengan rekan kerjanya. Naruto berdiam diri sejenak sebelum mengedikkan bahu dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa rasanya aku mengenal wanita itu?" Sang pria terheran-heran.

Namun, dia mengibaskan pemikirannya dan berpikir tentu saja dia mengenal sang wanita. Dia selalu bolak-balik kantor Sasuke, jadi mungkin saja di suatu kesempatan mereka berdua pernah berbincang.


Jaket Armani disematkan di punggung Hinata oleh Sasuke ketika keduanya keluar dari dalam mobil. Mereka memutuskan untuk berkeliling sebentar dan sesuai permintaan sang wanita, di sinilah mereka berada, yaitu di depan gedung sekolah mereka. Seakan kembali bernostalgia, Sasuke dan Hinata berjalan ke depan pintu gerbang yang tertutup (tentu saja mengingat sudah pukul sepuluh malam). Ada banyak hal yang terjadi selama keduanya menimba limu di gedung menjulang tersebut. Kisah romansa, tragedi, dan duka. Sampai akhirnya, satu per satu di antara mereka merajut kisah masing-masing selepas dari sana.

"Di sinilah semuanya bermula," rekam Uchiha sembari mengenang saat perjumpaannya dengan Hinata.

Sang wanita mengangguk. Kepulan udara tampak keluar dari mulutnya ketika berbicara.

"Ada banyak hal yang mengisi kehidupan kita di sini. Andai bisa … aku ingin kita semua berkumpul kembali di sini, mengadakan reuni yang menyenangkan. Sayangnya, itu mustahil."

Tangan Sasuke menggaet tangan Hinata usai mendengar pengakuan sang wanita. Dalam hati, Sasuke ingin mengusahakan agar keinginan Hinata menjadi nyata. Sasuke ingin Hinata bisa kembali berkumpul dengan sahabatnya. Sasuke pun demikian, merindukan saat mereka bercengkerama bersama. Masa remaja yang penuh lika-liku dan warna.

"Kelak, Hinata. Kelak kita akan mengadakan reuni di sini."


Sasuke tak pernah menyangka bahwa dirinya akan kembali menginjakkan kaki di kediaman Hinata. Baru saja semalam tadi mereka menghabiskan waktu lama dan kini, malam lain menanti mereka berdua. Persis seperti sejoli dalam bahtera rumah tangga, bukan? Rasanya, mereka seperti sudah menjadi sepasang suami-istri saja.

Setelah menggantungkan jasnya, Uchiha lantas ikut masuk ke ruang bersantai. Hinata kembali datang, menghidangkan dua gelas minuman manis untuk mereka berdua. Cairan yang diidamkan tenggorokan keduanya harus bersabar menanti karena dua manusia tersebut tak segera menenggak air tersebut. Sasuke tengah melepaskan dasi, sedangkan Hinata sendiri sibuk mencari camilan lain untuk dihidangkan.

"Sasuke-kun, kaumau mandi di sini?" Tanya Hinata.

Sasuke yang baru melepaskan dahaga di tenggorokannya lantas mengiyakan tawaran Hinata. Tubuhnya mengiba air hangat dan sang pria merasa tidak percaya diri dengan keringat yang telah mengendap di tubuhnya. Tentu akan menguarkan bau tak sedap. Lantas, setelah mandi apa yang mereka berdua akan lakukan? Sasuke tak yakin Hinata akan mengizinkannya menginap kembali di sini. Semalam, Sasuke berani bertaruh bahwa Hinata hanya terbawa perasaan. Sasuke pun bukan tipikal pria yang akan menginap sembarangan di kediaman wanita yang bahkan belum dia nikahi.

Suara ponsel mengalihkan perhatian dua manusia. Salah satu dari mereka, Hinata, lalu mengambil tasnya, meraih sebuah ponsel yang menjadi alasan suara nyaring terdengar.

"Siapa?" Alis Uchiha bertaut.

"Chojuro-kun."

Tanpa tunggu lama, tangan Sasuke merebut ponsel dari tangan Hinata. Satu hal yang tak akan Sasuke remaja lakukan pada Hinata remaja. Namun, waktu telah menggerus Sasuke dalam kesabaran dan Uchiha pada dasarnya bukanlah orang yang sabar sehingga dia tak akan bisa menahan diri lebih lama, terlebih untuk kecemburuan.

"Biar aku yang membalasnya."

Hinata menaikkan kakinya, duduk dengan posisi seiza di atas sofa, tepat di samping Sasuke yang tengah mengetikkan Line. Lavandula mengawasi balasan yang diketikkan melalui jemari lentik Uchiha dan sesekali menepuk kaki sang pria ketika balasan tersebut tidak mencerminkan kepribadian seorang Laventa.

"Hinata!" Sasuke menghentikan langkah Hinata yang hendak berjalan menuju dapur. "Aku ingin kau menikah denganku."

Sosok sang Hyuuga mematung, hanya kepala sang wanita yang menoleh dalam keheranan.

"Kita sudah dewasa. Aku tidak mungkin masuk dan keluar kediamanmu begitu saja. Aku ingin bersamamu. Aku ingin memastikan bahwa kau bahagia. Namun, aku tidak ingin kau bahagia karena orang lain."

"Sasuke-kun?"

"Menikahlah denganku, Hinata. Aku akan mengurus proses pernikahan kita. Aku akan mencari lokasi yang aman, tempat yang tidak familiar dengan kasus dirimu atau namamu."

Suara tawa renyah terdengar. "Apa kau mulai kehilangan akalmu, Sasuke-kun? Pernikahan di antara kita akan menjadi bencana untuk kita dan mungkin untuk anak kita kelak."

"Aku akan mengusahakan apa pun untuk mencegah hal buruk terjadi padamu atau pada anak kita."

Wajah Hinata yang kini basah membuat Sasuke beranjak dari sofa.

"Sejak kapan kau yang genius menjadi bodoh seperti ini?" Hinata menutup wajahnya.

Sasuke berusaha menyingkap tangan yang menutupi wajah sang wanita. Pria Uchiha itu menunjukkan tatapan yang masih sama dengan yang dahulu pernah dia labuhkan pada Hinata. Sirat keseriusan. Sirat bahwa sekalipun aral melintang, sang pria akan tetap mempertahankan Hinata.

"Sejak mengenalmu, kurasa aku menjadi bodoh."

Hinata tergelak dalam tawa, apalagi ketika Sasuke menambahkan dengan, "Ah, aku lupa membeli cincin. Bukankah saat melamar seharusnya aku membawakanmu cincin?"

"Dasar bodoh!"

Keduanya berbagi tawa haru, tak sabar menanti saat ketika alam ini menjadi saksi bahwa cinta mereka berdua akan membawa mereka pada kebahagiaan … dan bukannya pada duka cita.

Sungguhkah demikian?

To be Continued


Thank you!

(Grey Cho, 2016)