Disclaimer :: Masashi Kishimoto
Pair :: Sasuke. U & Hinata. H, slight NaruSaku, ShikaTema, ShikaIno, and SaIno
AU/crime content.
Ok, are you ready? Let's check this out!
PSIU!
Bunyi peluru membelah angin menjadi satu-satunya simfoni yang terdengar pasca gemerisik ilalang tak lagi ikut andil. Timah panas tersebut telah menghantarkan sebuah nyawa pada pemberhentiannya.
Anjung lorong sempit menyajikan drama pembunuhan tragis dengan sang korban yang kini tergolek tak berdaya. Menyisakan genangan darahnya yang bak lautan merah.
Sepasang mata yang diterpa rembulan berkilau menyorot tanpa emosi fisik sang korban yang tetap utuh.
Kaki jenjangnya menghentak mendekati sang mangsa dalam radius yang cukup dekat—sangat dekat, bahkan. Diangkat sebelah kakinya untuk menghujam suatu organ tubuh dari sang korban yang tentu saja tidak berontak.
PYAK!
Beberapa organ dalam berceceran dari kepala sang korban yang menjadi landasan kaki sang pelaku.
"Anda tak seharusnya turun tangan. Kami masih bisa mengatasi tikus brengsek sepertinya," seorang pria dengan balutan jas hitam pekat mendekat. Surai sepundaknya yang berwarna kecoklatan sedikit berkibar pelan karena dibelai sang angin malam.
Sosok di depan sang pria tak bergeming, hanya sepasang bola matanya yang melirik datar.
"Begitukah? Lantas kenapa dia bisa kabur? Kurasa itu karena kelemahan kau dan yang lain."
Siluet berjas violet tua itu lantas berbalik, memasukkan pistolnya ke dalam saku jas dan berjalan melewati sang pria.
"Bereskan barang bukti yang ada dan buang dia ke sungai, Tokuma," suara pelan itu mengkomando.
Tokuma, itulah nama sang pria yang merupakan bawahan sang pemegang sabit yang telah menghunuskan kematian pada korbannya. Pria itu mengalihkan sepasang kelerengnya untuk menelisik anatomi mangsa yang tak lagi berbentuk di bagian kepala.
Ia menyernyit sebelum akhirnya membungkuk pada sosok sang atasan yang telah menjauh, "Baik, Lavender-sama!"
Derap langkah sosok yang menyandang gelar "Heiress" itu memantul di antara dinding-dinding kaca di sisi kiri dan kanannya. Meski memiliki proporsi tubuh yang mungil, namun kharisma yang ia miliki tak bisa dipandang sebelah mata sama-sekali. Langkahnya tegap, matanya tetap fokus ke depan.
Jas violet dan celana berwarna serupa yang melapisi tubuhnya kian menambah kesan anggun namun misterius yang dipancarkannya.
Ialah dewi kegelapan sejati yang meyimpan banyak hal menarik di dalam dirinya.
Estetika yang tidak ternilai.
Hyuuga Hinata. Nama yang melekat padanya sedari ia lahir ke Bumi. Nama pemberian Ibu yang telah kembali pada peraduan-Nya. Menyisakan ia sebatang kara.
Pembunuh bayaran? Ya. Di dunia depan, Hyuuga memang dikenal sebagai ratu bisnis yang mengusung banyak kemajuan yang melesat jauh di antara pesaing-pesaingnya. Namun, di dunia belakang, Hyuuga mengemban tugas sebagai keluarga pembunuh bayaran secara turun-temurun. Bisnis yang jauh menjanjikan setumpuk harta dibanding pekerjaan utama mereka.
Hinata. Pra usia enam belas tahun, ia hanyalah gadis polos yang sama-sekali tak tahu perihal bisnis sampingan yang digeluti oleh keluarganya. Beranjak dewasa, Hyuuga bersurai indigo itu dibukakan pada tirai kebenaran yang membuat ia—sebagai Heiress—mau tidak mau ikut serta, terutama karena ada sesuatu yang harus dikuaknya.
Terkejut dan bahkan nyaris kehilangan akal tentu saja ia rasakan setelah ditoreh kenyataan bahwa ia akan menjadi pemimpin Hyuuga Corp. sekaligus ketua dari organisasi pembunuh bayaran. Bertopengkan codename "Lavender", ia lalu terjun dalam dunia gelap tersebut.
Perlahan tapi pasti, Sang Hyuuga mulai mengepakkan sayap hitamnya ke langit yang kelam.
Satu tahun ia lewatkan untuk mengasah kemampuan membunuhnya, satu tahun pula ia merombak total segala yang ada pada dirinya.
Mengontrol emosi, tak lagi menampakkan sirat dari bola matanya, dan terbiasa akan anyir darah serta teriakan memohon dari korbannya telah menjadi bagian dari dirinya, dewasa ini.
Hinata yang bagaikan peri cahaya kini bermetamorfosa menjadi peri kegelapan.
Tenggelam dalam lembah peri yang kelam.
::. The Dark Fairy .::
#1 Crime : She is a Killer
Sinar mentari merembes dari celah jendela kamar yang luar biasa megah dengan dominasi warna ungu tua. Sepasang kelopak mengerjap, menyamankan diri dengan cahaya yang perlahan membias di retina-nya.
Ia lalu memposisikan dirinya untuk duduk di tepi ranjang, sementara kepalanya menengadah pada jendela besar yang memampangi pemandangan indah di baliknya. Pepohonan rimbun dan beberapa ekor burung yang hilir-mudik kesana-kemari.
Lavender-nya tetap datar, tak mengisyaratkan adanya setitikpun emosi di sana.
Mencerminkan bahwa pemandangan di depan sama-sekali tak menggugah indera perasanya.
Namun, kemudian ia memejamkan mata, cukup lama. Hingga, dua kelereng kembali terlihat. Namun, bukan kelereng tanpa emosi lagi yang kali ini tertangkap, melainkan sepasang kelereng lavender cerah yang sarat akan emosi—kelembutan.
Hinata mengenakan alas kakinya dan beranjak dari ranjang empuknya sembari bersenandung kecil.
Saatnya ke sekolah! Ia bergumam ceria dalam hati.
Siapa tak kenal Hinata Hyuuga? Lihat saja, begitu sosoknya berada dalam lingkungan sekolah Konoha Koukou, berpuluh-puluh pasang mata rela melewatkan waku untuk menatap paras ayunya.
Ia tidak cantik, tapi manis. Ia tidak pintar, tapi cerdas. Ia tidak menarik, tapi menawan.
Terlebih, karena keberadaannya sendiri selalu berada di antara pelajar-pelajar yang populer.
Sebut saja Sakura yang terkenal karena kepintaran serta kekuatan fisiknya yang tidak boleh diremehkan Kaum Adam sekalipun, Ino yang berprofesi sebagai model majalah terkenal, dan Temari yang menjadi pewaris sah Sabaku. Corp.
Namun, bukan Hinata namanya jika ia bertingkah angkuh layaknya ia dikala masa tugasnya. Hinata di siang hari tak ayalnya dengan jelmaan peri yang turun ke Bumi, membagi kelembutan melalui senyuman tipis yang terlukis di wajahnya.
Hal itu pula yang menjadi faktor dibencinya ia oleh sebagian besar Kaum Hawa yang merasa iri.
Hinata melenggok memasuki ruang kelas dimana tiga sahabatnya tengah bersua ria. Sesekali ia membalas sapaan yang beberapa siswa lancarkan. Baik dengan lambaian tangan atau seulas senyuman.
"Selamat pagi, Sakura-chan, Ino-chan, dan Temari-chan."
Tiga gadis yang memiliki dandanan mencolok itu menoleh dan balas menyapa dengan riang sahabat mereka yang mungil itu.
Gadis bersurai indigo menduduki kursinya dan membalikkan badan ke belakang untuk dapat berbincang bersama yang lain.
"Hinata-chan," Temari mengibaskan sepucuk surat di depan wajah Hinata, "ada surat untukmu."
"Lagi?" Hinata membelalak.
Sakura yang tengah berbincang berdua dengan Ino ikut nimbrung, "Iya, lagi."
Hinata memandang deretan frasa di suratnya dengan seksama. Lagi, ia mendapat surat cinta dari seseorang.
Tentu saja ketiga sahabatnya memandang wajar hal tersebut mengingat bagaimana popularitas mereka di sana.
"Aku sempat membacanya," Ino melirik Hinata lalu menunjukkan wajah menggoda, "kau bisa memikat dia juga, ya."
Hinata merunduk, menyembunyikan rona merah yang menjalar dikarenakan membaca sebait kata dari sang pengirim surat, dan dikarenakan godaan Ino.
Aku menunggumu di halaman belakang sekolah saat istirahat nanti, Hinata. Aku mencintaimu.
Denting bel istirahat sontak membuat Sakura, Ino, dan Temari melirik geli pada Hinata. Sementara sang gadis yang sedari tadi dilirik tak menumbukkan lavender-nya, hanya menatap lantai keramik di bawah sana.
Sesaat kemudian, ia pamit untuk pergi ke halaman belakang, diiringi kikikkan dari yang lain.
Hinata menelusuri lorong dengan mengabaikan tatapan tajam dari para siswi yang berpapasan dengannya. Sudah bukan kabar burung jika sang pengirim surat menyukai Hinata, dan itu jelas membakar emosi mayoritas siswi yang merupakan fans dari pemuda tersebut.
Tatkala menelusuri lorong yang sunyi, Hinata menghela nafas. Pandangannya yang semula lembut berubah dingin.
Hinata mengambil ponsel yang semula berdiam di saku roknya, membaca serangkaian aktivitas yang harus ia lakoni tengah malam nanti.
Namun, dengan lekas ia kembali menaruh ponsel-nya ke tempat semula pasca menangkap sosok seseorang di ujung lorong.
Kembali, dipasang oleh Hinata tatapan lembut serta senyuman kecil pada pemuda di hadapannya.
Senyuman yang menyamarkan segalanya.
"M-maaf membuatmu menunggu, Gaara-san."
BRAK!
"Kau serius menolak pernyataan cinta Gaara, Hinata?" Sakura yang barusan memukulkan telapak tangannya ke atas meja secara spontan berseru begitu mendengar pengakuan dari Hinata kala jam pelajaran penghujung usai.
Tentu saja, siapa yang tak kenal Gaara? Ia adalah Ketua OSIS di Konoha Koukou. Ketenaran akan jabatan serta rupawan wajahnya membuat banyak siswi rela memiringkan egosentris mereka dan bertingkah semanis mungkin demi Gaara seorang.
Namun, sayang, kepalsuan mereka kalah jauh dibanding kepalsuan Hinata. Hinata jauh lebih hebat dalam mendalami perannya di sekolah, hingga membuat seorang Gaara yang dikabarkan dingin terhadap perempuan melunak begitu saja.
Temari menatap cemas sahabatnya yang satu itu. Lepas dari segala kelebihan Gaara yang mengundang ketertarikan dari Kaum Hawa, Gaara adalah adiknya.
Tidak, gadis berkuncir empat tersebut tak akan protes meski sahabatnya menolak mentah sang adik. Ia menghargai keputusan Hinata, apapun itu. Hanya saja, ia ngeri jika membayangkan hal buruk apa saja yang akan menimpa Hinata.
Karena, ia mengenal perangai Gaara dengan baik.
Gaara yang akan terus berupaya demi mendapatkan hati seorang Hinata.
Ino menepuk puncak kepala Hinata seraya menenangkan, "Jangan khawatir. Seobsesi apapun Gaara, kami akan melindungimu darinya jika kau memang tidak berkenan."
"Lagipula," Ino menggulirkan kelerengnya pada Temari, "ada sang kakak yang siap membantumu!"
"Siapa yang sang kakak? Meski saudara kandung aku tak pernah mengerti apa yang dia pikirkan!" Temari berkacak pinggang.
Ino dan Sakura tertawa mendapati reaksi Temari yang meledak-ledak, sedangkan Hinata berusaha melerai Temari yang mulai naik darah dan mencoba mencengkeram kerah seragam Ino.
Senja hari. Matahari siap terlelap di Negara Hi untuk terbangun di negara yang lain. Kicau burung gagak mewarnai corak jingga di angkasa. Lukisan Maha Kuasa yang tiada tara.
Di bawah sana, di halaman samping Konoha Koukou seorang gadis tengah berjongkok di depan pot-pot yang berjejer rapi. Tangannya sibuk berkutat dengan penyiram air.
Ia bersiul untuk meramaikan keheningan yang tercipta.
Hinata memang selalu demikian sepanjang senja. Menyempatkan diri untuk merawat bunga-bunga yang terabaikan eksistensinya. Inilah salah satu kebiasaan yang tidak dapat Hinata ubah sebesar apapun kredibilitas untuk menyusun ulang kepribadiannya.
Bunga selalu dengan sukses membuat sukmanya dihujani kedamaian. Bunga Hinata gambarkan sebagai penyokong saat ia lelah, saat ia dilanda kejenuhan.
BRUAGH!
Suara kencang yang menghampiri gendang telinga membuat Hinata menoleh ke belakang. Dilihat olehnya sekumpulan gadis yang tengah menendang pot-pot bunganya.
"Selamat sore, Hinata," sapa seorang gadis bersurai coklat sebahu dengan sarkastik.
Kedua tangannya bersindekap di depan dada menandakan bahwa sapaannya barusan hanyalah basa-basi belaka.
Hinata—dengan kecerdasannya—tentu dapat memprediksi apa yang akan diperbuat oleh lima gadis yang kini telah berjejer mengelilinginya.
Tak makan waktu, seorang gadis menjambak surai Hinata hingga tubuh mungil Hinata nyaris terseok ke belakang. Hinata tidak meringis, meski ada sedikit rasa sakit yang menghantam kulit kepalanya.
Ia pernah mendapat pelatihan dari Neji, sepupu yang juga menjabat sebagai tangan kanannya di organisasi, dan itu jauh lebih buruk ketimbang perlakuan yang kini ia terima.
Sorot riang Hinata berubah drastis menjadi dingin dan menusuk, namun coba ia tutupi dengan mengalihkan pandangannya ke bawah.
Aku tidak boleh terpancing hanya karena hal ini, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Gadis berhelai panjang serupa gading menarik dagu Hinata, memberikan hujaman saliva dari celah bibir tipisnya yang berwarna merah muda.
"Shion, kau berani sekali," gadis bersurai hitam raven terkekeh menyaksikan aksi rekannya.
Shion lantas tak berhenti. Ia merogoh sesuatu dari sakunya.
Pisau lipat.
Seringaian lebar terkembang di bibirnya, membuat ia tampak bak penyihir jahat yang hendak menerkam sang puteri dalam dongeng klasik, "Ini belum apa-apa, Anko. Biarkan gadis ini merasakan sakit hati kita melalui tubuhnya! Dasar perempuan hina dina yang telah merebut hati Gaara!"
Perlahan, ia menarik garis di pipi mulus Hinata, membuatnya mengalirkan darah segar dari sana.
Tiga gadis yang lain tentu tak diam saja, mereka memanfaatkan kondisi tersebut untuk menghancurkan seluruh pot yang ada, melayukan bunga-bunga yang beberapa rembulan lagi akan bermekaran.
Mendapati seluruh bunga yang kini berserakkan di tanah, Hinata terdiam. Jemari Sang Lavender perlahan meraih sebuah benda yang ia simpan di balik blazer-nya. Benda yang ia anggap jimat—yang tak pernah absen ia gunakan setiap malamnya untuk menarik jiwa para mangsa.
Pistol.
Dua kelopak terpejam, kemudian. Tidak, tidak boleh. Ia tak seharusnya meregangkan nyawa seseorang selain mangsanya. Ia memiliki target yang harus ia penuhi, bukan sembarangan.
Hinata kembali menjauhkan jemarinya yang bebas dari benda tersebut.
Ia tak berkutik, dan tak akan berkutik sekalipun sesungguhnya ia dapat mengatasi lima gadis di sana.
Alasan yang sangat sederhana, ia hanya tidak ingin menodai perangainya sebagai Hinata. Cukup Lavender yang terjerumus lembah hitam.
Cukup Lavender saja.
BRUAGH!
Sebuah bogem mentah mendarat di pipi Hinata yang luput dari siletan pisau. Menimbulkan rona ungu di titik pukulan. Lavender Hinata meredup bersamaan dengan darah yang terus mengalir dari luka dan sudut bibirnya.
Tubuh Hinata mulai goyah dan limbung ke depan.
Merasa bahwa kesadaran korbannya kian terkikis, gadis berambut coklat pendek memutuskan mengakhiri tindak asusila ia dan rekan-rekannya.
Hinata ambruk ke tanah tanpa alas apapun, setelahnya. Bunyi bedebam yang cukup keras terdengar, melepas landas beberapa camar yang semula bertengger di dahan di sekitar sana.
Lavender lalu bersembunyi dalam dua kelopak pucat. Menghantarkan Hinata pada mimpi indahnya.
Menembus batas malam.
Di antara hiruk pikuk sekolah dengan hening yang tercipta.
"Hei, sadarlah!"
Hinata menyernyit. Menampakkan sepasang lavender yang rapuh begitu merasakan dinginnya kulit seseorang yang menyentuh permukaan pipinya.
Lavender mengedar, memerhatikan seluk-beluk tempat dimana ia terbaring.
Asing. Baik perabotan, maupun suasana di ruangan itu sendiri.
Semuanya terasa tidak familiar di mata Hinata.
Kemudian, lavender terpaku pada sesosok pemuda berjaket hitam yang sedari tadi membangunkannya.
"Aku dimana?" Hinata menautkan kedua alisnya sembari beranjak bangun.
Oniks sang pemuda terarah pada lavender Hinata, "Di apartemenku."
Sontak, Hinata lekas berdiri dengan wajah merah padam setelah menyadari dimana ia berada, kini. Di apartemen seorang pemuda.
"Sepertinya kau korban pelonconan, ya," suara bariton menelusup masuk ke telinga Hinata.
Hinata menarik nafas lalu kembali duduk di sisi ranjang dengan pemuda asing di sisi kirinya.
Ia tak menjawab, dan tak pula berniat untuk menjawabnya.
"Te-terima kasih...," Hinata menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Terima kasih k-karena telah menolongku."
"Hn."
"A-aku boleh pulang s-sekarang?"
Sang pemuda raven menatap datar Hinata, "Terserah saja."
Hinata tak mau berlama-lama di tempat tersebut dengan seorang pemuda yang bahkan tak ia kenali sama-sekali. Ia segera melenggang pergi setelah kembali menghaturkan rasa terima kasih.
Sang pemuda raven menatap kepergian sang gadis dengan helaan nafas. Ia tak habis pikir mengapa gadis tersebut terlihat begitu tegar. Ia bahkan tak menemukan jejak tangisan ketika menemukannya di halaman samping Konoha Koukou pasca tragedi yang menimpanya.
Gadis yang terlihat lemah namun sebenarnya kuat.
Trututut~
Dering ponsel membuyarkan lamunan sang pemuda, bergegas, ia mengangkat telepon yang masuk ke nomornya.
"Sasuke? Kau tidak lupa apa tugasmu bukan?" Suara yang tak kalah bariton menyapa sang pemuda dari seberang sana.
"Aniki? Ya, tentu saja. Mulai besok aku akan menyelidikinya," sang pemuda menjawab sembari berjalan menuju balkon apartemennya.
"Jangan lupa. Besok kau akan menyamar sebagai seorang pelajar sma."
"Hn. Aku tahu kita harus menyelidiki komplotan pembunuh itu, tapi, aku tidak yakin apa benar pemimpin dari kelompok tersebut merupakan pelajar sma. Kau tahu? Itu sangat tidak masuk akal."
Tawa meremehkan terdengar, "Kau sendiri tahu, bukan? Bukti yang ada telah mengarah pada pelajar Konoha Koukou."
"Kau benar, bukti yang telah terkumpul memang menspekulasikan kemungkinan bahwa sang ketua adalah seorang pelajar dari sana," Sang pemilik kelereng oniks menatap siluet di bawah sana, siluet dari gadis yang barusan ia tolong, "tapi, pasti bukan gadis lavender itu."
"Kau bicara apa barusan?"
Sasuke, nama kecil sang pemuda, menggelengkan kepala meski hal tersebut tentu tidak diketahui rekan bicaranya.
"Tidak. Bukan apa-apa."
Aku hanya telah menemukan peri kecilku di Konoha Koukou. Kurasa, masa penyelidikanku akan menyenangkan.
To Be Continued