"Ohayou, Yoru-san. Salam kenal!" sapa Sakura seriang bunga-bunga di musim semi.

Yoru bertambah muram. Bahkan sahabatnya Sakura tidak tahu apa-apa tentang masalahnya, penyamarannya, identitas asli Yoru. Ia ragu. Bisakah ia menjelaskan hal itu pada Sakura sekarang? Siapa tahu gadis itu punya saran atau... paling tidak penghiburan, mungkin.

"Ohayou," balas Yoru datar.

"Bagaimana rasanya sekolah di sini?" tanya Sakura, berusaha agar pertanyaannya terdengar ramah tapi tetap wajar. "Beberapa aturannya memang agak mengekang untuk murid baru—Yoru-san sudah hafal semua, kan?"

"Hafal?" potong si rambut merah. "Enam bab dan enam puluh pasal, Sakura, dibayar pun dia tidak akan mau menghafalnya. Aku tidak suka kalau kau terlalu ramah terhadap semua orang," tegur Sasori yang ada di sampingnya, sambil mencolek lengan Sakura. Arus koridor sekolah menuju kantin terasa semakin padat sementara ia semakin kelaparan.

"Aku tahu Sasori-kun pasti cemburu," sindir Sakura—menyenggol rusuk Sasori dengan sikunya. Sasori meringis pelan. "Lagipula kita harus ramah terhadap murid baru, kan?" katanya beralasan.

Sasori nyengir tipis. Yoru menundukkan kepala menahan tawa pelannya, menyadari ada yang aneh dari Sasori dan Sakura. Mereka jadi lebih... mesra?

"Ngg... kalian, bisa i-ikut aku ke gymnasium s-sekarang? Ada... ada sesuatu yang mau kusampaikan," ujar Yoru ragu. Sakura memandangnya heran. Dengan terburu-buru, Yoru membelokkan langkahnya menuju gymnasium. Semoga tempat itu cukup aman.

Andai ia tahu, tempat itu tidak seaman yang ia kira.

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.


Tuxedo, and Heartbreak

a sequel?

Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: Ide nggak masuk akal, alur belepotan, apdet lama, ending nggak jelas dan

warning ini nggak menjelaskan banyak hal


Sakura tercenung.

"T-tolong... tolong percaya padaku. Aku benar-benar Hinata. A-aku tidak berbohong..."

Hinata mengucapkan kalimat terakhir dengan agak tersengal. Ia tidak tahu berapa persen kemungkinan mereka akan memercayainya, paling tidak ia sudah berusaha. Sakura dan Sasori saling berpandangan, terkejut, tidak berbicara apa-apa selama beberapa saat. Sunyi beberapa detik.

Gymnasium dan terutama lapangan tenis putri benar-benar kosong dari murid-murid sehingga mereka bisa bebas berbicara tanpa bisik-bisik. Akhirnya Hinata menceritakan semuanya pada Sakura dan Sasori—dari saat ia terbangun dan tiba-tiba sudah berganti gender sampai usaha keras menyembunyikan identitasnya, terutama dari Sasuke. Bagaimanapun, Hinata butuh curhat, dan ia tahu Sakura dan Sasori bisa menyimpan rahasia.

"J-jadi..." Sakura bergumam.

"Tunggu. Jadi—" Sasori menyela. "—kecurigaan kami terhadap Karin terbukti. Dia menambahkan sesuatu di minumannya dan meminta Hinata meminumnya. Jelas itu tindakan peracunan, kan?" katanya. Kemudian, Sasori menceritakan semuanya. Sewaktu ia memeriksa minuman Karin—minuman sama yang diminum Hinata, penjelasan Orochimaru beberapa hari lalu dan hasil lab yang sudah dicetaknya. Cairan bekas minuman Karin persis dengan salah satu campuran kimia eksperimen Orochimaru.

Hinata mendesah. Tidak masuk akal ada yang mau mencelakakannya. Ia sama sekali tidak terpikir bahwa perubahan tubuhnya dan Karin yang menawarkan minuman padanya dulu berkaitan. Kalau pun benar, Hinata tidak akan menyimpan dendam. Tapi tanggapan Sakura beda lagi.

"Dasar culas! Licik! Bermuka dua!" komentar Sakura meledak-ledak. Ia bersedekap. "Oke, kami percaya, Hinata-chan. Sewaktu kau absen sekolah beberapa hari berturut-turut, aku sudah curiga. Apalagi waktu mendengar kesaksian dari Naruto..."

Sasori menendang salah satu bola sepak yang masih tergeletak di lantai lapangan. Bola itu berputar menjauhinya. "Masalahnya hanya bagaimana cara kita membuktikan tuduhan kita ke guru bimbingan atau lebih-lebih kepsek. Kita tidak punya bukti kuat."

"Tapi... sampel minuman Karin, kau masih punya, kan?" tanya Sakura antusias.

Hinata menundukkan kepalanya, kali ini menatap lantai semen di bawahnya. Sedari tadi mereka hanya berputar-putar di sekitar lapangan sepak bola ini. Ia menyesali Sakura dan Sasori yang kini ikut dibuat pusing oleh masalahnya.

"Masih punya, tapi hanya itu pun tidak cukup. Bisa-bisa kita dibilang pengarang cerita dan mencuri cairan itu dari rak Orochimaru-sensei. Posisi kita lemah, Sakura," tegas Sasori datar. "Siapa tahu Karin tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang dialami Hinata. Kalau pun Karin memang berniat mencelakakan Hinata," pandangannya beralih pada cowok indigo yang tertunduk pasrah di depannya. "Kita tidak tahu apa motifnya. Dan jumlah saksinya sedikit. Bagaimana?" katanya, membuat Sakura putus asa.

"T-tidak usah sampai sejauh itu, kok," kata Hinata pelan. "Kalian percaya saja sudah cukup. Mungkin..." ia termangu. "Aku memang harus m-menjadi laki-laki, bukan perempuan."

Hening lagi. Meskipun gymnasium ini beratap terbuka, tetap saja Hinata merasa terjebak di tengah-tengahnya.

"Tidak bisa," geleng Sakura tegas. "Pasti suatu saat ada pemecahan. Coba konsultasi ke dokter, kasus ini 'kan langka sekali," ia menepuk-nepuk punggung Hinata prihatin. Hinata mengangguk lesu.

Mereka bertiga hanya berjalan-jalan di seputar lapangan sepak bola. Sepakat untuk tidak bicara apa-apa lagi.

Sampai tiba-tiba...

Dukk. Duk dukk.

Srekk. Srekk.

Hinata sontak merinding. Tadi... terdengar seperti seseorang menjatuhkan bola basket di tangannya.

B-bola basket?

Seingat Hinata, gymnasium sepi saat mereka datang. Kenapa tiba-tiba bisa ada...

"S-siapa di situ?" tanya Sakura dengan nada bergetar. Jangan-jangan...

Sasori menghela nafas sedalam mungkin dalam rangka menetralisir tubuhnya yang tiba-tiba minta pergi dari sini. "Kita... p-pergi saja."

Tanpa hitungan satu, dua apalagi tiga, mereka langsung berlari cepat meninggalkan gymnasium.

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

Sialan!

Sang gadis berambut merah keluar dari tempat persembunyian sambil membersihkan debu yang menempel di rok seragamnya. Ia sudah mendengar percakapan mereka bertiga, dan... sekarang Karin kesal. Cairan itu tidak membunuh Hinata, malah justru mengacaukan jenis kelaminnya. Hinata Hyuuga masih berkeliaran di sekolah mereka. Dan ruang geraknya mendapatkan Sasuke tidak bertambah.

Tapi... mungkin ada untungnya juga, pikir Karin. Kalau Hinata sekarang cowok, berarti dia tidak bisa mendekati Sasuke-kun. Ia tersenyum puas. Kasihan dia, agak tolol juga kalau dipikir-pikir sebenarnya.

Di samping itu, Karin terkejut karena Sasori melihat tindakannya memberikan cairan berbahaya itu pada Hinata, mengetahui cairan itu berbahaya, dan bahkan masih memiliki sampel cairan tersebut.

Sasori dan Sakura harus dibungkam. Secepatnya!

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

Pulang sekolah

"Masih mau menemaniku membeli kostum prom, kan?"

Yoru terkejut, mendapati Sakura sudah ada di depan mejanya dan menumpukkan siku di atasnya. Gadis itu langsung membuatnya lupa akan permintaannya buat pulang bareng dengan Sasuke sepulang sekolah (yah, nggak ada jaminan kalau Sasuke juga ingat, sih). Lagipula Yoru minta pulang barengnya besok. Jam pelajaran terakhir sudah usai, murid-murid baru membereskan tas sebelum akhirnya pulang. Tanpa malu-malu, Sakura menanyakan hal yang sudah hampir sengaja dilupakannya itu—prom nite.

"Eh..."

Sasuke yang melihat betapa dekatnya Sakura dan Yoru merasa heran. Dan agak gemas. Dan... cemburu. Yoru terlalu penurut, terlalu mudah disuruh-suruh. Dari beberapa sisi, cowok itu sangat mirip...

... Hinata.

"T-terserah Sakura-chan saja," Yoru menghela nafas pasrah. "Tapi jangan lama-lama, ya."

Di wajah Sakura otomatis terpasang senyum selebar tiga jari. "Nah, begitu dong. Sekarang beres-beres saja dulu, aku tunggu di depan gerbang sekolah. Jaa, Hina—Jaa, Yoru-san!"

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

"Tidak, Sakura-chan. Aku juga... tidak akan b-bisa ikut prom nite..." keluh Hinata saat Sakura sibuk memilah-milah gaun selutut. Sakura tercenung, menghentikan aktifitasnya.

"Siapa bilang tidak bisa? Sasori bisa meminjamkan tuksedonya buatmu."

"Tidak...!" tolak Hinata keras. Semua orang di departmen store menoleh ke arahnya. "Oh, maaf. Maksudku, aku... tidak bisa m-membayangkan memakai... tuksedo?"

Sakura tidak peduli. Ia kembali melihat-lihat gaun. Sampai matanya tertumbuk pada sehelai gaun hijau toska dengan bawahan lurus. "Bagaimana kalau yang ini, Hinat—kenapa sih aku selalu salah menyebut hal itu—Yoru?"

Hinata menghela nafas, menyadari tidak punya kata-kata untuk membantah. "Ngg... terlalu aneh, Sakura-chan."

"Iya. Rasanya aneh dengan warna rambutku," Sakura mengangkat gaun itu dan memerhatikannya cermat-cermat, memeriksa struktur benangnya. Bagus, sih. Tapi warnanya... "Nanti bisa-bisa aku dikira ikut pawai go green."

Gadis bermata hijau itu kembali menelusuri satu persatu gaun pesta yang dilihatnya. Ah, Hinata juga ingin bisa memakai gaun cantik di acara prom nite nanti. Dan bukannya tuksedo! Percuma saja, ia akan jaga rumah dengan Hanabi di malam itu.

Sakura sudah kembali sibuk memerhatikan sehelai gaun hitam dramatis dengan bawahan mengembang berlekuk-lekuk. Kelihatannya yang itu cocok untuk kepribadiannya. Sejujurnya, Hinata iri. Memakai tuksedo tentu saja tidak sama dengan memakai gaun. Pikirannya melayang pada Sasuke.

Dengan siapa dia akan berdansa nanti, ya?

"Hinata! Sini!" Sakura memanggil-manggilnya dengan suara pelan. Hinata menurut. Sakura mendorongnya ke depan cermin besar yang ditempel di pintu kamar pas. "Tutup mata."

Hinata menutup matanya. Rasanya lama sekali ia menutup mata, hampir bermimpi sebelum kemudian Sakura berkata, "sekarang buka matamu."

Cowok indigo itu tercengang. Sakura memegang sebuah tuksedo hitam dan menempelkannya hati-hati di bagian depan tubuh Hinata, melihat bagaimana jadinya jika Hinata memakai tuksedo itu dari cermin. Si gadis berambut pink tersenyum lebar.

"Tuh kan, siapa bilang kau tidak bisa ke acara prom? Begini pun kau tetap cute, Yoru-san," komentarnya. Hinata memerah. Kalau seimut ini, Hinata-san bisa jadi mainan cowok-cowok gay di sekolah, dong, tambahnya dalam hati dengan ngeri.

Hinata memandang bayangannya di cermin. Lengan tuksedonya sedikit terlalu panjang sehingga menutupi sebagian telapak tangannya. Warnanya hitam. Tidak ada warna lain, kecuali aksen merah di bagian dada. Ia memerah lagi.

"Ngg, Sakura, t-tidak us—"

"Tidak apa-apa, Hinata-chan," bisik Sakura. "Kalau aku dan Sasori tidak berhasil menemukan cara agar membuatmu kembali menjadi cewek sebelum prom nite berlangsung, untuk sementara kau harus bertingkah seperti cowok dan tidak mencurigakan siapapun."

Kenapa sih dia harus punya teman keras kepala?

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

Acara belanja gaun itu diakhiri dengan Sakura yang tetap bersikukuh membelikan Hinata tuksedo. Gadis itu memang nekat.

Hinata menelan ludah sewaktu merasakan kantong plastik bermerek yang berat di tangannya. Sakura benar-benar serius. Masalahnya, Hinata tidak yakin ia akan bisa bertingkah seperti cowok yang baik. Ia tidak ingin berdansa dengan murid perempuan di acara prom, yang benar saja. Ia bahkan tidak ingin berdansa dengan siapa pun.

"Nee-san kenapa lama sekali?" kepala Hanabi muncul dari pintu kamarnya yang dibuka sedikit, melihat siapa yang barusan memencet bel dan berkata "tadaima".

Hinata tersenyum tipis. "Hanya menemani teman kok, itu saja."

"Terus, itu apa?" tanya Hanabi lagi, menunjuk kantong plastik yang dipegang kakaknya. Hinata tergeragap.

"Eh... ini... temanku membelikan ini." Gadis yang kini cowok bermata lavender itu tidak ingin Hanabi tahu bahwa Sakura baru saja membelikannya pakaian laki-laki. "Sudah ya, Hanabi. Aku mengantuk sekali."

Hinata buru-buru berlari ke dalam kamarnya. Hanabi tercenung. Ia bergumam sendiri ketika kakaknya sudah hilang dari pandangan. "Ngantuk? Sekarang kan, baru jam 5 sore."

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

Keesokan harinya

Baru saja kemarin Hinata dibuat pusing soal prom nite, hari ini teman-temannya sibuk membicarakan hal itu lagi. Ya, prom nite masih seminggu lagi—menurut perhitungan kasarnya, tapi mereka dengan semangat membicarakan event itu seolah-olah akan diadakan besok. Beberapa dari mereka menggoda Hinata—Yoru, tentunya, dengan menanyakan siapa yang akan jadi pasangannya.

"Kira-kira anak baru ini bakal menggandeng siapa ke prom, ya?"

"Entahlah. Dia 'kan baru bersekolah selama... sekitar seminggu, mungkin?"

"Hei, Hyuuga-san. Kau sudah punya cewek, belum?" tanya Naruto tanpa tendeng aling-aling. Yoru mengkeret di tempatnya. Dia tidak mau berbohong. Lagipula sih yang mau dengar bahwa sejak dulu Hinata demam pesta.

"Ngg... Ano..."

Dari jauh, Sakura dan Sasori memberikan dukungan moral lewat mata; yang tidak terlalu membantu. Kau pasti bisa, Hinata!

"Aku rasa tidak punya," simpul Naruto akhirnya setelah Yoru tidak menjawab selama lima belas detik. Kemudian, ia berteriak lantang kepada seisi kelas. "Heeei! Ada yang mau jadi pasangan Yoru, nggak?"

Yoru merah padam. Sakura menepuk jidat lebarnya dengan ekspresi 'S-O-S!'.

"Di kelas lain banyak cewek jomblo, tuh."

"Comblangin aja satu ke Yoru. Dia pasti mau!"

Kelas mendadak riuh. Yoru pasrah. Segalanya bertambah runyam—ternyata menjalani kehidupan ala 'cowok' tidak semudah yang ia kira. Bukan hanya beda di penampilan. Tapi juga perlakuan. Yoru sedang berusaha mengembalikan konsentrasi penuhnya mengerjakan tugas yang ditinggalkan Kakashi ketika seorang gadis berambut merah mendekati mejanya. Oh, bukan mejanya, melainkan meja Sasuke.

"Ohayou, Sasuke-kun," sapa Karin dengan senyum manis terulas di wajahnya.

"Hn."

Karin tidak menyerah rupanya. Padahal masih segar di otaknya, beberapa hari yang lalu Karin mempermalukan Sasuke di muka umum—atau Sasuke yang mempermalukan Karin di depan umum.

"Sasuke-kun... sudah punya pasangan buat prom nite?"

Yoru menundukkan wajahnya karena yakin ia tidak suka mendengar bagian ini. Saat mengangkat wajahnya lagi, Karin melirik padanya dengan tatapan sadis. Yoru tergeragap. Kenapa tiba-tiba Karin menatapnya seperti itu?

Sasuke mau jawab apa, coba?

"Tidak."

"Boleh tidak kalau aku jadi pasangan Sasuke-kun?" sambar Karin dengan wajah berubah cerah.

Bilang tidak lagi, Sasuke-kun, pinta Yoru dalam hati. Dia gemas bukan main sampai pipinya memerah lagi.

Sasuke melirik Karin sekilas dan mulai menjelajahi keterangan di buku manual di tangannya. Mengisi nomor 5 sampai 7.

"Terserah saja."

Itu artinya iya!

Karin tersenyum lebar dengan hati berbunga-bunga. Rasanya seperti akan melompat saja. "Yay!—err, maksudku... sampai jumpa nanti di prom!" Kemudian, ia kembali ke kursinya sambil melambaikan tangannya semanis mungkin.

Dan hati kecil Hinata pun remuk dalam cara yang tidak ia mengerti.

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.

Pulang sekolah

... dan Hinata menangis lagi. Ia merasa konyol. Mana ada cowok yang menangis di depan umum? Yah, dia bukan terisak-isak dan mengguncang-guncangkan badan, ia hanya berjalan pulang dengan langkah seperti seorang terpidana menuju lahan eksekusi mati, menunggu sesi pembunuhan dirinya. Oh ya, dengan tambahan air mata yang turun setetes demi setetes dari matanya.

Tapi, paling nggak dia 'kan cowok sekarang. Ya ampun.

Sebuah tepukan keras—yang sebenarnya pelan—mengagetkannya.

"Kau menangis lagi."

"AAA!"

Hinata berniat jumpalitan lagi—seperti waktu kemarin, ketika ia dikagetkan Sasuke—kemudian menyadari bahwa ia sedang berada di trotoar jalan. Jumpalitan di sana akan membuatnya dikira shuffling mendadak. Hinata mengatur nafasnya, merasa lebih panik dari sebelumnya kala berpikir bahwa yang menepuknya tadi adalah preman jalanan.

"Angkat wajahmu. Kau menangis, seperti waktu kemarin."

Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Bukan, bukan preman, tapi seperti waktu kemarin, yang mengagetkannya adalah Sasuke.

Sasuke-kun!

"A-ada apa, Sasuke?" tanya Hinata pelan. Ada sesuatu yang ingin diucapkannya. Sesuatu yang hanya tertahan di dalam pita suaranya. "Tumben lewat si—"

"Aku selalu lewat sini, Hinata," jawab Sasuke acuh tak acuh. Hinata membulatkan mata, kaget atas perkataan Sasuke barusan.

A-apa tadi? Hinata?

"Kau memanggilku H-Hinata?" tanya Hinata lemas. Nyaris berupa bisikan. Yup, nama aslinya memang Hinata. Tapi nama samarannya adalah Yoru. Seharusnya Sasuke memanggilnya Yoru. Kecuali kalau... Sasuke sudah mengetahui semuanya.

Kalau Sasuke mengetahui siapa aku sebenarnya, berarti—

"Aku boleh memanggilmu dengan nama apapun, bukan?" kata Sasuke. Hinata langsung kecewa. Namun kekecewaannya langsung berubah menjadi kekagetan ketika Sasuke mengulurkan tangan dan menghapus lembut air mata di pipinya.

Garis bawahi. Dengan lembut.

"Bagaimana Sasuke tahu kalau aku... habis menangis?"

Kalau dipikir-pikir ternyata Sasuke juga ingat permintaan Hinata (permintaan Yoru, tentu saja) untuk menemuinya sepulang sekolah. Sekarang malah Sasuke yang menghampirinya. Membuatnya terkejut, pula. Memanggilnya Hinata. Jangan-jangan cowok ini punya indra keenam.

Tapi sepertinya bukan. Kalau iya, seharusnya dia sudah dimasukkan ke dalam sekolah luar biasa.

"Aku melihat air mata di pipimu." Sasuke menghela nafas pendek. Cowok itu mulai menatap wajah Hinata lekat. Seolah ingin melihat isi hatinya. Lekat. Lekat.

"Ngg... t-tidak ada kegiatan basket?" Hinata mencoba seramah mungkin, tapi kedengarannya malah ketakutan. Terutama ketika...

apa-apaan ini?

... cowok bermata onyx itu mulai menarik wajah Hinata ke hadapan wajahnya. Dengan lembut. Menelisik lekuk wajah si cowok bermata lavender...

Hinata tidak bisa bernafas.

... kemudian menggerakkan telunjuknya mengikuti alur wajah Hinata. Jarak antara hidung mereka hanya tiga centimeter jauhnya. Dan jemari Sasuke di atas kulitnya. Kelopak mata, pelipis, hidung, pipi, bibir...

"S-Sasuke?"

Sasuke melepas kedua tangannya secara tiba-tiba. Namun sepasang mata onyx itu masih menatapnya. Ia malah bertanya, "kau... sedang dalam penyamaran?"

Hinata terkejut. Ia tidak mengantisipasi pertanyaan seperti ini. Hinata membuang muka, berpura-pura melihat apa ada orang melintas di sebelah kanannya, sambil memainkan jari dan pipinya bersemu merah. Itu kebiasaan kalau ia sedang membuat alasan untuk berbohong.

"A-aku... tidak."

Sasuke menghunuskan tatapan menyelidik padanya. "Bagus. Karena asal tahu saja," ia membuat senyum tipis. "Aku tidak menyukai Karin, dan aku tidak akan berdansa dengannya. Aku mau kau yang jadi pasangan prom-ku."

Ini bahkan lebih mengejutkan lagi.

"Aku?"

"Ya." Senyum tipis Sasuke berubah menjadi seringaian. "Kau harus berdansa denganku."

"B-bagaimana bi—" Hinata akan protes, tetapi ditahan Sasuke yang langsung membekap mulutnya.

"Bilang iya," pinta Sasuke—dengan agak memaksa. Ia melepas bekapan tangannya pada mulut Hinata.

"Iya—"

"Bagus," Sasuke kembali berwajah dingin seperti biasanya. Kemudian, sebelum berjalan pergi meninggalkan Hinata, ia mengucapkan sesuatu. "Terima kasih."

Hinata belum sempat menjawab ucapan terima kasih Sasuke karena ia langsung mundur menjauh dari Sasuke, mencari jarak aman untuk pulang ke rumahnya sambil berlari kencang. Jantungnya berdebar cepat dan kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.

Kenapa Sasuke memanggilku Hinata?

Apa aku akan benar-benar berdansa dengan Sasuke? Dansa dua orang laki-laki?

.

ноᴙᴍᴏᴎᴈ

.


to be continued


akhirnya saya punya kesempatan buat update ._.

yah, akhir-akhir ini banyak banget tugas dari sekolah , jadi fict ini terbengkalai banget. dan begitu punya ide buat nyelesain sekarang, malah jadi membingungkan begini. soalnya jadi makin singkat... dan jadi makin banyak typo, mungkin.

YamanakaemO; eh, saya jarang nonton drama Korea sih =w=

apa adegannya ada yang mirip lagi? ._.

Firah-chan; udah diapdet nih :D sayang lama sekale -,-

makasih ya udah nungguin ^w^ #eh

Shyoul lavaen; argh, kayaknya saya gagal buat yang lebih panjang... T^T

oke, saya bakal lebih berusaha. salam kenal! ^^

Elva Vava; ini nggak kilat -_- anyway updated :D

ada yang mau review? ._.