Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Title : Universal

Rate : T

Genre : Romance

Warning : Semi-Canon, OOC, Typo(s), Bit Fluffy

Summary : Kumpulan Fiksi Oneshot maupun Multichapter tentang NejiHina. Chapter one : jatuh cinta itu tidak memandang jabatan. Dia mungkin melihatmu sebagai kakak, tapi kau akan tetap dan selalu mencintainya

.

.

o . . . .oOo. . . . o

Moon on the Night

Part 1

o . . . .oOo. . . . o

.

.

Mata perak Neji menangkap sesosok objek berwajah ramah di depan teras halaman rumah. Sosok itu duduk termangu dengan sebuah nampan berisikan sepiring dango dan teh hangat disampingnya. Mata bulat besar berwarna mutiara itu menatap lurus ke depan. dengan wajah tenang, Hinata terdiam manis sendirian.

Keesokkannya harinya, nampan berwarna cokelat kusam itu kembali tergeletak di depan teras rumah. Namun gadis yang kemarin tidak nampak duduk disana. Neji mencarinya, pura-pura lewat di depan kamar sepupunya, dan ia menemukan sosok Hinata yang telah bersiap dengan ransel biru tua.

"Kau, mau kemana?" gadis itu terkesiap ketika mendengar suara halus yang sangat rendah di belakang lehernya.

"N-Nii-san?" ia menoleh takut-takut, "Aku a-ada Misi hari ini," ungkapnya pelan sambil memasukkan beberapa obat dan botol minum ke dalam ranselnya cepat.

"Lalu.. dango-mu?" tanya Neji singkat. Matanya memandang ke arah pintu kamar Hinata yang terbuka dan menghadap teras halaman. Gadis di depannya tersenyum ramah.

"Itu … Dango kakak ... aku membuatnya setiap hari untukmu," gadis itu tersenyum untuk yang terakhir kalinya sebelum kakinya melangkah ringan, "Baiklah, Aku p-pergi dulu!" ia berlari terburu-buru, menghilang dibalik pintu.

Mereka baru saja berbaikan. Masalah Souke-Bunke dan segala kesalahpahamannya telah diselesaikan dengan baik oleh Hiashi. Selepas Ujian Chuunin, Hiashi menceritakan semuanya kepada Neji soal rahasia dan kebenaran yang ada di dalam keluarga Hyuuga. Bahkan, pamannya itu juga sempat menunduk hormat dan menyesal serta meminta maaf kepada Neji yang tentu saja terkesiap melihat tingkah Hiashi.

Namun ia masih belum terbiasa untuk berbasa basi dengan Hinata. Meskipun ia tahu bahwa gadis yang terlihat lemah itu sebenarnya sangat baik dan tidak mempedulikan sejahat apapun dirinya terhadap Hinata di masa lalu.

Memikirkan itu semua, Neji hanya bisa menghela nafas. Ia mengambil ikat kepala Konohanya di meja kamar, dan menutupi dahinya yang di balut oleh perban. Ranselnya yang berwarna biru kusam di jinjing, kakinya melangkah menuju teras. Sebelum pergi, Neji menghabiskan dango dan tehnya dalam kedamaian.

'Enak'

bibirnya membentuk segaris lengkung.

.

.

oOoFujioOo

.

.

Malam hari, sosok itu telah kembali dari aktivitasnya. Ekspresi kelelahan dan wajah yang kotor sudah menghiasi raut Hinata yang mengeluarkan banyak keringat di dahinya. Neji juga kelihatannya baru pulang dari misi. Mereka berpapasan di depan gerbang yang hanya berhiaskan temaram lampu di ujung tembok.

"A-Akh, Selamat malam, Nii-san," gadis berambut biru pendek itu menunduk hormat. Dilihatnya tangan gadis itu yang mencengkeram kuat kedua lengan ranselnya yang masih menempel hangat di punggung.

"Baru pulang?" tanya Neji mengabaikan sapaan Hinata. Pemuda itu membuka gerbang, dan berjalan masuk, diiringi oleh langkah kecil Hinata disampingnya. Gadis itu tersenyum khas,

"B-begitulah.." Hinata merasa perlu menambahkan sesuatu pada kalimatnya, "Ada klien yang berbohong k-kalau ia tidak di incar. Jadi, misi k-kali ini sedikit susah," wajahnya terlihat berusaha untuk menyenangkan kakaknya. Namun Neji hanya mendengus pelan,

"Hm, Begitu," reaksi dinginnya belum juga berubah. Wajah Hinata sedikit mendung kali itu.

percakapan mereka begitu singkat. Hingga akhirnya kaki mereka berdua tiba di depan pintu kamar. Hinata kikuk setengah mati menghadapi suasana hening yang tercipta kali ini. Neji sudah membuka pintu kamarnya. Ia menoleh pada Hinata dengan wajah yang datar, "Aku permisi, Hinata-sama," ungkapnya masih sopan seperti dulu. Neji tidak pernah mengubah sudut pandangnya terhadap Hinata, meskipun paman Hiashi sudah menganggapnya sebagai anak sendiri daripada pengawal pribadi.

"Aa.. Selamat malam," lagi, Hinata menyapa sebelum pintu kayu geser itu tertutup. Gadis itu menghela nafas. Ia beranjak pergi ke dalam kamar dan meletakkan ranselnya di kasur sembarangan. Setelah menanggalkan jaket berbulunya yang berwarna biru, Hinata pergi ke dapur untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang perempuan. Namun saat melewati teras depan halaman rumahnya yang gelap, gadis itu dikejutkan oleh sebuah nampan tua, dengan piring dan gelas teh berwarna hijau kusam yang sudah kosong. Ia mengambilnya dengan perasaan yang senang.

'Dimakan..'

Senyumnya semakin mengembang.

Pagi hari terlihat mendung dengan cuaca buruk dan awan yang sedikit kelabu. Kebetulan sekali hari ini Neji kosong jadwal menjalankan misi, lantas, ia kembali melakukan latihan intensifnya di dalam ruangan bersama paman Hiashi. Mata perak yang tajam itu sempat menyudut, memerhatikan sebuah nampan di pojok ruangan. Gelas dan piringnya masing-masing ada dua. Namun mata itu tidak menemukan pembuatnya. Entah ada dimana,

"Jangan lengah Neji!" Hiashi menerobos celah yang Neji ciptakan pada suatu saat. Pemuda itu terkejut dengan Jyuuken dari tangan Hiashi yang menyentuh bagian bahunya,

"Ugh!" ia menghindar, namun tubuhnya sempat terpental beberapa senti jauhnya. Nafas pemuda itu terengah-engah. Keringatnya sudah mengucur deras. Melihat kondisi Neji yang kehabisan nafas, akhirnya Hiashi menyuruh keponakannya itu untuk duduk dan beristirahat.

Sebuah nampan cokelat bundar yang membuat konsentrasi Neji pecah itu di sodori oleh Hiashi di depan wajahnya, "Makanlah.." ia menawarkan kepada Neji sementara dirinya sendiri sudah menyesap teh hijaunya dengan tenang. Pemuda berambut cokelat itu menurut dan mengambil dango tusuknya.

"Tak kusangka, anakku pintar membuat teh.." Hiashi bergumam pelan. Pandangannya menelusur sesuatu yang tidak nampak di depan kenyataan. Neji tahu, bahwa saat ini pamannya sedang memuji Hinata, Suatu hal langka yang pernah di lihatnya selama hidup.

"Ya.. teh Hinata-sama memang enak," Hiashi menoleh saat Neji berujar kemudian. Lantas mereka berdua tertawa bersama.

"Kau tahu Neji? Sepertinya kau bisa menjadi menantuku suatu saat nanti," senyuman jahil Hiashi terpampang kuat, membuat Neji menjadi salah tingkah.

.

.

oOoFujioOo

.

.

Matahari sore terbenam dengan cepatnya. Bayang-bayang kegelapan mulai nampak di sepanjang jalan desa Konoha. Hanabi baru saja pulang dari kegiatannya di Akademi. Sementara Hinata, entah kenpa gadis itu belum juga kembali. langit sore perlahan-lahan menjadi gelap. Karena khawatir, paman Hiashi menyuruh keponakkannya itu untuk mencari Hinata bagaimanapun caranya. Dalam sekali perintah, Neji melesat tajam, memanjat atap-atap perumahan dengan langkah yang sigap dan cekatan. Rambut cokelatnya berlambaian, diterpa sinar rembulan. Derit sepatu Shinobi Neji menginjak dedaunan kering di sekitar Hutan. Entah mengapa pemuda itu mencari Hinata di sekitar sana. ia seperti pernah melihat gadis itu berkeliaran di tempat yang rindang dengan pepohonan jika sedang merasa ingin sendirian. Kemudian Hinata menangis sambil memeluk lutut di bawah naungan pohon tua, yang memiliki akar-akar besar yang menjalar diluar tanah.

Namun apa yang di lihatnya saat ini begitu kontras dengan Hinata yang ada di pikirannya. Gadis itu menanggalkan jaketnya yang terlipat rapi di pinggir sungai. Sementara Byakugan-nya yang tajam terpampang kuat pada raut wajah Hinata. Ia menggunakan batang pepohonan dan lingkungan di sekitarnya untuk latihan intensif sendirian. Neji yang pertama kalinya melihat Hinata seserius itu, menganga takjub. Terlebih-lebih saat gadis itu bisa menggunakan air untuk membentuk jarum dan menjadikannya sebagai jurus baru.

Hinata yang cengeng, tidak ada lagi di dalam memori Neji. Yang sekarang berdiri di depannya adalah seorang penerus klan Hyuuga sejati.

"Hah.. hah.. hah.." Nafas gadis itu terengah-engah setelah menghabiskan ratusan ranting pohon dan menumbangkannya. Selepas dari latihan, Hinata berjalan menuju tepi sungai dan mencuci wajahnya yang keringatan.

Dan radar byakugan-nya mendeteksi seorang penyusup di balik pohon Sakura,

"Siapa itu?" mata berurat itu kembali menajam, berputar tigaratus enam pluh derajat dan menoleh pada sumber suara yang dimaksud. Neji keluar dari tempat persembunyiannya, seolah-olah baru saja tiba di hutan itu. wajah Hinata melongo kaget, "N-Nii-san?" ia tidak percaya akan menemui kakaknya sendiri di hutan, tempat rahasianya bahkan ketika masih di akademi.

"Kau waspada … itu bagus," puji Neji tenang. Ia menghampiri Hinata yang saat itu masih duduk di tepi sungai sambil menoleh padanya dengan pandangan melongo. Neji kemudian melepas sepatu ninjanya, dan ia mencelupkan kakinya pada air sungai bening yang terpampang sejuk di depan matanya saat itu, "Kau latihan sendiri sejak pagi tadi?" Hinata mengangguk pelan. Suaranya mendengung,

"Ng … Kenapa kakak ada disini?" tanyanya heran. Ia mengambil jaketnya dan menggunakannya seraya bersiap-siap untuk balik. Neji menatap aliran sungai,

"Ayahmu, memintaku untuk membawamu pulang. Kau tidak lihat bulan sudah menggantung tinggi?" Hinata menoleh keatas. Ratusan cahaya kerlip dan sebuah sinar temaram menyorot sungai bening di depan mata mereka dan menciptakan pantulan yang indah. Gadis itu tertawa kecil,

"Maaf, aku keasikkan di sini," ia melepas sepatu Ninjanya, dan ikut mencelupkan kakinya seperti Neji. Wajah itu menggeliat senang, "Rasanya damai sekali. ditempat ini, Aku bisa menghabiskan banyak waktu untuk berlatih serius," ekspresi wajah itu, adalah yang pertama kalinya dilihat oleh Neji. Ekspresi Hinata yang dewasa, dan tegar.

"A-Aa ... tapi, sebaiknya k-kita segera pulang," ia hendak mengangkat kakinya dari air namun tiba-tiba saja sebuah telapak tangan yang besar mencengkeram lengannya. Bola mata perak yang tajam itu menusuk pandangannya begitu dalam,

"Tidak," Neji berujar pelan, "Mungkin, tidak ada salahnya jika tinggal disini untuk beberapa waktu lagi,"

mata Hinata membulat lebar saat menemukan sebuah senyuman yang berarti pada bibir Neji. Sebuah senyuman yang hangat, dan tulus, yang seumur hidup baru kali ini dilihatnya lagi sejak hari ulangtahunnya pada umur tiga tahun.

"A-Apa kau yakin? Bagaimana k-kita menjelaskan pada ayah nanti?" Hinata mengalihkan pandangannya pada rerumputan yang di duduki. Wajahnya terlihat gugup dengan semburat merah yang nampak di permukaan pipinya. Untuk pertama kalinya, jantung Hinata terasa sesak saat berada di samping Neji,

"Soal itu, biar aku yang atasi," Neji mengayun-ayunkan kakinya di air sambil memandang lurus. Namun tiba-tiba saja mata itu berbelok menuju Hinata, "Tidak kusangka kalau kau ternyata sekuat ini … Hinata," tangan besar itu meraih puncak kepala sepupunya dan mengusapnya pelan. Bagaikan dihipnotis, Neji menikmati setiap detik momennya saat ini. Sampai-sampai ia lupa memanggil Hinata dengan embel-embel 'sama'. Di satu sisi, gadis itu terbujur kaku dengan wajah yang semakin memerah. Hatinya terasa … hangat.

"Pertama kalinya ... kakak memanggilku H-Hinata saja," Neji terkesiap mendengarnya. Cepat-cepat ia meralat kalimatnya yang awal namun Hinata kembali meneruskan ucapannya yang terputus, "Tapi, aku senang," matanya menyipit karena senyuman Hinata yang semakin lebar, "Aku senang sekali … Nii-san, mau melihatku sebagai adik," barisan gigi Hinata terlihat saat gadis itu tertawa kecil. Jantung Neji seolah habis di sentil. Ia tahu, yang dimaksud Hinata adalah perbuatannya barusan yang memuji dan mengelus kepala lembut dari gadis itu. namun entah mengapa, Neji merasa ada sesuatu yang tidak membuatnya nyaman terhadap apa yang disebut gadis itu sebagai 'Adik'

"Terimakasih … Hinata-sama," Neji hanya bisa membalasnya demikian. Gadis itu tersenyum lagi ketika mendapati si pemuda yang dimaksud kembali memanggilnya dengan embel-embelnya.

"Sama-sama,"

Ada perasaan yang menyeruak di dalam batinnya. Dan Neji tidak tahu kenapa. saat ini ia merasakan nyaman yang sangat luarbiasa. Dengan hanya duduk disamping Hinata, cahaya bulan, rerumputan segar, pepohonan yang menjulang, sungai yang memanjang dengan airnya yang bening dan sejuk, beserta hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ia menikmati semuanya.

Hingga tanpa terasa, waktu telah berlalu cepat. Bulan yang menggantung tinggi dilangit semakin menguatkan sinarnya.

"Sebaiknya kita pulang, Hinata-sam–" ucapannya berhenti. pemuda itu tertegun ketika mendapati wajah Hinata yang sudah terlelap tidur di rerumputan. Garis wajah yang tegas dan penuh kelembutan terpancar pada ekspresi mungil Hinata. Rambut Indigonya yang diterpa angin berlambaian beberapa helai. Neji mendekat pada gadis itu dan menggendongnya di belakang punggung, "Kita pulang, Hinata-sama," diambilnya sepatu ninja dan ransel biru Hinata, kemudian melesat pergi dengan membawa gadis yang tertidur lelap di punggung lebarnya.

"Neji-nii?" yang di panggil hanya bergumam pelan, "Wangimu enak … seperti peppermint," pemuda itu tersenyum refleks, tanpa ditahan sedikitpun.

"Kau mengigau Hinata-sama,"

"A-Aku ... aku menyayangi Nii-san. Sungguh," wajah pemuda itu tiba-tiba saja mengendur. Ekspresinya terlihat sulit untuk dijabarkan. Untung saja Hinata berada di punggungnya dengan mata yang terpejam. Sehingga ia bisa mengatakan semuanya, dengan jujur.

"Aku juga menyayangimu ... Hinata-sama," Neji mendesis pelan. ia tahu, dan ia sadar, bahwa ungkapan 'sayang' yang dimaksud oleh Hinata berbeda dengan miliknya. Karena Hinata melihatnya sebagai kakak, namun Neji sendiri memandanganya sebagai orang yang dicintainya, "Ya … aku menyukaimu,"

Dan jika ia merasa beruntung, mungkin saja perasaannya itu akan semakin nyata saat ia bangun di esok hari.

.

.

. . .oOo. . .

Tsudzuku

. . .oOo. . .

.

.

A/N : yak, inilah NejiHina, pair pertama yang menjadi Favorit saya. Terimakasih untuk kesediaannya membaca. Arigatou XD buat yang rikues-rikues fic Humor, saya belum bisa buatin. Maaf. Ide lagi buntu #dicekek

-Fuun-