~Chapter 20~

October 3rd 1995

Ludwig's POV

Hari ini adalah hari Bersatunya Jerman…

Bertahun-tahun yang lalu, negeri ini terpisah oleh sebuah tembok panjang yang membelah kota Berlin. 40 tahun kemudian, tembok itu diruntuhkan dan negeri ini pun kembali bersatu. Tidak ada lagi paham barat dan timur berkecamuk di negeri ini. Pemerintah dengan tegas membersihkan negeri ini dari tangan-tangan jahat Komunisme, dan memilah kebudayaan barat yang positif agar bisa diterima oleh rakyatnya.

Seiring dengan bersatunya negeri ini, rakyat kembali mendapatkan apa yang dulu pernah dirampas oleh pihak timur. Seperti aku kembali bertemu dengan kakakku setelah sekian lama dia terpenjara di balik tembok besar itu. Kamilah yang pertama kali menjebol tembok itu, sebagai bentuk protes atas kekejaman pemerintah Rusia yang menguasai Jerman bagian timur dan semena-mena mendirikan tembok pemisah.

Namun Tuhan sepertinya berkehendak lain…

3 tahun setelah kami bersatu, kakakku terserang penyakit sampai menyebabkan kematiannya. Kakakku meninggal dalam kelumpuhan. Tuhan mengambil sedikit demi sedikit kemampuan geraknya. Betapa sedih aku melihat kakakku menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda. Aku masih ingat betul saat-saat terakhir mengantarnya pergi ke gereja. Aku tidak mendapat firasat apa pun mengenai kematiannya. Mungkin sekarang aku tahu maksudnya, bahwa dia hendak mensucikan dirinya, menenangkan jiwanya dan mempersiapkan segalanya bertemu dengan Tuhan. Dari luar pintu gereja, aku melihat dia mengepal kedua tangannya dan memanjat doa. Air mata itu menetes dari kedua mata merahnya.

Dia sudah sangat siap…

Tetapi kemudian di satu sisi, aku menganggap kakakku sedih mengetahui hidupnya tidak akan lama lagi. Banyak hal yang ingin dikerjakannya di dunia sebelum dia pergi. Termasuk membuat bendera di atas istana kecil itu…

Aku tidak tahu dia berhasil membuatnya atau tidak. Tetapi aku seperti kehilangan harapan setelah dia meninggal. Mungkin, aku tidak perlu dia membuatkan bendera itu. Dia sudah tidak ada, berarti aku yang harus meneruskannya.

"Istana itu milikmu, Ludwig. Kau yang akan menyelesaikannya…"

Yah, mungkin aku yang harus menyelesaikannya. Di hari berbahagia ini, aku akan menghibur diriku dengan membuat bendera kecil untuk istana itu. Kakakku, sampai detik terakhir kematiannya, dia tidak juga memasangnya. Bukan karena lupa, dan aku tidak tahu apa alasannya sampai sekarang.

"Tentu saja bendera Jerman yang harus berkibar di atas menara ini…"

Pagi itu, setelah selesai sarapan, aku pergi ke taman dan menemukan istana kecil itu berdiri dengan anggunnya di antara kebun mawar. Aku pernah meletakkannya di sini, kemudian sempat kubawa masuk dan sekarang kukeluarkan lagi. Kau tidak akan percaya bahwa burung kecil itu sekarang menjadi penghuni tetap istana ini. Dia akan berkicau setiap pagi, kemudian akan terbang keliling taman di siang hari, dan kembali ke istana ini pada sore hari.

"Hai, sobat kecil. Aku bawakan remah roti kesukaanmu."

Burung berwarna kuning itu sepertinya tidak akan bisa besar. Atau mungkin memang ukuran tubuhnya tetap seperti itu sampai dia tua nanti. Dia terlihat lincah ketika aku menebarkan remah roti di halaman istana. Kicauan riangnya membuatku terhibur.

"Makanlah yang banyak. Ah, tapi kau tidak akan besar walau sudah banyak makan juga."

Sudah berapa kali aku mewarnai ulang badan istana ini? Sudah tua termakan waktu, kadang kalau terkena udara luar catnya cepat mengelupas. Dan sekarang aku akan menambahkan bendera kecil di atas menaranya.

"Hm?"

Ketika aku sedang membersihkan beberapa lubang jendela, aku menemukan sesuatu di dalamnya. Tiga buah tusuk gigi dengan ornament bendera Jerman di atasnya, dan selembar kertas yang digulung rapi di dekat bendera itu.

"Tidak mungkin…"

Bagaimana mungkin aku tidak menyadari ini? Sejak kapan bendera-bendera ini ada di salah satu jendela istana kecil ini? Lalu gulungan kertas itu juga, aku tidak pernah tahu.

"Kau tahu sesuatu tentang ini, sobat?"

Cheep…cheep….!

Aku duduk di halaman rumput dan memperhatikan 3 bendera kecil di telapak tanganku. Semuanya terbuat dengan sempurna. Rekatannya juga, begitu pula dengan warna hitam, merah, dan kuningnya. Bendera-bendera ini siap dikibarkan di atas istana ini.

"Kakak…"

Kemudian aku membuka gulungan kertas itu. Di dalamnya terdapat tulisan tangan yang sedikit berantakan menggunakan pensil. Apakah ini tulisan tangan kakakku? Apakah dia menulisnya saat sebelum dia mati? Tetapi aku tidak percaya ini! Bagaimana mungkin aku tidak tahu?

Bagaimana mungkin…?

Ludwig Weillschmidt,

Semoga aku masih punya kekuatan untuk menyelesaikan surat ini untukmu. Tanganku sudah mati rasa. Aku tidak bisa lagi menggenggam kuat pensil ini dengan tanganku.

Ngomong-ngomong, maaf soal benderanya. Sepertinya kurang besar, tapi cukup bagus untuk ditancapkan di atas menara itu. Semoga ini bisa melegakan hatimu. Maaf aku sudah menunda begitu lama, kau pasti sudah kehilangan kesabaran. Aku tahu, kau ingin marah padaku karena sudah tidak menepati janji. Maafkan aku, Ludwig…

Tidak banyak yang ingin kukatakan. Aku seperti tidak punya tenaga lagi untuk menulis. Waktuku tidak banyak, Ludwig. Maka itu, baca baik-baik surat ini…

Meski aku tidak ada lagi untukmu, tetaplah menjadi anak baik. Berperilaku baik terhadap siapa saja. Lupakan semua kesedihanmu, Ludwig. Tidak perlu kau ingat segala hal di masa lalu.

Mungkin aku melupakan satu hal untuk diajarkan padamu. Yaitu bagaimana cara melupakan dan memaafkan. Itu adalah dua hal yang paling sulit dilakukan oleh manusia. Kita hidup di masa perang, di masa konflik, saling menyalahkan, adu mulut, dan masin banyak lagi. Tetapi aku ingin kau melupakan dan memaafkan masa lalu itu demi kita, Ludwig. Mungkin kau bisa memaafkan, namun sulit melupakan. Atau mungkin sebaliknya. Apa pun itu, aku ingin kau belajar bagaimana melupakan dan memaafkan masa lalu yang kelam. Kau hidup di masa kini dan siap menyambut masa depan. Yakinlah, Tuhan akan membantumu melupakan dan memaafkan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Mungkin aku pernah mengasarimu, memarahimu, menyakitimu. Maka itu, maafkan kakakmu…

Tumbuhlah besar bersama negeri ini, Ludwig. Jaga baik-baik apa yang kutinggalkan untukmu. Sebisa mungkin untuk tetap tinggal di rumah ini. Dan satu lagi, jangan menangis lagi. Kau sudah besar, sudah menjadi pria dewasa. Jadilah orang yang tegar, adikku. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan menangis belum tentu bisa melegakan hati orang.

Dan kau harus tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Ingat baik-baik, aku sangat mencintaimu. Jangan pernah lupakan aku, Ludwig. Jika aku mati nanti, maka jangan pernah menghapusku dari ingatanmu.

Salam sayang,

Gilbert Beilschmidt

Tanganku gemetar memegang surat ini. Aku bahkan tidak mengedipkan mataku ketika membacanya. Dadaku terasa sakit, aku seperti menahan nafas saat membaca kalimat dalam surat ini.

"Melupakan…memaafkan…"

Mengapa aku tidak ada di sana saat dia menghadapi waktu paling krisisnya? Mengapa aku tidak menguatkannya? Mengapa aku tidak menemaninya mengucap kalimat suci ketika dia akan berpulang? Mengapa…?

Mengapa dia menyuruhku melupakan?

Mengapa dia menyuruhku memaafkan?

Apa yang dilupakan?

Apa yang dimaafkan?

"Kakak…oh….tidak…uurgh…"

Sambil mencengkeram surat itu, aku berlari ke rumah dan mengambil kunci mobil. Aku mengendarai mobilku dan meninggalkan rumah menuju pemakaman. Aku tidak tahu apa yang mendorongku melakukan ini. Tiba-tiba saja aku berhamburan keluar dari rumah dan ingin bertemu kakakku di makamnya. Mendadak cuaca hari itu berubah menjadi mendung berat. Sebentar lagi akan turun hujan.

Tiba di pemakaman, aku berlari menuju batu nisan kakakku. Pemakaman hari ini cukup ramai, mungkin ada orang-orang yang ingin mengenang kerabat mereka yang meninggal saat berada di Jerman Timur. Hujan mulai turun membasahai areal pemakaman. Tidak sedikit orang mulai meninggalkan tempat ini karena hujan.

"Gilbert!"

Aku jatuh berlutut di depan nisan kakakku. Emosi ini sudah tidak bisa lagi dibendung. Di tambah lagi hujan semakin membasahi diriku. Mendadak banyak hal yang ingin aku katakan pada kakakku. Tidak peduli dia sudah tidak tampak lagi di hadapanku, aku yakin dia bisa mendengarku. Entah dari mana, entah dari surga atau tempat lain di mana pun itu…

"Mengapa…aku tidak mengetahui surat itu sejak lama? Mengapa baru sekarang aku membaca pesan terakhirmu? Kau tahu apa yang ditanyakan semua orang padaku? Mereka bertanya mengenai pesan terakhirmu padaku. Aku bilang tidak tahu. Aku tidak tahu! Ya, aku memang tidak tahu karena kau tidak berkata apa-apa padaku!"

Aku meninju tanah makam kakakku karena tidak bisa lagi menahan kemarahan. Aku tidak tahu mengapa aku begitu marah, begitu emosional seperti ini.

"2 tahun yang lalu, kau meninggalkanku. Dan selama itu pula, aku tidak sadar bahwa kau meninggalkan surat di istana kecil itu. Mengapa aku bisa tidak tahu? Oh, yang harusnya minta maaf itu aku, Kak. Bukan kau, karena kau tidak melakukan salah apa pun!"

Ya, aku yang salah. Mungkin aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai tidak tahu apa yang sudah ditinggalkan kakakku. Aku tidak tahu apa yang sudah membutakanku selama 2 tahun ini. Aku bahkan sudah sering membersihkan istana kecil itu, tetapi aku tidak pernah menemukan apa pun di sana. Macam surat atau tusuk gigi dengan bendera, aku bahkan tidak melihatnya.

"Maafkan aku, Kak. Demi Tuhan, maafkan aku. Uuurgh…"

Aku mengisak di depan nisan kakakku. Aku mencengkeram kepalaku, berusaha menahan emosi yang semakin bergejolak. Aku yang salah, sampai aku tidak tahu ada pesan penting yang ditinggalkan kakakku. Udara dingin dan air hujan ini semakin membunuhku. Hujan turun dengan lebatnya.

"Gilbert…"

"Ludwig…"

Semoga saja pendengaranku salah, semoga saja ini bukan kenyataan. Atau, haruskah aku mengakui bahwa baru saja aku mendengar suara Gilbert? Di dekat sini? Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali. Aku mengatakan dalam hati, Gilbert sudah mati dan dia tidak mungkin terlihat lagi. Apalagi sampai mendengar suaranya…

"Ludwig…"

Tidak, tidak mungkin! Aku sudah berhalusinasi! Seingatku aku tidak menelan segelas bir pun hari ini. Apakah ada teori udara dingin bisa membuat orang berhalusinasi? Aku mungkin kelelahan, mungkin juga aku sudah mulai kacau. Sebaiknya aku pulang, aku bisa mati kedinginan jika tidak segera mengeringkan badanku.

"Ludwig…"

Ketika aku mencoba berdiri, aku dikejutkan dengan sosok Gilbert memakai jubah pastur miliknya, berdiri di depanku. Dikaburkan dengan titik air hujan yang turun begitu deras, aku bisa melihat dia tersenyum.

"Gil-"

"Tetap pada tempatmu, Ludwig. Dengarkan aku."

"Ini tidak mungkin-"

"Jangan pernah sekali pun menghukum dirimu jika sudah melakukan kesalahan. Aku tidak menyalahkanmu sampai lupa tentang surat itu, Ludwig. Sama sekali tidak ingin membencimu hanya karena kau terlambat mengetahuinya. Ingat pesanku dalam surat itu."

"Melupakan…dan memaafkan…"

"Karena aku juga akan melupakan dan memaafkanmu jika kau berbuat salah, Ludwig."

"Kakak…"

"Maafkan dirimu, dan lupakan semua kesalahanmu, Ludwig. Jangan hukum dirimu, aku tidak membencimu karena ini…"

"Uuurgh…"

"Jadilah anak baik, Ludwig. Aku sangat bangga padamu, aku sangat mencintaimu…"

Petir pun menggelegar di udara. Seketika itu juga, sosok Gilbert menghilang dari pandanganku. Tidak ada lagi dia di depan mataku…

City Cemetery, One month later

Aku jadi banyak diam setelah kejadian itu…

Suatu pagi yang cerah, dengan harapan tidak turun hujan seperti bulan kemarin, aku berangkat ke pemakaman. Dengan mobilku, di kursi belakang, aku meletakkan istana kecil lengkap dengan penghuninya, buket bunga Calla Lily dan sebotol bir.

Semua ini kupersembahkan untuk Gilbert…

Alasanku tidak menempatkan istana kecil itu di rumah adalah karena aku tidak ingin Gilbert kesepian. Burung kecil berwarna kuning ini akan menemaninya, dia pun tidak perlu khawatir akan kedinginan atau kepanasan karena istana ini akan melindunginya. Yang membuatku senang tentang istana ini adalah, bahwa bendera-bendera itu sudah terpasang di atas menaranya.

"Kita sudah sampai…"

Tidak sulit membawa dua barang bersar di kedua sisi tanganku. Aku membawa istana ini dengan satu tanganku, sangat hati-hati karena aku tidak mau merusaknya. Satu tanganku yang lain membawa buket besar Calla Lily. Aku tidak peduli tanggapan orang melihatku sangat kerepotan dengan barang yang aku bawa. Ya, biarkan saja…

"Oh…"

Begitu sampai di makam kakakku, aku terkejut melihat Roderich Edelstain sudah berada di sana. Dia berdiri sambil memegang buketnya. Dia juga terkejut melihatku datang.

"Tak kusangka kita akan bertemu di sini, Herr Ludwig."

"Apa kabarmu, Roderich?"

"Baik. Kau? Ah, menurutku kau tampak sehat, Herr Ludwig. Kebetulan aku sedang berada di Jerman, dan teringat saat aku menghadiri pemakaman kakakmu."

"…"

"Entah sudah berapa lama, tapi rasanya seperti baru kemarin kami berbincang-bincang. Banyak hal, tentangmu dan semuanya. Tentunya kami sempat membahas istana yang kau bawa itu juga."

"Aku berencana akan meletakkan istana ini di sini."

"Oh, kau tidak ingin dia kesepian rupanya."

"Burung ini sebenarnya yang kesepian. Dia berkicau di halaman rumah, tetapi lama kelamaan aku merasa kicauannya semakin sedih. Jadi aku memutuskan untuk melepasnya di sini, bersama istananya."

Aku meletakkan istana itu di depan nisan Gilbert. Burung kecil itu kemudian memunculkan kepalanya dan melihat ke kiri dan kanan. Dia terlihat bingung, lalu setelah itu dia terbang mengelilingi areal pemakaman.

"Dia…seharusnya bisa terbang bebas di sini, Roderich. Kakakku yang memeliharanya, terhitung sejak dia sakit."

"Begitu rupanya…"

"Aku tadinya tidak setuju kalau dia pelihara makhluk kecil ini di rumah. Burung ini harus bisa terbang bebas. Maka itu sekarang aku meletakkannya di sini, di makamnya."

"Ada teori yang mengatakan seekor hewan bisa mendengarkan rintihan jiwa manusia saat sedang berada di dalam kubur. Meski aku tidak tahu kebenarannya, tetapi melihat perilakumu meletakkan burung itu di dekatnya, mungkin burung itu bisa mendengar Gilbert…"

"Mendengarnya…"

"Sesuatu yang tidak bisa didengar oleh telinga manusia sehebat apa pun…"

"Kakakku pasti kesepian sekali di bawah sana. Mungkin menempatkan burung ini bisa menemaninya…"

Buket bunga Calla Lily itu kuletakkan di samping nisannya, dekat dengan istana. Aku berlutut memanjat doa, kemudian berdiri lagi dan melihat pemandangan indah di depan mataku. Nisan Gilbert Beilschmidt terlihat lebih menarik, ditemani istana dan bunga Calla Lily. Burung kecil itu sudah kembali ke istana, dia berkicau gembira.

"Bendera itu…"

"Ya, istana itu sudah lengkap, Roderich. Kakakku yang membuatkan benderanya."

"Akhirnya dia memenuhi janjinya."

"Dan semua itu dilakukan tepat di saat terakhir sebelum kematiannya. Bersama dengan selembar surat yang ditinggalkan untukku."

"Katamu dia tidak meninggalkan pesan."

"Aku juga tidak mengerti. Bulan kemarin, saat aku sedang membersihkan istana ini, aku menemukan bendera itu dan selembar surat darinya. Tidak banyak yang dia tulis. Tetapi ada pesan penting yang harus aku ingat darinya."

"…"

"Aku harus belajar…melupakan dan memaafkan…"

"Mengapa?"

Aku menatap langit dan menghela nafas panjang. Sebenarnya aku tidak kuat menceritakan hal ini kepada Tuan Aristokrat dari Austria itu. Tetapi aku ingin semua orang tahu bahwa kakakku meninggalkan pesan sebelum dia mati. Dan aku begitu bodoh sampai tidak mengetahuinya.

"Kami hidup dalam masa perang dan konflik. Dia sering meninggalkanku untuk perang, kemudian aku pun juga melakukan hal yang sama ketika masa kejayaannya sudah berakhir. Aku dan kakakku tak selamanya bisa satu pendapat. Masa lalu yang tidak menyenangkan, bukan?"

"Aku rasa…aku tahu alasannya."

"Alasannya?"

"Dua hal itu adalah pelajaran yang paling sulit untuk manusia. Masa lalu yang tidak menyenangkan kadang membuat kita dendam di kemudian hari. Tetapi mendendam adalah sesuatu yang di benci Tuhan. Maka itu, lupakan dan maafkan masa lalumu."

"Itu…yang dikatakan kakakku dalam suratnya…"

"Kau tahu, Herr Ludwig? Mungkin bisa dibilang Austria adalah musuh besar Prussia. Kami tidak pernah bisa menang melawan mereka. Tetapi aku menaruh rasa hormatku kepada kakakmu."

"…"

"Sebagai ksatria, dia tidak pernah memandang rendah musuhnya. Maka itu aku pun tidak memandang rendah padanya. Sampai matinya pun, bahkan sampai detik ini pun, aku tidak pernah menganggapnya musuh yang menyebalkan."

Roderich berlutut memanjat doa di depan nisan kakakku. Ya, kata-katanya tadi ada benarnya juga. Beberapa orang beranggapan bahwa Prussia adalah ksatria yang hebat. Mereka menaklukkan beberapa wilayah besar di Eropa. Tetapi mereka tidak pernah bertindak semena-mena terhadap wilayah taklukkannya. Dia mungkin ksatria yang haus atas kekuasaan, haus peperangan dan darah. Tetapi di sisi lain, dia itu rendah hati dan taat beragama. Satu hal yang aku tahu, bahwa dia sangat mencintaiku sebagai adiknya.

"Terima kasih sudah berkunjung ke makamnya, Roderich."

"Tidak perlu bilang begitu, Herr Ludwig. Aku hanya ingin mengulang kenangan heroik saat dia menyerah Silesia bertahun-tahun yang lalu."

"Aku harap dia tidak kesepian lagi setelah kuletakkan istana ini di makamnya. Aku tidak tahu apakah tindakkanku ini benar atau salah. Aku hanya ingin dia tidak kesepian. Setidaknya, kicauan burung itu bisa menghiburnya."

"Sebenarnya aku lebih setuju istana itu berada di rumahmu. Karena Gilbert menyuruhmu menjaganya di rumah."

"…"

"Dia bercerita banyak hal tentang istana itu. Segala impian sudah kalian bangun bersama istana itu. Kau pasti sangat bahagia melihat istana impian ini sudah sempurna, Herr Ludwig."

"…Ja."

"Berbahagialah, karena kakakmu pun juga bahagia di sana…"

Istana yang kubangun dengan berjuta impian bersama kakakku, kini berdiri dengan anggun di atas makam kakakku. Istana itu dibangun dari jembatannya, kemudian badan istananya, sampai di detik terakhir aku memasang sendiri benderanya.

Sampai di akhir hayatnya, kakakku hanya membuat benderanya saja. Tidak sampai memasangnya di atas tiga menara itu…

~the end~

Akhirnya selesai juga XD

Perjuangan yang panjang buat saya nulis cerita ini. 20 chapter sepertinya terlalu banyak, pegel juga tangan saya nulisnya. =="

Endingnya…err…sepertinya kurang nendang ya? Maksudnya, kurang greget gitu. Tapi emang saya rencanakan seperti ini. Kasian Ludwig, daripada dia nangis melulu. Pengen bikin happy ending yang sederhana

Buat yang sudah baca, terima kasih banyak. Buat yang sekalian ngasih review, terima kasih sebanyak2nya. Berkat dukungan pembaca, penulis amatiran macam saya bisa menyelesaikan cerita ini sampai selesai XD

Song lyrics' credit:

1. Within Temptation :

a. Hand of Sorrow

b. Forsaken

c. Forgiven

d. The heart of everything

e. Truth beneath the rose

f. Destroy

g. Pale

2. Beyonce Knowles :

a. I was Heree