Title bab 1: Perjanjian.

Warning: Azazel/John untuk sekilas iklan.

Summary: Sejarah dan Azazel, inilah awal mula kehancuran keluarga Winchester.

Disclaimer: Semua karakter dari Supernatural TV bukan punya saya.


Jam 2 dini hari, Mary Winchester terbangun mendengar suara tangisan putra keduanya yang baru berumur 6 bulan dari alat monitor bayi. Sekilas mengintip ke kamar bayi, sosok lelaki dalam remang-remang kegelapan dengan rupa perawakan yang sangat dikenalnya... tampak berdiri membelakanginya di depan keranjang tempat tidur Sam.
Melihat sang suami sudah mendahului giliran menenangkan bayi tercinta mereka, ia hendak kembali ke kamar utama. Namun niat terhenti dan kerutkan kedua alis dengan bingung begitu ketahui lampu di ujung lorong berkedip-kedip seperti rusak.
Hampiri lampu, ia mendengar sayup-sayup suara televisi di lantai bawah. Dan ketika turuni tangga, baru sadar pria yang tertidur pulas di sofa dengan televisi menyala adalah si John, iapun langsung teriak,

"SAMMY!" Sembari balik berlari ke kamar bayi.

John Winchester yang tadi sempat keterusan merem sehabis nonton pertandingan softball jadi terbangun. Mata masih kriyep-kriyep ketika beranjak berdiri, "Mary...?"
Dengar seruan panik "bajingan! menjauh dari Sammy-ku!" suara khas sang istri disambung lengking panjang, ia buru-buru berlari naiki tangga menuju lantai 2 dimana suara berasal dan terkejut setengah mati saat dapati pria berjaket hitam panjang berdiri di samping keranjang tempat tidur Sam.

Baru hendak buka mulut, ia tersentak oleh tetes di pipi kirinya.
Jari-jari meraba dan tetes semakin seperti rintik. Ketika menengadah, ia teriak teramat syok, "MARY!" pada istrinya yang menempel di langit-langit kamar dengan keadaan mengejang sebareng sobek di bagian perut dan penampakan jelas luka perut yang perlahan melebar dari celah robekan kain gaun tidur diikuti kucuran deras darah dan keluarnya burai usus dari sana.
"MARY...!" Menangis stres, api tiba-tiba menyebar dari permukaan plafon di belakang tubuh itu bak gulungan ombak, menelan tubuh malang Mary.

Menatap ketakutan ke sosok yang kini tampilkan kedua kolam iris kuning berkilat-kilat oleh efek pijar api-

"Ayah...?"

Menoleh dan temukan putra pertamanya yang masih berumur 4 tahun ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sedari kapan dan sangat tersentak saksikan jilatan api di mana-mana serta situasi tubuh ibunya... Seketika ia kembalikan fokus ke sekitar keranjang tempat tidur Sam, pria itu telah menghilang dan putra keduanya menangis keras-keras.

John bertahan tak panik dan buru-buru ambil Sam sebelum langit-langit plafon yang terbakar di atasnya berjatuhan, lalu hibahkan hati-hati dalam pelukan Dean. "Dean, jaga Sammy dan cepat lari ke luar rumah! CEPAT, DEAN. CEPAT!"
Meski bocah itu gemetar, tetap berusaha mengangguk dan pegang erat-erat adiknya, kemudian berlari tanpa menoleh lagi.
Ia sendiri berlari ke kamar utama ambil pistol Beretta 92FS yang selalu disimpan istrinya di dalam laci pertama meja di samping ranjang. Ini untuk berjaga-jaga kalau-kalau pria aneh bermata kuning itu kembali.

Di tengah langkah keluar kamar, 3 pria bermata hitam sudah mencegat dan menyerangnya.
Tak kalah reflek, ia sigap menembak mereka tanpa bidikan jelas. Pokoknya yakin saja kena... dan sungguh tembakan yang beruntung untuk pemula yang baru pegang senjata. Pastinya begitu mereka terkapar, kesempatan itu digunakan untuk ngacir secepat mungkin.
Menyusuri tangga, api menjalar seperti gulungan sihir dan dentum ledakan lemparkan tubuhnya langsung ke lantai bawah.

"U...gh..." Masih puyeng, tapi paksakan merangkak dan berdiri tuju ke pintu depan... ia membelalak melihat 2 wanita menendang tubuh Dean yang meringkuk pertahankan Sam dalam pelukan.
"HEI!" Teriaknya sambil berlari tertatih hampiri dengan acung ujung laras pistol, sisa 5 peluru dari tembakannya hanya goyahkan mereka. Seketika salah satu wanita mengambil pisau lipat dari saku jaket dan menjambak rambut Dean disambung gorok leher kecil itu sementara lainnya mengambil Sam, ia tak urung teriak panik,

"DEAN!" Tersungkur dan merangkak menuju Dean yang ditinggalkan terkapar tak bergerak bersimbah darah di atas rerumputan pekarangan di depan rumah dan kedua wanita bermata hitam itu telah pergi tanpa jejak bersama Sam.

"Oh, Tuhan..." Leleh air mata di kanan-kiri pipi ketika mengecek putra sulungnya sama sekali tak bernafas. "Dean..." Ia hanya bisa memeluk tubuh mungil itu erat-erat sembari menatap kobar api yang menyeruak dari kaca lantai atas rumah.
Kesadaran ini... Ya. Ia telah kehilangan segalanya. Tumpahkan seluruh frustasi dan teriak sekeras-kerasnya, "AAAAAAHH!" Sampai serak dan menangis tersedu-sedu. Aneh bin ajaib, tak ada tetangga yang keluar... bahkan tak ada satupun bantuan...

"Ya-ya. Aku tahu John, kuakui ini memang sedikit berantakan..."

"...!" Menoleh ke pria berjaket hitam panjang yang sudah berada di sampingnya, "Kau..." Arahkan ujung laras pistol dan tarik pemicu berkali-kali. Sayang isi peluru dalam kotak magasin sudah habis.

"John, John, John. Aku hampir bisa melihat potensimu dan aku yakin kau pasti pria yang hebat. Tentu saja... Bagaimana jika aku berikan penawaran untukmu, semenjak putramu itu adalah yang terakhir dari anggota keluargamu yang masih ada di depan kedua matamu- yaaa, setidaknya tubuhnya ada, kan?" Pria aneh bermata kuning itu kemudian tertawa dengan mudahnya seakan perkataannya barusan adalah guyonan terbaik di tengah penderitaan orang begini, lalu sedetik berikut melanjut beserta kelengkapan mimik serius,

"Kau pasti mau melihat dia bernafas kembali dan aku bisa melakukan itu. Spesial penawaran hari ini, 20 tahun. Itu adalah harga luar biasa yang lebih dari cukup karena aku sedang bermurah hati khusus untukmu. Kau bisa melihat Dean kuliah, bertunangan... ah, pasti menyenangkan membayangkan kebahagiaan yang bakal dijalaninya di masa-masa mendatang, eh?"

John mengernyit. "20 Tahun...? Apa maksudmu!" Seruan yang benar-benar tak mengerti arah pembicaraan yang diutarakan lawan bicaranya.

Dan ditanggapi oleh permainan jemari tangan kiri yang berbalut sarung tangan kulit berwarna hitam dan pamer kekuatan mengendalikan bumbung percik-percik api menjadi peragaan kumpulan kepak-kepak kupu-kupu bersayap api yang indah sekaligus menyeramkan.

"Jiwamu untuk jiwa putramu itu. Perjanjian dengan iblis harus memiliki pertukaran yang senilai dan lihat sisi baiknya, kau bisa menjaganya selama sisa waktumu 20 tahun kedepan nanti... Itu jika kau katakan 'ya' tentunya. Dan kuingatkan, penawaran ini hanya berlaku sekarang. Nanti saat kau memohon dan menemukanku kembali, waktumu tinggal 10 tahun atau bahkan... aku bisa mengambil jiwamu saat kau setuju katakan 'ya'." Terang penuh kesabaran dan melodikan kalimat terusan, "Ayo pikir-pikir, John. Tik-tok-tik-tok."

Ia cukup syok mendengar kata 'iblis'. Tapi menatap wajah putra pertamanya...
Memejam erat sungguh dengan segala kalut kesedihan yang bertumpuk-tumpuk kemarahan, "Katakan. Apa kau yang membunuh istriku dan yang menyuruh orang-orang bermata hitam aneh tadi untuk mengambil Sammy? Kembalikan mereka dulu... atau demi Tuhan..."
Pria yang mengaku 'iblis' itu malah lebarkan semeringah senyum seakan perkataannya tadi hanya gertak berkadar tong kosong belaka, kemudian jongkok di depannya,

"Oh, John. Ayolah. Kalau Tuhan-mu ada, menurutmu apa semua ini akan terjadi, hm? Semua memiliki sejarah baik masa lalu dan masa depan. Bagimu, itu tak perlu dibicarakan. Kuberi 2 tahun tambahan dari 20 tahun penawaranku tadi sebagai tanda permintaan maafku atas situasi istrimu dan Sammy. Cukup katakan 'ya' dengan apa yang sudah disuguhkan di atas nampan sekarang dan aku akan segel perjanjian kita. Tapi kalau kau lebih memilih mengubur Dean-" Hendak berdiri, tiba-tiba jari-jari tangan kanan John menarik kerah,

"YA." Kedua kolam iris berwarna kuning kecokelatan berkilau hijau oleh semu bias dansa-dansa api dari rumah di hadapan yang terbakar.

Azazel pun tunjukkan baris gigi sesuai rona seringai ala Joker, lalu jari-jari tangan kanan yang berbalut sarung tangan hitam mencengkeram kanan-kiri pipi si manusia dan pertemukan mulutnya dengan mulut disana.

John jelas tersentak.
Tapi untungnya gerakan kedua bibir pria itu tak sampai aneh-aneh karena beberapa detik berikut sudah menarik diri sambil tuturkan kalimat,

"Senang berbisnis denganmu, John. Sampai bertemu 22 tahun lagi tepat tengah malam saat pergantian hari tanggal 22 April. Hadiah ulangtahun dariku akan menjemputmu." Lalu lambaikan tangan, "Cao~"

John kerutkan kedua alis saat tubuh pria yang mengaku 'iblis' itu berurai jadi uap hitam kelam dan menghilang seperti tak pernah memijak daratan bumi.
Butir-butir dari rintik-rintik hujan berjatuhan menerpanya dan sosok-sosok para tetangga keluar dari rumah. Konsiderasinya minim sewaktu mereka menghampiri karena bingkai pandangannya hanya tertuju mentah pada kedua kelopak mata Dean yang terbuka perlahan dan tunjukkan keindahan kedua kolam iris berwarna hijau daun yang syahdu dengan kedua pupil penuh fokus.

Iapun tersenyum penuh haru sementara jauh di lubuk benak terdalam, sumpah terukir di hatinya yang hancur berkeping-keping.

Pembalasan adalah mutlak.

TBC...


A/N:

Hm... Ide ini terbuat karena saya ingin melihat bagaimana reaksi Sam dan Dean yang masing-masingnya berposisi sebagai orang yang tak saling mengenal satu sama lain, tapi tetap bisa bertemu dan nyata-nyatanya mampu bersanding se-klop perangko dengan amplop, walau perjalanannya pastinya akan sangat aneh.
Takdir memang jalang, huh? Dan saya adalah Tuhan di fic ini. Buahahahaha! Saya memang tega...

Makasih buat kalian yang mau baca *Hugs* Mohon review, kritik, saran. Silahkan...