Disclaimer: I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

Genre : Romance/Hurt-Comfort/Friendship/Drama

A/N : well, this fic is inspired by a true story. But, the whole story of this fic (include the personality of the characters and setting also) will not be the same with the reality one. I think it will be a lot of twists and slight pairs. For the main pair, only time will tell. XD

Warning : comparison of the age of the characters will be different than they should do. Also, maybe some OOC-ness and a bit Mary-sue-ness (?)

Okay then, I hope you'll enjoy it. :D


Only Time Will Tell

Chapter 1 – My Feeling


Saat pengharapan itu luntur

dan semua mimpi mengabur

meninggalkanmu seorang diri tanpa penghibur…

Ke mana kau akan melangkah?

Diam di tempat atau mengubah arah?

Yang mana pun pilihanmu,

jangan pernah bilang kalau kau akan menyerah.

Menyerah tidak berarti sama dengan pasrah.

Karena pasrah mengandung keyakinan di dalamnya

bahwa…

waktu memiliki jawaban atas semua kata 'bersambung'

dalam sebuah cerita.

.

.

.

Namaku Yamanaka Ino. Saat ini aku tengah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Tepatnya, aku mendiami kelas 2-2. Satu kelas denganku, ada rival sekaligus sahabat terbaikku, Haruno Sakura.

Kami berdua termasuk siswa yang cukup dikenal di sekolah—aku hanya berkata jujur, bukan bermaksud sombong kok. Bagaimanapun, aku adalah bendahara OSIS sementara Sakura adalah sekretaris. Dan meskipun kami cukup disibukkan oleh kegiatan OSIS, nyatanya prestasi akademis kami pun tergolong di atas rata-rata. Sakura adalah peringkat satu kelas dan aku peringkat keduanya. Kalau diurut berdasarkan peringkat satu angkatan, Sakura meraih peringkat tiga dan aku peringkat lima.

Jangan salah, meskipun aku kalah dari Sakura soal peringkat, aku tidak pernah iri padanya dalam hal ini. Bisa menjadi peringkat kelima dari satu angkatan di Konoha Senior High School, bagiku, sudah merupakan prestasi yang membanggakan lho? Jadi… tidak! Aku sama sekali tidak iri pada Sakura mengenai peringkat.

Aku juga tidak iri walaupun Sakura adalah putri tunggal pewaris salah satu rumah sakit besar di kota ini—yang otomatis menjadikannya sebagai nona besar yang kaya. Aku tidak iri walaupun dia begitu sempurna, dengan wajahnya yang cantik dan gayanya yang modis. Sebaliknya, aku merasa beruntung bisa berteman dengannya. Karena walaupun kami sering saling mengejek, nyatanya Sakura benar-benar menganggapku sahabatnya di antara sekian banyak orang yang mencoba mendekatinya.

Penjilat—yah, banyak yang seperti itu.

Tapi aku bukan.

Aku baru bertemu Sakura di SMA ini. Kami sekelas waktu itu dan dalam sekejap mata saja, kami menjadi akrab. Kami memiliki pola pikir yang cukup serupa. Kukatakan saja, walaupun Sakura terlihat seperti perempuan yang hobi main—sepertiku—nyatanya dia juga sangat memikirkan nilai-nilainya. Bahkan, walaupun dia adalah seorang nona besar yang sering kali diantar jemput menggunakan mobil pribadi, dia mempunyai cita-cita dan targetnya sendiri. Ia tidak lantas menjadi anak manja yang hanya bisa mengandalkan uang dari orang tuanya.

Gadis yang luar biasa. Aku mengaguminya.

Namun, dari segala kesempurnaan Sakura, hanya ada satu hal yang membuatku merasa iri dengannya.

~FLASHBACK~

Hari itu adalah hari pertama aku masuk SMA. Kota baru (aku pindahan dari Kirigakure, ngomong-ngomong), sekolah baru, seragam baru, dan teman yang baru. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum sejak dari pertama aku membuka mata di pagi itu.

Aku yang notabene tidak bisa bangun pagi sampai merelakan beberapa jam dari waktu tidurku hanya untuk mempersiapkan diri demi hari ini. Sungguh, saat itu aku benar-benar tidak sabar ingin berangkat ke sekolahku. Oke, katakan aku ini maniak barang baru. Jangan salahkan aku kalau aku jadi sangat bersemangat akibat pemikiran bahwa aku akan segera dikelilingi hal yang sudah pasti serba baru.

Selesai mandi, aku langsung menatap diriku di depan cermin. Setelah menguncir rambutku—dan membiarkan beberapa helai poni berjatuhan menutupi mata kananku—aku tetap saja bergeming di depan cermin. Sesekali aku berputar untuk melihat bahwa penampilanku memang sudah sempurna. Tidak ada yang salah.

Begitu selesai dengan segala urusan penampilan yang melekat di tubuhku, aku pun beranjak memeriksa tasku. Kudengar, walau ini adalah hari pertama masuk sekolah pun, pelajaran akan tetap dimulai seperti biasa setelah upacara penyambutan anak baru—tidak ada yang namanya satu hari dispensasi hanya karena baru masuk sekolah. Maklum, sekolah elit. Tapi yah… tetap saja itu bukan masalah bagiku. Yang penting aku sudah mempersiapkan diriku sebaik mungkin, tidak ada yang tertinggal.

Dengan perasaan ringan, aku pun melangkah ke sekolah. Karena sekolahku tidak terlalu jauh dari rumah, aku pun memilih untuk berjalan kaki. Waktu yang tersisa sebelum upacara penyambutan pun masih banyak. Jadi berjalan santai pun tidak akan membuatku terlambat sampai di sekolah.

Sebelum sampai di sekolah, aku akan melewati semacam jalan panjang yang di tepi kanannya adalah sungai besar yang dijadikan bendungan sementara di samping kirinya berjejer pohon sakura yang tengah bermekaran. Musim semi. Hangat. Tak pelak lagi, sentuhan kelopak bunga sakura yang secara tidak sengaja terbawa angin sampai jatuh menghampiriku membuatku semakin bersemangat melangkahkan kaki ke sekolah.

Belum sampai aku menginjakkan kaki di gerbang sekolah, mendadak aku melihat sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gerbangnya. Setelah itu, keluarlah seorang gadis yang kira-kira seumuranku dengan rambut yang sewarna dengan bunga sakura—merah muda yang cantik. Aku sampai tertegun. Dan tampaknya bukan cuma aku yang terkejut, hampir semua anak yang ada di situ terdiam dan memandangi nona muda yang entah dari mana tersebut.

Dugaan bahwa dia kakak kelas langsung lenyap begitu melihatnya di upacara penyambutan siswa baru.

Anak baru juga rupanya. Demikian batinku saat itu.

Lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa kami ternyata sekelas. Dan kebetulan masih terus berlanjut! Kami duduk bersebelahan!

"Namaku Yamanaka Ino. Kau?"

"Haruno Sakura," jawabnya ramah. "Salam kenal yah, Yamanaka-san."

"Err… Ino. Ino saja!"

"Ah? Uhm… baiklah. Ino… Hmph." Tawa tertahan di akhir itu membuatku sedikit mengernyitkan alis.

"Ada yang salah?"

"Ino… artinya babi kan?" ujarnya nakal.

"Ukh! Memang kenapa?"

"Boleh aku memanggilmu dengan sebutan Buta-chan?"

Ya. Pembicaraan yang berkesan bukan? Dia bahkan jauh dari kata 'nona anggun yang tahu sopan santun'.

Aku menyeringai sinis, "Kalau begitu kau… Dekorin?"

Kulihat mata emerald itu terbelalak. Aku pun tersenyum puas. Apalagi belum sempat ia membalas, guru keburu datang. Dan saling mengejek di antara kami pun terhenti.

Untuk sementara—ya.

Sejak saat itu kami selalu saling mengejek. Tapi berkat itulah, kami semakin banyak mengobrol. Dan walaupun nama panggilan kesayangan itu tetap melekat, nyatanya kami malah bertambah dekat, seolah kami adalah teman sejak kecil, bukan lagi orang asing yang baru berkenalan selama beberapa bulan. Suatu hal yang tidak pernah kusangka. Kurasa Sakura pun tidak pernah menduga.

Sampai hari itu….

Saat itu aku tengah berjalan di lorong kelas. Di sebelahku ada Sakura. Kami berdua tengah membawa tumpukan tugas teman-teman sekelas ke ruang guru. Sebenarnya ini tugas Sakura sebagai ketua kelas atau Shikamaru sebagai wakilnya. Tapi belum sempat Sakura meminta tolong pada Shikamaru, pemuda berambut model nanas itu sudah keburu menghilang. Alhasil, aku pun menawarkan diri untuk membantu Sakura.

Kami berjalan sambil berbicara, berharap beban tumpukan tugas yang kami bawa tidak akan terasa memberatkan lagi. Sayangnya, karena itulah, kami—atau tepatnya aku—jadi kurang memperhatikan jalan. Tahu yang terjadi selanjutnya? Yap! Aku menabrak seseorang dan tumpukan tugas berupa buku-buku itu pun jatuh berantakan.

"Aah!" pekikku. "Gomen!" teriakku pada pemuda berambut merah yang kutabrak.

"Aduh, Ino-buta-chan! Kau itu gimana sih?"

"Jangan cuma bicara, Dekorin! Bantu aku membereskan buku-buku ini!" ujarku sambil melirik sinis ke arah sahabatku tersebut.

"Kau nggak lihat tumpukan buku di tanganku ini?" balas Sakura sengit.

"Biar kubantu," potong orang yang tadi kutabrak. Aku pun menoleh dan sekali itu aku baru benar-benar melihat wajahnya.

"Ah, aku juga bantu deh, un!"

Aku tidak memperhatikan si pirang yang ternyata berada di sebelah si pemuda berambut merah. Mataku terpaku pada sosok si rambut merah yang bermata sayu namun berwajah imut tersebut. Saat ia berdiri setelah membereskan tumpukan buku itu—aku malah terdiam dengan mulut yang sedikit menganga—aku seolah tersentak. Aku pun mengikutinya berdiri.

"Mau ke ruang guru?" tanyanya singkat.

Aku mengangguk.

"Biar kubantu bawa," ujar pemuda itu.

"Ah! Nggak usah! Biar aku saja," jawabku cepat. "Tolong bukunya…."

"Nggak apa-apa. Dei… kau bawa yang satu itu."

Pemuda berambut pirang yang dipanggil 'Dei' itu pun mengangguk dan melangkah ke dekat Sakura dan mengambil tumpukan buku di tangan Sakura. Sakura juga sama sepertiku, sempat terlihat kaget sehingga hanya bisa terdiam. Begitu buku sudah berpindah tangan, barulah Sakura melakukan hal yang sama denganku—berusaha mengambil kembali buku-buku itu.

"Kalian bukannya mau ke arah sana ya?" bujukku.

"Nggak masalah, un," jawab si rambut pirang 'Dei'. "Ruang guru kan dekat. Kami cuma mau ke kantin sebentar kok, un."

Aku dan Sakura berpandangan sebelum akhirnya kami membiarkan kedua pemuda tersebut berjalan di depan kami menuju ruang guru. Kami pun mengikuti mereka di belakang. Begitu sampai di ruang guru, mereka segera masuk dan menanyakan di mana buku-buku tersebut harus diletakkan. Sakura menghampiri meja guru yang memberi kami tugas tersebut dan buku-buku itu pun diletakkan di lantai di dekat mejanya.

Saat itulah, aku mulai menduga-duga kalau kedua orang ini adalah kakak kelas karena keduanya mengenal cukup banyak guru. Tapi kusimpan saja dugaan itu dalam hatiku sendiri.

"Terima kasih, yah, atas bantuan kalian," ucap Sakura begitu kami sudah di luar ruang guru.

"Bukan apa-apa," jawab si pemuda berambut merah. "Kalau begitu, kami permisi dulu."

"Sampai jumpa lagi, un!" tambah si rambut pirang dengan riang. Aku dan Sakura reflek hanya mengangguk saja.

Begitu keduanya benar-benar menjauh, kami kembali berpandangan dan saling melempar senyum.

"Yang rambut merah itu keren juga, ya?" jawabku dengan nada suara yang dibuat senormal dan sewajar mungkin.

"Hahaha. Yah… lumayan lah…," jawab Sakura sambil tersenyum sinis. "Dia baik sih."

Aku mengangguk.

"Ah, daripada itu, ayo balik ke kelas. Aku lapar nih," ujar Sakura lagi sambil beranjak ke arah kelas. Kami berdua membawa bekal jadi tidak perlu ke kantin. Tapi bukan itu yang membuatku memiringkan kepalaku sedikit dan melipat kedua tanganku di depan dada.

Sesaat tadi, kukira Sakura tertarik pada si rambut merah seperti halnya denganku. Tapi ternyata, gadis berambut merah muda itu jauh lebih cuek dari yang kukira. Dalam hati, aku sedikit merasa lega.

Aku sendiri sedikit merasa aneh pada diriku saat itu. Aku lega untuk sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.

Tapi toh pada akhirnya aku tahu alasannya.

Ya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada si rambut merah.

Dan itulah pangkal permasalahan yang akan kuhadapi selanjutnya

o-o-o-o-o

Tanpa terasa, waktu berlalu begitu saja. Sekolah memang bukan tempat yang luas. Dalam sekejap, aku dan Sakura sudah dekat dengan kedua penolong kami karena kebetulan yang berulang. Aku juga akhirnya bisa memastikan dugaanku kalau mereka memang kakak kelas.

Si pemuda berambut merah bernama Akasuna Sasori dan si pirang bernama Katsuno Deidara.

Secara singkat, Sasori adalah seorang yang tenang dan kalem sementara Deidara—atau yang biasa dipanggil Dei—adalah orang yang meledak-ledak. Namun keduanya adalah tipe orang yang ternyata cukup populer di kalangan siswa-siswi. Deidara bahkan digosipkan akan menjadi ketua OSIS untuk periode selanjutnya. Dan nampaknya itu bukan gosip karena Dei terlihat sangat antusias.

Dengan entengnya, Dei bahkan berkata bahwa kalau ia terpilih, aku dan Sakura harus bergabung dalam OSIS yang dipimpinnya nanti. Tentu saja kami menyanggupi dalam niatan bercanda. Tapi ke depannya kami akan tahu bahwa seharusnya kami tidak menanggapi ucapan Deidara sebagai candaan. Yah, itu cerita nanti.

o-o-o-o-o

"Aku ke perpustakaan dulu ya?" ujar Sakura suatu hari, di istirahat siang, sesaat setelah kami—aku dan Sakura—bertemu dengan Sasori dan Deidara. Aku menaikkan sebelah alisku dan Sakura melanjutkan sambil mengangkat sebuah buku bersampul hijau, "Mengembalikan ini."

"Perlu ku—…."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, mendadak Sasori menyela, "Biar kuantar."

"Ya ampun," ujar Sakura sambil tertawa kecil, "nggak usah repot-repot, ah! Kayak perpustakaan ada di tempat jauh aja."

"Nggak apa-apa. Kebetulan ada buku yang mau kupinjam," tambah Sasori lembut.

Sejujurnya, saat itu aku mulai merasakan keanehan. Dadaku terasa ditusuk mendengar nada lembut dalam kata-kata Sasori. Tapi aku mengabaikan 'peringatan' itu dan malah berkata dengan entengnya, "Kalau gitu kita sama-sama ke perpustakaan saja? Habis itu kita makan bareng? Gimana?"

"Bo—…."

"Nggak, un. Aku udah laper, un." Kali ini, Deidara memotong ucapan Sakura. Ia kemudia memandang Sasori, menyeringai, dan berkata, "Sasori temenin Sakura-chan, Ino-chan temenin aku. Oke, un?"

Aku membelalakkan mata sementara Sasori hanya mengangkat bahu. Pemuda berambut merah itu kemudian mengajak Sakura menjauh dan Sakura pun mengikutinya. Deidara melambai ke arah mereka sebelum ia berkacak pinggang dan mengangguk penuh kepuasan.

"Ayo, Ino-chan, un! Kita tunggu mereka di kantin aja…."

Ragu-ragu, aku pun bertanya, "Ada apa nih?"

"Ng?"

Aku tertawa kecil. "Situasi tadi… nggak kayak biasa deh?" Debaran jantungku semakin menggila saat mengatakan hal itu. Tapi kupaksakan diriku untuk kembali melanjutkan. "Kayak Sasori mau nembak Sakura aja?"

Deidara yang sudah berbalik arah kemudian berjalan perlahan. Aku mengikutinya, menyejajarkan langkahku dengan Senpai yang sudah kuanggap sebagai sahabat itu. Bahkan aku dan Sakura sudah tidak perlu lagi memanggil kedua orang yang jelas-jelas satu tahun lebih tua dari kami itu dengan embel-embel 'Senpai'.

"Kau bisa melihatnya juga ya, un?"

Aku tidak salah dengar, kan?

"Memang kayaknya sih gitu, un. Sasori pernah bilang padaku, un, kalau ada kesempatan untuk berdua aja dengan Sakura, dia akan mengungkapkan perasaannya."

Aku terkejut—sangat. Tapi kukuatkan hatiku dan kubiarkan kakiku tetap melangkah, tidak membeku di tempat, sebagaimana keinginanku yang sebenarnya. Sejujurnya, kenyataan ini membuatku ingin lari ke suatu tempat dan menangis sekencangnya.

Ya, sejak pertemuan pertama kami, sampai sekarang, aku terus memendam perasaan pada Sasori. Sudah kukatakan bukan kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Dan rasa itu semakin menguat setelah aku lebih mengenalnya. Sifat Sasori yang kalem namun disiplin dan penuh tanggung jawab membuatku semakin tertarik padanya. Dan walaupun katanya ia cukup pendiam, itu tidak membuatnya jadi seseorang yang dingin. Ia seseorang yang dewasa—setidaknya itulah yang terlihat olehku selama ini.

Satu yang pasti, aku menyukai Sasori secara rahasia, bahkan Sakura pun tidak kuberitahu. Mungkin aku hanya merasa terlalu malu untuk bercerita pada seseorang. Bagaimanapun, Sakura 'baru' menjadi sahabatku. Dan aku jadi sedikit sungkan karena itu.

Jika begini kenyataannya, mungkin ada untungnya aku tidak bercerita pada Sakura. Sakura tidak perlu merasa tidak enak padaku dan aku tidak akan merasa malu menghadapi kenyataan bahwa aku patah hati bahkan sebelum mengungkapkan perasaanku.

Ya, mungkin ini yang terbaik. Dan aku bersyukur karena kemampuan aktingku selama ini berhasil membuat Sakura tidak pernah curiga, satu kali pun.

Kali ini juga, aku hanya perlu memasang senyumku, untuk menutupi semua rasa sakit hatiku.

Bersikap wajar dan normal seperti biasa.

Aku tidak perlu menanggung malu atas perasaan yang bertepuk sebelah tangan ini.

Ya, ya. Biasa saja. Semua akan berjalan seperti biasa. Perasaanku akan tetap tersembunyi dengan baik, dengan rapi, seperti sebelum-sebelumnya.

"Sejak kapan?" ujarku saat kami sudah hendak berbelok menuju kantin yang ada di lantai satu sekolah kami.

"Apanya?"

"Sasori-kun suka pada Sakura?"

"Setahuku… sejak pertama ia bertemu Sakura-chan, un. Ingat kan? Waktu kita bertabrakan secara nggak sengaja itu lho? Lagipula, setahuku juga, un, mereka sudah sering bertukar mail selama ini."

"Oh." Demikianlah jawaban singkat yang kuhias dengan senyumanku. Deidara tidak akan menyadari kegetiran dalam suaraku. Ia malah bersenandung sejenak sebelum ia menunjuk ke satu arah—tempat duduk yang kosong—yang langsung kutanggapi dengan anggukan kepala.

Normal dan wajar.

Tidak ada yang salah.

Aku, Yamanaka Ino, adalah seorang aktris yang baik.

Bukankah demikian?

o-o-o-o-o

Pada akhirnya, Sakura dan Sasori tidak menyusul aku dan Deidara ke kantin hari itu. Aku bertemu Sakura kembali setelah kami di dalam kelas. Tentu saja di kelas aku tidak bisa menginterogasinya. Begitu pulang sekolah pun, Sakura terburu-buru pulang karena ada kursus. Dia nona besar sekaligus anak teladan. Rutinitasnya yang padat bukanlah suatu keanehan.

Baru aku hendak memutuskan untuk bertanya nanti padanya melalui mail, atau bertanya langsung padanya keesokan harinya, saat itu juga Sasori menghampiriku—seorang diri. Ia mengajakku pulang bersama yang akhirnya kuterima setelah ia mengatakan ada pembicaraan penting denganku. Ia juga menjelaskan kalau Deidara ada urusan di klub-nya sehingga tidak bisa pulang bersama.

Jantungku berdebar tidak keruan mendapati bahwa kami hanya berdua saja. Tapi tentu saja logikaku berusaha mati-matian meredakan debaran tersebut karena bagaimanapun, aku sudah tahu bahwa Sasori menyukai sahabatku. Bukan aku. Dan seandainya saat itu Sasori mengajakku pulang bersama—dengan dalih ada hal penting yang ingin ia bicarakan—aku langsung bisa menduga bahwa pembicaraan akan didominasi oleh hal-hal seputar Sakura.

Bingo. Dugaanku tidak salah.

"Eh… jadi… ini soal Sakura," ujarnya sambil menggaruk pipi kirinya sekilas.

Aku enggan memandangnya. Tapi biarpun demikian, aku tetap mengusahakan agar nada suaraku terdengar biasa—riang.

"Ah! Sasori-kun sudah 'nembak' Sakura kan?" ujarku dengan tawa kecil. Dari sudut mataku aku bisa melihat bahwa Sasori sedikit tersentak. Tapi kemudian ia kembali memandang ke jalan.

"Dei memberitahukannya padamu?"

"Yaa secara tidak langsung," jawabku sambil menggerakkan bahuku sedikit. "Daripada itu, apa jawaban Sakura? Dia menerimanya?"

Kami-Sama! Sungguh, jika jawaban yang keluar dari mulutnya adalah 'ya', maka aku tidak tahu lagi apa aku akan masih bisa bertahan tegak di atas kedua kakiku saat itu.

Heh. Apanya yang aktris? Yamanaka Ino hanyalah seorang yang munafik. Di depan Sasori, aku bisa terlihat senang dan mendukung, tapi dalam hati aku berharap agar Sakura menolaknya. Bukankah aku ini gadis yang jahat? Sahabat yang jahat?

"Ehm… dia minta waktu untuk memikirkannya. Dia bilang, selama ini dia nggak mempunyai perasaan ke arah situ padaku. Lalu, dia juga mengatakan kalau dia belum begitu mengenalku."

Spontan, aku melupakan keenggananku dan langsung menoleh ke arahnya.

"Sakura… menolakmu?"

"Ah… dia tidak benar-benar menolakku sih. Dia cuma bilang kalau dia masih butuh waktu untuk berpikir dan aku memberikannya. Seminggu. Kurasa cukup bukan?"

Seminggu.

"Ng!" jawabku sambil mengangguk perlahan.

"Karena itu…." Sasori berhenti melangkah. Aku pun terbawa olehnya dan menghentikan langkahku. "Aku butuh bantuanmu, Ino."

"Aku?"

"Selama seminggu ini aku akan mendekatinya habis-habisan. Dan di akhir, aku ingin mengajaknya makan bersama."

"Lalu," ujarku ragu-ragu, "bantuan apa… yang kau butuhkan?"

Sakit rasanya. Tapi aku jadi bisa melihat satu lagi sifat lain dari seorang Akasuna Sasori. Dia adalah orang yang pantang menyerah dan gigih untuk mendapatkan hal yang ia inginkan.

"Aku ingin minta pendapatmu tentang hal yang Sakura sukai, maksudku…." Ia menghentikan kata-katanya sejenak. "Aku ingin memberikannya sesuatu pada acara makan kami nanti."

"Walaupun dia menolakmu?" tanyaku sambil menggenggam tali tas selempangku sedikit lebih erat.

"Aah… barangkali dia berubah pikiran setelah menerima hadiah itu?" jawab Sasori ringan disertai sebuah… senyum yang manis. "Yang jelas, aku nggak berniat menyerah begitu saja kalaupun ternyata ia menolakku saat itu. Aku akan terus mencoba sampai aku tahu bahwa aku memang harus benar-benar menyerah."

Aku terdiam, terlalu terkesima dengan pengakuannya.

"Lagipula, Sakura belum punya pacar kan?"

"Dia baru putus saat kelulusan SMP." Aku tahu karena Sakura pernah menceritakan hal itu padaku.

"Ya." Sasori mengangguk dan ia kembali berjalan. "Sakura juga pernah bercerita soal mantan pacarnya padaku, dalam mail-nya baru-baru ini."

Konyol, kalau begitu kau nggak harus bertanya lagi padaku kan? Demikianlah gerutuanku dalam hati saat itu.

"Yah… intinya, selama Sakura masih bebas dan tidak ada alasan yang membuatku harus menyerah, aku akan maju terus… sampai mendapatkannya. Bukankah cewek itu harus didapat dengan perjuangan?"

"Hemh…." Aku bingung harus menjawab apa, kulontarkan saja suara yang senada dengan sebuah dehaman.

Kurasa ia tidak puas dengan jawabanku hingga akhirnya ia pun menengok ke arahku. "Kau mau membantuku kan?"

Aku yang dari tadi memilih berjalan perlahan di belakangnya akhirnya mengangkat kepalaku dan memandang ke arahnya.

"Ino?" panggilnya lagi saat aku hanya terdiam, tidak kunjung menjawab.

Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Aku tidak bisa berpikir jernih di bawah pesona mata beriris hazel tersebut.

Lalu, bersamaan dengan sebuah senyum, aku pun melontarkan jawabanku.

"Tentu saja. Aku akan membantu Sasori-kun sebisaku. Tenang saja!"

~END OF FLASHBACK~

Jika dipikir sekarang, itu adalah jawaban yang bodoh. Meng-iya-kan sementara hatiku mengatakan hal yang sebaliknya.

Bodoh.

Benar-benar bodoh.

Tapi aku bisa apa?

Aku tidak bisa mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Sasori.

Aku tidak bisa membenci Sakura dan berbalik untuk merebut Sasori darinya.

Aku tidak bisa membenci Sasori dan kemudian menggagalkan usahanya untuk mendapatkan Sakura.

Aku tidak bisa membenci keduanya karena keduanya tidak salah. Tidak ada yang salah. Hei, memang ada aturan yang mengatakan bahwa kedua orang yang saling menyukai walaupun membuat orang lain patah hati adalah sebuah kesalahan?

Tidak!

Tapi… aku juga tidak bisa tidak memandang iri pada keduanya yang kini telah resmi menjadi pasangan.

Sungguh, di antara semua kesempurnaan Sakura, hanya satu hal inilah yang membuatku iri—dia disukai begitu mendalam oleh orang yang sangat kusukai. Dia disukai oleh Sasori yang rela melakukan apapun untuk membuatnya berpaling.

Ne, bukankah Sakura benar-benar beruntung?

Meskipun demikian, sekarang, hanya inilah pilihan yang tersisa bagiku : mengubur perasaan suka pada Sasori dalam-dalam dan menjadi sahabat yang benar-benar tulus bagi keduanya.

***to be continued***


Another Ino fic. Kali ini ada slight yang baru pernah saya bikin lho: SasoSaku. Well, kayaknya memang agak OOC, tapi moga-moga ke-OOC-an yang ada nggak terlalu mengganggu yah? :3

Singkat cerita, fic ini diambil dari kisah nyata dengan perubahan besar-besaran di sana-sini, jadi nggak 100% sama dengan alur sebenarnya. Cuma intinya aja yang saya ambil. Hehe.

So, gimana pendapat minna-san soal fic yang satu ini?

Please gimme your review, kay? :3

Regards,

Sukie 'Suu' Foxie.

~Thanks for reading~