::

#5

Marry Me

::

Angin yang cukup keras bertiup dari arah selatan. Awan yang bergulung tebal menandakan akan segera turun hujan. Tidak. Mungkin badai. Beberapa daun yang tak kuat bertahan pada carangnya terbang, ikut melayang di udara, terbawa dan melewati sebuah jendela berdaun kaca di salah satu kamar rumah keluarga Hyuuga .

Di dalam, Hinata bergelung dalam selimut tebalnya dengan mata terbuka.

Insomnia.

"Kenapa?" dari tadi, dia bertanya sendiri. Lampu telah padam, malam tak panas, tapi dia tak bisa tidur. Peristiwa tadi siang terus terbayang, dan wajahnya memerah.

Kalau Sai tahu Hinata terus memikirkannya seharian ini, akan seperti apa reaksinya?

::

"Mama, untuk apa kuas dan cat-cat itu?"

Keesokan harinya, Hinata memutuskan untuk sedikit menunjukkan rasa terima kasih pada Sai yang selalu bersedia menemaninya. Di depan meja counter, dia meletakkan beberapa kuas lukis, cat minyak, dan kanvas. Hinata tahu Sai sangat suka melukis, jadi mungkin ini akan jadi hadiah yang tepat.

"Terima kasih," ujar sang pelayan toko.

Hinata tersenyum. Kakinya bergerak ke arah pintu keluar, diikuti Caroline.

"Ma… Mama belum jawab pertanyaanku."

"Untuk paman Sai," sahutnya kalem.

"Papa?"

Papa?

Hinata tertawa kecil. Papa. Sai. Membayangkan pria murah senyum itu menjadi seorang ayah bijak dan baik dengan kata-katanya yang kelewat jujur dan tajam… mungkinkah?

"Papa?"

Nada puterinya berubah saat mengucapkan kata itu untuk kedua kalinya.

Bel yang ada di depan pintu toko berbunyi, lalu sepasang muda-mudi masuk.

"Selamat datang!" sapa penjaga yang ada di depan dengan ramah.

Hinata langsung menarik puterinya, menghadap sebuah rak berisi suvenir-suvenir kerajinan tangan yang ada di sayap kanan toko.

.

.

.

"Mau cari apa, tuan?" bocah berkulit hitam berusia belasan yang tadi menyambut Sai bertanya.

"Kami cari peralatan lukis," sahut wanita muda cantik sambil menggandeng tangan pasangannya.

Hinata memejamkan matanya.

Tenang. Tenang. Dia sudah terbiasa mendapatkan hal yang buruk. Ini tak ada apa-apanya. Sembari menguatkan dirinya sendiri, Hinata memaksakan kepala Caroline untuk tetap tertuju ke depan.

Jangan sampai Sai melihat mereka berdua.

"Tuan, arahnya sebelah sini."

"Sai, sini!"

Yang dipanggil tak menyahut. Dia terus berjalan ke arah sebaliknya.

"Itu tempat suvenir, Tuan."

.

.

.

"Hinata?"

Ketahuan!

Tak menemukan jalan lain, Hinata berbalik, "Uh… Hai…" sapanya. Bola matanya bergerak tak fokus. Sai tahu Hinata gugup.

"Hei, Sai… kau ngapain?" gadis itu datang dan kembali bergelayut manja di lengan orang yang berhasil mengalihkan pikiran Hinata dari Naruto.

Alis Hinata berkerut sembari memaksakan bibirnya tersenyum.

"Papa!"

Fokus Sai yang awalnya terpusat pada Hinata terpecah saat suara riang bocah kecil yang menyapanya. "Hai, Caroline."

"Papa?" gadis yang belakangan diketahui bernama Yakumo ikut bicara.

"Maaf," Hinata menunduk, "Caroline asal bicara." Saat selesai mengatakannya, Caroline cemberut. "Ah… kami pergi dulu."

::

Tahun 1829, Manchester, Inggris.

Hinata menangis dalam perjalanan pulangnya ke rumah.

Gaunnya sedikit berkibar karena berjalan terlalu cepat. Kakinya terhentak-hentak, dia marah, sekaligus kesal. Rambutnya yang disanggul berantakan. Pucuk hidungnya memerah.

"Ma? Kenapa kita tak menunggu Papa?"

Jalanan bising bukan jadi alasan Hinata mengabaikan puterinya, tapi dia tetap memilih diam.

"Ma…"

"Dia bukan Papa," sahut Hinata cepat sambil melambaikan tangannya untuk memanggil sebuah kereta yang parkir di seberang jalan.

"Tapi dari tadi papa terus berjalan di belakang kita."

Tangan yang sedari tadi terjulur, jatuh.

::

"Katakan… mau sampai kapan mendiamkanku?" Sai bertanya dengan sebelah tangan yang menopang wajahnya di atas meja. Senyum menyebalkannya terus terpampang, membuat Hinata jengah.

Angin bertiup lembut sore itu. Taman yang cantik jadi semakin indah. Di kursi taman, sepasang anak muda duduk berhadapan.

Hinata kebas, duduk sekitar tiga jam sambil berhadapan dengan orang seperti Sai benar-benar menguras semua energinya. Dia lelah. "Siapa yang mendiamkanmu?"

"Kau," sahutnya ringan, "Kau mendiamkanku. Tiga jam."'

"Baiklah," Hinata menghela nafasnya lelah, "aku mau pulang," lalu bangkit berdiri dan memanggil Caroline yang asyik bermain bersama seorang bocah laki-laki di bak pasir.

"Kau bahkan lari dariku!" Sai ikut berdiri, kemudian menarik tangan Hinata, "Ada apa denganmu?" tanyanya dengan suara yang hampir menghilang.

Hinata menunduk. Bibirnya yang bergetar ia gigit. Ia berusaha kerasa agar tak menangis. "Bukan urusanmu," katanya sebelum pergi dan mengajak Caroline turut serta.

Hinata berjalan semakin jauh, namun Sai tak membiarkannya. "Apa masalahmu, Hyuuga Hinata?" tangannya mencengkram erat lengan Hinata sebelum gadis itu menepisnya dengan kasar.

"Apa masalahku?" tanyanya saat berbalik, "Apa masalahku?" ulangnya lagi, "Apa masalahku!" Sai begitu terkejut saat Hyuuga yang selalu berusaha dikejarnya menampakan wajah bersedih, "Masalahku adalah kau!" Hinata menghapus air matanya cepat-cepat, "Kau adalah masalahnya."

"Kenapa?"

"Kau datang, menghinaku, berkata yang buruk padaku. Lalu menghiburku, menjadi penolong, dan bilang akan selalu ada untukku," nafas Hinata mulai tersengal-sengal, "Lalu kau datang dan tersenyum padaku dengan seseorang yang menggandeng lenganmu? Seolah tak ada apa-apa? Apa itu pantas?"

.

.

.

.

.

.

Oho!

Alles klar?

Semuanya jelas?

Sai yang awalnya bengong mulai tersenyum perlahan, membuat Hinata kesal. "Ada yang lucu?" tanyanya masih sambil sesenggukan.

"Ini… artinya… kau suka padaku, kan?"

Hinata terdiam.

"Kau… cemburu, kan?"

"T-tidak!"

"Mengaku saja lah."

"Mengaku apa?" tanya Hinata sambil membalikkan badan, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

"Dia itu sepupuku. Kami sangat dekat, sampai-sampai kami berdua jadi seperti kakak adik. Aku sayang padanya sebagai kakak, dia pun sayang padaku sebagai adik." Sai nyengir, "Tapi aku dan kau berbeda. Hubungan kita…" si pemuda pucat yang hampir tak pernah gugup kini menunduk menyembunyikan kekalutannya, "… perasaanku padamu bukan seperti itu." Sai menghela nafas, sedikit kesal pada dirinya sendiri yang tiba-tiba jadi orang payah yang menyedihkan, "Tidak seperti hubungan antara kau dan Caroline juga. Kau mengambilnya dari panti asuhan karena sayang. Aku juga sayang padanya, tapi sayangku padamu berbeda." Tangannya tergenggam.

"…"

Sai yang tak mendapat tanggapam bergerak cepat ke hadapan gadis itu. Ia kemudian menarik Hinata dan mengecup bibirnya, "Sayangku seperti itu padamu." Tatapannya aneh. terlalu tajam bagi Hinata. "Menikahlah denganku," pintanya, "Mau ya?"

::

Hari Sabtu, bulan Juni 1831.

Tepat jam sepuluh pagi, resepsi pernikahan mereka dilangsungkan. Berlokasi di areal taman keluarga Hyuuga yang cukup luas, sepasang pengantin berdiri di sebuah altar bernuansa putih, menghadap seorang pendeta tua yang terlihat ramah.

Usai mengucapkan janji nikah, Hinata berbalik, menatap hadirin yang datang satu persatu. Ada Hiashi yang tersenyum, lalu Hanabi yang masih mengomeli Caroline, Neji juga ada. Lalu Naruto bersama Sakura dan anak mereka. Kemudian Ino, dan yang lainnya.

Ada rasa senang, juga rasa haru.

Hinata benar-benar ingin menangis saat itu.

"Kalau menangis, menangis saja."

Hinata berbalik menghadap Sai, "Kau tidak malu?" tanyanya, "Isterimu menangis di hari pernikahannya. Orang akan berprasangka buruk padamu."

"Ah!" Sai nyengir, "Nggak mungkin," sangkalnya, "Kau itu gadis cengeng. Semua juga tahu itu." Senyum jahilnya muncul, "Tukang nangis. Menyedihkan."

Hinata malah tersenyum.

Iya. Menyedihkan. Seorang Hyuuga Hinata memang menyedihkan, bukan? Itulah sebabnya ada Sai. Dia membutuhkan Sai untuk melindunginya. Karena itu Hinata bisa bertahan sampai sekarang, karena pemuda itu selalu ada bersamanya.

Tanpa basa-basi, Hinata langsung membalik tubuh suaminya untuk memblokir pandangan para hadirin, lalu berjinjit dan mengecup bibirnya.

Sai terkejut, dan cuma bisa diam.

Hinata tertawa senang.

.

.

Dia Hinata yang sering diejek bodoh.

Dia Sai yang selalu berlagak pintar.

Tapi saat si gadis bodoh bersedih dan menangis, si pemuda langsung datang dan menolongnya. Dia tidak menghibur, tapi si gadis akan selalu merasa lega saat bersamanya. Si gadis akhirnya bergantung pada si pemuda yang ternyata juga bergantung padanya. Ikatan mereka rumit, kadang menyenangkan, kadang juga menyusahkan. Tapi karena menyadari mereka seperti rantai yang tak akan bisa ada tanpa bersama, Hinata dan Sai, memilih untuk tetap bertahan. Bersama. Berdua.

.

.

.

FIN…

::

July 2011

Marry Me

A fanafiction by MarineBlau12

.

.

-:-

Terima kasih buat teman-teman yang telah memberikan saya sebuah semangat untuk terus menulis. Menyenangkan mengetahui ada yang peduli pada tulisan ini.

::