Two Sides Girl's Butler
Chapter Special 2: Two Sides Girl's Butler—Our Trouble—
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Pairing: SasuXFemnaru, SaiXOC
Rated: T
Warning: Gaje, aneh, boring, typo(s),OOC stadium akhir(khususnya Sai and Sasuke), OC alert!, Pedofilia, dll.
Genre: Romance, Family.
Summary: Dia seorang penderita skizofrenia. Istrinya dulu berkepribadian ganda. Rumah tangga yang terkesan mustahil akhirnya ia dapatkan, plus bonus tiga anak kembar yang luar biasa. Ketika ia yakin bahwa tidak mungkin ada keanehan lain yang akan menimpa keluarganya, ia dan Sasuke harus menerima kenyataan bahwa putri balita mereka membawa pulang seorang om-om?
Thanks to: DheKyuAgung MoelyanadwidobechanRunriranRed'OceanCao Coa-chan 4everHarusuki sakuraiiPink Purple Fuchsiagitaanggra277KouraFukiishiyamashitaharukichi ajibanaVermthy, and for the guests. ^^
DON'T LIKE,DON'T READ!
.
.
.
"Mungkin lebih baik kita akhiri sampai disini saja."
Potongan daging yang nyaris masuk ke mulut Sai terhenti di udara. Matanya membelalak.
"Apa maksudmu, Ino?" tanya Sai pura-pura tak mengerti. Tidak, sebenarnya dia sangat mengerti kemana arah pembicaraan ini. Dia sudah melaluinya setidaknya empat kali sejak lulus dari SMA.
Ino mendengus tak sabar. "Kau tahu apa maksudku," Ucapnya seraya mengibaskan rambut pirang panjangnya. "Kau tidak pernah menginginkanku."
Sai mencelos. "Aku selalu menginginkanmu."
"Oh, please," Ino memutar bola matanya lelah. "Berhenti membohongiku—dan juga dirimu sendiri."
Pemuda itu terdiam, tiba-tiba saja sangat tertarik dengan piring berkilau yang ada di depannya. Dia sudah menduga akan seperti ini pada akhirnya, dia akan dicampakkan dengan alasan yang sama.
Dia sudah berusaha, sungguh. Dia sadar tidak mungkin dia hanya terpaku pada masa lalu, pada hal yang bukan dan tidak akan pernah menjadi miliknya.
Yah, kecuali Sasuke mati dan Naruto menjanda, itu lain cerita.
"Katakan," Ino menopang kepalanya dengan sebelah tangan, anggun. "Apa kau masih belum menyerah dengan Naruto?"
Sai berkedip cepat, mulutnya terasa kaku ketika ia berbicara. "Aku tidak mengerti."
"Oh, kau sangat mengerti." Balas Ino cepat. Ia menenggak anggurnya sejenak sebelum melanjutkan. "Alasanmu memilihku—" dia menunjuk rambut dan mengedipkan matanya beberapa kali. "—karena ini, kan? Semua mantanmu juga bermata biru dan berambut pirang."
Sial. "Itu hanya kebetulan."
Ino mencibir. Dengan muka masam ia menyantap makanannya, menusuk steak dengan kekuatan penuh sembari menggumamkan sesuatu yang di telinga Sai terdengar seperti kutukan yang menyumpahinya untuk mati.
Wanita benar-benar mengerikan kalau emosinya sudah naik.
Sai mulai panik. Dia harus membelokkan suasana berbahaya ini. Ayolah, ganti topik… ganti topik…
"Jadi, kita putus sekarang?"
Terkutuklah mulut jontornya yang tidak bisa memutuskan untuk berbicara dengan benar.
Aura hitam menguar dari tubuh Ino dengan ganasnya, melecut berbahaya di udara dan membuat wajah pucat Sai makin pucat. Wanita pirang memang mengerikan. Dia masih ingat bagaimana Naruto suka menendangnya dan Shion yang mencekiknya ketika mereka berpisah beberapa bulan yang lalu.
"Ya, kita berpisah sekarang."
"Oh."
Mata Ino menyipit. "Tidak bisakah kau terlihat menyesal sedikit saja?"
"…maaf."
"Haahh…" Ino menghela napas lelah. Perlahan ia bangkit, merapikan gaun ungunya dan menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga. "Seriously, kau benar-benar harus melupakan Naruto atau kau akan jadi bujang lapuk seumur hidup."
Sai tersenyum datar. "Aku tahu."
"Kau harus berhenti mengejar bayangan Naruto."
"Yeah."
"Dia hidup bahagia dengan Sasuke sekarang."
"Aku tahu itu."
"Lalu kapan kau akan mendapatkan kebahagiaanmu sendiri?"
Sai memejamkan matanya. Kebahagiaan untuk dirinya? Terdengar seperti tema drama remaja galau di telinganya. Tapi Ino benar, sekarang dia mulai mempertanyakan kapan hari itu akan tiba.
Mendadak sekelebat bayangan muncul di benaknya. Tubuh pendek, dengan mata biru gelap yang menatapnya licik.
Si cebol itu…
"Kurasa…" Sai tertawa garing. "Kebahagiaanku masih lama datangnya—itu jika aku tidak dibunuh duluan oleh Sasuke."
.
.
.
Syuuta mengamati kakak perempuannya dengan mata hitam yang membulat penasaran. Selembar kertas dengan gambar garis dan kotak aneh terbuka lebar di hadapannya, dengan sang kakak yang manggut-manggut datar.
"Ini apa, Nee-san?" tanyanya seraya menyentuhkan telapak tangannya ke permukaan kertas.
"Denah."
"Denah apa?"
"Denah lumah soon-to-be-husband Nee-san." Jawab Hiyori kalem tanpa mengalihkan pandangannya dari denah rumah Sai. Whoa, walau bicaranya masih cadel tapi bahasa inggrisnya keren juga.
Syuuta mengangguk-angguk sok paham. Haha… namanya anak kecil, tidak mungkin dia mengerti hal seperti itu.
"Jadi sepelti apa calonnya? Bibit, bebet, bobot?"
Hah?! Dia mengerti?!
"Kualitasnya menengah," ucap Hiyori sembari mengusap dagunya. "Spesifikasinya biasa saja, halga di pasalan juga bisa diplediksi lendah. Vendolnya masih belum jelas, jadi agak sulit melacaknya."
"Hmm…" Syuuta mengangguk-angguk. Wajahnya yang cantik terlihat semakin cantik ketika dahinya berkerut. "Kenapa halga pasalannya bisa lendah?"
"Kalena peminatnya sedikit, kulasa mungkin kalena dia balang second. Tampilannya juga tidak sebagus Tou-san." Jelas Hiyori lagi, dengan wajah super datar dan tanpa dosa mengatai orang lain barang second.
"Jadi kenapa Nee-san mau?" tanya Syuuta polos, menggelengkan kepalanya tidak mengerti. Bukankah itu berarti orang itu tidak pantas untuk Hiyori? Masih banyak yang lain diluar sana, yang lebih cocok jadi kakak iparnya daripada orang—err… siapa namanya?
"Siapa namanya, Nee-san?"
"Sai."
"Nama lengkapnya?"
Jeda sejenak. "Tidak tahu."
"Asalnya dali mana?"
Kali ini jedanya jauh lebih lama. "Entah."
"Ini sangat menculigakan!" pekik Syuuta seraya menghempaskan kedua tangannya ke denah yang sedari tadi dipelototi Hiyori. "Kita tidak tahu vendolnya apa, meleknya juga tidak jelas! Bahkan kita tidak tahu apps apa saja yang dia punya! Jangan-jangan dia banyak ellolnya dan tidak pelnah update? Culun sepelti teman Syuu di sekolah, begitu? Nggak pelnah di-upglade?!"
Hiyori menatap sang adik dengan safir gelapnya yang kosong. Wajahnya tak menyiratkan ekspresi apapun dengan bibir yang hanya serupa garis tipis. Tapi kemudian dia menjulurkan kedua tangannya dan memeluk Syuuta erat.
"Tenang, Syuu-chan. Walaupun sepelti itu,, setidaknya dia belum ditalik dali peledalan. Altinya dia masih belguna di dunia ini, jadi dia belhalga." Ucap Hiyori datar. Inilah kelebihan anak kecil. Kata-kata paling kejam sekalipun masih terdengar imut di telinga orang dewasa.
"Hum, tapi Syuuta tidak mau Nee-san dapat yang sepelti itu. Tidak pantas untuk Nee-san…"
Hiyori menatap langit-langit ruangan, tangannya masih membelai kepala Syuuta. "Anggap saja Nee-san sedang belamal. Dia sudah mohon-mohon sama Nee-san untuk memungut dia. Pakai sujud juga."
Syuuta semakin histeris.
"Jangan Nee-san! Yang sepelti itu pasti sudah expiled! Galansinya pasti tidak ada! Hanya jadi sampah masyalakat!"
"Memang," Hiyori mengeluarkan suara mengerikan yang sebenarnya bermaksud agar terdengar agak bersimpati. "Tapi namanya juga cali pahala."
Syuuta mengeratkan pelukannya. Oh, betapa mulia hati kakaknya ini. Memang benar kata orang, jangan menilai buku dari sampulnya apalagi harganya. Walaupun tampang Hiyori datar menjurus ke seram, tapi sebenarnya dia mempunyai hati yang suci, baik, tulus, dan rapuh.
Yeah, benar…
"Syuu akan membantu Nee-san! Kalau ada apa-apa, Nee-san bisa mengandalkan Syuu! Kalau pellu akan Syuu gunakan teman-teman Syuu di sekolah untuk ikut membantu Nee-san!"
Mendengar hal itu, bahkan seorang Hiyori pun tidak bisa menyembunyikan seringaiannya. Heh, 'teman' yang dimaksud Syuuta adalah budak-budaknya, yang memuja keindahan rupa sang adik dan melakukan apapun untuk menyenangkan hati Syuuta.
Sepertinya hidup Sai tidak akan sama lagi seperti dulu.
Kemudian mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing dengan tubuh tetap saling berpelukan.
Sampai kemudian Sasuke nyeletuk. "Dasar bocah jaman sekarang—ngobrol tentang hp saja sampai menangis segala." Ucapnya sambil lalu.
.
.
.
Jemari Naruto menari di atas keyboard laptopnya dengan cepat. Mata birunya berkilat-kilat, bibirnya melengkung ke bawah sembari sesekali menampakkan gigi taringnya. Dari dahinya yang berkerut dalam dan decakan tidak senang yang terdengar beberapa kali, Sasuke yang tengah memeriksa blue print denah pavilion rancangannya di seberang kamar tahu bahwa dia harus berhati-hati.
"Hei," panggil Naruto dengan suara rendah. Telunjuknya menusuk dalam tombol enter dan melemparkan pandangan membunuh ke tampilan grafik di layar laptopnya. "Buatkan aku kopi."
Sasuke mengangkat sebelah alisnya.
"Kau berbicara denganku?"
"Jika kau merasa satu-satunya manusia disini selain aku—kecuali jika kau menganggap dirimu ayam—maka ya, aku bicara padamu." Sahut Naruto jutek. Lagi-lagi ia mengetik dengan beringas, tidak menghiraukan wajah Sasuke yang berkedut tak senang.
"Kau memerintahku?"
"Ya."
'The heck?!' batin Sasuke kesal setengah mati. "Jangan meluapkan rasa frustasi karena pekerjaanmu pada orang lain."
"…"
"Pakai gula yang di lemari kanan, satu sendok saja. Jangan pakai lama." Lanjut Naruto tanpa dosa, masih menatap layar monitornya sambil mengibaskan tangan, gestur yang ia gunakan ketika mengusir seekor ayam jago yang memasuki halaman rumah mereka kemarin.
Dan itu membuat Sasuke terhina.
Dia ini suaminya, damn it! Tidak bisakah Naruto menunjukkan rasa hormat sedikit saja? Si pirang sialan itu selalu mem-bullynya. Menyuruhnya membersihkan rumah, memandikan Syuuta, memaksanya mengambilkan buah pinang tetangga sebelah, menyikat WC dan mengerjakan pekerjaan kantornya! Hanya karena pekerjaannya sebagai arsitek—yang lebih sering bekerja di rumah—bukan berarti Naruto bisa memperbudaknya begitu saja!
"Tidak. Kau jangan seenaknya. Memangnya apa hakmu menyuruhku?" sahut Sasuke dingin. Mendengarnya Naruto hanya tertawa menyebalkan.
"Hmph, pertanyaan macam apa itu? Bukankah sudah jelas?" Naruto mengangkat dagunya angkuh, matanya memandang Sasuke rendah.
"Karena aku kepala keluarga disini."
Helaian kertas di tangan Sasuke melayang jatuh. Otaknya mencerna kata-kata Naruto sebelum darah menggelegak sampai ubun-ubunnya.
"DAFUQ?!"Entah bagaimana, Naruto tiba-tiba teringat dengan salah satu komik yang sedang terkenal di internet. Apa namanya? Naruto mengingat-ingat sementara Sasuke sibuk mengeluarkan laharnya yang di telinga Naruto terdengar seperti ASDFJKL .
"—bahkan simpanse-pun akan tertawa! Betina sepertimu menjadi kepala keluarga? Apa rakyat jelata sepertimu bisa terkena skizofrenia juga?!"
'Baru kali ini aku mendengar orang sakit jiwa bangga terhadap penyakitnya." Batin Naruto sweatdrop.
"—kali tak berubah sejak SMA! Kau sudah kepala dua! Tak bisakah kau hentikan pola pikirmu yang jantan itu?"
"Sasuke…"
"—liki tiga anak, for the God sake! Tiga, Naruto!"
"Sasu—"
"—inan! Aku yakin itu pasti kelainan! Oh Kami, setelah kepribadian ganda, sekarang kelebihan testosteron?! Apa dosaku?!"
"Sa—"
"Dan sekarang aku bertingkah oh-so-not-Uchiha! Apa hidup bersamamu membuat kebodohanmu menular padaku? Sekarang aku mulai menye—"
"DIAM KAU IDIOT!"
.
.
.
"Suala apa itu, Nii-chan?"
Ryuuta melirik ke lantai atas, dimana suara seperti daging dibanting dan sesuatu berderak mengerikan terdengar nyaring.
Lalu sunyi.
Anak tertua itu menelan biskuitnya. "Sepertinya malaikat sudah datang pada Otou-san." Lanjutnya kalem.
.
.
.
Kaki kecilnya melangkah di antara keramaian. Langkahnya terlihat seperti melayang, halus dan tidak menimbulkan suara. Mata birunya berpendar suram, gelap, seakan ingin menelan masuk siapapun yang menatapnya. Bibirnya terkatup rapat hingga menyerupai segaris tipis yang nyaris tak terlihat. Tatapannya lurus ke depan, tak menghiraukan bisik-bisik yang mengiringi perjalanannya.
"Hei, hei… Lihat! Ada anak kecil berjalan sendirian!"
"Wah, benar! Dimana orang tuanya?"
"Apa jangan-jangan dia diusir? Tunggu, untuk apa dia bawa koper? Dan apakah itu koper Elle?!"
"Wajahnya tidak seperti baru ditelantarkan, malah terlihat seperti mau membunuh."
Hiyori melirik ke arah orang yang berbisik-bisik tersebut dan menyipitkan matanya sedikit, hanya sedikit, namun mampu membuat mereka semua terdiam. Mata itu menggelap hingga nyaris kehilangan rona birunya, dan entah mengapa terlihat seberkas kilat merah di kedua manik itu.
Lalu ia berbisik dingin.
"Mind ye' own business, ye' sick-old hag."
Syuuu~
Angin musim semi menerpa sosok-sosok yang membatu.
"Boss, Hiyori-sama sekarang menuju Konoha Facancy Hotel." seseorang yang berpakaian kasual, dengan topi hitam yang terlihat terlalu lusuh untuk sneaker bermerk yang ia pakai, tengah berbicara melalui intercom di telinganya yang tertutup topi. Matanya tak lepas dari sosok Hiyori yang berjalan sembari menyeret koper yang besarnya nyaris dua kali tubuhnya. Bagaimana ia bisa memiliki kekuatan seperti itu, silakan lihat silsilah keluarga ibunya.
Sasuke nyaris meremukkan ponselnya. Untuk apa putrinya tercintah pergi kesana?!
"Tangkap dia."
Pemuda yang ternyata bodyguard suruhan Sasuke untuk mengawasi Hiyori itu mengerenyit dalam. "Boss?"
"Maksudku, bawa dia pulang."
Bodyguard itu tersenyum kaku. Jantungnya sempat terhenti tadi, cara bicara Sasuke seperti menyuruhnya untuk menangkap narapidana kabur saja.
"Baik, Boss. Haruskah saya membawa Hiyori sama ke kediaman Anda atau—"
"Sasuke."
Bodyguard itu membatu. Sasuke nyaris mati.
"Na-Naruto?"
"Ingat pembicaraan kita semalam?"
"Ba-bagaimana kau bisa masuk ke pembicaraan ini?" Bodyguard tersebut dapat mendengar suara sang Boss Uchiha yang biasanya dingin kini terdengar lemah.
"Aku mempunyai banyak koneksi dan hacker berkualitas di perusahaanku," sahut Naruto dengan nada sing a song. Sasuke sebenarnya tahu, karena karyawan perusahaan Naruto karyawannya juga, tetapi dia tidak menyangka Naruto akan bertindak sejauh ini. "Jangan banyak tanya. Sekarang kembali ke topik. Kau tidak lupa apa yang sebenarnya harus kita lakukan, hm?"
"Tapi…" sang bodyguard mulai mendengar Sasuke menyela.
"Kita sudah sepakat mengenai hal ini. Apa kau tidak ingin lebih memahami koneksi apa yang sebenarnya terjadi antara Hiyori dan 'dia'?"
'Dia'?
"Tapi kalau 'dia' melakukan sesuatu yang buruk, Hiyori akan—"
"—apa kau berpikir aku akan mengorbankan Hiyori demi rasa ingin tahuku, Sasuke? Bahwa aku akan bereksperimen dengannya? Tidak, dia anakku. Anak kita. Karena itu kita mengawasinya, dan ketika sesuatu terjadi padanya, percayalah Sasuke—aku tidak akan segan-segan mengeluarkan kaliber 48-ku."
Gulp.
Sang bodyguard menelan ludah gugup.
"Kau benar. Tapi aku masih merasa tidak tenang, Naru." Suara Sasuke terdengar lemah. Dia sangat menyayangi keluarganya, bagaimanapun uniknya mereka. "Hiyori…"
"Percaya pada dirimu sendiri, padaku, pada Hiyori, dan pada 'dia'," ucap Naruto lembut. "Kami akan melindungi apa yang berharga bagimu—bagi kita."
Kesunyian menyusul setelahnya. Sang bodyguard bahkan tidak berani berbicara, sehingga ia lebih memilih untuk diam dan mendengarkan suara udara.
"Kau mendengar semuanya, kan?"
Sadar bahwa Sasuke berbicara padanya, sang bodyguard cepat-cepat membalas. "Ya, maaf Boss."
"Aku tarik kembali perintahku yang tadi," terdengar sang boss menarik napas tajam di seberang sana. "Awasi Hiyori, 24 jam penuh. Ikuti dia kemanapun dia pergi, perhatikan dengan siapa saja dia berinteraksi dan apa yang ia lakukan. Aku ingin laporan setiap 4 jam sekali. Jangan menunjukkan dirimu atau apapun yang mengundang kecurigaannya. Jangan sampai informasi ini keluar. Kau mengerti?"
"Siap, Boss."
"Dan satu lagi," suara Sasuke terdengar amat serius dan dingin. "Seperempat kesalahan, aku tidak akan membiarkanmu hidup 10 menit ke depan. Setengah, kau mati. Satu kesalahan, kubunuh kau 100 kali di neraka. Jelas?"
Bodyguard itu bisa mendengar kekehan Naruto dari seberang sana, dan ia merasakan bulu kuduknya naik. Oh, sekarang ia menyesal telah memilih pekerjaan ini.
"Siap, Sasuke-sama, Naruto-sama." Ucapnya dengan suara bergetar. Terdengar gumaman puas dari kedua atasannya, plus tawa iblis Naruto yang membuatnya ingin menceburkan diri ke Tokyo Bay sekarang juga.
"Bagus, kami mengandalkanmu, Utakata."
.
.
.
Sai tidak menyangka wanita bisa bergerak begitu gesit. Meliuk fleksibel, mengendap tanpa suara. Jaringan informasi mereka begitu luas, terima kasih kepada hobi bergosip mereka. Dan satu lagi, mereka bisa menjadi monster kalau mereka serius.
"Jadi, Anda baru saja putus dari Nona Yamanaka, Shimura-san?"
Ini terlalu cepat.
Sai tersenyum datar—senyum yang tidak tercermin di matanya—kepada Mei Terumi, asistennya. Wanita itu tidak berusaha menyembunyikan nada berminat dalam suaranya, membuat Sai langsung tahu apa arti dari semua ini.
"Ya."
"Ah, sayang sekali…" ucapnya tanpa repot-repot terlihat sedikit menyesal. "Anda pasti sangat sedih."
"Tidak juga," sahut Sai tak acuh. Dengan cepat ia menandatangani berkas di tangannya dan menyerahkannya pada Mei. "Ke kantor cabang. Sekarang."
Dia dapat melihat pancaran kesal di wajah Mei, namun tentu saja dia masih tahu tugasnya. Dengan langkah sedikit menghentak ia keluar ruangan, sukses membuat Sai menghela napas lega.
Itu sudah yang ke lima kalinya hari ini. Terkadang Sai merasa kagum dengan kecepatan informasi zaman sekarang. Belum genap 4 jam dia berpisah dengan Ino, sepertinya nyaris semua pegawai di perusahaannya—baik di pusat maupun cabang Konoha—sudah tahu mengenai hal itu.
Dia benci penggosip.
Tapi rata-rata wanita suka melakukan hal itu. Namun selalu ada pengecualian untuk Naruto. Seulas senyum kecil terpatri di bibirnya ketika mengingat sosok sang pujaan hati. Si pirang itu tidak punya minat kepada orang lain, dan memilih untuk tenggelam dalam dunianya sendiri. Ketidakpedulian Naruto memang terkadang membuatnya kesal dan merasa diabaikan, namun ia lebih sering merasa 'aman' dengan sikapnya itu.
Sai bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela. Kamar yang ia sewa terletak di sudut yang tepat, dimana ia bisa mengamati seluruh kota Konoha dari sini. Dan saat-saat seperti inilah ia kembali bernostalgia.
Hari itu pun sama seperti hari ini, langit sore yang bewarna orange kecoklatan membasuh sosoknya yang mengangkat gulungan ijazahnya tinggi-tinggi.
'Makan itu! Kata siapa aku tidak akan lulus? LIHAT! AKU LULUS SMA! MUAHAHA!'
Bahkan ia masih bisa mengingat tawa penyihir itu dengan jelas.
'Tapi nilaimu pas-pasan.'
'Ugh.'
Tawa kecil lolos dari bibir pucatnya.
'Apa yang akan kau lakukan sekarang, Naru?'
Dia bertanya, walau ia sudah tahu apa jawabannya.
'Menunggu.'
Tapi tetap saja rasa sakit itu ada.
'Dan mengasah kekuatan tangan dan kakiku untuk menghancurkannya karena telah membuatku menunggu. Khukhukhu…'
Ah, dia ingat bahwa ia merasa sedikit senang mendengarnya. Yeah, silakan katakan dia jahat.
Dia mengingat semuanya dengan jelas seakan-akan semua itu baru terjadi kemarin. Dia ingat bagaimana dia melihat Naruto untuk terakhir kalinya, di bawah pohon Sakura yang berguguran dan berebut mendarat di kepala kuningnya.
'Aku akan pindah ke Otto.'
Naruto tidak pernah bertanya kenapa.
'Begitu.'
Tapi mata sebiru langit itu tidak pernah berbohong.
Bahwa ada mendung disana, bahwa ada hujan yang mengancam untuk tumpah.
Dan itu membuat Sai membuka mulutnya, nyaris mengeluarkan apa yang selama ini ia tahan.
'Naru, aku—'
Knock! Knock!
Sai nyaris terlonjak dan menoleh ke arah pintu. Siapa yang mengetuk kamarnya di saat dia lagi enak-enaknya menggalau?
"Biar saya saja, Shimura-san!" tiba-tiba Mei berjalan secepat kilat dari arah dapur. Sai mengerenyit, jadi dia dari tadi belum pergi? Dan tunggu, apa yang wanita itu lakukan di dapurnya?
"SHIMURA-SAN!"
Untuk kedua kalinya Sai terlonjak pada hari itu. Agak panik ia bergegas keluar dari ruang tamu dengan segala macam pikiran buruk di benaknya. Mei bukanlah tipe orang yang suka histeris nggak jelas, pembawaannya malah cenderung tenang sehingga mendengar sang sekretaris berteriak seperti itu membuat Sai merasakan firasat buruk
"Mei-san! Kenapa kau ber—"
Suara Sai tiba-tiba tertahan di tenggorokannya.
"Halo."
Sekarang ia mengerti mengapa Mei berteriak. Bahkan ia ingin menjerit 'kyyaaaaaa' hingga dasar paru-parunya.
"A-a-apa… apa yang kau…" Sai yang baru pulih dari syoknya kehabisan kata-kata. Oh, tidak, katakan ini semua hanya mimpi. Katakan bahwa tidak ada iblis berkedok balita yang notabene anak dari musuhnya mendatangi kamar hotelnya sambil menggotong-gotong koper.
Tidak, tidak mungkin.
"Shimura-san! Anak ini… Saya membuka pintu dan tiba-tiba wajah anak ini muncul begitu saja! Astaga, apa yang terjadi pada dia—pada wajahnya?!" seru Mei gelisah. Tanpa sadar ia berjengit saat matanya bertemu dengan milik Hiyori.
Mulut Sai membuka menutup tanpa ada suara yang keluar. Hell, anak ini bahkan terlihat jauh lebih menyeramkan daripada terakhir kali ia melihatnya. Bukan karena wajahnya buruk rupa, malah sebaliknya. Tapi sorot matanya yang luar biasa dingin dan gelap dengan kilat berbahaya di sudut matanya membuat siapapun tidak akan berpikir dua kali untuk kabur.
Namun pertanyaan intinya adalah, apa yang dilakukan anak Sasuke dan Naruto disini?!
'Paman akan menjadi pengantinku.'
"…"
Bagus, Sasuke benar-benar akan membunuhnya.
"Dengar, Bocah…" Memutuskan untuk mengakhiri mimpi buruk ini secepat mungkin, Sai mengabaikan rasa syoknya dan berbicara tegas pada Hiyori. "Aku tidak tahu pikiran gila macam apa yang ada di kepalamu, tapi aku ingin kau pergi dari sini. Sekarang juga." Ucapnya, terdengar jauh lebih kasar dari yang seharusnya.
Hiyori tak bergeming. Bocah itu hanya menatap Sai dengan pandangan kosong.
"Kubilang pulang! Apa perlu aku menyeretmu keluar?!" bentak Sai emosi. Wajah Hiyori mengingatkannya pada Naruto, namun sikapnya sangat mirip dengan Sasuke, dan itu membuatnya muak.
Hiyori adalah bukti kesalahannya di masa lalu, saksi sisi pengecutnya yang membuat penyesalan nyaris membunuhnya dari dalam.
Bocah itu tetap pada tempatnya.
Mei merasakan situasi mulai tak enak. Tidak pernah ia melihat Sai seemosi ini. Atasannya itu selalu tenang bahkan mampu tersenyum dalam keadaan buruk sekalipun, dan karena itulah ia digilai banyak wanita selain ketampanan dan kekayaannya.
Tapi…
Sai menghancurkan imej sempurnanya hanya karena seorang balita.
"PULANG!"
"…"
"Shimura-san…"
"Apa ayahmu tidak pernah mengajarkanmu untuk mendengarkan orang lain? Oh, aku lupa. Ayahmu tidak pernah mendengarkan orang lain."
"…"
"Sudah cukup kau membawa masalah padaku! Gara-gara kau Naruto membenciku!"
"…"
"PERGI!"
Sai mengedipkan matanya beberapa kali. Sepertinya dia mendengar sesuatu.
"Hiks, hiks—uuu…" Mata Sai membola tak percaya melihat pemandangan di depannya. Hiyori menangis tertahan, mengeluarkan suara terisak yang membuat siapapun sedih sekaligus merinding. Pernah menonton film horror? Suara tangis Hiyori seperti perpaduan antara meongan anak kucing dan isak hantu perempuan gentayangan, menimbulkan suara tangis yang lembut namun menakutkan.
Matanya menyipit tak suka. Dia benci pemandangan ini—tidak, lebih tepatnya dia takut. Wajah Hiyori begitu mirip dengan Naruto dan itu membuatnya merasa telah menyebabkan Naruto menangis.
"He-hei…"
"Uuu… uuu…"
"Hiyo—"
"—nnn… Hiks, hiks, uuu… hiks."
Baiklah, sekarang Sai mulai panik.
"Te-tenanglah, oke? Aku minta maaf telah membentakmu. Sekarang kuantar kau pu—"
"UWAAAA!"
Eh?
"U-U-UWAA! NN… UWEEE!"
"Shimura-san!" panggil Mei gusar. "Lakukan sesuatu!"
Sai panik. "Kenapa bukan kau saja? Kau wanita, hentikan dia sehingga dia bisa pulang!" serunya dengan wajah pucat pasi. Dan tangisan Hiyori terdengar semakin keras saja.
"Aku tidak mau pulang!" teriaknya keras-keras. Matanya terpejam rapat sementara pipinya basah oleh air mata. "Tidak mau!"
Pemuda itu terbelalak. Gatal rasanya ingin membentak Hiyori, tapi raungan bocah itu membuat nyalinya ciut.
"Kena—"
"Dasal plia tidak beltanggung jawab! Jangan seenaknya kau membuangku! Uwee…"
Hah?
"Anda membuangnya?" tanya Mei tak percaya. Matanya menyipit menatap Sai yang memasang wajah tolol sekarang.
"Apa mak—"
"Masih bisa kau belpula-pula?!" raung Hiyori histeris. "Kau memanfaatkanku! Mengambil segalanya daliku! Dan ketika aku kehilangan semuanya, kau mencampakkanku begitu saja!"
"Shimura-san!" pekik Mei , refleks maju ke depan dan memeluk Hiyori yang menangis kencang. "Sebenarnya apa yang kau lakukan pada anak ini?!"
"Hah?! Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun! Jangan percaya pada anak ini! Dia itu iblis!"
"Iblis!" Hiyori menangis secara dramatis. "Dan sekalang kau mengatakan aku iblis! Tak hanya mencampakkanku, kau juga tak pelnah menganggapku sebagai manusia! Apa dosaku?!" jeritnya keras, pilu luar biasa sebelum balas memeluk Mei dan menangis heboh. Mei mengusap kepalanya sedih, lalu menatap tajam Sai.
"Aku tidak menyangka kau pria brengsek, Shimura-san…" desisnya penuh kebencian. "Kepada anakmu sendiri…"
"TIDAK!" tiba-tiba Hiyori melepaskan pelukannya, menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "AKU BUKAN ANAKNYA!"
"Memangnya kata siapa aku punya anak kurang ajar sepertimu?!" bentak Sai emosi. Dia memang benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi disini, tapi yang jelas, bocah sial ini sedang berusaha menjatuhkan martabatnya.
"Aku anak wanita itu! Wanita yang tidak pelnah bisa kau dapatkan hingga akhilnya kau menjadikan aku pelampiasanmu!" isak Hiyori lemah. Tangannya menggenggam kemeja depan Mei kuat-kuat, berusaha meredakan gemetar tubuhnya. "Kau menyentuhku kalena ibu…"
Sai ternganga. Di otaknya tidak ada satupun roda yang berputar. Sebenarnya apa yang bocah neraka itu bicarakan? Dan… dan… pelampiasan? Menyentuh?
MAKSUDNYA APA?!
"Jangan bicara yang macam-macam kau!" seru Sai murka. "Aku tidak melakukan apapun!"
"Sekalang kau bahkan tidak mengakui ibuku!" jerit Hiyori super histeris. "Kau bilang kau mencintai ibu!"
"Aku memang mencintainya! Tapi aku tidak—"
"Tapi kau tidak bisa mendapatkannya, jadi kau mengincalku! Melampiaskan segalanya pada tubuhku yang suci dan lapuh—oh, tidak… hatiku juga!"
Mei menggeram marah. Perlahan ia melepaskan tangan Hiyori yang mencengkram kemejanya dan mengusap kepalanya lembut sebelum berbalik menghadap Sai.
"Anda benar-benar manusia paling brengsek yang pernah saya temui," desisnya tajam. "Saya tidak menyangka Anda serendah ini. Melampiaskan hasrat Anda pada bocah laki-laki malang ini karena ibunya… ORANG SEPERTI ANDA BENAR-BENAR MENJIJIKKAN!" teriaknya di depan muka Sai. Tidak peduli dia itu atasannya yang bisa memecat dirinya kapan saja.
Dia sudah muak.
Sai melongo. Apa katanya tadi? Menjijikkan?
JADI DIA PERCAYA?!
"Dia membual, Mei! Aku bersumpah aku tidak melakukan apapun! Kau tidak mungkin percaya skenario sinetron seperti itu, kan?" ucap Sai, berusaha membuat Mei kembali ke jalan yang benar. Namun sepertinya iblis masih jauh lebih kuat dibandingkan dirinya.
"Kau belsumpah? Kau juga belsumpah akan beltanggung jawab padaku! Dan apa ini?" Hiyori menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit ruangan dengan nanar. "Kau bahkan tidak mau mengakui semuanya! Semuanya tentang kita!"
"TENTANG APA, DAMN IT?! HENTIKAN SEMUA OMONG KOSONG INI!"
"Diliku yang telaniaya bukanlah omong kosong!"
"Aku yang teraniaya disini! Dasar kau ib—"
PLAK!
Wajah Sai terlempar ke samping. Pipinya berdenyut sakit.
"Saya benar-benar muak dengan Anda. Saya selalu berpikir bahwa Anda adalah orang terhormat, namun ternyata saya salah." Desis Mei dingin. "Anda hanyalah seseorang yang tak bertanggung jawab, brengsek, dan munafik." Lanjutnya seraya menghampiri Hiyori yang masih terisak. "Anda bahkan menyakiti anak sekecil ini. Dimana hati Anda, hah?!" serunya marah, wajahnya mengerenyit jijik. Sai yang melihat ekspresi Mei menyipitkan matanya tak senang.
"Kau saja yang terlalu bodoh untuk percaya pada bualannya," Ucap Sai dengan nada rendah berbahaya. "Bahkan monyetpun masih cukup pintar."
Wajah Mei memerah murka.
"Terserah apa kata Anda," namun entah bagaimana, dia berhasil berbicara dengan tenang. "Tapi yang jelas, Anda harus bertanggung jawab."
"AKU TIDAK MELAKUKAN APAPUN!"
Hiyori baru mau membuka mulutnya ketika Mei menyela. "Aku tahu, Nak. Kau tidak punya tempat tinggal lagi karena keluargamu tahu bahwa kau telah dinodai oleh si brengsek itu, kan?" Hiyori mengangguk polos dan tunggu, ada apa dengan pemilihan kata 'dinodai' yang ambigu itu?
"Shimura-san," Mei berbalik, menatap tajam Sai. "Anda akan mengurus anak ini."
Sai terbelalak entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. "Nyet! Aku tidak mau."
Mata Mei berkilat berbahaya. "Oh, Anda harus mau. Atau saya akan menyebarkan hal ini di kantor dan Anda pasti cukup pintar untuk mengetahui pentingnya reputasi dalam dunia bisnis."
Mata Sai membesar, syok. "Kau tidak bersungguh-sungguh."
"Oh yeah, saya amat bersungguh-sungguh. Urus anak ini sebaik mungkin, dan aku akan menutup mulutku rapat-rapat." Ujarnya seraya memakai sepatunya. Hari sudah malam dan ia harus kembali ke kantor cabang untuk mengurus beberapa berkas.
"Telepon kakak kalau ada apa-apa ya, umm…"
"Hiyo-chan."
Hiyo-chan? Bleh.
"Ya, Hiyo-chan. Panggil saja kakak Mei. Jika Shimura melakukan sesuatu padamu—" Mei menuliskan sesuatu di kertas kecil dan menyelipkannya ke tangan Hiyori. "Kau tahu harus menghubungi siapa. Kau mengerti, Hiyo-chan?"
Hiyori mengangguk lucu. Mata gelapnya yang besar menatap Mei langsung dan bibirnya tersenyum manis. "Um! Aligatou, Nee-chan."
Saat itu Mei berpikir betapa manisnya bocah yang ada di depannya.
"Oke, kalau begitu kakak pergi dulu. Ada urusan yang harus kakak selesaikan. Dan Shimura-san, jangan macam-macam." Ucapnya dengan nada memperingatkan. "Selamat malam."
"Malam, Nee-chan."
BLAM!
Sunyi melanda kamar mewah tersebut. Sai yang masih syok, dan Hiyori yang menatap Sai dengan tatapan kosong.
"Aku tidak mau menghabiskan waktu tak belguna disini," ujarnya dingin, wajahnya kembali tanpa ekspresi. Entah kemana sosok Hiyori yang berlinang air mata dan tersenyum bak malaikat. "Aku akan meletakkan balang-balangku di kamalmu."
Dan Hiyori berjalan sembari menyeret kopernya, melewati sosok Sai yang membatu.
"Tadaima."
.
.
.
Rasanya Sai ingin mati saja.
.
.
.
TBC
Heyooww… ^w^ Jumpa lagi sama Rei. Hahaha.. ampun, ampun. Update lama banget ya? Rei sibuk banget sama kuliah, trus laptop keyboardnya rusak. Jadi ya gitu…
Minna-san, jujur, mungkin mulai saat ini Rei akan lama apdet fic-fic Rei. Tapi nggak akan rei discontinued atau delete kok. Maaf karena Rei nggak kompeten, tapi kenyataan tak memberi pilihan… #halah.
Terus satu lagi, ini Rei bingung mau buat cerita ini gimana. Ini kan cerita tambahan, pairingnya beda. Dilanjutin di TSGB atau dibuat side story? Mohon pendapatnya minna, Rei bingung banget soalnya.
Maaf karena Rei nggak balas reviewnya. Ini rei ngetiknya di kelas pas dosen nggak ada loh, buru-buru banget. Soalnya nggak enak sama reader udh menelantarkan nih fic nista. Sekali lagi mohon pengertiannya ya. ^^