Summary: Dua orang pembunuh bayaran bercode name Thunder dan Wind, menjadi sorotan polisi dan sebuah organisasi yang mengincar mereka. Bagaimana jadinya jika mereka ditugaskan untuk membunuh seorang anak kecil yang sudah dilindungi organisasi itu?

Dan pertarungan pun dimulai...

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

.

.
Dae Uchiha present

Thunder and Wind

©2012

.

.

Rated: T+(gak bakal melenceng jauh kok!)

Warning: OOC—maybe, AU, Typo(s), Miss-Typo, etc.

.

.

"Sudah kubilang, lakukan saja." Sasuke berkata dengan santai. "Tapi sebelum itu..." Pemuda itu menepis pistol Hinata, kemudian memelintir tangan gadis itu dan mendorongnya ke dinding, "aku bisa membunuhmu dengan mudah, kau tahu?"

Hinata menatap Sasuke, napasnya terengah. Cengkraman tangan Sasuke semakin sakit. Tak menyangka Sasuke akan setangkas itu. Sial, mestinya dia memperhatikan hal itu.

"Kau ... akan membunuhku?"

Sasuke menatap gadis di hadapannya. Manik mutiara gadis itu masih menatapnya dengan berani. Tak ada kilat takut dalam mata sang gadis.

Gadis ini ... berbeda.

Tapi tidak, ia harus melakukannya sekarang. Hinata mengetahui banyak rahasianya. Termasuk dirinya sebagai pembunuh bayaran. Ia harus dilenyapkan. Dengan tangannya yang lain Sasuke mengambil pistol yang tadinya terjatuh, kembali menekan pelipis gadis itu.

"Kau benar-benar akan melakukannya?"

Pemuda bermarga Uchiha itu setengah berdecih. Apa yang diharapkan gadis itu darinya? Apa ia berharap Sasuke akan melepaskannya begitu saja lalu berkata, 'Kau boleh pergi, anggap yang sekarang tak pernah terjadi'? Heh, apa jaminannya gadis itu takkan mengadu pada polisi atau—setidak—pada organisasinya siapa Thunder sebenarnya?

"Sasuke, dengar. Aku takkan mengatakan pada siapapun tentang hal ini, tapi kumohon, berhentilah. Kau telah menyia-nyiakan hidupmu. Neji sudah meninggal, tak ada lagi alasanmu untuk balas dendam."

Gadis itu mengulur waktu. "Cih, lalu apa urusanmu? Oh ya, jelas, Nona Pembela Keadilan? Kau, dan organisasimu yang brengsek itu."

Hinata menatap lurus sepasang oniks yang ada di hadapannya. "Tidak, aku mengatakannya sebagai Hyuuga Hinata. Teman sekelasmu yang peduli pada dirimu."

Sasuke tertegun sejenak melihat sorot mata Hinata. Ameythst itu menariknya, jauh.

"Apa yang kaulakukan, takkan membawamu pada kebenaran. Itachi menyelamatkanmu, bukan untuk menjadikanmu pembunuh ataupun pendendam. Saat kau menemukan bagaimana rasanya menyayangi seseorang dengan tulus, dalam hal ini, bagaimana Itachi menyayangimu hingga memperjuangkan hidupmu, kau akan mengerti, Sasuke. Aku takkan membela Neji kali ini, karena ia memang salah. Dan sebagai adiknya, aku minta maaf. Maaf telah membawamu dalam siksaan ini. Maaf telah mengubah garis takdirmu."

Jebakan, atau...?

Sasuke benar-benar membenci situasi ini. Situasi dimana ia merasakan sesuatu dalam dirinya memberontak kuat, mengalahkan semua logika dan kewaspadaannya. Dan tahu-tahu, ia mendapati dirinya menunduk, berusaha meraih bibir gadis itu. Sedikit heran ketika Hinata memejamkan mata pasrah, tidak memberontak seperti biasanya.

Namun sebelum bibir mereka sempat bersentuhan, suara mobil polisi di luar menyentakkan Sasuke. Tanpa pikir panjang, pemuda itu menarik dirinya, mengumpat pelan sebelum berbalik, menjauhi Hinata sembari mengirim pesan pada Naruto untuk mundur.

Meninggalkan Hinata yang merosot dari dinding, dengan setetes airmata mengalir di pipi gadis itu.

"Seandainya aku mengatakan kalau aku menyukaimu, apa kau percaya, Sasuke-kun?"

.

.

.

Brakk!

Suara gebrakan meja itu sangat keras, membuat Shadow yang bersandar di dinding luar yakin kalau setidaknya meja itu sudah retak sekarang.

"Kalian gagal?"

"Maaf," Seorang pemuda berambut pirang meringis, merasakan dengan jelas aura kemarahan dari bos mereka itu. "Aku dihadang seorang pemuda berambut merah aneh yang memakai topeng, dan jurus karatenya sungguh kuat. Aku dibuat kewalahan."

Lelaki paruh baya itu mengembuskan napas kesal, menatap tajam seorang pemuda lain yang sedari tadi hanya terdiam, sama sekali tak berkomentar. "Dan kau, Thunder, apa alasanmu?"

"Aku takkan mengelak. Aku tahu aku gagal. Hukum aku jika itu membuatmu puas." Suara datar dan tenang itu menyahut, dan Jiraiya nyaris menjerit frustasi saat tak menemukan emosi apapun di suara itu, padahal biasanya ia selalu bisa menangkap emosi Sasuke, walau hanya sedikit.

"Oke, aku takkan menghukum kalian. Misi ini ditutup, aku akan meminta maaf pada klien yang sudah memesan dan membayar dua kali lipat."

"Maaf, Ero-sannin. Kami mengaku gagal." Naruto meringis lagi, merasa bersalah sekaligus melirik penasaran rekannya yang sedari tadi hanya diam. "Ayo Sasuke, kita pergi."

"... Aku ingin berhenti."

Ucapan itu nyaris membuat keduanya melotot kaget.

"APAA?" Naruto yang pertama bereaksi, menatap Sasuke dengan pandangan kau-sudah-gila. "Tapi Teme, kenapa?"

"Aku ingin melepas codename ini, aku ingin berhenti menjadi pembunuh bayaran. Akan kuberikan semua bayaranku, tapi aku ingin keluar."

"Tapi... tapi...," Naruto berusaha menyela, namun sepertinya pemuda itu kehilangan kata-kata.

Jiraiya menghela napas untuk kesekian kalinya. "Lalu apa rencanamu?"

"Aku akan melanjutkan kuliah, aku akan mencari beasiswa untuk masuk ke Harvard University."

Lelaki berambut putih itu diam-diam tersenyum. "Baiklah, aku mengizinkanmu keluar. Aku takkan mengambil semua bayaranmu, karena itu hakmu. Sekarang, pergilah."

"Terimakasih."

Sasuke membungkuk sejenak pada mantan bosnya itu, kemudian keluar, disusul dengan Naruto yang masih bertanya-tanya dengan jeritan yang keras.

Jiraiya tersenyum lagi. Setidaknya, misi ini berhasil menyadarkan seorang remaja yang baru saja keluar dari sini itu. Sejak awal, sejujurnya ia tak setuju dengan keinginan Sasuke untuk menjadi pembunuh bayaran. Pemuda itu bisa menjadi mesin pembunuh, dan yang membuat Jiraiya makin tak setuju adalah dendam pemuda itu. Membunuh tanpa kasihan dengan mata berkilat dendam.

Syukurlah, meski kini wajah itu semakin minim emosi, tak ada kilat dendam yang sama dari mata kelam pemuda itu.

.

.

.

"Maaf, Sasori-kun, aku terlambat."

Pemuda berambut merah itu menolehkan kepala, tersenyum kecil. "Tidak, tidak apa-apa. Duduklah." Sasori memperhatikan Hinata yang duduk di depannya, kemudian pemuda itu menyerahkan buku menu pada Hinata. "Kau mau pesan apa?"

Hinata tersenyum meminta maaf, menolak buku yang disodorkan Sasori. "A-aku buru-buru."

"Oke," sahut Sasori, sedikit heran. Ia menarik kembali buku menu itu. "Bagaimana misimu kemarin? Sukses?"

"Mm-hmm. Kau sudah diberitahu Gaara?"

"Ya, termasuk bagaimana kau ingin keluar dari organisasi itu. Kau tahu, aku nyaris jantungan ketika mendengarnya. Kau sendiri yang mengatakan satu-satunya cara keluar dari sana adalah mati."

Hinata tertawa kecil. "Tapi syukurnya ia mengizinkanku keluar. Urusanku di sana sudah selesai, dan aku sudah cukup puas bisa tahu siapa pembunuh Neji sebenarnya."

"Oh," Sasori menyahut. Pemuda itu jelas penasaran, tapi Hinata benar-benar tak pernah mau melibatkannya lebih dalam lagi. Sudah cukup bagi Hinata bahwa Sasori hanya mengetahui kalau kakaknya dibunuh, bukan kecelakaan mobil seperti yang diberitakan media. "Jadi, kau bilang kau akan mengatakan sesuatu padaku. Apa?"

Hinata menelan ludahnya. Ya, ia dan Sasori berada di sini bukan untuk kencan, melainkan Hinata yang ingin mengutarakan sesuatu pada pemuda ini. "Sasori-kun... bisakah kita...," gadis itu terdiam sejenak, menerka-nerka reaksi Sasori, "mengakhiri ini?"

Sasori menyandarkan tubuhnya pada kursi, menghela napas kecil. Dari Hinata yang memintanya untuk bertemu di sini, lima puluh persen ia yakin Hinata akan mengatakan hal ini. "Baiklah."

Kini Hinata yang terkejut. "'Baiklah'? Itu saja?"

Sasori mengangkat sebelah alisnya. "Lalu, aku harus berkata apa? 'Jangan pergi, aku tak bisa hidup tanpamu'? Atau jika aku mengatakan 'aku masih mencintaimu' kau akan tetap tinggal? Hinata, tentu saja aku masih sangat menyayangimu, tapi kalau kau memutuskan aku tak bisa tinggal dalam hidupmu lebih lama lagi, aku akan pergi."

"Oh, maksudku—maaf. Maaf aku tak bisa jadi pacar yang baik. Maaf aku selalu menyakitimu."

Sasori menatap Hinata, mencondongkan tubuhnya. Gadis itu masih sama, masih Hinata yang manis, masih Hinata yang mudah merona, bahkan hanya karena jarak mereka yang kini menipis. "Hinata, bolehkah?"

Hinata sesaat terdiam tak mengerti, namun kemudian gadis itu ikut mencondongkan tubuhnya, menerima ciuman dari Sasori.

Mengabaikan kenyataan mereka sedang berada di sebuah cafe yang ramai, Sasori ingin merasakan untuk terakhir kalinya bibir milik cinta pertamanya itu.

.

.

.

.

.

.

"Kau akan pergi?"

"Ya."

"Sudah kau pertimbangkan dengan baik?"

"Ya."

"Kau—"

"Apa kau akan terus menanyaiku untuk membuatku ragu?"

"Maaf. Tapi aku tak menyangka ini jalan yang akan kau pilih."

"Aku juga. Tapi kali ini, aku takkan membiarkan waktuku terbuang sia-sia."

"... Aku sudah putus—oke, aku mengalihkan pembicaraan. Kau senang?"

"Tentu."

"Aku penasaran darimana sifat posesifmu itu berasal."

"Diamlah."

"Apa kau t-tak ingin kita... terikat?"

"Kau tergila-gila padaku."

"Tidak."

"Dengar, kita tak pernah memulainya dengan benar, dan apa yang tak dimulai dengan benar takkan berjalan dengan baik. Jika kau mau, tunggu aku, dan biarkan aku memulainya lagi."

"Aku patah hati."

"Aku heran bagaimana bisa kau menyembunyikan semua sifatmu dan menjadi Hinata yang gugup dan pendiam."

"Mm-hmm. Rasanya tak sulit—Sasuke-kun, berhenti. Kau sudah menciumku lebih dari lima kali."

"Hn."

"Oke, sudah cukup, pergilah."

"Kau mengusirku?"

"Tidak, aku tak mengusirmu."

"Kau menyuruhku pergi."

"Aku serius. Besok pagi pesawatmu akan berangkat, dan kau belum beristirahat."

"Tunggu aku."

"Ya, tentu aku akan menunggumu, Sasuke-kun."

"... Terimakasih."

.

.

.

.

"Kau benar-benar akan pergi, Teme?"

"Ya."

"Kau benar-benar akan pergi, Teme?"

"Berisik."

"Kau benar-benar akan—"

"—diamlah, Dobe, atau akan kusumpal mulutmu itu."

"Ta-tapi... huaa... Teme jahat! Ia meninggalkanku! Ia melakukan itu!"

"Dobe, diamlah."

"O-oke."

Sasuke meraih ranselnya, keluar dari kamar yang ia tempat berdua dengan Naruto itu. "Aku pergi... Naruto."

.

.

Begitu banyak hal yang didapatnya karena mengenal gadis itu. Dan Sasuke yakin, akan ada lebih banyak perubahan yang terjadi di hidupnya kini.

Karena hidup yang akan mendispersikan warna putih monoton miliknya, menjadi seindah pelangi.

.

.

THE END

.

.

A/N: Oke, izinkan saya ketawa coretnistacoret dulu. Ini-bener-bener-end. Saya nggak nyangka, saya bisa menyelesaikan project saya yang ini—project gagal yang direncanain sejak satu tahun yang lalu, mudah-mudahan masih ada yang mau baca.

Thanks God.

Uhm, biar kelihatan lebih keren, izinkan saya mengucapkan spesial thanks buat kakak saya yang selalu mendorong saya untuk terus menyelesaikan ini, meski saya tahu akhirnya nggak sesuai dengan keinginan dia.

Untuk temen saya, Malini, yang terus nyindir dan bilang kalau saya author gak bertanggung jawab.

Untuk Ana, seme-yang-tak-mau-kuakui-karena-aku-seme yang jadi temen curhat saya di real life, many thanks.

Dan banyak terimakasih untuk Readers yang selalu sabar menanti, tetap meneror saya dengan riview baik di fict ini maupun fict saya yang lain dengan kalimat yang sama, 'Kapan T&W update?' yang gak pernah saya balas karena saya sendiri bingung, kapan ya mau update? Lolz

Akhirnya, satu project tamat. Ini bukan berarti saya akan berhenti nulis SasuHina multichapter, karena saya sudah menyiapkan project yang lain. Untuk fic ini sendiri, saya mestinya harus berterima kasih untuk banyak penyanyi yang lagunya saya dengerin berulang kali dalam pembuatan untuk tetap menjaga mood saya, yang terpaksa nggak ditulis untuk mencegah A/N yang kepanjangan.

Dan jangan minta sekuel, :P

:D

-dae—with lols again ;)-

SPECIAL THANKS TO ::

Mery chan. Freeya Lawliet. Miya-hime Nakashinki. Lollytha-chan. Hyou Hyouichiffer. Mieko Asuka-kun. Zoroutecchi. Tana no cherimoya. Hyuuchiha prinka. Jenny Lee. Lavender hime chan. SakuraNomiya. n. Chikuma unlogin. uchihyuu nagisa. Himeka Kyousuke. keiKo-buu89. Rozu Aiiru. Shyoul lavaen. Firah-chan. Cagali yulla Attha. Michelle Aoki. Sari. bluemaniac. eveleve. rulipoli. miya-tan.