Ramalan
Disclaimer: Masashi Kishimoto
By : Sabaku No Uzumaki (Cerita ini diambil dari ovel 1 cinta sejuta repot dengan perubahan sesuka saya :D)
Warning : OOC, GAJE! Typo (s) *maybe, INO POV
Description :
Berdasarkan ramalan ada 3 cowok yang akan datang di kehidupanku :
-Seorang yang menjadi takdirku…
-Seorang yang mencintaiku…
-Seorang yang aku cintai…
Hanya satu yang yang mesti aku pilih untuk kebahagiaanku.
Kalau bisa aku bakal milih orang yang aku cintai saja. Tapi nggak mungkin. Kata orang cinta itu takdir.
Trus, apa bener orang yang mencintai kita akan bisa membahagiakan kita kelak?
Pilihan yang sulit!
Genre : Romance. Family.
Rate : T
Happy Reading!
Istirahat kedua hari ini. Terlihat Shika sedang duduk di depan kelasnya. Aku dalam perjalanan menuju kantin dan terpaksa melewati kelasnya. Sebetulnya sengaja aku lewat sini, agar aku bisa melirik ke kelasnya, lalu menatap Shika yang keren! Tapi kenyataannya jauh dari rencana. Bahkan melebihi harapan. Shika sedang duduk bersama-sama dengan temannya di depan kelas, dan dia tersenyum padaku. Dan ketika aku lewat…
"Namikaze Ino…" panggilnya, meski nadanya terkesan malas.
Aku melirik sambil tersenyum dan dia juga tersenyum. Beberapa temannya langsung menggoda ku dan Shika. Tentu saja aku merasa sangat malu. Aku mempercepat langkahku menuju kantin, dan sesampainya di sana aku melompat kegirangan.
"Sakura! Ya ampun! Dia manggil namaku. Aduuuuuhh… aku seneng banget, jidat!"
"Pig! Berhenti, banyak yang ngeliatin tau! Malu dong!"
.
.
Dalam tiga hari, kurasakan sebuah perkembangan.
Sejak awal perkenalan aku dan Shika sudah mengobrol – sedikit – tapi terpotong oleh guru yang dalam perjalanan menuju kelas. Salahnya kami berkenalan ketika bel masuk tiba. Dia mengenalkan dirinya, "Shikamaru. Nara Shikamaru." Aku tau kok namanya. Dan meski aku yakin dia sudah tau namaku, aku tetap menyebutkan namaku. "Ino. Namikaze Ino."
Nomer telepon telah menjadi perkembangan terakhir. Dia tidak punya ponsel, tapi dia tidak keberatan memberikan nomer rumahnya. Aku pun memberikan nomerku. Dan pertama kali kami berbicara di telepon adalah Kamis malam kemarin. Meski hanya lima menit, aku puas mendengarkan suaranya yang seksi. Padahal suaranya serak karena dia batuk.
Sampai-sampai aku memberikan es krimku pada Naru, karena terlalu senang. Bahkan aku menaburkan sedikit multivitamin anak di atas es krim Dei, sesuai keinginan Dei yang aneh-aneh.
Sekarang Jumat malam. Shika akan menelepon aku lagi. Untuk itu sambil berpura-pura membaca buku, aku melirik telepon, aku menemani Naru dan Dei bermain Playstation. Sudah pukul setengah delapan. Kaa-san dan Tou-san belum pulang. Dan Sasori ada di teras depan, bermesraan dengan Temari, ceweknya, sekaligus teman sekelasku.
.
Okay, sekarang sudah pukul delapan malam.
Naru dan Dei sudah maju ke level berikutnya, dan bersiap melawan monster sesungguhnya. Melihat mereka memainkan karakter mereka di PS, lumayan menarik selama menunggu Shika meneleponku. Sasori dan Temari, sudah pinda ke ruang tamu. Dan dari desahan yang kudengar – kalau kulihat ntar jadi rate M – mereka sepertinya benar-benar bermesraan. Tak ada nama Sasori atau Temari kudengar dari mulut mereka hanya ada Honey dan Koi. Nama baru mereka mungkin.
.
Sudah setengah sembilan. Naru sudah selesai bermain dan dia sibuk makan ramen yang baru saja aku buatkan. Sementara Dei masih asyik dengan PS-nya. Dia sedang bermain The Sims, dan sudah menyelesaikan sebuah rumah sederhana, membangun karakter baru, mendapatkan pekerjaan dengan prestasi baik, dan menjalin cinta. Aku benci sekali, ketika Dei memanggil taksi untuk berjalan-jalan di downtown, hanya untuk mencium karakter Sims cewek yang sedang lewat.
Sasori dengan gitarnya sedang bernyanyi dengan Temari. Mereka menyanyikan lagu Your call milik Secondhand Serenade.
Waiting for your call, I'm Sick, call I'm angry
Call I'm desperate for your voice
I'm listening to the song we used to sing
Liriknya sangat cocok untukku. 'Di mana kau Shika? Kenapa belum meneleponku juga?'
Aku sendiri sudah membaca dua puluh tujuh majalah bekas yang di simpan di bawah meja samping sofa.
.
Setenga sembilan lebih dua puluh menit, telepon berdering. Aku berlari ke arah telepon dan segera mengangkatnya.
"Halo," sapaku.
"Halo. Bisa bicara dengan Ino?"
"Ini aku. Siapa ini?" Kurasa ini bukan suara Shika.
"Sai. Masih ingat?"
"Tentu, gimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja. Kamu?"
"Yaa… sama. Aku sehat-sehat aja. Tumben nelpon… tau dari mana nomer rumahku?"
"Buku teleponnya Hinata. Yaa… aku iseng aja baca, terus jadi pingin nelpon kamu."
Aku nyengir di depan telepon. Kenapa mesti nelepon sih? Aku lagi nunggu telepon dari Shika.
"Besok nganterin Naru dan Dei nggak?" tanyanya kalem.
"Ngng… nggak tau. Kalau Kaa-san nggak sibuk, Kaa-san yang nganterin. Tapi kalau Kaa-san sibuk, aku yang nganterin."
"Yaah… padahal aku pengen ajak kamu main, sekalian ngelukis kamu."
"Apa?"
"Jalan-jalan. Kadang-kadang aku masih bingung sama jalan-jalan di Konoha. Kali aja kamu bisa nemenin aku, kalau mau nanti aku lukis kamu deh."
"Oh, ya. Kadang-kadang aku juga bingung."
"Atau aku jemput kamu aja di rumah sesudah makan siang? Kita jalan bareng abistu, gimana?" katanya lagi.
"Ngng… aku belum ngecek jadwalku."
"Kamu juga sibuk di hari Sabtu? Ngapain?"
Aku menghembuskan napas. Rasanya nggak enak ngobrol sama Sai, sedangkan otakku tengah memikirkan Shika. Kenapa Sai yang muncul? "Aku nggak bilang sibuk, kan? Aku cuman belum ngecek jadwalku aja."
"Jadi… sebenernya kamu bisa nggak?"
"Aku hubungi kamu lagi, nanti. Okay? Naru udah manggil-manggil aku dari atas, nih!" dustaku.
"Oh. Oke-oke. Aku tunggu ya. Sori kalau ganggu."
Dan tanpa say good bye, aku langsung menutup telepon. Hatiku sedikit lega. Entah mengapa perasaanku tidak begitu tenang menobrol dengan Sai. Ada sesuatu yang mengganjal. Tapi aku tak tahu apa.
Jam sebelas malam, Naru dan Dei sudah tidur. Kaa-san dan Tou-san sudah pulang, dan kini sudah terlelap di kamar mereka. Sasori berada di kamarnya, namun aku masih mendengar petikan gitarnya. Sementara aku, di ruang tengah, menonton drama korea, dan menunggu telepon dari Shika. Dia belum meneleponku juga.
Sampai pagi datang, aku masih belum mendengar kabarnya. Tanpa pikir panjang aku mengirim email pada Sai dan mengiyakan ajakannya. Aku perlu refreshing, nih!
.
.
Sai juga sudah mengetahui rumahku. Alasannya tahu dari buku Hinata. Oh ya? Sebegitu murahkah Naru dan Dei memberikan alamat dan nomer telepon rumah kami pada Hinata? Aku tak mengira dia akan bisa sampai di rumahku, bahkan katanya tidak ada gangguan. Jadi, untuk apa mengajakku jalan yang katanya untuk mengenal jalan-jalan di Konoha?
Dia keren hari ini. Ia memakai kaos putih polos dan dilapisi dengan jaket hitam dengan motif garis merah di bagian bahu. Dan celana panjang hitam. Sepatunya hitam. Dan rambutnya dibiarkan jatuh natural.
"Nggak ada yang ketinggalan?" tanyanya sebelum masuk ke mobil.
"Nggak. Emangnya kita mau ke mana? Nggak akan ke luar kota kan?"
"Ya… mungkin handphone atau alat make up-nya ketinggalan."
Aku tersenyum. "Kebetulan nggak," jawabku. Sejujurnya aku tak pernah meninggalkan barang-barang itu, bahkan untuk di bawa sekolah aku tak pernah lupa.
Sai membawaku ke taman Sakura. Bukan musim semi jadi tak ada bunga Sakura bermekaran di sini. Tapi pemandangannya cukup indah. Dan dia sudah tahu jalan pintas menuju ke sini, kukira dia kebingungan melewati jalan-jalan Konoha.
"Sai," kataku, kami sudah duduk di bawah pohon Sakura. Semenjak turun dari mobil yang kulakukan hanya membuntuti ke mana pun dia pergi.
"Ya?" katanya. Dia sama sekali tak menolehku, dan aku tak suka jika seperti ini.
"Aku belum terlalu kenal sama kamu. Bisa kamu ceritakan, kamu tuh sebenernya gimana?"
Sai menoleh sebentar padaku dan tersenyum. Oke. Kurasa ini bukan acara menemani Sai mengelilingi Konoha. Mulai kurasakan Sai memiliki niat lain di dalam senyumnya.
"Apa makanan favorit kamu?" tanyaku. Keheningan itu membuatku gerah. Dia sibuk melukis tanpa sedikit pun bertutur kata. Entah apa yang dilukisnya.
Dia menolehku sekilas. "Ngng… aku suka… pizza. Dengan keju."
"Aku suka pear dan apel," kataku, "dan aku nggak terlalu suka pizza, itu membuatku gemuk. Yeah, apalagi dengan keju. Berlemak sekali.
"Kalau buah-buahan aku sih suka jeruk," dan itu mengingatkanku pada Naru.
Dan keheningan kembali menyesapi kamu. Aku memainkan rumput di sekitarku.
"Kamu suka olah raga apa?" tanyaku lagi.
"Aku paling seneng sepak bola, dan aku paling seneng sama MU."
Dalam kamusku, MU adalah Miss Universe. Tapi aku tak tahu MU-nya Sai adalam Manchester United.
"Oh, Nii-san ku juga suka sepak bola. Kadang-kadang kita berebutan channel antara sepak bola dan fashion. Aku suka melihat gaya fasion hollywood. Aku suka katy perry. Dia keren."
Sai tersenyum. "Kakakmu suka tim apa?"
Gawat. Dia tidak suka dengan topik kewanitaanku. "Entahlah… mungkin AC Milan." Sebenarnya aku tidak tahu tim apa yang Sasori-nii sukai. Aku benar-benar buta sepak bola.
Harusnya Sai menanyakan kenapa Demi Lovato nggak pernah nyaman sama bentuk tubuhnya, bahkan pernah masuk rumah sakit dan menjalani rehab karena masalah eating disoder dan mengontrol emosi. Padahal menurutku tubuhnya keren.
"Aku suka MU karena bla… bla… bla… bla…"
Kami-sama, aku tidak mengerti dengan apa yang Sai katakan. Gara-gara aku menanyakan olah raga favoritnya saja, sekarang dia berceramah tentang sepak bola dan segala sejarahnya. Dia baru saja berbicara tentang inggris, dan dia menyebutkan nama David Beckham. Oke, aku tidak tahu sedang apa David Beckham di inggris. Yang kutahu dari inggris hanyala Pangeran Wiliam yang baru saja menikah dengan seorang wanita bernama Kate. Apakah David Beckham kenal dengan Pangeran William?
"Begitu lah. Jadi aku gagal ketemu David Beckham di Inggris. Mungkin belum rezekinya. Jadi… apa olahraga favoritemu?" katanya. Akhirnya pembahasan tentang sepak bola berakhir.
"Aku lebih senang joging, tapi aku belum tahun ada atlit joging dan kejuaraannya."
Dan kini dia sibuk membahas tentang lukisan. Aku makin tak mengerti. Dia bilang dia suka dengan Masashi Kishimoto, tapi sebentar… memang dia pelukis ya? Dia bukannya penulis komik Naruto yang terkenal itu? Dan karena komik itu nama-nama keluargaku sebagian besar di ambil dari sana.
Karena aku semakin tak mengerti, aku melihat lukisan Sai. Dia melukis seorang gadis dengan poni panjang ke depan dan rambut diikat ponytail dengan warna rambut pirang dengan mata biru. Sedang tertawa lepas dan dikelilingi pohon Sakura. Tunggu… bukankah itu aku?
"Bukankah itu aku?"
"Memang," dia tersenyum menatapku, "kan aku sudah janji untuk melukismu. Nanti kalau sudah selesai kau boleh membawanya pulang."
"Arigato."
.
.
Malamnya, aku menelepon Sasuke. Entah mengapa harus Sasuke, tapi aku ingin sekali mengobrol dengan seseorang malam ini.
"Aku butuh temen," desahku. Aku kesepian.
"Aku ke rumah kamu sekarang?"
"Eh, nggak usah. Aku cuman butuh temen ngobrol lewat telepon aja. Lagian sekarang udah malem, entar kamu dimarahin kalau keluar rumah."
"Nggak bakal ada yang marahin aku. Aku kan ngekos. Nggak ada yang marahin aku kalau pulang malem, terus pulang sampe pagi juga."
"Aku lagi bete."
"Kenapa? Biasanya kamu berisik."
Aku mengerucutkan bibir. "Enak saja, aku nggak berisik tau! Ada cowok ngajak aku kencan. Tapi dia ngebahas bola waktu kita kencan, dan aku nggak suka bola. Waktu lukisannya sudah selesai dia juga masih ngebahas bola. Bahkan ketika sampe rumahku, dia masih ngebahas gimana bentuknya bola dan apa warnanya. Aku bete. Aku nggak dikasih kesempatan untuk ngebahas apapun yang aku suka."
"Aku suka bola, tapi aku nggak terobsesi untuk ngomongin keseluruhan bola sama orang-orang. Tenang aja. Jadi… kamu pingin ngebahas apa?"
"Nggak. Nggak usah. Entar kamu nggak mau denger?"
"Nggak apa-apa. Aku lagi santai kok. Kalau mau ngebahas apa pun itu, meski masalah cewek, aku ngedengerin kok. Walaupun mungkin aku nggak tau banyak…"
Aku tersenyum. "Miss Universe?"
"Apa yang mau kamu bahas?"
Dan obrolan kami pun berlanjut. Sasuke hanya menanggapinya sesekali, dan aku yakin dia mendengarkan. Sudah satu jam aku menelepon Sasuke dan yang kami bahas hanya tentang Miss Universe, dan sedikit nyerempet sampe Miss World bahkan Miss Intercontinetal. Dia benar-benar mendengarkanku.
Kulihat Tou-san muncul dari balik tangga, dan memperhatikanku. Rasanya aku terlalu lama mengobrol di telepon. Segera aku mengakhiri pembicaraan. "Ngng… Sasuke. Kayaknya udah malem. Udah dulu ya nelponnya?"
"Hn. Tentu. Kenapa?"
"Udah kelamaan nih, nggak enak sama kamu."
"Nggak apa-apa. Aku seneng kamu ngeluangin waktu buat nelpon aku. Biasanya kamu sibuk ngurusin Dob… eh Naru dan Dei. Eh mereka ke rumahnya Tsunade-sama ya? Kok nggak kedengeran?"
"Mereka udah tidur. Nggak apa-apa kan aku nelpon kamu barusan kelamaan? Ngebahas yang kamu nggak ngerti."
"Nggak apa-apa. Tenag aja. Udah di bilang aku lagi nggak ngapa-ngapain. Kamu mau bahas tetangga-tetangga kamu yang aku nggak kenal pun. Aku bakal dengerin."
Dan kami berdua tertawa. Telepon dapat dihentikan bebrapa saat kemudian, setelah Sasuke akhirnya mengucapkan selamat malam dengan lembut untukku.
.
Hari Kamis minggu depannya adalah hari yang menyenangkan. Aku dan Shika memiliki waktu berdua, mengobrol di kantin. Aku tak sanggup menahan dadaku yang berdegup tak karuan mengobrol dengan orang yang kupuja selama ini.
Aku tak tahu pasti apa yang kubicarakan dengan Shika. Yang kutahu matanya begitu indah, senyumnya, rambutnya, aku tak sanggup mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Aku begitu terpesona.
Oh ya, hari Senin sebelumnya, aku membeli kalung rantai dengan berlian membentuk huruf I menggantung di tengahnya. Begitu aku memberikannya kepada Shika, dia melepas kalung lamanya, dan langsung memakai kalung pemberianku.
"Bagus," katanya.
.
Hari Sabtu aku mengantarkan lagi Naru dan Dei ke tempat lesnya. Saat itu aku sedang ingin bertemu dengan Shika, karena Shika meneleponku tadi pagi, jadi aku masih kangen suaranya. Namun aku malah bertemu lagi dengan Sai.
"Ino! Kaa-san kamu sibuk ya?" katanya.
"Ya, Kaa-san harus ke kampus, jadi aku nganterin Naru dan Dei ke tempat les."
Keadaan berubah tak mengenakan. Nada bicara Sai tiba-tiba menjadi serius. "Ino, Aku mau… minta maaf," katanya pelan.
"Minta maaf? Untuk apa?"
"Minggu kemarin. Aku terlalu banyak ngomongin bola di depan kamu. Pasti kamu risih ngedengernya?"
Aku menggeleng. "No problem," dustaku.
"Oya?"
"Ya, kenapa nggak? Lagian aku ngerti kok, kamu pasti nggak mau kalau aku mulai ngebahas lipstik atau blush on, bukan?"
Sai tertawa. "Ya, tapi… aku ngerasa nggak enak aja. Seminggu aku mikirin kamu. Aku taku kamu marah sama aku gara-gara aku cuman ngebahas bola dan nggak ngebiarin kamu ngomong sedikit pun."
Aku tersenyum. Aku seneng dia mau mengakui kesalahannya. "Bener kok. Bukan masalah," kataku.
"Jadi kamu maafin aku?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku melihat kepalanya, dan dia memakai lagi topi dariku. Sebenernya di simpan dimana sih? Sasuke aja setiap hari pake sweater dariku terus ke sekolah. Dan aku yakin itu sangat panas, karena aku saja nggak bakal kuat make sweater di musim panas seperti ini.
"Sebenernya aku mau ngomong…" tiba-tiba Sai berhenti cukup lama.
"Ngomong apa?"
"Ah, nggak. Nggak jadi,"
"Udah ngomong aja. Kenapa?"
Sai menggaruk dulu kepalanya, dan mencoba menatapku. "Sebenarnya aku… aku mau ngomong… kalau aku… lebih suka Michael Owen daripada David Beckham."
'Argghh! Sai mulai lagi membicarakan tentang BOLA? Kenapa harus bola lagi?'
.
Beruntung sekali aku ada janji dengan Sasuke untuk berkunjung ke kosannya. Jadi, aku bisa menolak segala jenis ajakan kencan Sai. Tentu saja, aku bilang pada Sai aku harus buru-buru pulang bukan alasan yang sejujurnya. Aku jadi muak terhadap sepak bola. Entahlah… mungkin jika Shika yang berceramah tentang sepak bola, aku nggak apa-apa. Tapi Sai sepertinya sudah dicetak dalam kamusku, tidak cocok jika membicarakan bola, karena dia memberikan kesan buruk terhadap sepak bola padaku.
Aku sampai di tempat kos Sasuke setengah jam kemudian dari tempat les bahasa Inggris. Katanya kalau Naru dan Dei mau ikut, bawa aja. Ya udah. Rumahku kosong. Tak ada siapa-siapa, kecuali Sasori.
Tempat kosnya tidak sulit kutemukan, apalagi Sasuke udah nongrok bersama motornya, di depan jalan kecil dekat tempat kosnya. Dia memakai celana pendek berwarna biru dengan motif ombak, dan sweater hijau dariku.
Hellooooo… Konoha siang ini sangat amat panas. Kenapa bisa dengan nyaman memakai sweater-ku? Aku mengerti jika pagi Sasuke memakai ke sekolah, karena pagi udara lumayan sejuk. Tapi siang-siang gini? Bahkan aku aja yang pake tanktop tipis masih kegerahan.
"Ikutin aku," katanya sambil tersenyum. Dia menaiki motornya dan melaju di depanku. Aku dengan mobil Kaa-san membuntutinya dari belakang. Naru dan Dei melongokkan kepalanya di jendela dan menyoraki Sasuke. Dasar bandel!
"NARU-DEI! Kalian duduk! Bahaya ngeluarin kepala dari jendela," pekiku pada mereka.
"Ah, Nee-chan kampungan," kata Naru. Dia makin mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil. Jadinya aku harus memelankan kecepatan agar mereka tidak terjatuh.
"Bukannya kampungan, tapi bahaya! Gimana kalau kalian jatuh?"
"Kalau kita jatuh, ya kebawah jatuhnya un," balas Dei.
Dasar bocah-bocah licik! Untung saja sudah sampai. Dan aku menghentikan mobilku.
Tempat kos Sasuke lumayan besar. Bentuknya seperti rumah di depannya, tapi di bagian belakang, berderet beberapa kamar kos mirip kamar motel. Di sini kos-kosan khusus mahasiswa dan pelajar. Kebanyakan yang berasal dari desa lain atau pinggiran Konoha. Yang memerlukan waktu lebih dari sejam untuk sampai sekolah. Tapi yang aku tak mengerti kenapa Sasuke ngekos?
"Rumahku pindah ke LA, karena ada urusan bisnis keluarga. Dan aku disuruh pindah sekolah. Tapi aku nggak mau. Aku pingin nyelesain sekolah di sini," jawabnya saat aku bertanya.
Kamar Sasuke ada di paling ujung. Ini adalah kamar paling besar. Memang benar. Bahkan kurasa, ini bukan kamar kos. Ini lebih mirip apartemen mini.
Luasnya enam kali delapan meter, sangat rapi, dan bersih, dan aku mencium wangi mint. Sangat maskulin. Ada sebuah pintu dekat lemari baju besar dari kayu, itu pintu menuju kamar mandi. Ranjang untuk satu orang di letakkan di pojok, dan selimut terlipat rapi. Lalu ada dapur mini dekat meja laptop, dan sebuah lemari es mini di atas konter. Ada dua macam gitar dan sebuah organ di sampingnya. Lalu televisi dengan peralatan sound speaker dan VCD dan DVD-nya, ada Wii dan PS3 di sebelahnya. Wow… ini apartemen. Bukan tempat kos.
"Sori berantakan," katanya.
What? Berantakan? Kalau ini berantakan, lalu bagaimana rapinya?
Naru langsung mengambil satu gitar dan memetiknya asal. Sementara Dei berlari menuju televisi, menyalakannya, dan memilih-milih DVD di rak bawahnya.
"Mau minum apa?" tawar Sasuke. Dia sudah ada di dapur mininya.
"Ah, nggak usah," kataku.
"Aku pingin susu!" pekik Naru. Dia berlari ke arah dapur mini, meninggalkan gitarnya begitu saja, dan menaiki konter.
"Tapi di sini nggak ada susu anak-anak, Dobe." Kata Sasuke mengacak-acak rambut duren Naru.
"Susu itu juga nggak apa-apa," Naru menunjuk kotak susu L-Men, susu yang bisa membuat tubuh cowok lebih kekar dan atletis.
Terlihat semburat merah di wajah Sasuke – malu. Mungkin karena aku sebagai cewek melihat dia memiliki susu seperti itu. Kurasa ini membuatnya seperti tidak mampu membentuk badannya sendiri. Tapi bagiku nggak apa-apa kok, bukannya dengan minum itu badan cowok terlihat lebih seksi? Aku sih setuju aja.
"Itu… ngng… bukan punya Nii-san… itu punya temen, kebetulan nitip di sini. Kamu tunggu di sini aja, kakak ke luar dulu buat beli susu."
"Eeeh… nggak usah repot-repot aku bawa susu kok," kataku – aku memang terbiasa membawa susu ketika berpergian bersama Naru.
"Hn… bisa bawa susunya ke sini? Naru mau susu rasa apa?" tanya Sasuke pada Naru.
"Susu rasa ramen."
"Naru! Jangan minta yang aneh-aneh!" seruku.
Naru menunduk kecewa. "Ya udah… rasa vanilla aja…"
"Rasanya deket sini ada kedai ramen enak. Nanti Nii-san bliin."
"Sasuke, nggak usah repot-repot."
"No problem, Ino. Kasian dia pingin ramen."
"Iya nih, punya Nee-chan pelit," omel Naru.
"Hei, BAKA! Siapa yang pelit? Kamu aja yang minta aneh-aneh!" seruku.
Sasuke tertawa, dan melerai kami. "Udah, nanti aku turun bliin ramen. Dei mau minum apa?"
Dei sedang asyik menonton Harry Potter terbaru, Dei menoleh. "Apa?"
"Mau minum apa?"
"Minum?" Gam memutar otak. "Wiski aja, un."
"HEI! JANGAN YANG ANEH-ANEH DONG!" pekikku kesal. "Dei… di sini nggak ada wiski. Seandainya ada pun kamu nggak boleh minum. Udah gede sekalipun, kamu tetep nggak boleh."
Dei merengut. "Ya udah, jus tomat aja, un."
"Kalau itu ada," kata Sasuke. Dia langsung membuka lemari esnya dan mengambil sebotol jus tomat siap sedia. Aku menghampiri dapur mininya, dan apa yang kutemukan? Banyak buah tomat dan…
"Pear?" gumamku.
"Hn, kamu mau? Ambil aja. Ngeliat buah ini di supermarket, aku inget kamu. Jadi aku langsung beli."
"Waaah, makasih. Boleh aku minta satu?"
"Semuanya juga boleh."
.
Sejenak ketika Sasuke membeli ramen, aku mulai menyelidik kamar kosan ini. Tidak kutemukan diary di meja belajar. Hanya buku-buku dan beberapa majalah. Tapi aku sempat menemukan foto-fotoku. Sepertinya Saske berbakat dalam Fotografi, terbukti dari hasil fotonya yang keren.
Ramen datang dan Naru langsung menyerbu Sasuke. Aku memperhatikan mereka. Sasuke lumayan ramah dengan Naru dan Dei, beda sekali dengan di sekolah yang selalu stay cool.
Kesempatan mengobrolku dengan Sasuke hanya datang beberapa menit kemudian. Ketika Naru dan Dei bermain PS.
"Jadi… kamu punya kakak?"
'Sekarang ia ingin mengetahui keluargaku.'
.
Bermain di rumah Sasuke, berakhir dengan jalan-jalan ke mall. Naru rewel minta digendong Sasuke, dan Dei menganggap itu keren. Jadi dua-duanya rewel minta digendong. Tapi aku berhasil mengancamnya, sehingga mereka tak sampai digendong Sasuke. Aku nggak bisa bayangin Sasuke gendong dua bocah setan kayak mereka.
Kami sampai di restauran Italy dan memesan seloyang Pizza. Sambil melihat orang-orang bermain ice-skating.
"Aku pingin main itu," pinta Naru.
"Nggak sweetheart, itu khusus enam tahun ke atas," kataku bohong.
"Jadi, aku bisa masuk? Aku kan sudah enam tahun!"
"Enam tahun ke atas, mulai angka tujuh dan seterusnya. Bukan dari angka enam."
"Kenapa harus enam tahun sih?" gerutu Naru.
"Peraturannya akan berubah sesuai bertambahnya umur kamu," kataku bercanda.
"Jadi kalau aku tujuh tahun, entar peraturannya berubah jadi tujuh tahun ke atas?" Aku mengangguk. "Nee-chan boong! Masa peraturannya berubah tiap Naru ulang tahun."
"Sebab kalau kamu diizinin masuk, takutnya es di situ bukannya kamu pakai meluncur, tapi kamu makan."
"Siapa bilang? Aku mau main ninja-ninjaan kok!'
"Iya, dan misinya menghancurkan monster es kan?"
Naru cemberut. Dia marah. Dia tidak mau makan pizza-nya, dan hanya melihatnya saja. Dei, anak itu sedang mengunya pizza dengan mulut penuh. Tentu saja, pizza yang ada di dalam mulutnya bukan pizzanya saja. Ada jatahku dan Sasuke juga.
.
Sekarang kamu sudah ada di arena permainan. Dua bocah kembar itu sedang sibuk menghabiskan saldo dari kartu mereka masing-masing. Sedangkan aku dan Sasuke asyiik mengobrol.
"Nee-chan, pacaran terus kerjanya!" Naru tiba-tiba muncul diantara kami. "Aku pingin main basket. Bantuin dong!"
Aku dan Sasuke tersenyum. "Sini, Nii-san gendong!" ujar Sasuke, sambil menggendong Naru di atas bahunya.
Sementara Dei, dia kelihatan sedang mengobrol dengan anak cewek sebayanya. Itu bukan Hinata, bukan juga teman sekolahnya.
"Jadi… Tayuya… nama kamu bagus sekali. Seperti nama pesulap un," kata Dei. Aduh seharusnya. Kenapa pesulap sih? Nggak ada pesulap bernama Tayuya. Pling banter Uya.
Tayuya mengerutkan alisnya.
"Sori aku hanya bercanda…" kata Dei sambil tertawa kecil. Dan Tayuya ikut tertawa. Aduh, untung tertawa. Kalau aku sih tersinggung. Disamain sama Uya Kuya, siapa juga yang nggak tersinggung?
"Kamu sendiri?" tanya Tayuya.
"Aku Deidara, orang lain memanggilku Dei. Aku punya saudara kembar tapi dia jelek. Tidak seperti aku cute. Aku punya Nee-chan yang pelit. Tou-san ku keren, makannya aku juga keren, un."
Aduuh, nih bocah sok keren banget sih! Kalau Naru jelek, seharusnya kamu juga jelek. Kamu kan saudara kembarnya. DAN KENAPA AKU DISEBUT PELIT?
"Wah kereen." Tayuya bertepuk tangan. Bocah cewek berambut merah dan bergaun putih. Terlihat manis dengan wajah polosnya. Tapi sebenernya, orang tuanya mana sih?
"Jadi apa hobi kamu, un?" tanya Dei.
"Aku suka bermain seruling."
"Oh… ya. Aku juga suka, tapi lebih suka membuat peledak, un."
SOK! Megang seruling saja dia belum pernah.
"Jadi kamu bisa main seruling, un?" tanya Dei.
"Iya… kamu mau jadi teroris ya?"
"Mungkin, kamu mau kencan denganku? Aku akan membawamu ke Paris Hilton, un."
Rupanya Dei memang benar-benar pengacau.
"Aku nggak begitu suka Paris Hilton. Terlalu kotak. Aku suka Teri Hatcher dan Eva Longoria."
Rupanya Tayuya jauh lebih pintar dari Dei.
"Apa itu Eva Longaria?"
"Ohh… itu nama tempat persinggahan kakeku di Hongaria."
Bruuuk! Aku hampir terjengakang ke belakang, membuat beberapa orang menolehku. Seharusmua Eva Longaria itu pameran Gabrielle Solis di Deperate Houswives! Mana ada sih, nama tempat persinggahan Eva Longaria di Hongaria.
"Nee-cha nguping!' seru Dei. Dia ikut melihatku.
"Oh, hai… Nee-chan nggak nguping kok… Nee-chan cuman lewat trus kepeleset."
.
.
Setelah keluar dari arena bermain, aku minta izin ke toilet, sedangkan Sasuke, Naru dan Dei langsung menuju toko buku. Toilet lumayan sepi. Tapi tebak siapa yang kutemui ketika sedang bercermin di cermin di atas wastafel toilet ini? Si cewek aneh yang ngakunya peramal yang nggak jelas pernah mempromosikan jaket hijau atau buah pear.
"Hai! Masih ingat aku?" tanyanya sambil memoles bibir dengan lipgloss.
"Oh yeah. Kenapa mesti lupa? Kamu kan yang punya banyak pekerjaan?"
"Namaku Konan," katanya. Dia langsung menggeser tubuhnya mendekatiku. Jujur aku agat takut dengannya.
"Oh, kau—ngng—Konan, Dectective Konan?" kataku. Dan dia tertawa keras. Si Konan peramal itu sampai terduduk dilantai. Sesaat seteah ia reda dari tertawa dan berdiri lagi di sampingku. "Aku suka kok, Dectective Conan." Dan dia cekikikan.
"Udah deh. Lupain aja Ino, entar aku main ke rumahmu ya? Aku pingin ngeramal kamu."
"Dari mana kamu tau namaku, 'Ino'?
"Udah aku bilang aku peramal, kan?"
Oke. Mungkin benar, dia memang cenayang. Tapi apa urusannya cenayang Konan ini dengan kehidupanku?
Konan berdiri tenang di depan kaca, dan tersenyum simpul. "Bakal ada tiga cowok yang masuk ke kehidupan kamu. Yang pertama adalah cowok yang kamu cintai. Yang kedua adalah cowok yang mencintai kamu. Dan yang ketiga adalah cowok yang selalu ditakdirkan ketemu kamu meski kamu nggak mau ketemu sama dia. Cowok ketiga pun nggak akan ketemu kamu, kalau takdirnya emang nggak ketemu kamu. Everything has its rules."
Aku memutar bola mataku. Konan sedang memasang mascara tipis. "So?" Aku tidak mengerti masudnya.
"Ya, jadi intinya ada tiga cowok yang bakal masuk ke kehidupan kamu. Cowok yang kamu cintai. Cowok yang mencintai kamu. Dan cowok yang menjadi takdir kamu." ulangnya.
"Iya. Jadi?"
"Jadi, semuanya bagus. Cowok satu-dua-tiga, aku rasa sudah mulai masuk kehidupan kamu. Kamu udah ngerasa mereka masuk?" Kini ia menatapku.
Aku memutar otak (?). " Jadi, siapa mereka? Cowok yang masuk ke kehidupanku – maksudnya, kamu kan peramal, tau dong siapa mereka?"
Konan hanya mengangkat bahunya pelan. "Aku bisa ngeliat siapa cowok itu dalam terawanganku. Tapi aku nggak tau nama mereka. Entar kalau udah sampai rumah, sebutin di atas kertas cowok-cowok yang masuk kehidupan kamu dua minggu terakhir, terus masukin sesuai katagori."
"Semua cowok?"
"Ya? Kenapa nggak? Aku telepon deh, kalo kamu udah beres. Entar kita ngobrol lagi. Eh… aku mesti cabut nih, ada yag nungguin aku di parkiran. See you…"
"Cowok kamu?"
"Bukan. Aku nggak kenal dia. Tapi dalam terawanganku kita bakal tubrukan. Aaaah, cowoknya cakep pake perching. Mudah-mudahan aku bisa kenalan."
"jadi… kamu butuh emailku?" tawarku.
"Nggak usah aku udah punya."
"Hey—dari ma…"
"Aku peramal, babe."
.
Dan tau siapa berikutnya yang aku temui setelah keluar dari toilet sebelum sampai di toko buku?
Sai.
Aku bertabrakan dengannya di depan arena bermain. Dia membawa kantong plastic berwarna putih… penuh dengan alat lukis.
"Hey! Katanya mau main ke kosan temen?" tanyanya.
"Oh. Itu. Aku emang ke sana. Tapi sekarang, aku dan temenku itu langsung main ke sini.
"Sama Naru-Dei?"
"Yeah."
"Oh, ya udah aku pergi dulu ada yang nungguin."
"Aku juga."
Dan kami berpisah.
Meski hanya sesaat pertemuan itu, aku akan memasukkan Sai pada daftar tiga cowok kategori yang akan masuk kehidupanku sesuai saran Konan peramal itu. Tapi jangan pernah mengganggap aku mempercayainya! Aku hanya melihat ini seagai permainan menarik saja… bagus. Aku ingin segera pulang dan memulai permainan ini. Sepertinya menarik.
Sasuke sedang menarik Dei dari suatu tempat. Aku melihat itu sebagai keributan, makannya aku langsung menghampiri.
"Kenapa, Sasuke?" tanyaku.
Sasuke melepas tangan Dei, dan mendesah, "Dei ingin beli komik Icha-Icha Paradise."
"APA?"
Balasan Review :
Vaneela : author juga suka SasuIno di sini, author gg mau Sasuke yang terlalu dingin :D
Dan untuk typo(s) gomen, author udah berusaha ngurangin typo tapi kayaknya ini udah jadi penyakit T.T
Yukina Lupapassword, Chika Chichi : Ini udah update :D
Dan untuk typo(s) gomen, author udah berusaha ngurangin typo tapi kayaknya ini udah jadi penyakit T.T
Saqee-chan, bebCWIB uchiHaruno : Ini udah update :D
Chesee-chan : Iya itu konan. Ino? Liat aja :D
Pertama-tama mohon maaf karena update lelet, kedua karena banyak typo (s) saya jarang edit ulang fic soalnya (males :D)
Ketiga karena bales gg PM, saya lagi masalah sama akunnya.
And big thanks for readers baik yang review maupun silent :D
NB : Vanella author salah ketik nama ._. sudah author perbaiki :D
Apakah fic ini cukup memuaskan?
Saya rasa yang chap sebelumnya kurang bagus
#dikit yang review soalnya T.T
REVIEW
.
.
.
.
.
.
V