#2

Beauty and The Beast

Suatu hari dalam kisah di buku dongeng, Beauty yang tersesat kemudian diculik dan tinggal bersama seekor makhluk yang buas dan jahat. Dia tahu dia sendiri, ketakutan, dan kebingungan, tapi dia juga harus bertahan. Jadi, sedikit demi sedikit, dia maju dan mulai menyesuaikan diri.

Yang dia tak tahu saat itu adalah, kalau ternyata Beast juga –setidaknya pernah jadi -manusia. Dia punya hati dan bisa merasa.

::

::

::

"Maaf terlambat…"

Kafe yang ada di dekat taman kota menjadi tempat yang dipilih Sai dan teman-teman satu klubnya untuk menghabiskan waktu liburan yang hanya ada sekali seminggu. Tempatnya yang gak terlalu ramai dan nyaman, ditambah pemandangan jalan-jalan kota yang lengang plus sinar matahari hangat yang selalu masuk saat pagi datang, menambah kesan positif yang memang harus dimiliki oleh mereka yang seniman.

Seniman?

Author udah pernah bilang belum kalau Sai itu pelukis?

"Duduklah."

Si cowok pucat tersenyum sampai matanya tenggelam. Kepalanya mengisyaratkan agar Hinata yang baru datang mengambil tempat di sisinya. Hinata langsung menurut, dia yang memang masih lelah karena baru berlari akhirnya merasa lega. Tapi itu tak bertahan lama.

Alasannya?

"Siapa nih cewek manis?"

Semua mata yang duduk di meja itu menatap Hinata dengan penasaran. Bahkan ada yang sengaja memajukan kursinya untuk semakin mendekati Hyuuga yang tiba-tiba merasa udara menipis. Bahkan cowok berambut platina yang punya gaya rambut jadul pun berani menjulurkan lehernya.

"Dia, pacarku."

"HAH?"

::

::

::

"Wyang bwenef ah! Wakwu gwak pwecawa," si cowok gembul yang lagi makan kripik kentang bicara, menumpahkan beberapa remah-remah di atas meja bertaplak putih polos. Teman-temannya yang lain melihat jijik, tapi dia gak perduli.

"Bukannya kau gak punya pacar, ya?" si Hidan ikut ngomong. Masih dengan kepalanya yang terus mengamati Hinata yang menunduk dengan muka memerah.

"Hai, namamu siapa?"

Akhirnya… ada juga yang normal.

Sebuah uluran tangan terjulur di depan Hinata. Gadis itu mendongak dan mendapati seorang perempuan berambut biru tersenyum padanya.

"H-Hyuuga Hinata," dengan sedikit tergagap Hinata menjawabnya.

"Oh, aku Konan. Yang di sampingmu itu Deidara. Yang gemuk itu Chouji. Terus, yang disampingnya lagi Hidan, lalu Pein, lalu yang disamping pacarmu itu Yakumo," terang Konan dengan sangat bersemangat, "Kami anggota kelompok seniman muda se-kota ini."

"Oh…" Hinata yang merasa menerima perlakuan hangat tersenyum senang, tapi kemudian berubah menjadi sedikit kikuk saat melihat sosok gadis manis yang duduk di sebelah Sai menunduk dengan bibir bergetar.

Dia menangis?

"A-aku… mau ke toilet dulu." Selesai bicara, Yakumo langsung berdiri dan pergi.

Dia kenapa?

"Wah, Sai… jaga dia baik-baik. Kalau tidak, akan ku rebut, un!"

::

::

::

"Uhm… hai!"

"Hai."

Percakapan menemui jalan buntu. Hinata masih berdiri kaku di depan pintu masuk toilet, Yakumo masih terus nyaman melihat ke lantai marmer yang mulai usang.

"Aku mau keluar," katanya, masih menunduk. Hinata yang sadar telah menutupi jalan segera menepi sambil menggumamkan kata maaf. Yakumo segera lewat, tapi sebelum dia benar-benar pergi, Hinata yang entah dapat keberanian dari mana langsung memanggilnya.

"Ya?" Yakumo berhenti, namun tak berbalik.

"Kenapa menangis?"

Yakumo menggeleng, "Tidak," katanya, lalu berjalan lagi. Tepat sebelum menghilang di tikungan, dia berkata pelan, "Jaga Sai, ya?" lalu benar-benar pergi. Hinata yang mendengarnya mematung di tempat. Kali ini, dia jadi merasa sebagai pihak yang jahat.

::

::

::

"Sai-kun."

Di depan kafe, Hinata yang bersiap akan pulang, menunda rencananya sejenak. Perasaan bersalah yang muncul di hatinya saat bertemu dengan Yakumo di toilet tadi membuahkan rasa tidak enak yang seolah siap mencekik lehernya yang mungil.

"Hm? Ayo jalan."

Hinata mengikuti Sai, berjalan beriringan dengan pemuda pucat yang saat itu mengenakan kaos berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang pucat bak mayat.

"Sai-kun…"

"Apa? Langsung saja bicara." Nada ketus keluar. Dia tak seperti Sai yang ada di kafe tadi. Dia kembali lagi jadi Sai yang ada di taman kota.

"Bagaimana kalau ada seorang gadis yang menyukaimu?"

Sai terus berjalan, tak pernah sekalipun dia melihat Hinata. Tangannya dia masukkan di kedua saku celananya. Yang terdengar hanya deru mesin kendaraan yang lalu lalang, padahal yang ingin Hinata tangkap itu jawaban Sai.

"Sai…"

"Hm?"

"Bagaimana?"

"Memangnya siapa? Kau mulai naksir padaku?" sahut Sai cuek.

"B-bukan."

"Kau mau tahu apa yang kupikirkan saat ini?" tanya Sai.

"Apa?"

"Kau berisik. Terlalu banyak bertanya, dan itu membuatmu jadi seolah tak tahu apa-apa. Di mataku, kamu bener-benar cewek bego yang menyedihkan." Lalu dia pergi, sementara Hinata malah terhenti.

Guntur yang menggelegar jadi soundtrack yang kena banget di hati cewek Hyuuga yang naksir sama Naruto. Dia pingin nangis, tapi ini jalan raya yang ramai.

Malu.

"Heh, selain bego, kau itu lelet ya?" Sai yang berada sekitar lima meter di depan Hinata berhenti, memandang rendah Hinata yang beraura jauh lebih suram dari yang sebelumnya.

Ada gak ya cara untuk menumpulkan mulut Sai yang kelewat tajam itu?

::

::

::

Malam hari di asrama sekolah khusus cowok Konoha Gakuen, Sai mulai melancarkan aksinya dengan mendatangi kamar ketua osis. Kondisi lorong yang emang remang-remang, membuat hawa seram mencuat keluar, apa lagi saat semakin mendekat ke kamar ketua osis yang sengaja di cat dengan warna gelap.

Saat bel ditekan, terdengar suara musik kematian mengiringi suara derit pintu yang perlahan dibuka dari dalam. Lalu sesosok makhluk berjubah hitam keluar dan menunjukkan seringaian layaknya psikopat yang siap membunuh. Suara tawa yang membahana kemudian membelah atmosfer khas rumah hantu yang dimiliki oleh kamar paling ujung asrama putera. Gigi taring yang runcing mencuat keluar dari mulutnya saat dia bilang…

"Selamat datang di gerbang neraka."

::

::

::

"Aku butuh bantuan."

Saat Sai masuk, suasananya benar-benar berbeda. Pencahayaan di kamar luas yang menggunakan arsitektur modern ini benar-benar nyaman. Ada rak buku yang penuh ensiklopedi berwarna-warni, kamus, dan buku-buku pelajaran yang menunjang. Rak bukunya sendiri dibuat dari kayu redwood yang benar-benar bagus. Bahkan sofa yang diduduki Sai terasa empuk dan bikin ngantuk.

"Hah… kau selalu datang hanya saat ada maunya." Sasori, sosok aneh yang tadi menyambut Sai, melepaskan mantel hujannya yang berwarna hitam, menyampirkannya di belakang pintu, lalu ikut duduk di samping kanan Sai.

Cowok itu cuma diam gak tertarik pada Sasori. Matanya jelas tertuju pada sang ketua osis yang duduk sambil meminum tehnya dengan hikmat.

"Itachi, aku mohon."

::

::

::

Satu kesan yang ditangkap Hinata saat akhirnya dia berhasil masuk ke sekolah Konoha Gakuen dan menyamar jadi murid laki-laki di sana; mengerikan.

Gimana enggak?

Berada di dalam satu lokasi berhektar-hektar dengan hanya mengetahui bahwa dialah satu-satunya wanita diantara kumpulan makhluk egois yang jorok dan bau badan yang bernama cowok, dunia kayak mau rubuh. Hinata harus cari tempat berlindung, tapi jelas itu bukan kamarnya.

"Ini kamarmu."

Saat Sai yang jadi tour guide-nya bilang begitu sambil membuka pintu kamar bernomor 364, Hinata percaya kalau takdirnya memang gak pernah bisa beruntung.

Kamar itu terang. Cahaya bisa masuk dengan mudah dari jendela kaca besar yang terletak tepat di samping pintu masuk. Sayangnya, segala ruangan yang serba putih mulai dari tirai hingga seprainya penuh dengan benda-benda aneh yang beberapa diantaranya berpotensi membuat Hinata dapat mimpi buruk.

Rak yang berisi penuh gelas kimia berjejer rapi di salah satu meja belajar. Beberapa buku kedokteran yang masih terbuka tergeletak begitu saja di atas tempat tidur sebelah kiri. Lalu, ada beberapa foto asli tentang paru-baru, dan organ-organ dalam manusia yang lain. Hinata perlu latihan ekstra buat gak muntah saat lihat gambar mengerikan itu. Dan yang paling mengerikan dari yang mengerikan adalah, rangka penuh dari anatomi manusia yang berdiri sambil menatapnya di pojok ruangan, seakan berkata, "Hai."

Kalau saja tak mengingat alasan dia melakukan ini, Hinata akan langsung pulang dan tak mau lagi kembali.

"Kau sekamar dengan Kabuto," kata Sai, membuyarkan lamunan Hinata, "Dia orangnya agak pendiam. Dia anggota PMR di sini, dan, yah… yang seperti kau lihat. Dia terobsesi ingin menjadi dokter. Maka jangan heran kalau dia suka membuat eksperimen yang aneh-aneh di kamarnya. Yang perlu kau ketahui, dia itu gak suka diganggu."akhir ucapan Sai itu menjadi awal langkahnya yang menjauh, meninggalkan Hinata yang masih berdiri di depan pintu. "Sampai jumpa, cewek bego."

Dan julukan untuk Hinata dari Sai selalu tak pernah ketinggalan.

::

::

::

Ruangan sepi jadi sedikit berisik saat teman sekamar Hinata, cowok berambut putih platina itu masuk, menimbulkan suara gesekan pintu dengan lantai. Matanya yang berlindung di balik kaca mata bulat yang cocok untuk wajahnya yang agak tirus sedikit melirik Hinata lalu berjalan menuju tempat tidurnya. Jas lab putih yang dia kenakan disampirkan begitu saja di sebuah kursi kecoklatan di depan meja belajar.

"K-kita… teman sekamar," ujar Hinata takut-takut.

Cowok yang bernama Kabuto itu mengabaikannya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Hinata yang duduk di seberang langsung terdiam saat tak menerima tanggapan. Helaan nafasnya yang sedikit panjang menegaskan kesialannya hari ini.

"Kau, siapa namamu?"

Setelah diam beberapa saat, akhirnya Kabuto mau ngomong juga. Hinata langsung sumringah dan menjawab, "Hyuuga Hinata."

?

Berasa ada yang salah?

Kabuto menaikkan salah satu alisnya, lalu bertanya seakan mengejek, "Namamu mirip nama perempuan."

"Eh?" Hinata bengong, "B-bukan. Maksudku nama adikku Hyuuga Hinata. Aku Hyuuga Kosuke," sanggahnya cepat-cepat, takut Kabuto salah paham.

Tapi yang ada, Kabuto malah duduk sambil menatap Hinata curiga, yang ditatap cuma bisa menelan ludah karena grogi dan keringetan.

"Gini, kami berdua k-kembar."

"…"

"Aku dan dia sering saling tukar identitas." Ide aneh itu tiba-tiba aja muncul di kepala Hinata, "Aku jadi dia, dia jadi aku. Begitu. Jadi, tadi refleks aku menyebut namanya." Hinata nyengir kaku, "Gak sengaja."

"Aku gak peduli," sahutnya sambil kembali tiduran di kasur.

Hinata yang diabaikan langsung berjalan keluar kamar.

Suara gedebum pintu terdengar. Detik berikutnya, Kabuto langsung terduduk di tempat tidur. Saat mengamat-amati kondisi kamarnya yang tak banyak berubah dia merasa lega. Dengan begitu, meski ada orang lain yang tinggal di sini, dia akan merasa tetap nyaman.

Tapi saat melihat seonggok kain kecil berwarna pink di bawah kaki tempat tidur Hinata, Kabuto yakin dunianya gak lagi sama.

Dengan langkah lambat dia mendekat, melihat-lihat sebentar, berjongkok, lalu memungut dan mengamatinya.

Oh. My. God!

A bra?

::

::

::

"Hai, Kosuke! Salam kenal! Aku Naruto."

Berhadapan dengan cowok pirang yang selalu bersemangat dalam jarak sedekat ini, rasanya kayak mimpi, deh. Hinata udah rindu banget lihat cengiran khasnya yang sehangat mentari pagi.

Mungkin perlu ralat, Hinata gak selamanya sial. Buktinya, sekarang dia sekelas sama Naruto. Bahkan duduk tepat di belakang cowok yang jadi tujuannya masuk ke sini. Wajahnya jadi memerah dan mulai berkeringat, "Hai… Naruto…"

"Hai, bodoh."

Hinata menoleh kebelakang.

Oops! Ada Sai yang tersenyum manis di belakangnya.

"Hyuuga-san, harap perhatikan penjelasan saya." Si guru yang hobi merokok, Sarutobi Azuma, menertibkan Hyuuga yang dia anggap mangkir dari tugas belajarnya.

"B-baik, Sensei!"

::

::

::

Saat itu, senja hari di Konoha Gakuen. Sekolah mulai sepi. Hanya ada beberapa siswa yang memang punya jadwal latihan di sekolah. Di lorong sekolah, Hinata yang baru saja selesai piket, menyeret tong sampah besar dari kayu yang sudah kosong dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain meneteskan darah akibat luka yang ada.

Tepat di depan pintu UKS, dia bertemu dengan Kabuto yang baru keluar.

"Tanganmu kenapa?"

"Terluka saat membuang sampah. Tak sengaja terkena pecahan kaca."

Kabuto diam sejenak seperti menimbang sesuatu, lalu minggir sedikit, memberi jalan untuk Hinata, dan berkata, "Masuklah."

"Heh?"

"Biar aku obati."

Kabuto ternyata orang yang baik.

::

::

::

"Lukamu cukup lebar. Kenapa bisa begini?" tanyanya sambil membuka lemari obat UKS. Hinata yang duduk di pinggir kasur sempit yang merapat ke dinding cuma bisa diam.

Sinar keemasan matahari terbias jelas di seprai yang berwarna putih. Angin mulai masuk dan memberi suasana sejuk yang menyenangkan, menggerakan tirai tipis transparan yang menggantung di jendela. Hinata yang asyik dengan dunianya akhirnya terbangun saat kemudian ada tangan yang menggenggam jemarinya.

Ini baru suasana romantis.

"Eh… ano…"

"Ini pasti ulah anak-anak olah raga itu. Mereka memecahkan sesuatu, lalu membuangnya diam-diam ke tempat sampah. Dan kau yang akhirnya kena pecahannya." Saat mengatakannya, Kabuto sedang bersiap membersihkan luka Hinata menggunakan alcohol.

Hinata meringis ketika Kabuto mengusapkan kapas berisi alcohol itu ke lukanya dengan lembut.

"Kau harus tahan," kata Kabuto lagi, "Sekolah di sini memang agak keras," tambahnya, "Ini resiko yang harus kau ambil. Bukankah ini pilihanmu?"

Hinata tertegun.

"Benar, kan?" dan Kabuto tersenyum.

Hinata terpana.

Di balik dinding UKS sebelah luar, ada Sai yang bersandar sambil melihat langit.

::

::

::

"Ada apa?"

Hinata berdiri di depan pintu yang hanya setengah terbuka. Kepalanya terjulur ke luar, berhadapan dengan si pendatang yang sama sekali gak pernah diharapkan.

"Aku cuma mau cari Kabuto. Di mana dia?"

"A-ano… Kabuto-san…"

"Dia gak ada di dalam?"

"Dia nggak di sini Sai-kun."

Alis hitamnya terangkat naik sebelah, tak percaya pada Hinata yang berambut pendek dengan wig coklat pendek yang awut-awutan. "Aku mau masuk," katanya sambil mendorong pintu dan masuk ke dalam. Mengabaikan Hinata yang terlihat tak senang, dia malah duduk di kasur punya Hinata yang bersih dan wangi.

"Tadinya aku mau pinjam catatan kimianya, tapi dia malah gak ada," curhatnya pada Hinata yang berdiri di tengah ruangan, "Aku malah ketemu si cewek bego."

Siapa yang bilang Hinata gak bisa marah? Dia marah banget sekarang. Kesal karena ternyata Sai lagi-lagi nyindir dia pake kata-kata kasar yang gak layak ucap.

"Eh, tanganmu kenapa?" sekarang dia malah berdiri dan berjalan mendekat, bahkan tangannya gak segan-segan narik tangan Hinata untuk melihat lukanya lebih jauh.

Hinata yang masih cewek normal nan lugu, ya pastinya langsung grogi menghadapi kondisi seperti ini. "K-kena k-kaca." Dia jadi gagap.

"Kau… gagap?" tanya Sai dengan ekspresi tak percaya yang jelas sekali dibuat-buat. Sementara Hinata bersiap akan menangis.

Kenapa sih dunia selalu menghadirkan Sai untuk Hinata?

Karena itu maunya Author.

::

::

::

Bersambung…

A/n: Soal alur yang terlampau cepat… maaf… akan saya usahakan melambat. Kemudian, soal gaya penceritaan yang mirip Rully bee, jujur saya mau nangis waktu baca reviewnya. Bukan kenapa juga sih, cuma yah gitu. Jadi kepikiran. Mood bener-bener ancur pas baca. Sampai-sampai kebawa di dunia nyata. Waktu masak, makanannya gosong. Pinginnya ngebuang sampah, eh isinya yang terbuang.

Saya mau ucapin maaf sama Rully bee yang udah saya anggap senpai di sini, sekaligus terima kasih buat Pow-kun. Untung kamu kasih tahu. Kalau yang bersangkutan sendiri yang ngomong mungkin saya bakalan lebih malu. #hug…

Karena itu, di chapter dua ini saya berusaha membuat perbaikan.

Maaf juga buat reader yang ngebaca chapter dua ini kalau isinya benar-benar jadi aneh. Saya bener-bener tipikal aquarious yang moody dan labil. Jadi, maaf kalau kurang berkenan.

Soal ciri khas sendiri, entahlah. Saya juga masih meraba-raba. Jadi, harap maklum, ya…

.

.

.

Sign,

-:- H. Kazuki -:-