Disclaimers: Naruto © Kishimoto Masashi-sensei

Chances © Kyou Kionkitchee

Pairing: Naruto x Sasuke (bisa NaruSasu ataupun SasuNaru)

Genre: Friendship/Romance

Rated: T

Warning: Shounen-Ai, semi-canon, OOC, heavy themes, betrayal, banishing, OC, typo(s). Don't like don't read! Find another story if you hate MxM. I've warned you!

Summary: Naruto menemukan Sasuke, dan Sasuke akhirnya menemukan Naruto. Mereka berada di perbatasan khayalan dan kenyataan, dan yang sesungguhnya terjadi adalah yang kedua.

A/N: Inilah epilog sekaligus bagian terakhir dari Chances! Kyou udah ganti genre-nya ya. Enjoy~

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Hokage keenam desa Konoha sedang mengisi jurnal harian ketika pintu kantornya diketuk. Setelah ia mempersilakan, kelima ninja yang dikirim untuk mengejar tahanan penjara internasional pun masuk.

"Jadi?" Ia bertanya sambil terus mengisi buku tersebut.

"Uchiha Sasuke sudah mati. Laporan selesai."

Tangannya berhenti bergerak—bahkan tubuhnya pun demikian. Ia tatap kelima orang di hadapannya dengan bingung.

"… Hah?"

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Chances

Epilogue: To Love You

© Kionkitchee

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Suasana di kantor Hokage sangatlah hening. Sang pemimpin menatap tajam kelima ninja di depannya, sementara mereka balas menatap dengan biasa. Lama baru Shikamaru membuka suara yang lebih kepada hembusan napas berat.

"Baiklah. Salah seorang dari kalian jelaskan padaku kenapa Uchiha Sasuke dibiarkan lepas?"

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, pria itu pasti memahami maksud ucapan mereka tadi. Bahkan, mungkin saja sang Nara juga sudah menyadari alasan di balik perbuatan itu. Namun, ia ingin mengetahuinya langsung.

"Kami bertemu Naruto," kata Neji, "di sebuah hutan tanpa chakra. Kami 'tersesat' di sana dan bertemu dengan Naruto yang mengubah dirinya menjadi orang lain. Kebetulan dia juga menemukan Sasuke sekarat di sana, lalu merawatnya," jelasnya kemudian.

Lelaki Nara menaikkan sebelah alisnya. "Itu alasannya?" tanyanya ragu meskipun terselip nada sindiran di dalamnya.

"Benar. Itu alasannya!" Chouji menyahuti dengan ceria. Ia tahu bahwa sahabat masa kecilnya itu mengerti hubungan yang tersimpan di balik penjelasan singkat Neji. Lee di sebelahnya mengangguk sambil menunjukkan pose nice guy.

"Tadinya kami ingin mengajaknya kembali, tetapi tidak jadi." Shino menimpali. Tangan kanannya menepuk pundak Kiba yang masih menunjukkan wajah tanpa emosinya. Sepertinya ia bermaksud memberitahu bahwa sudah saatnya pria muda itu kembali ke mode biasa.

Menyadari hal itu, Shikamaru melirik sang Inuzuka. "Kau sudah bisa berhenti menjadi pendiam, Kiba," ujarnya. "Ya ampun… sikap pemberontakmu memang sulit dihentikan kalau sudah menjadi… merepotkan…" tambahnya lalu menghela napas.

Kiba nyengir—sesuatu yang sudah lama tak dilihat sang Hokage. "Asal kau berjanji untuk tidak mengganggu mereka, aku akan berusaha kembali seperti semula!" ancamnya halus.

Tersenyum kecil, Shikamaru bangkit dari kursinya. Ia menatap ke luar jendela lalu berkata, "Sekedar kunjungan tidak apa, bukan? Lagipula, ada orang-orang yang merindukan anak itu,"

Kelima shinobi yang mendengar menyunggingkan senyum khas mereka.

_Akademi Konoha_

Buku-buku berjatuhan dari tangan seorang lelaki yang terlihat semakin kurus. Lelaki tersebut mematung, berdiri terpaku menatap Kiba yang mendatanginya dan memberitahu kabar yang membuatnya seperti itu. Hanya saja, telinganya masih belum menangkap apa yang tadi diucapkan sang Inuzuka.

"Tolong ulangi lagi…"

"Aku sudah mengetahui keberadaan Naruto, Iruka-sensei! Dan kalau sensei ingin bertemu dengannya, kita bisa berangkat bersama!" seru Kiba lagi. Ia mengerti betapa guru itu merindukan anak rubahnya—jelas terlihat dari kondisinya yang menurun selama lima tahun ini.

Iruka tergagap membalas, "Na-Naruto… K-kau menemukan Naruto?" Embun menggenangi sudut matanya. "Benarkah itu… BENARKAH ITU?" Ia mencengkeram bahu sang Inuzuka seolah meminta balasan pasti dan bukan mimpi.

Kiba mengangguk. "Paling lambat, kita akan menemui Naruto seminggu lagi!" ujarnya meyakinkan.

Iruka tak pernah merasa bahwa waktu berjalan begitu lambat sembari menunggu seminggu ke depan.

_Yamanaka Florist_

"Kalian menemukan Naruto?" ragu Ino dengan mata membulat tak percaya.

Chouji mengangguk pasti. "Kemungkinan seminggu lagi kita akan mengunjunginya," ucapnya.

"Aku boleh ikut?" Tiba-tiba Sai muncul dari balik pintu toko. "Pekerjaanku libur hingga dua minggu ke depan, dan aku memang ingin bertemu Naruto," tambahnya sambil tersenyum tipis.

Lelaki Akimichi tersebut nyengir. "Naruto pasti akan senang bertemu dengan kalian! Kalau begitu, aku permisi dulu ya, masih ada yang harus kuberitahu!" pamitnya kemudian. Namun, Ino menahan lengannya.

"Bagaimana dengan Sakura? Dia sudah tahu? Dia ikut juga, 'kan?"

"Shikamaru sudah mengirim kabar ke Suna. Besok, kita akan mendapatkan jawabannya," balas Chouji.

_Desa Suna_

Gaara membaca surat yang baru saja sampai ke tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan ketika ia selesai membaca, seulas senyum kecil menghiasi bibirnya. Ia menatap Kankurou dan Temari bergantian sebelum berkata,

"Panggilkan Sakura."

Tak lama kemudian, gadis berambut merah muda muncul dari balik pintu kantor Kazekage. "Anda memanggilku, Kazekage-sama?" sapanya sopan.

Gaara masih memegang surat tersebut ketika membalas. "Berkemaslah. Kita akan ke Konoha besok pagi,"

Sakura mendengus, "Katakan padaku kenapa kita harus ke Konoha?" tanyanya sinis.

"Kita akan bertemu dengan Naruto."

Sang Haruno sukses terkejut.

_Onsen di suatu tempat_

Bunyi 'poof' terdengar dari arah belakang tempat seorang pria sedang duduk santai di bawah pohon yang menghadap tepat ke arah pemandian air panas wanita. Pria tersebut tengah mengerjakan proyek novelnya yang terbaru—yang tentunya berhubungan dengan wanita dan keseksiannya. Jangan tanya kenapa karena ia melakukan proyek itu sehubungan dengan kekecewaannya terhadap suatu peristiwa di masa lalu.

"Aku tidak memanggilmu, Pakkun,"

Makhluk yang datang dengan bunyi 'poof' itu menghela napas panjang. "Aku kemari setelah Akamaru menyampaikan berita penting, Kakashi," balas Pakkun.

Lelaki bermasker hitam itu tidak menoleh ke arah anjing tersebut—malah semakin tenggelam dalam dunia menulisnya. Pakkun yang mengerti pun mulai berjalan mendekati sang pria. Setelah dekat, ia letakkan jarinya yang mungil ke lutut sang Hatake.

"Baiklah," ucap Kakashi pada akhirnya, "berita apa yang kau bawa untukku?"

Menyeringai kecil, Pakkun membalas, "Mereka menemukan Naruto!"

Kakashi menghentikan laju penanya. Untuk sesaat, ia terdiam menatap tulisan yang baru ditoreh di kertas. Perlahan, ia tolehkan wajahnya untuk menatap anjing ninja tersebut, lalu memastikan. Tidak. Anjing itu tidak berbohong. Naruto sudah ditemukan. Naruto… benar-benar sudah ditemukan.

"Tambahan khusus untukmu, Naruto kini bersama Sasuke," Pakkun melanjutkan dengan cengiran khas anjingnya. Ia berharap Kakashi mengerti maksudnya—dan memang mengerti… untuk konteks lain.

"Mereka sudah mati?"

Otomatis, Pakkun mengigit lutut sang Hatake, dan lelaki itu sadar bahwa dugaannya salah. "Darimana pemikiran seperti itu, Kakashi?"

Lelaki itu mengangkat bahu. "Yah, apapun bisa terjadi apalagi Sasuke selama ini berada di penjara. Mereka bersama bisa saja berarti kematian, bukan?" jelasnya santai. Namun, ia lalu tersenyum di balik topengnya. "Syukurlah dugaanku salah…"

Pakkun menepuk tangan Kakashi. "Kau terlalu banyak menulis cerita seperti Jiraiya…" Pria itu hanya meliriknya sejenak sebelum menutup buku.

"Saa tte… kaeruka?" (1)

Anjing ninja itu menggonggong menyetujui.

_Pachinko Desa Iwa_

Untuk ke sekian kali, wanita berbalut kimono hijau kalah taruhan. Permainan slot, mahjong, kartu, dan sebagainya, tak pernah sekali pun ia menangkan. Julukan Putri yang Selalu kalah memang melekat pada dirinya. Namun, ia tak pernah berhenti dan tidak ada niat untuk melakukannya.

"Tsunade-sama, saya rasa cukup untuk hari ini…" keluh Shizune kepada nonanya. Babi kecil yang berada dalam pelukannya mengeluarkan lirihan yang sama.

"Kau duluan saja! Aku masih ingin main!" kata Tsunade keras kepala. Jemarinya mulai memutar slot sekali lagi.

"Tsunade-sama, kalau begini terus, Anda bisa—"

"BINGO~ FLAT NUMBERS~"

"Eh?" Tsunade dan Shizune sama-sama terkejut karena layar menunjukkan tiga angka yang sama. Baru kali itu Tsunade berhasil memenangkan taruhan, tapi justru hal itu malah membuat mereka memiliki prasangka yang tidak baik.

"Apa terjadi sesuatu di Konoha?" cemas Shizune. Wanita di depannya hanya menatap layar dengan pandangan curiga.

"Shizune, segera periksa penginapan!" perintah Tsunade segera. Asistennya itu langsung mengangguk dan bergegas. Setelah Shizune pergi, wanita mantan Hokage itu terus menatap layar yang menunjukkan sederetan angka 7. Ia bertanya-tanya apakah hal ini ada hubungannya dengan bocah kesayangannya.

"Tsunade-sama! Ada surat dari Konoha!" seru Shizune setelah kembali. Firasat Tsunade nyaris tepat. Ia pun membuka surat tersebut.

Yth, Tsunade-sama,

Kami mendapat kabar mengenai keberadaan Naruto. Tujuh hari dari sekarang, kami bermaksud mengunjunginya. Jika Anda berkenan, kami mengharapkan kedatangan Anda di Konoha secepatnya.

Salam, Nara Shikamaru, Hokage keenam.

Seringai membentuk di wajah cucu Hokage pertama itu. Hell yeah, ia takkan melewatkannya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Matahari mulai terbenam. Hembusan angin sore pun terasa dingin menerpa dedaunan yang mengering. Lambaian cabang pohon lagi-lagi seperti penari dengan ragam balet yang menakjubkan. Jemari yang tumbuh pada pangkal dan ujung seolah mengajak apa pun di sekitarnya turut bergerak lembut dan berirama. Sementara mereka bergoyang, dua insan di bawahnya menikmati setiap garis pandang yang terpampang. Sesekali memejam mata, sesekali tersenyum simpul, lalu membaringkan diri untuk bersiap menyambut tahta malam.

Kelopak bunga Krisan bertebaran menghiasi langit kosong di atas. Tidak hanya satu rangkai, berpuluh sentuhan alam turut menyambung keindahan tersebut. Tumbuh di mana-mana, memenuhi senyuman yang tak pernah berhenti semenjak zaman dimulai. Di keempat arah mata angin, di keempat sisi dunia, di keempat puncak peradaban manusia, mereka berjasa. Bahkan, untuk ia yang tidak pernah merasakan kelembutan dari kehidupan, mereka menghiasi sela jemarinya. Mengundang tawa yang terdengar begitu bahagia.

"Tidak kusangka aku akan mendapatimu cocok dengan bunga, Sasuke!" seru Naruto sambil menahan perutnya yang kesakitan karena tertawa berlebihan.

"Aku juga tidak menyangka kau bisa bertahan dengan rahasiamu, Dobe!" ketus Sasuke sembari memainkan Krisan di tangannya.

Sang Uzumaki berpindah posisi ke kanan, di mana ia bisa langsung melihat sahabat tersayangnya. Tangannya menopang dagu yang tepat di atasnya tersungging cengiran lebar khas miliknya. "Mau ngambek sampai kapan, Teme? Pada akhirnya kau tahu juga, 'kan?"

Uchiha terakhir itu meliriknya tajam sebelum meletakkan bunga Krisan di atas perutnya. Jari tangan kirinya terjulur untuk kemudian menarik melar pipi mantan pembuat onar di Konoha itu.

"Itatatata! TEME—" (2)

"Kau pikir menyenangkan dibohongi seperti itu, Dobe? Pintar. Sejak kapan kau berani memperlakukanku seperti yang lain, Usuratonkachi? Belum tahu akibatnya ya," ancam Sasuke dengan seringai sinis di bibirnya. Ia pun memindahkan tubuhnya hingga Naruto terbaring di bawahnya.

"Eeto… Sasuke?" Naruto mulai berkeringat dingin. "Sepertinya posisi ini sedikit… eeto… berbahaya?" katanya lagi, namun, Sasuke tidak mempedulikannya, malah kedua tangannya sudah memerangkap lelaki itu dengan sempurna.

"Kau pikir bagaimana perasaanku sewaktu mendapati makammu…" lirih sang Uchiha, menatap lurus ke bola biru yang berkilat senja di depannya, "Naruto…"

"Mungkin…" Lelaki berambut pirang yang juga menatap lurus warna oniks di hadapannya pun berucap pelan, "mungkin sama seperti perasaanku yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka menangkapmu tempo itu…"

Pemuda berambut raven yang mendengar terdiam, dan Naruto melanjutkan.

"Mengutuki diri yang tidak berguna… menyalahkan diri sendiri yang sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong sahabatnya… satu-satunya orang yang paling disayangi…" jemari kecoklatan perlahan terangkat untuk menyentuh helaian malam yang sudah lebih dahulu turun ke bumi, "menyesali kehidupan yang terasa tidak pernah adil… sekali pun…" usainya berbisik.

Entah apa yang membuat hati bagai remuk, Sasuke mengeratkan kepalan tangannya di tanah yang berada di kedua sisi kepala pirang itu. Seperti baru saja mendengar isi dalam diri yang belum pulih dari duka, ia melihat refleksi dirinya yang sama persis dengan penjabaran sang sahabat.

Terluka.

Apa jadinya kalau ia benar-benar kehilangan mataharinya? Apa jadinya kalau ia benar-benar kehilangan semangat hidupnya? Apa jadinya kalau ia benar-benar kehilangan jiwanya? Apa jadinya kalau ia sungguh kehilangan Naruto?

Tiada. Ia akan menjadi seperti boneka rusak—bahkan, ia akan menjadi sesuatu yang tidak akan bisa diperbaiki apa pun cara yang ada. Ia akan tenggelam dalam kegelapan. Ia akan terbenam di dasar kenihilan. Ia akan mati di kawah kesendirian.

Tanpa Naruto dalam hidupnya,

"Hei,"

tanpa Naruto mewarnai hari-harinya,

"Sasuke,"

tanpa Naruto mengetahui perasaan yang terkubur jauh di dalam hatinya.

"apa yang kau tangisi?"

Dan embun yang kini mengaliri pipinya bagai Nil, bukanlah hal besar. Ia tak peduli dengan perkara sepele macam itu. Ia hanya ingin… ia ingin… pemuda di hadapannya… Naruto…

"Baka na…" (3) Jemari Naruto menyentuh pipi sang Uchiha seraya menghapus jalur airmatanya. Ia mendekatkan wajah putih itu hingga kening mereka beradu lembut. "Iru yo, Sasuke. Mou, kienai…" (4) ucapnya sembari memejamkan mata, dimimik oleh pemuda itu.

Kecemasan yang bercokol di benak mantan pembalas dendam itu perlahan menipis. Seiring dengan kehangatan yang menjalari tubuh juga hati rapuh miliknya, Sasuke menjatuhkan diri dalam pelukan sang Uzumaki… balas mendekapnya erat seakan hari esok tiada pernah datang.

Esok sungguh takkan tiba tanpa kehadiran matahari untuk menyinari hidupnya.

Malam muncul dengan segala keeleganannya, menggantikan senja yang lelah dan butuh istirahat. Ia tersenyum pada semua kehidupan yang berlangsung di bawahnya. Bagai seorang ibu membelai dengan penuh kasih sayang, ia memendarkan cahaya bintang sebagai pemanis warna kelam yang dimilikinya. Kerlap-kerlip temaram yang memesona, sungguh indah dan tentram hati terasa.

Di balik lebarnya sebuah pohon yang menjulang ke angkasa, satu sosok memperhatikan dengan seksama. Tenang memancarkan aura yang bersatu dengan hutan, sosok tersebut lalu melayang dan duduk di salah satu cabang kokoh yang langsung berhadapan dengan bulan. Memejamkan mata, sosok itu menghadirkan seseorang yang lama menggantikan dirinya.

Seorang lelaki berambut hitam berantakan dan bermata hazel. Lelaki tersebut duduk tepat di sebelah lelaki pertama; pemilik rambut merah panjang yang kini terurai dan mata hijau.

"Anda usil juga ya, Ara-san," ucap lelaki berambut hitam sambil menatap sang Mori.

Arashi tersenyum santai, "Usil? Aku tidak berbuat apa-apa kok," balasnya menyanggah. Tomo tertawa kecil.

"Sebenarnya Anda sudah tahu akan begini jadinya, benar?"

Ganti sang Mori yang tertawa pelan. "Aku bukan dewa, Tomo-kun," ia menatap pria Kamiki itu, "Seperti yang kau tulis dalam buku pengakuan itu, keajaiban tercipta dari tangan kita sendiri. Jadi, aku sama sekali tidak melakukan apa-apa~"

Tomo beralih memandang bulan setengah di atas mereka. "Tapi Anda memberikan kesempatan pada mereka sehingga jalan terbuka dengan sendirinya," ia kembali menatap Arashi, "sama seperti yang pernah Anda lakukan pada kami," ucapnya sambil tersenyum tulus. "Terima kasih, Ara-san…"

Arashi menepuk pundak sang Kamiki. "Itu karena semua berbanding seimbang," katanya. Ia lalu menatap bulan, diikuti oleh Tomo. "Keinginanmu untuk keluar dari jalan sesat selama ini adalah faktor kuat perubahan dan kesempatan yang datang. Kau sudah muak dengan pekerjaan sebagai penjahat dan mengharapkan sesuatu yang bisa mengetuk pintu hatimu untuk berubah ke arah lurus. Hal itu terjawab ketika penyakit mematikan menyerang desamu. Mungkin selama ini kau merasa aneh akan kenapa hanya keluargamu yang diberi kesempatan memasuki hutan ini, dan itu karena kalian berempat sungguh-sungguh ingin berhenti dan berubah. Dewa menjawab melalui hutan ini, dan aku sebagai pembimbing kalian. Hal yang sama terjadi pada Naruto-kun… dan Sasuke-kun,"

Tomo memperhatikan lelaki itu melanjutkan 'perbandingan seimbang'nya.

"Naruto-kun diasingkan dari desanya karena memiliki siluman dalam dirinya. Aku mendengar suara hatinya sebelum dia memasuki hutan ini. Dia ingin menjadi manusia biasa yang tidak akan dibenci ataupun dijauhi. Namun, kehidupan selalu mempunyai sisi kanan dan kiri hingga akhirnya ia hanya memohon untuk menjadi seseorang yang suatu saat nanti bisa bersama dengan siapa pun—bahkan apa pun yang bisa ia sebut sebagai keluarga. Dan seakan melengkapi keinginannya, dari kejauhan, aku mendengar Sasuke-kun mengharapkan hal yang sama. Bukan kebetulan kalau aku mendengar mereka saling memanggil satu sama lain; itu takdir. Cepat atau lambat, mereka ditakdirkan bertemu, dan aku hanya sedikit mempercepat pertemuan itu," jelasnya sambil nyengir.

Menahan tawa, Tomo berkata, "Ternyata Anda memang usil!"

"Tapi kau bersyukur, benar? Karena kalau aku tidak usil, bisa saja memakan waktu berpuluh tahun kemudian sampai mereka bertemu. Aku tidak mau menunggu selama itu~" balas Arashi santai.

Pemilik warna hazel itu mengangguk. Ia juga tidak akan tahan menunggu berpuluh-puluh tahun untuk melihat saudaranya bahagia. Ia sangat menyayangi Naruto, dan apa saja akan ia lakukan agar adiknya itu bahagia.

"Kau memang kakak yang baik, Tomo-kun," ujar Arashi lembut sembari mengelus helaian hitam sang Kamiki. "Kuharap lingkaran kehidupan akan menempatkanmu secepatnya,"

Tomo merasakan hangatnya sentuhan yang ia terima dari sang Mori. Seraya mengangguk, ia melirik ke arah dua pemuda yang kini duduk menatap bulan yang sama. Hati kecilnya berdoa, semoga mereka dijauhkan dari segala penderitaan yang akan datang menerjang. Semoga… semoga…

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Hari ketujuh datang dengan begitu lambat bagi mereka yang sangat ingin bertemu matahari yang sudah lama menghilang. Setelah tiba, mereka bersorak dan tidak sabar untuk segera berangkat ke hutan yang dimaksudkan kelima ninja Konoha. Sakura tiba di Konoha bersama Gaara dari Suna; Kakashi tiba dari antah berantah; Tsunade, Shizune, dan Tonton tiba dari Iwa; mereka bertemu di kantor Hokage—yang memang sudah bersiap pergi bersama dengan mereka yang ingin bertemu Naruto. Akan tetapi, dikarenakan banyaknya orang yang ingin bertemu sang Uzumaki, Shikamaru memutuskan untuk mengurangi jumlahnya.

"Kita tidak mungkin pergi ke sana seakan bermaksud menyerangnya, bukan? Aku akan memilih siapa saja yang akan ikut ke sana," ucap sang Hokage keenam. "Iruka-san, Kakashi-san, Tsunade-sama, Sakura, Gaara, Sai, dan aku yang akan pergi ke sana, lalu Kiba sebagai penunjuk jalan. Setelah yakin bahwa Naruto memang menerima dengan tangan terbuka, yang belum menemuinya bisa pergi setelahnya. Sepakat?"

Mereka mengangguk, dan berangkatlah ketujuh orang yang sudah dibekalkan oleh yang lain. Teuchi menitipkan beberapa ramen instan untuk diserahkan ke Naruto nanti; Ino menitipkan satu pot bunga Dandelion; Chouji menitipkan beberapa bungkus kripik kentang; Hinata menitipkan sebuah balsam; dan terakhir, Shino menitipkan cangkang serangga musim semi. Semua memiliki maknanya masing-masing, dan mereka yakin bahwa Naruto mengerti.

_Di depan Hutan Mori no Garasu_

Pria berambut merah panjang terurai menaikkan sebelah alis ketika mendapati 'tamu' yang ia yakin akan menemui siapa. "Mengunjungi Naruto?" tanyanya santai. Kiba mengangguk sebelum memperkenalkan orang-orang yang dibawanya.

"Iruka-sensei, guru di Konoha yang sudah menganggap Naruto sebagai puteranya sendiri; Kakashi-sensei, guru tim tujuh yang mengajar Naruto; Sakura, medis Konoha yang Naruto anggap sebagai saudara perempuannya; Tsunade-sama, Hokage kelima, dan Naruto adalah bocah kesayangannya; Gaara, Kazekage desa Suna yang pernah menjadi jinchuuriki seperti Naruto; Sai, anggota tim tujuh yang masuk setelah insiden dengan Sasuke; lalu Shikamaru, Hokage keenam sekaligus yang sekarang memimpin desa Konoha. Mereka ingin bertemu dengan Naruto," jelas sang Inuzuka.

Arashi tersenyum ramah lalu memperkenalkan dirinya, "Saya Mori Arashi, penjaga hutan ini. Senang bertemu dengan kalian, Para saudara Naruto-kun!" Mata hijaunya kemudian menoleh ke arah kosong di belakang mereka. "Akan tetapi, dengan menyesal saya tidak bisa mempertemukan kalian dengan matahari hutan ini," ucapnya.

"Kenapa?" heran Kiba. Yang lain pun mengerutkan dahi karena bingung.

Tangan putih sang Mori menunjuk ke arah yang kosong tersebut. "Saya tidak mau orang-orang itu ikut masuk," Terdengarnya kalimat itu, tamu dari Konoha melihat ke belakang. Tampaklah dua tetua Konoha yang memperlihatkan diri—mengejutkan mereka yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

"Dengan memperhitungkan keadaan yang bisa berbalik 180 derajat, kami memutuskan untuk menemui Uzumaki Naruto," ucap nenek tetua.

"Kami tidak ingin sekembalinya kalian dari sini membawa perubahan signifikan bagi Konoha," kakek tetua menimpali.

"Kalian berpikir bahwa kami akan mengabaikan Konoha—bahkan mungkin menyerangnya? Omong kosong!" Tsunade merasakan kemarahan yang dulu mulai merasuki dirinya.

"Apa salah Naruto pada kalian? Apa salah dia sehingga kalian begitu membencinya? JAWAB!" Kali ini Sakura yang mengeluarkan amarahnya. Ia merasakan pundaknya ditepuk Gaara.

"Kalian takut Naruto akan menguasai mereka sehingga berbalik menentang sistem kolot Konoha, benar? Tipikal," kata Gaara. Shikamaru yang berada di sebelahnya menggerutu, "Menyusahkan…"

"Kami hanya ingin kedamaian bagi Konoha!" protes nenek tetua. "Adanya anak rubah itu hanya akan mempersulit terciptanya hal itu!"

Kakek tetua mengangguk. "Kami tidak akan membiarkannya!"

Belum sempat lontaran kemarahan terdengar dari mereka yang menyayangi Naruto, hutan mendesis keras seolah memberitahu bahwa ia tidak suka dengan kalimat yang terdengar. Otomatis mereka menoleh ke arah Arashi yang masih menatap kedua tetua Konoha itu dengan senyum dingin.

"Anak muda," Ia berbicara pada Sai, "Aku tahu kau bisa melukis. Bisa lukiskan sesuatu untukku?" Sai mengangguk lalu mengambil buku gambarnya. "Tolong lukiskan pemandangan Konoha yang hancur karena kebodohan dua orang terhormat ini," pintanya sinis.

"Rata atau membara?" tanya Sai dengan senyum tanpa hati di wajahnya. Ia mengerti maksud sang Mori—begitu juga dengan yang lain.

"Rata." Dan Sai menggambar dengan cepat. Namun, tidak seperti gambar biasa yang akan muncul ke permukaan, lukisannya berdiam di atas kertas. Arashi pun menyentuhnya. Kertas itu lepas dari buku dan melayang di sampingnya. Ia menjentikkan jari, dan sejurus kemudian, kertas itu robek menjadi kepingan-kepingan sangat kecil lalu terbang ditiup angin.

"Baiklah. Dengan begini, saya akan mempertemukan kalian dengan Naruto," ucap Arashi seraya berbalik. Sebelum ia berjalan, Iruka kaget mendapati kedua tetua di belakangnya menghilang.

"Mereka… menghilang?" Iruka mengerjapkan matanya untuk memastikan bahwa ia tak salah lihat. Kakashi di sebelahnya berpikir sejenak sebelum berpaling ke sang Mori.

"Apa yang Anda lakukan?" tanyanya.

"Aku memberi kesempatan pada mereka untuk memperbaiki diri di desa Konoha yang sudah berbentuk puing-puing tak guna. Aku mengirim mereka ke dimensi lain sampai mereka sadar bahwa pemikiran mereka tidak melulu benar. Tenang saja, mereka akan kembali ke dimensi ini setelah menyadari kesalahan yang mereka perbuat," jelas Arashi, "meskipun membutuhkan selamanya~"

Kiba dan Sakura tertawa, sementara yang lain hanya tersenyum simpul. Mereka pun melangkah mengikuti sang Mori yang berjalan di depan. Sebentar lagi… sebentar lagi mereka akan bertemu dengan Naruto.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Tawa terdengar dari kejauhan. Langkah menderu pun mengiringinya. Dedaunan yang kering menimbulkan bunyi renyah ketika ditapaki sepasang kaki yang dengan riang berlari. Terus berbunyi seolah tiada akan berhenti; seakan tidak ada niatan bahkan untuk memikirkannya. Angin ikut tertawa, menghembus pepohonan rindang sembari menjatuhkan sel yang sudah mati. Begitu menyentuh tanah, bibit baru akan bermunculan, dan siklus kehidupan akan berulang. Semua sesuai dengan yang semestinya.

"Otou-san! Di sini ada rumput obat!"

"Petiklah!"

Interaksi alam dengan penghuninya, semua mempunyai jalan masing-masing. Di satu sisi, mereka bersentuhan sangat dekat, sementara di sisi lain, mereka memberi jarak tak terhingga. Namun, keduanya merupakan bagian dari senyawa alami buatan Sang Pencipta. Tinggal bagaimana tangan-tangan bertindak cerdik dalam menanganinya.

"Cara memetiknya begini, ingat?"

"Ha'i!"

"Anak pintar!"

Pengalaman sebagai sumber belajar; begitulah jika tersesat seorang diri di tempat asing yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Melalui hal itu, sedikit demi sedikit terkumpul sebuah—bahkan beberapa keahlian yang pastinya akan berguna baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Setelah yakin bahwa hidup masih memberikan pilihan terbaik, hati akan terasa nyaman dan tak terduga, lega. Lebih baik dari itu, hidup akan terasa membawa berkah yang luar biasa sehingga tidak akan ada waktu untuk menyesalinya.

Cakrawala membentang luas di depan sana, membawa serta kenihilan dan harapan di dalamnya. Suatu waktu tersenyum sinis dan mengejek mereka yang berputus asa; dan suatu waktu tersenyum manis dan memuji mereka yang berpasrah tanpa menyerah pada keadaan. Semua berada di titik awal; derajat nol di mana dinginnya es dapat memutuskan untuk mencair atau tetap membeku; dan derajat seratus di mana panasnya lahar dapat mencibir pada kondisi yang memadamkannya perlahan.

"Sudah sore ya? Tidak kusangka, waktu cepat sekali berlalu,"

"Kita yang kelamaan di hutan, Tou-san!"

"Hee? Begitu. Ya sudah, kita pulang yuk?"

"Haaaiiii~"

Keceriaan tak pernah pergi dari sisi manusia. Ia hanya bersembunyi sembari menunggu waktu yang tepat untuk menampakkan diri. Begitu juga dengan kesedihan. Ia selalu bersemayam dalam diri setiap orang, menunggu saat-saat kebangkitan di saat dinding tebal runtuh oleh penderitaan. Namun, di sana tetap terselip sebuah kebahagiaan kecil yang akan membantu pemulihan seberat apa pun beban yang melanda. Satu cara untuk mendapatkannya; manusia hanya harus terus percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Kesempatan untuk mendapatkannya selalu ada meskipun tertutupi oleh kabut tebal tak berkesudahan. Karena suatu saat, kabut itu akan koyak oleh cakar tajam milik hati yang menerima segalanya dengan lapang dada.

"Anak ini dibuang oleh ibunya sesaat setelah ia dilahirkan. Bersediakah kalian merawatnya?"

"Kenapa bisa ada di tangan Anda, Arashi-san?"

"Karena kesempatan kedua telah jatuh ke tangan makhluk tak berdosa ini,"

"Kami bersedia!"

Kebesaran hati dari mereka yang sudah mengalami penderitaan seberat alam semesta adalah jembatan penyambung kehidupan yang mendiami sosok tanpa dosa. Kecil, mungil, rapuh, sama sekali belum mengetahui kebusukan yang ada, kini bersiap untuk mempelajarinya dengan seksama. Dengan bantuan dari keluarga, ia bermaksud memahami makna keberadaan diri yang sesungguhnya. Menjadi manusia seutuhnya yang mengenal segala bentuk yang terjadi di sekitar.

"Aku pulang, Otou-tan!"

"Selamat datang,"

"Aku pulang, Sasuke!"

"Hn. Aku tahu."

Sapaan dari keluarga yang menunggu di rumah; ungkapan syukur bahwa mereka masih bisa bertemu satu sama lain. Kemudian, salam istimewa dari yang tersayang kepada mereka yang juga istimewa; membuktikan bahwa perasaan yang tercipta bertahun-tahun tidak berada dalam kesia-siaan. Kehangatan tetap melekat pada dinding yang memisahkan perbedaan namun tak meretakkan kesamaan. Kehangatan yang akhirnya mereka dapatkan.

"Kalian berdua, mandi dan ganti baju sebelum makan malam. Aku tidak mau ruang tengah jadi kotor dan bau karena kalian terlalu lama bermain di luar."

"Ha'i, Okaa-chan!"

"Mau mati, huh?"

"AMPUUN!"

Tak terasa sepuluh tahun sudah terlewati semenjak kebersamaan mereka. Dan sudah sepuluh tahun pula mereka membesarkan seorang anak yang diabaikan oleh darah dagingnya sendiri. Mereka menganggap anak itu sebagai anak mereka yang sesungguhnya meskipun secara ilmiah tidak mungkin mereka bisa mendapatkan anak kandung. Mereka bersyukur atas kehadirannya yang melengkapi ruang hampa dalam hati.

Hari itu, ketika orang-orang dari Konoha datang mengunjungi, mereka sedikit terkejut. Selain karena tidak mengatakan apa pun tentang mantan tahanan, mereka juga tidak menyangka akan diserang menggunakan dekapan erat sehingga jatuh menggelinding. Perlakuan untuk mereka berdua sama; tidak ada yang dibeda-bedakan meskipun mengetahui bahwa salah satunya adalah orang yang pernah mengkhianati Konoha. Mereka merasakan kasih sayang yang sudah lama hilang. Merasa dicintai dengan begitu besarnya hingga butiran airmata tak luput dari wajah mereka. Kemudian tawa yang lagi-lagi menghangatkan kalbu… mereka sungguh bersyukur bahwa masih ada rasa sayang yang begitu dalam untuk mereka.

Setelah kunjungan itu, beberapa dari mereka datang secara rutin untuk sekedar menyapa maupun membawakan keperluan sehari-hari. Arashi mengizinkan mereka untuk menerima kunjungan selama orang yang berkunjung membawa maksud baik. Dan ia takkan segan-segan pada orang yang datang membawa keburukan—bahkan, ia langsung mengirim mereka ke dimensi yang sama dengan kedua tetua yang hingga sekarang belum juga kembali ke dimensi nyata. Beberapa memang sulit untuk berubah, Arashi paham akan hal itu, dan ia tak bisa memaksa. Bagaimana pun, hati-lah kunci utamanya. Ia sudah menyaksikan beribu hati yang bersinar atau pun redup dengan keunikannya masing-masing. Tetap, yang membuatnya tersenyum puas adalah kekuatan hati yang bangkit dari keterpurukan.

Seperti kedua orang yang kini menjadi favoritnya.

Awal mula mereka tinggal bersama diisi kekakuan yang ditutupi dengan lontaran ejekan. Yang satu kerap berkata kasar, dan satunya lagi tidak mengindahkan dengan memperlakukannya sebagai orang bodoh. Namun, yang selalu sama dari mereka adalah bahwa nada yang terdengar, tatapan yang tertuju lurus, dan sentuhan tidak sengaja, tercipta dari kedamaian hati masing-masing. Mereka mengungkap sayang dengan bertengkar. Semakin keras mereka melakukannya, semakin menghujam rasa itu ke dalam diri mereka. Tidak bisa berhenti—tidak ingin dihentikan. Itulah cara mereka memberitahu bahwa keberadaan lawannya memberikan kebahagiaan tak terkira. Itulah jalan mereka untuk menyatukan perasaan yang terpendam jauh di dasar hati paling dalam. Hingga suatu hari, mereka mencoba menggantinya dengan cara lain.

Menyentuh dengan lembut; meminta izin untuk menjelajah keasingan satu sama lain. Mendekap penuh kehangatan; mencurahkan isi hati yang memuncak tajam di langit sana. Mengecup lumat; memerangi hasrat tak menentu yang membuat kewarasan mempertanyakan tempatnya. Menautkan barisan jemari; memastikan kenyataan yang benar-benar bukan khayalan. Kemudian pembuktian kasih sayang; menjanjikan selamanya yang sebenarnya tidak pernah ada.

Bersatu dalam ikatan abadi yang tercipta dari tangan mereka sendiri.

"Hari ini Iruka-sensei akan datang," kata Naruto ketika pagi menjelang. "Arashi-san memberitahuku lewat mimpi,"

"Hn." Sasuke menanggapi singkat sebelum beranjak dari ranjangnya dan Naruto. Ia mengambil kimono tidurnya seraya berkata, "Pastikan dirimu ada di rumah. Aku tidak mau beliau panik karena kau menghilang entah ke mana."

Naruto menghela napas panjang sambil tersenyum. "Padahal aku tidak akan ke mana-mana… Tetap saja tipikal Iruka-sensei ya," ucapnya. Sasuke tersenyum tipis mendengarnya, dan menyadari hal itu, pria berambut pirang yang masih berada di balik selimut menangkap tangannya.

"… Apa?"

"Untuk mengisi waktu luang, ayo bertarung denganku, Teme!" tantang Naruto sambil menyeringai.

Sasuke membalas dengan seringai yang sama, "Jangan harap kau akan menang, Dobe!"

Dan di depan gubuk kecil mereka, seratus meter dari ladang yang semakin rimbun dengan isinya, Naruto dan Sasuke berdiri berhadapan. Masing-masing bersiap untuk menjatuhkan lawannya. Begitu sehelai daun menyentuh tanah, mereka melesat cepat bagai kilat dan memulai pertarungan. Dengan atau tanpa chakra, Naruto dan Sasuke tetaplah ninja yang hebat.

Sementara itu, di teras rumah, putera mereka, Tomo, menyaksikan pertarungan itu dengan santai namun seksama. Ia bersandar pada Kyuu yang masih ingin tidur sambil memakan buah apel yang ia tanam di samping rumah. Anak itu tersenyum setiap menyaksikan gerakan menakjubkan dari kedua orang tuanya.

"Ne, Kyuu, aku juga ingin menjadi hebat seperti mereka…" gumamnya pada rubah yang membalas dengan menggoyangkan ekornya, "bisa tidak ya?"

[Kesempatan akan datang pada mereka yang ingin mencoba dan tidak menyerah.]

-.-.-END-.-.-

(1) "Saa tte, kaeruka?" : "Nah, ayo pulang?"

(2) "Itatatata! TEME—" : "Adududuh! BRENGSEK—"

(3) "Baka na…" : "Jangan bodoh…"

(4) "Iru yo, Sasuke. Mou, kienai." : "Aku di sini, Sasuke. Aku tidak akan menghilang lagi."

Akhirnya selesai jugaaaa! *berurai airmata* *digetok*

Beginilah akhir dari Chances. Kyou sengaja nggak ngasih scene pertemuan mereka dengan orang-orang Konoha karena Kyou mau para pembaca membayangkannya sendiri. Untuk anak mereka, Tomo, bagi yang beranggapan bahwa dia adalah reinkarnasi dari Kamiki Tomo, silakeun sadja. Kyou nggak ngelarang.

Terima kasih kepada semua yang telah membaca, meripiu, mem-fave, meng-alert cerita ini maupun akun Kionkitchee. Tanpa kalian, kami sama sekali bukan apa-apa. Dan maaf karena tidak akan ada lagi lanjutan dari Chances seperti sekuel, karena ini akhir yg tepat menurut Kyou.

Doakeun Kyou dan Chee-sensei supaya bisa bikin fanfic terus ya~

Reviews and constructive criticisms will be much appreciated! ^^

_KIONKITCHEE_