Rhyme A. Black

PresenT

Bir

A NaruHina Fanfic

Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei

WARNING : AU, Mysstypo, OOC, OOC, OOC. Sumpah! Nih fic OOC sekali. Jadi, kalau memang kalian sangat mendewakan IC, mending jangan dibaca. Karena, kan ndak baek juga kalau ada yang merasa 'gimanaaa gitu' dengan jalan cerita fic ini.

I hope you enjoy this story

1... 2... 3... TAKE... ACTION!

~0O0~

Kening pria itu mengernyit, bingung, kaget, tercampur menjadi satu. Mata sewarna langit cerah itu menatap tajam pada wanita yang sedang sempoyongan di depannya dan tertawa-tawa kecil. Bibirnya ingin berkata-kata, namun tenggorokannya terasa tercekat. Semua kalimat-kalimat sapaan yang hendak dikeluarkan tertahan di ujung lidahnya begitu indra pendengarannya menangkap suara racauan wanita berambut panjang itu.

Semua teman-temannya memandanginya dengan pandangan horor—kecuali Hinata yang sedang mabuk, tentu saja. Matanya melirik pada Ino dan kawan-kawan meminta penjelasan, namun Ino malah memasang ekspresi memohon.

"Err..." Ino hendak membuka percakapan, namun ditelannya kembali kata-kata yang bahkan belum terucap itu. Kekagetan Naruto membuat mereka semua bungkam. Kecuali Hinata yang malah merangsek maju ke arah Naruto. Sekali lagi, secara serentak, mereka semua menahan napas.

"Hehehe... akhirnya kau datang juga Narutoo... aku sudah menunggumu... hehehe... hik!"

Tubuh Naruto mengunci begitu jemari lentik Hinata memegang bahunya yang berlapis kemeja biru, Hinata hampir saja terjatuh kalau Naruto tidak dengan sigap menahannya. Bau alkohol menguar dari napas Hinata, membuat Naruto yakin kalau wanita yang setengah dipeluknya ini sedang mabuk. Sekarang Naruto melempar pandangan 'Hinata-minum-apa?' pada wanita-wanita yang sedang meringkuk takut-takut di atas sofa yang mereka duduki.

Namun, para wanita itu hanya diam saja. Salah satu dari rombongan lelaki yag baru datang itu, yang rambutnya dikuncir satu akhirnya angkat bicara.

"Ino, dia Kenapa?" tanyanya pada Ino.

"K—Kkkeenapa mesti aku yang kau tanya?" tukas Ino berusaha mengelak.

"Karena. Menurut sepengetahuanku, kau yang mengajaknya kemari. Jadi, jelaskan mengapa Hinata bisa jadi seperti ini."

Ino mendelik, ia sudah membuka mulut untuk menjawab namun Temari mengambil alih tugasnya. "Well—itu semua gak sengaja kok." Jelasnya.

"Gak sengaja gimana?" kali ini, seorang pria berkulit pucat yang bertanya.

"Dia gak sengaja minum birnya Ino."

Semua teman pria yang baru datang itu melongo kaget—tidak terkecuali pria berambut pirang yang sedang menahan tubuh Hinata agar tidak terperosok jatuh.

"Gak sengaja gimana?" tanya si kuncir satu makin tajam.

"Pokoknya gak sengaja!" jawab Ino dengan suara yang naik satu oktaf. Antara kesal karena rentetan pertanyaan yang dikeluarkan oleh para laki-laki ini dan juga enggan mengatakan bahwa sebenarnya ketidaksengajaan itu dikarenakan Hinata yang 'kaget' hanya karena mengetahui kalau Naruto akan bergabung bersama mereka malam ini.

"Yee, gak usah nyolot dong!"

"Siapa yang nyo—"

"Stopp!" Sakura berteriak, menengahi. "Kalian kok malah betengkar sih? Tuh, Hinata gimana sekarang?"

"Antar pulang saja... percuma juga kalau dia di sini, ntar Naruto jadi patung di situ." ujar salah seorang yang berambut raven dengan santai, lalu berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh tegapnya di samping Sakura.

"Gara-gara bir aja dia jadi kayak gini?" pria berkuncir satu itu masih menuntut penjelasan.

"Ya elah, kamu kayak gak tahu Hinata aja deh." ujar Temari. "Ya udah deh, Woy... Naruto, kamu anterin Hinata pulang ya." perintahnya pada Naruto yang ternyata, masih mematung dan melongo.

"Ha—eh?" Naruto terkaget. Perintah Temari langsung membuatnya tersadar bahwa dia masih memegangi Hinata dari tadi. Wanita itu menggeliat dipelukannya, sesekali masih terdengar racauan tak jelas dari bibirnya.

"Anter Hinata pulang. Sekarang." Tegas Temari.

"Ha? Kok gue?"

"Ha? Kok gue?" Ino tahu-tahu langsung berdiri, membeo pada ucapan Naruto tadi."Udah... mending kamu anterin aja Hinata, balik ke rumahnya. Trus, kalo kamu mau balik ke sini ya udah, balik aja. Kita masih lama kok di sini." samar-samar, bibir Ino terlihat tersenyum penuh arti. Mereka yang menyadari hal itu pasti tahu, kalau sebenarnya ada yang direncanakan oleh wanita yang berasal dari keluarga Yamanaka itu.

Naruto menghela napas panjang, matanya seolah-olah menyiratkan permintaan tolong pada teman-temannya. Namun, sepertinya mereka semua setuju pada Ino. Naruto harus mengantar Hinata pulang.

"Aku balik." ucap Naruto, mencoba tersenyum tanpa melawan permintaan teman-temannya. Tangannya memapah tubuh Hinata yang sempoyongan, namun Hinata berkeras untuk tetap tinggal di Bar itu,

"Kita mau kemanaaa? Hik..."

"Pulang, Hinata." jawab Naruto dengan sabar.

"Ngapain pulang? Mending di sini aja. Kita senang-senanggg... hehehe.. hik!"

"Kamu mabuk, Hinata."

"Aku gak maaabuuukk.. cuma teler doang..."

Naruto mengabaikan perkataan Hinata. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melempar senyum perpisahan pada teman-temannya dan berjalan cepat menuju pintu keluar, tangan kanannya memeluk erat pinggang Hinata, menahan agar wanita itu tidak terjatuh saat berjalan.

Langkah kakinya besar-besar begitu ia sudah keluar dari bar, membuat Hinata kesulitan mensejajarkan langkahnya—apa lagi dalam keadaan mabuk begini. Sepatu pantofel Naruto berhenti di samping mobil sedan berwarna hitam metalik. Tangan kirinya merongoh kantong celananya sementara tangan kanannya sibuk menahan tubuh Hinata yang bergelayut padanya. Ia telah mendapatkan kuncinya, dan hampir saja membuka pintu mobil begitu Hinata tahu-tahu meronta dan melepaskan pegangannya.

"Hi... Hinata..."

Hinata mengangkat tangannya, tubuhnya masih limbung. "Gakkk! Aku bisa pulang sendiri kok, Naaruuutooo..."

"Tttapii—"

"Aku bawa mobil, hehehe... ini... hik!" potongnya sambil menunjuk Ferarri yang ada di samping mobil Naruto. Itu mobil Sasuke, si rambut raven. Hinata berusaha membuka pintu mobil itu, yang tentu saja tidak bsia karena itu memang bukan mobilnya. "Ughhh... kenapaaa gak bisaaa... hik! Hik!"

"Hi... Hinata... bukannya kamu tadi ke sini bareng Ino?" tanya Naruto, berusaha mencegah Hinata 'membuka' pintu mobil Sasuke sebelum ada orang yang mengira mereka sedang merampok mobil.

Hinata seolah-olah tersadar dari sesuatu, matanya yang masih tak fokus itu menatap Naruto. "Oh! Iyaaa yaa, tadikan aku bareng Ino. Hehehe...hik. lupaaa Narutoooo... hik."

Naruto diam tak menanggapi, serta-merta ditariknya tangan Hinata. Namun , sekali lagi, hampir saja ia membuka pintu mobilnya, Hinata kembali meronta.

"Hinata, kenapa lagi?"

"Tung—Hoeekkk!" Hinata kembali mencari pegangan pada pundak Naruto. Seluruh isi perutnya terdesak keluar, dan tumpah berceceran. Sedikit percikannya bahkan mengenai kemeja Naruto. Perlahan-lahan ada rasa panas dan pekat yang memenuhi kerongkongannya, kepalanya terasa pening dan badannya gemetaran. "Hoeekkkk!"

Naruto panik, Hinata masih terus mengeluarkan isi perutnya. Tangannya kembali merongoh saku celana hitamnya, mencari-cari saputangan yang ia harap ada di situ.

"Oh, Syukurlah!" gumamnya yang tiba-tiba saja merasa harus berterima kasih pada ibunya yang selalu cerewet soal 'sapu tangan'.

Perlahan-lahan, diangkatnya dagu Hinata. Dengan gerakan lembut disekanya sisa-sisa cairan yang ada di bibir Hinata. Tanpa sengaja, matanya bertemu pandang dengan mata Hinata. Hinata, yang walaupun berada di bawah kesadarannya merasakan jantungnya berdebar tak karuan.

"Naruto, aku..."

Srettt...

'Hampir saja!' pikir Naruto dalam hati. Ditopangnya kembali tubuh Hinata—yang sekali lagi— hampi terjatuh dan mengenai cairan-cairan yang berserakan di bawahnya. Naruto menyelipkan tangannya di bawah leher dan di lipatan lutut Hinata, lalu mengangkat tubuh ramping itu. Ia membuka pintu mobilnya dengan susah payah, sebelum akhirnya mendudukkan Hinata di kursi di samping pengemudi. Ia kemudian mengintari mobilnya, masuk melalui pintu yang lain dan duduk di balik kemudi, lalu memasang sabuk pengamannya dan juga sabuk pengaman Hinata.

Begitu selesai, ia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia malah mengamati wajah yang sedang tertidur itu. Tangan kirinya terangkat, membelai lembut rambut hitam panjang Hinata, mengelus pipi halusnya, dan memperbaiki poni rata Hinata. Tangannya berhenti di sana. Tatapannya berubah sendu, raut wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya pada wanita yang sedang tertidur dengan damai di sampingnya itu. Bibirnya mengulum senyum miris.

"Siapa bilang... kalau selama ini aku tidak pernah memperhatikanmu?"

~0o0~

Mobil sedan itu menghentikan lajunya di depan gerbang rumah keluarga Hyuuga. Tampak bahawa seluruh penghuni rumah bergaya minimalis dan terlihat asri itu telah tertidur lelap, hanya lampu teras yang terlihat menyala. Naruto turun dari mobilnya, kembali mengitarinya dan membuka pintu mobil yang lain untuk menggendong Hinata. Namun, baru saja ia hendak menyelipkan tangannya di belakang leher Hinata, wanita itu sudah menggeliat dan mengerang di kursinya.

"Heee? Narutooo... kita di manaaa?" tanya Hinata dengan mata yang masih setengah terbuka.

"Kita di rumah kamu, Hinata..." jawab Naruto lembut. "Kamu turun gih."

"Hmmm... gendooongg..." pinta Hinata manja, mengangkat kedua tangannya seolah-olah hendak menarik bahu Naruto.

'OH GOD!'

"Cuma bir saja, dan kenapa dia seakan menjelma menjadi wanita yang benar-benar lain?" Naruto membatin. Namun, ia tetap meraih tangan Hinata, menyampirkannya di bahunya, dan menarik tubuh Hinata untuk keluar dari mobil. Ditutupnya pintu mobil dengan sekali sentakan dari kaki kanannya, dan berjalan menuju teras rumah Hinata seraya berusaha menyeimbangkan langkahnya yang juga terhuyung-huyung karena tubuh Hinata yang masih limbung.

Ia hendak menggendong Hinata tatkala sorot matanya menangkap siluet tubuh tegap besar di teras rumah Hinata yang membuatnya mengurungkan niatnya. Naruto merasakan ada sepasang mata yang mengamati gerak-geriknya, tiba-tiba saja ia merasakan bulu romanya meremang, degub jantungnya kian bertambah cepat, membuatnya mengeluarkan keringat padahal keadaan sedang dingin-dinginnya malam itu. Ketika Naruto—dan juga Hinata yang sempoyongan— tinggal beberapa langkah lagi mencapai teras, Naruto sudah bisa menebak siapa yang berdiri di sana. Sosok tinggi besar itu mengenakan piama tidur menunggu mereka dengan kedua tangannya terlipat di depan dada, sementara manik mata keperakannya mendelik tajam pada Naruto.

Naruto merasakan kegugupannya bertambah berjuta-juta kali lipat ketika berhadapan langsung dengan pria yang sepertinya siap menerkamnya. Naruto menyadari, kalau saja ia salah mengambil langkah ia bisa memastikan akan ada tanduk setan yang muncul di balik rambut panjang kecoklatan itu, dan sebuah sabit dewa kematian yang akan menebas lehernya.

Sadis.

Naruto memandang takut-takut pada pria yang ada di depannya itu sementara otak terus berputar mencari kata apa yang sebaiknya ia lontarkan untuk pertama kalinya. Namun, sorotan tajam menusuk dari pria yang menurunkan gen warna mata keperakan pada wanita yang sedang bergelayut di bahunya itu membuatnya urung untuk menyapa dengan riang, seperti yang baisa ia lakukan pada orang yang baru ditemuinya.

"Ppppeerr... permisssii..." sapanya seraya tersenyum kikuk, atau takut-takut? Yang ia tahu, tubuhnya sekarang sedang gemetaran.

Pria yang tampaknya baru memasuki umur kepala empat itu tetap diam, matanya dengan teliti menelusuri sikap makhluk berjenis kelamin laki-laki yang ada di depannya sekarang ini. Seakan ia sudah bisa menebak siapa-anak-ini hanya dengan melihat tampangnya saja. Selang beberapa detik kemudian, pengamatannya beralih pada putrinya.

"Hinata, masuk!" perintah sang ayah tegas.

"Heee... kenapa begituuu?" rajuk Hinata, sementara tanggannya makin erat bergelayut di lengan Naruto. "Lihatlah ayaahh... aku membawakan menantu untukmuuu... hehehe..."

Perkataan Hinata tadi membuat sang ayah dan pria tempatnya bergelayut terperanjat. Naruto sekarang benar-benar melihat ada tanduk yang muncul dari kepala ayah Hinata, matanya makin melotot seakan hendak menelan Naruto sekarang juga. Membuat Naruto merasa bahwa tulang-tulangnya lenyap seketika. Ia merasa tegang dan juga lunglai pada saat yang bersamaan.

"Hanabi!" ayah Hinata memanggil adik Hinata tanpa mengalihkan matanya dari Naruto. Karena tak kunjung mendapat jawaban, ia mengulangi panggilannya lagi. Kali ini lebih keras dan lebih sangar! "Hanabiii! HANABIII!"

Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah, pintu yang berderit di ikuti munculnya sosok anak berumur 18 tahun dengan wajah mengantuk dan rambut acak-acakan.

"Hmmm? Ada apa sih Ayah? Ada maling ya?" cerocos Hanabi yang masih di bawah pengaruh kantuk.

"Bawa kakakmu masuk ke dalam. Cepat!"tegas ayah Hinata.

"Apaaa?"

"Bawa masuk kakakmu!"

Hanabi memfokuskan matanya pada Hinata yang sedang dirangkul Naruto, sembari berjalan ke arah kakaknya ia memutar bola matanya. 'Sepertinya pria pirang ini akan diintrogasi' pikirnya, lalu meraih tubuh kakaknya yang tinggi semampai dan membawanya masuk ke dalam rumah dan menghilang di balik pintu.

Kini, tinggal Naruto dan ayah Hinata saja di teras, suasana bertambah tegang karena perhatian ayah Hinata benar-benar tercurah pada Naruto sekarang. "Kamu siapanya Hinata?" ayah Hinata memulai introgasinya dengan suara yang terdengar bengis, menggeram seolah-olah hendak menerkam Naruto.

"T-Tttemmmannya... oomm..." jawab Naruto tergagap.

"Jawab yang jelas!" bentak ayah Hinata.

"Temannya om."

"Kenapa anak saya bisa mabuk?" tanya ayah Hinata lagi.

"Tid-tiidak... sengaja om.."

"Tidak sengaja katamu?" hardik ayah Hinata, membuat Naruto merasa seperti dipecut oleh cambuk. Suara yang begitu keras menggelegar dari bibir ayah Hinata berhasil menciutkan nyali Naruto menjadi seciut-ciutnya. Rentetan omelan keluar dari pria yang baru pertama kali ditemui oleh Naruto itu. Berbagai macam kata, sindiran dilontarkan oleh sang ayah yang merasa keselamatan putrinya sedang 'terancam'. "Dasar! Laki-laki jaman edan! Kerjanya Cuma senang-senang saja! Sekarang kamu, pulang!" perintah ayah Hinata mengakhiri omelannya pada Naruto.

Naruto yang sedari tadi hanya diam menahan lemparan omelan dari ayah Hinata buru-buru pamit dan angkat kaki dari teras rumah keluarga Hyuuga. Secepatnya, sebelum ayah Hinata menebas lehernya karena telah berani-berani membuat putrinya mabuk.

Padahal, bukan Naruto yang salah, Iya kan?

~0o0~

Dirasanya hangat menyelimuti tubuh rampingnya, perlahan-lahan wanita bermata cantik itu membuka matanya, mencoba mencari tahu sedang di mana ia sekarang. Sinar terang sang mentari menyambutnya, diangkatnya tangannya ke depan wajahnya guna menghindari terang yang menerobos penglihatannya. Ia menggeliat dan menguap pelan, sekali lagi mengerjap-ngerjapkan matanya. Aksen ungu muda dan kekuningan adalah hal pertama yang ia sadari, ia sedang berada di kamarnya sekarang.

Ia hendak bangun dari tempat peristirahatannya malam tadi, namun rasa pening yang menyerang kepalanya membuatnya kembali terjatuh ke kasurnya yang empuk. Tangan kanannya berusaha meraih jam weker yanga da di meja kecil di samping tempat tidurnya. Begitu weker berbentuk Hello Kitty itu berada di genggamannya, segera diliriknya angka yang tertera di tubuh Hello Kittynya.

'10.10'

"APAAA?"

Wanita berambut indigo itu segera bangkit duduk dari tidurnya. Tak dihiraukannya lagi rasa nyeri yang menyerang bagian kepalanya. Ia berlari-lari kecil menuju kamar mandi, lama di dalam sana lalu keluar kembali dengan wajah yang dipenuhi jejak-jejak air, diraihnya handuk kecil yang tersampir di gantungan dekat pintu kamar mandi, dan berjalan cepat menuju lemari besarnya yang terletak di sudut kamar di dekat tempat tidurnya.

Gerakan terburu-burunya itu terhenti ketika manik matanya menangkap bayangan tubuhnya di cermin. Ia segera berbalik dan menatap pantulan tubuhnya di sana. Rambut yang tidak karuan bentuknya, dan dirinya yang masih mengenakan pakaian kantornya. Rok pendek selutut warna ungu dan blouse putih. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya, dicobanya mengingat-ingat kejadian semalam, Ajakan... bar... teman-teman... Ino...

"INO! Aaaku... harus menelpon Ino!" teriaknya, dia berputar dan berjalan cepat menuju tempat tidurnya. Menghempaskan selimut tebalnya ke lantai dan mengacak-acak tempat tidurnya, melempar bantalnya ke sembarang tempat sampai tempat tidurnya hanya berisikan kasur dan seprai namun benda yang dicarinya tidak kunjung ia temukan juga.

"Haduuuhhh... Astaga! Pasti di tasku! Tttaaaskuu... tasku mana?" pekiknya panik, dicarinya tas kesayangannya itu di bawah kolong tempat tidurnya, di sofa kamarnya, namun hasilnya nihil. Ia menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan kegelisahan yang nyata. Disandarkan tubuhnya ke atas sofa empuk yang sewarna pastel, matanya terpejam karena sakit yang kembali melandanya. Setiap kali ia berusaha mengingat kejadian semalam, tubuhnya selalu saja memberikan respon nyeri pada kepalanya.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menyeruak masuk ke dalam pikirannya. Ia tersentak dan segera berlari keluar kamar. Dengan langkah yang cepat dia menghampiri telepon yang ada di ruang keluarga, dan menekan-nekan beberapa angka. Kakinya menghentak-hentak menunggu panggilannya tersambung, desah napas lega terdengar begitu sambungan teleponnya diangkat.

"Halo? Ino? Ini aku Hinata..." sapa Hinata dari telepon, terdengar sahutan di seberang sana, diawali dengan rutukan dan diakhiri dengan teriakan histeris dari Ino di dalam telepon. Belum sempat Hinata menanyakan perihal kejadian di bar semalam, Ino sudah nyerocos duluan membeberkan apa yang sebenarnya terjadi.

"A—aapaa?" pekik Hinata kaget. Segera saja Ino kembali mengulangi perkataannya. Menjelaskan bahwa semalam ia 'tidak sengaja' mabuk, racauannya, dan Naruto yang mengantarnya pulang. Semuanya Ino katakan dengan sejujur-jujurnya, dan hal itu berhasil membuat wajah Hinata memerah dengan sempurna. Satu demi satu, potongan-potongan ingatannya menyatu membentuk satu adegan utuh. Rasa malu sukses membungkus setiap inci bagian dirinya, dan saat ini pikirannya benar-benar kosong (Atau mungkin penuh) hanya gara-gara... astaga, kebodohannya sendiri!

"I—Iiinooo.. aaakkuuu harusss bbbagaimana?" tanya Hinata putus asa, dia benar-benar malu serta bingung, bagaimana ia bila besok bertemu Naruto di kantor?

"Mana aku tahu, Hinata... sudahlah, hadapi sajalah. Toh si bodoh itu tidak beraksi yang aneh-aneh..." ucap Ino dari seberang sana, berusaha menyemangati Hinata.

"Apa aku berhenti bekerja saja yaa?"

"HOI! Gadis aneh! Yang benar saja? Masa' kau mau berhenti bekerja gara-gara hal ini? ayolah, lagi pula semua orang pasti akan melupakan kejadian semalam. Biarkan saja waktu yang mengurus segalanya. Duh..."

"Iiiinooo..."

"Apa lagi? Ya Tuhan—astaga Hinata, Bos sedang menuju ke sini. Sudah dulu yaa, nanti kita sambung lag—"

Tuuutt... tuutt... tuuutttt...

Telepon diputuskan secara sepihak oleh Ino.

Dan sekarang terlihatlah di sudut ruang tamu, di atas sofa di samping meja telepon, seorang wanita muda, 20 tahun, mengenakan pakaian kantor yang acakadut, rambut yang berantakan, riasan yang sudah luntur, sedang frustasi dan memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Aku bodoh! Aku bodoh! Aku bodooooohhh!"

~0o0~

Sebenarnya, Hinata ingin izin sakit saja hari ini, dan sudah memasang rencana untuk izin sakit terus-menerus sampai dia memiliki keyakinan bahwa Naruto telah melupakan kejadian mengenaskan yang menimpanya tempo hari. Sehingga ia bisa dnegan tenang meringkuk di sudut kamarnya sembari menanti dewa kematian datang mengakhiri hidupnya di usia yang menginjak dua puluh empat tahun ini. Tapi ayahnya, yang amat sangat menjunjung tinggi rasa tanggung jawab dalam bekerja, dengan sangarnya menyeret putrinya dari tempat tidur untuk segera berangkat kerja. Sangat tidak Hyuuga sekali, bukan?

Dan di sini lah ia sekarang, di dalam lift yang sedang meluncur naik ke lantai enam tempat ruang kerjanya berada. Di dalam lift ia panjatkan doa sebanyak-banyaknya, berharap agar ia tidak bertemu dengan Naruto hari ini. dan besok, dan besoknya lagi, dan besoknya besoknya lagi...

Tuhan sepertinya mengabulkan do'anya kali ini. Di sepanjang jalan ia menuju bilik kerjanya, ia belum menemukan sedikit pun tanda-tanda kalau Naruto ada di kantor hari ini. meski pun dari kanan kirinya orang-orang sudah ramai berbisik-bisik. Begitu sampai di bilik kerjanya, Hinata segera mengempaskan dirinya ke kursi beroda miliknya. Menghela napas sejenak sebelum akhirnya jari telunjuk kanannya menekan tombol on pada komputer yang ada di depannya. Sambil menunggu komputernya selesai melakukan booting, Hinata menggeser kursinya dan melongokkan kepalanya ke arah kiri ruangannya, ke bilik kerja Naruto yang sepertinya pemilik bilik itu belum mengisi kursinya. Sekali lagi Hinata menghela napas lega, setidaknya Naruto belum datang, pikirnya. Inilah alasannya mengapa Hinata begitu menyukai tempatnya bekerja ini, dia bisa dengan leluasa memperhatikan Naruto dari sini, tanpa ketahuan, dan tanpa meninggalkan pekerjaannya.

Walau ada rasa kelegaan yang menyelimuti hatinya, namun kerinduan yang tak terperi tetap memenuhi rongga dadanya. Ia merindukan saat-saat ia memandangi Naruto secara diam-diam dari balik komputernya. Namun, begitu mengingat kejadian di Bar, dia mulai berpikir apakah ia harus menghentikan kebiasaannya mengamati Naruto atau tidak.

"Err... Hinata?" suara seseorang menyentakkan Hinata dari lamunannya, membuat Hinata kalang kabut begitu tahu siapa yang menyapanya.

'Orang ini! baru dipikirkan kenapa dia langsung muncul begini?'

Hinata tidak langsung menjawab sapaan dari pria yang sedang nyengir (salah tingkah) di depannya. Dirinya masih sibuk meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba melaju di atas rata-rata, pipinya sontak memerah, matanya melirik sana-sini guna menghindari tatapan pria bermata biru cerah itu. Tanpa sadar, ia gemetaran di atas kursinya.

"Hinata?" ulang pria itu sekali lagi.

"Aaaa..aaa...addaaa aaapppa?" tanya Hinata yang gagal menyembunyikan gugup dalam suaranya.

Naruto tampak sedang menimbang-nimbang sesuatu, ia sendiri bergerak-gerak gelisah di tempatnya berdiri, terlihat jelas bahwa dia sedang membuat suatu keputusan yang sulit, meskipun Hinata tidak tahu apa itu. "Ini..." ucapnya singkat, sembari menyodorkan tas tangan berwarna ungu gothic pada Hinata. "Tasmu ketinggalan di mobilku waktu itu..."

Hinata menelan ludahnya dengan susah payah, ditatapnya benda kesayangannya yang kini ada di tangan pria yang paling ia sayangi. Ia gusar di tempat duduknya. Dengan segala keberanian yang ia miliki, diraihnya tas tangannya itu. Ia menarik tasnya, namun ada tenaga lain yang menahan agar benda itu tidak bergerak. Tangan Naruto masih menggenggam erat bagian penutup tasnya. Semakin Hinata mencoba menariknya, maka makin kuat pula pertahanan yang diberikan Naruto.

"Nnnna... Nnaarutoo.." ucap Hinata bergetar, "tttaa... tttasku..."

"Tatap aku, Hinata." Balas Naruto. Takut-takut, Hinata mengangkat pandangannya. Mata biru cerah yang bersirobok dengan mata opalnya membuat jantungnya serasa berjungkir balik.

"Aku akan menyerahkan tasmu," Naruto memberi jeda sejenak. "Asal kau mau berjanji satu hal padaku."

'A—apa?'

"Pulang kantor, Konoha Street. Kita bertemu di sana..." tanpa memberi kesempatan pada Hinata untuk menjawab, Naruto langsung berbalik menuju bilik kerjanya. Meninggalkan Hinata dengan sejuta tanda tanya di kepalanya.

~0o0~

Konoha Street adalah salah satu tempat yang menawarkan pemandangan yang indah di Kota Konoha, merupakan tempat para pejalan kaki dengan trotoarnya yang lebar, dengan bangku-bangku panjang yang dinaungi oleh pepohonan yang berjejer rapi. Belum lagi sisi kirinya yang menawarkan pemandangan laut yang hanya dibatasi oleh pagar beton setinggi satu setengah meter, sedangkan di sisi kanannya bersebrangan dengan jalan raya, toko-toko dan cafe-cafe kecil di buka.

Setiap akhir pekan, tempat ini pasti akan selalu ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan, menikmati semilir angin yang membawa aroma laut, menyaksikan matahari terbenam, atau hanya sekedar menonton pertunjukan musik dari musisi-musisi jalanan yang menggelar panggung kecil-kecilan di sana.

Matahari hampir menyentuh permukaan air laut di ujung cakrawala saat Hinata dan Naruto tiba di sana. Hinata langsung mengistirahatkan dirinya di salah satu bangku yang ada di sana, sementara Naruto pergi membeli minuman—dengan persetujuan Hinata, tentu saja. Dengan waktu sendirinya itu, Hinata menghela napas, mencoba menetralisir jantungnya yang berdebar kencang. Pria yang mengagumkan, pikirnya, karena hanya dengan berada di sampingnya saja Hinata sudah merasa seperti ini.

Hinata memandang ke sekelilingnya, beberapa kelompok musisi jalanan tampak sedang mempersiapkan alat-alat musik mereka, beberapa orang pejalan kaki, dan burung-burung yang terbang melintasi langit yang memerah. Tubuh yang tadi sudah berada pada area 'santai', kini mulai menegang kembali saat dilihatnya Naruto berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa dua minuman kaleng di kedua tangannya. Dan untuk kesekian kalinya, Naruto berhasil membuat Hinata terpana...

Mungkin hanya karena efek sinar matahari yang sedang terbenam, atau mungkin jantungnya yang sedang sibuk melompat-lompat memompa darah ke otaknya sehingga membuatnya begitu tertegun memandang wajah tampan Naruto yang tertimpa sinar matahari yang kemerahan. Rambut pirangnya sedikit tertiup angin, dan tatapan yang begitu tajam menghujam sesaat membuat naluri Hinata begitu yakin bahwa pria itu diciptakan hanya untuknya seorang.

"Minumanmu..." kata Naruto sambil menyodorkan kaleng soda yang ada di tangan kanannya, berhasil membuyarkan lamunan Hinata. Dengan ragu-ragu, Hinata mengambil minuman itu. Setelah itu, Naruto mendudukkan dirinya di samping Hinata, yang membuat tubuh Hinata sekarang menegang berkali-kali lipat dan darah yang serasa mengalir ke pipinya. Khawatir karena ia bisa saja pingsan karena terlalu dekat dengan Naruto, Hinata menggeser duduknya ke kiri. Naruto yang menyadari pergerakan Hinata juga ikut-ikutan menggeser tubuhnya. Tindakan yang dilakukan oleh Naruto membuat Hinata bergerak lebih ke kiri lagi, dan Naruto juga mengikutinya. Begitu terus-menerus sampai Hinata sudah tidak memiliki tempat lagi untuk menggeser duduknya. Berdekatan dengan Naruto membuat hati Hinata bergejolak. Ia sungguh berharap agar Naruto tidak mendengarkan apa yang kini sedang bergema di dadanya.

Hinata langsung menarik tubuhnya dari bangku yang ia duduki dan hendak pindah ke bangku lain yang ada di sampingnya. Namun langkahnya terhenti begitu tangan Naruto yang berbalut kulit kecoklatan menggenggam telapak tangannya. Secara tidak sengaja, mata mereka kembali bertemu...

"Tolong jangan menghindar dariku lagi, Hinata..."

Permintaan Naruto tadi membuat Hinata terkejut. Dapat dirasakannya tangan Naruto meremas jemarinya lembut, menjadikan tubuh Hinata seolah-olah tersengat listrik. Naruto menggeser tubuhnya ke kanan sebelum menarik Hinata untuk kembali duduk. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Naruto melanjutkan kata-katanya.

"Aku minta maaf..." lanjut pria pirang itu pelan.

"U—untuk apa?" Hinata berusaha menyembunyikan getar dalam suaranya.

Naruto tidak langsung menjawab pertanyaan Hinata, melainkan mengarahkan manik matanya menerawang ke arah matahari yang sudah setengah jalan untuk memanggil bulan. Di bawah naungan permata-permata malam yang bermunculan satu per satu, diiringi nada-nada syahdu yang dimainkan para musisi jalanan, Naruto menyusun kalimatnya baik-baik.

"Kau tahu..." gumannya, "Dulu aku berpikir bahwa kau membenciku. Selama ini, setiap aku ingin mengajakmu berbicara tapi kau selalu menghindariku. Aku selalu ingin bercakap-cakap ringan denganmu namun kau selalu terburu-buru dan meninggalkanku. Setelah hampir belasan tahun bersama-sama denganmu, kau dan aku hanya terlibat percakapan yang seperlunya saja. Tak pernahkah terpikir olehmu, bahwa aku juga ingin bersamamu dalam waktu yang lebih lama?"

'A—apa?'

"Saat kau mabuk di Bar waktu itu, aku kira ada yang salah dengan pendengaranku. Aku benar-benar tidak percaya kau secara gamblang mengakui bahwa kau menyimpan perasaan itu jauh lebih lama dari perasaan yang kusimpan untukmu. Sampai yang lainnya mengatakan bahwa apa yang kau katakan itu benar adanya."

"N—Naruto..."

"Kau, bagaimana mungkin aku tidak berpikir bahwa kau membenciku, sedangkan kau—bahkan untuk menatapku pun kau enggan?"

Hinata mendonggakkan kepalanya, dan mendapati Naruto tengah menoleh padanya. Dengan segala keberanian yang ia miliki, Hinata balas menatap Naruto. Mengamati baik-baik raut wajah yang kini terlihat begitu serius.

"Siapa bilang kalau selama ini aku tidak pernah memperhatikanmu, Hinata? Apakah kau tidak menyadari bahwa aku selalu menantikan saat-saat dimana kau tersenyum? Saat-saat telingaku selalu menunggu suara tawamu?" Naruto mendengus, "bahkan mungkin, aku selalu berpikir—berharap agar memomu selalu hilang, agar aku bisa membantumu mencarinya. Setidaknya dengan begitu, aku bisa menikmati waktuku berdua denganmu..." ucap Naruto sepenuh hati. Susah payah ditekannya rasa yang membuncah di dalam hatinya. "Hinata, aku sungguh-sungguh dengan perasaanku padamu."

Sekarang, sudah tidak ada lagi rahasia. Telah diungkapkannya apa yang selama ini ia rasakan kepada wanita bermata indah itu. Rasa yang selama ini tumbuh selama bertahun-tahun di dalam dirinya, bersemayam di dalam jiwanya menunggu untuk dikeluarkan dari bibirnya. Pengakuannya hari ini, akan menjadi penentu kemana dua jiwa itu akan berjalan. Perasaan yang tanpa mereka sadari telah berbalas.

Naruto mengeratkan genggaman tangannya pada Hinata. Dan hangat membanjiri hatinya kala Hinata juga membalas genggamannya.

.THE END.

Errr... Rhyme minta maaf atas lanjutan cerita yang sunguh amat-sangat-super-duper terlambat. *ohookkk* dan juga alur cerita yang aduh... gimana yaa, rada-rada gituu... hehehe...

Yosh! Teman-temanku, Rhyme mohon kritik dan sarannya yaa! Semoga fic ini bisa diterima di hati kalian! Wokwokwok...

Narsiezzz dikit gak papa, yaphz?

NaruHina, The Greatest Pairing...

Ever After...

*Sewotkah bos? Bakar laut! Wakakkaka...*