Haii! I'm back! (lebay)

ok, aku buat fic baru...

hope u like it! :)

sori kalau fic ini jelek...

warning! alur cepat! ooc! dont like dont read!

enjoy! :)


CHAPTER 1

.

.

.

.

.

Aku tidak tahu apa alasan aku dilahirkan di dunia ini.

Aku tidak mengerti mengapa aku bisa bertahan hidup sampai saat ini.

Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa orang lain. Aku tahu akan hal itu. Namun, aku juga sadar bahwa tidak ada seorang pun yang berada di sisiku sekarang.

Karena itu…

Untuk apa aku hidup?

Mengapa aku bisa bertahan hidup?

Mengapa kami-sama tidak mengambil nyawaku seperti dia mengambil nyawa orang-orang yang kusayangi?

Apakah Dia mempunyai rencana untukku?

Berbagai pertanyaan bergema di kepalaku tanpa ada jawaban.

"Kumohon…" bibirku berbisik. "Biarkan aku mati."

.

.

.

.

.

Sinar matahari menyusup masuk dari jendela kamarku dan menyinari wajahku, membuat kelopak mataku terbuka. Aku mengerang dan dengan enggan aku beranjak dari tempat tidurku, menarik tirai jendela dengan paksa. Sinar matahari tersebut langsung terhalang oleh tirai dan cahaya yang menyinari kamarku langsung lenyap. Sekarang kamarku menjadi gelap gulita bagaikan di malam hari.

Bagus, batinku. Aku benci cahaya.

Aku hendak membenamkan wajahku di balik bantal sampai ketika aku melihat iphone ku yang bergetar. Tanganku meraih benda tersebut dan aku melihat beberapa pesan yang belum terbuka. Aku membuka pesan-pesan tersebut tanpa benar-benar membacanya.

'Sakura, kau baik-baik saja? Hubungi aku kalau…'

Tanpa melihat siapa yang mengirim pesan ini, aku langsung menekan tombol 'delete'.

'Sakura… aku mengerti perasaanmu. Bicaralah pada…'

Aku kembali menghapus pesan berikutnya.

'Sakura-chan, kembalilah ke kampus… Kami semua…'

Aku melempar iphone itu sehingga terdengar benturan keras di tembok kamar.

Mengerti? Mereka mengerti perasaanku?

Yang benar saja.

Aku menatap kamarku yang gelap dengan tatapan kosong. Entah mengapa, kamar ini terasa asing bagiku. Aku menatap boneka-boneka yang terletak di pojok kamar. Komputer canggih di atas meja beserta bingkai-bingkai foto. Mataku berhenti pada cermin besar yang menempel di sebelah lemari pakaianku. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju cermin tersebut.

"Halo," aku menyapa bayangan yang dipantulkan oleh cermin. Rambut pendek berwarna merah muda itu acak-acakan. Matanya yang berwarna hijau terlihat sembab. Wajahnya kusam, pucat seperti mayat. Bibirnya kering dan pecah-pecah. Aku melirik salah satu bingkai foto, di mana tercetak diriku yang sedang tersenyum cerah. Aku tersenyum pahit dan kembali menatap bayanganku di dalam cermin. "Kau siapa?" tanyaku sambil menyentuh cermin tersebut. "Apakah kau Sakura Haruno?" aku menatap wajah kusam yang sedang mengernyitkan kening itu.

Aku tidak heran dengan penampilanku yang saat ini. Setelah mengurung diri selama seminggu tentu saja penampilanku akan berubah. Aku tidak lagi menjadi Sakura Haruno yang populer di kampus. Menjadi apa aku sekarang? Sakura Haruno yang gila karena kehilangan keluarganya?

Aku memejamkan mata dan wajah keluargaku mulai muncul di benakku.

Papa, Mama, Sato-kun…

Mereka semua meninggalkanku. Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa tiba-tiba menghilang dariku. Padahal, baru saja aku melihat senyum ceria mereka bertiga. Sampai sekarang, aku masih tidak percaya kalau aku sudah menjadi anak sebatang kara. Apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak ada lagi orang yang kusayangi sekarang. Tidak ada lagi orang yang mencintaiku. Aku memang mempunyai banyak teman yang peduli akan diriku. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka hanya bisa bilang, 'aku mengerti perasaanmu'. Mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa!

Aku meraih fotoku yang tersenyum riang. Di sebelahku berdirilah Papa dan Mama. Aku tersenyum lemah dan mengambil foto lainnya di mana tercetak sosokku yang sedang memeluk Sato-kun, adik laki-lakiku yang masih berusia dua belas tahun. Aku meletakkan bingkai foto tersebut dan melirik ke surat kabar yang tergeletak di lantai.

'HARUNO KEIJI TEWAS DALAM SEBUAH KECELAKAAN MOBIL'

Aku menatap sosok mobil yang hancur berantakan. Kematian Papa membawa dampak besar di ekonomi Jepang. Papa memang memiliki berpuluh-puluh perusahaan di dalam Jepang mau pun di luar negeri. Banyak orang yang berkabung atas kematian Papa. Memang, semua orang di Jepang percaya bahwa keluargaku tewas karena kecelakaan. Namun, aku tidak sebodoh itu. Aku tidak percaya bahwa mobil canggih yang baru dibeli Papa mengalami kerusakan dan pada akhirnya meledak.

Aku tahu bahwa ada yang menyabotase mobil tersebut.

Tidak sedikit orang di dunia yang mengincar nyawa keluargaku. Banyak orang yang mengincar nyawa Papa dan Mama. Mama memang hanya menjabat sebagai ibu rumah tangga. Namun, sebelum melahirkanku, dia adalah seorang pengacara yang berhasil memenjarakan banyak penjahat kelas kakap. Tentu saja tidak ada yang mengincar Sato-kun. Namun, dia juga ikut tewas karena pada saat itu dia berada di dalam mobil bersama Papa dan Mama. Aku tidak tahu apakah aku bisa disebut beruntung karena aku tidak berada di dalam mobil itu.

Sekarang, hanya akulah satu-satunya Haruno yang masih hidup. Aku tersenyum pahit. Pada saat ini, pasti banyak orang yang mengincar nyawaku juga. Kenapa tidak? Usiaku sudah dua puluh empat tahun. Aku memegang semua warisan Papa dan perusahaannya. Aku mencoba memberitahu polisi tentang mobil Papa yang meledak tiba-tiba itu. Aku ingin memberitahu polisi bahwa ada yang menyabotase mobil Papa sehingga keluargaku tewas dalam mobil itu.

Namun, tidak ada yang percaya.

Aku tidak berhasil mendapatkan keadilan dari kematian orang-orang yang kusayangi.

Polisi dengan seenaknya mengumumkan kalau penyebab kematian keluargaku adalah karena kecelakaan biasa.

"Nah," aku menghela napas. "Mungkin aku memang sebaiknya mati…" aku bergumam sambil menatap pisau pemotong kertas yang terletak di meja belajarku. Apa lagi gunanya hidup? Toh, cepat atau lambat aku akan mati juga. Pertanyaannya hanyalah, bagaimana cara aku mati? Diculik? Disiksa? Diracuni? Atau ditembak di malam hari ketika aku sedang terlelap? Lebih baik aku membunuh diriku sendiri daripada dibunuh orang lain. Banyak orang yang ingin menjadi bodyguard-ku. Tapi apa gunanya? Bisa saja mereka adalah sang pembunuh. Bisa saja mereka kabur meninggalkanku di saat darurat.

Apa pun itu, aku sudah tidak bisa mempercayai orang lagi.

Aku meraih pisau tersebut dan menekan ujung pisau itu dengan jariku. Dahiku mengernyit ketika darah merembes keluar dari jariku. "Tajam juga…" gumamku. Baguslah. Dengan begini aku bisa mati dengan mudah. Sambil memejamkan mata, aku menempelkan ujung pisau itu di depan perutku.

Papa… Mama… Sato-kun…

Sebentar lagi aku akan menyusul kalian.

Tepat sebelum aku menusuk perut, aku mendengar sebuah benturan yang keras dari lantai atas. Aku tersentak dan dengan tangan bergetar, aku mencengkeram ganggang pisau itu.

Siapa itu?

Kenapa bisa ada orang lain di rumahku? Kenapa alarm yang dipasang di rumahku tidak berbunyi sama sekali?

Apa yang harus kulakukan?

Dadaku berdetak kencang dan tanpa kusadari, aku sudah meraih iphone di pojok kamar. Masih sebuah keajaiban bahwa benda elektronik ini tidak rusak setelah kubanting sekuat tenaga. Haruskah aku menelpon polisi? Tapi, mungkin mereka hanya akan menganggapku berhalusinasi kalau aku bilang bahwa ada penyusup di rumahku. Polisi sudah menganggapku gila ketika aku bersikeras membantah mereka ketika mereka menyatakan kalau keluargaku tewas karena kecelakaan.

Aku meneguk ludah dan dengan tangan bergetar, aku membuka kenop pintu kamarku. Memang, aku bisa mati kalau di lantai atas tersebut ada pembunuh. Namun, lebih baik aku mati melawan daripada mati pasrah. Aku mencengkeram pisau di tanganku dan dengan kaki yang bergetar, aku menaiki tangga.

"Ukh…"

Aku mendengar suara rintihan. Dadaku berdetak semakin kencang. Kakiku bergetar begitu hebat sampai-sampai aku yakin aku bisa terjatuh kapan saja. Tanganku berkeringat dan aku harus memegang pisau ini dengan dua tangan supaya pisau ini tidak meluncur jatuh dari tanganku.

"S-siapa di sana!" aku berteriak kencang. Namun, tidak ada jawaban. Aku kembali melangkah. Di setiap langkah, aku membayangkan wajah pembunuh bengis dengan pistol atau pisau di tangannya.

"Ukh…"

Suara rintihan itu kembali terdengar. Aku meneguk ludah. Suara itu terdengar dari gudang yang terletak di pojok ruangan. Aku terus melangkah. Sampai sekarang, aku masih kagum akan sifatku yang nekad ini. Mungkin akal sehatku sudah menghilang seiring dengan kematian orang-orang yang kusayangi. Tanpa berpikir lagi, aku mendorong pintu gudang tersebut. Nyaris saja aku terbatuk ketika debu-debu yang mengelilingi gudang ini masuk ke dalam hidungku. Mataku terbuka lebar, mencari sosok orang yang mengerang sejak tadi. Aku masih membayangkan seorang lelaki bengis dengan pistol di tangannya. Namun, aku hanya bisa melihat seorang lelaki yang terkapar di lantai gudang yang berdebu.

Aku tersentak dan mengusap mataku, seakan-akan tidak percaya akan pandanganku sendiri. Lelaki yang tergeletak ini memakai pakaian yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dia mengenakan sebuah jubah putih dengan ukiran api di ujung jubahnya. Selain itu, di jubah putihnya tertera kanji 'Hokage Keenam'.

Apa itu hokage? Nama dari sebuah geng mafia?

Lelaki itu kembali mengerang, membuat tubuhku tersentak. Aku cepat-cepat berdiri di depannya sambil mengacungkan pisau. "S-siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini!" aku menjerit dengan suara yang bergetar.

Lelaki yang berambut pirang jabrik ini mengusap kepalanya dan sambil merintih, dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan matanya yang bewarna biru langit.

Aku terpana ketika menatap wajahnya. Di kepalaku, aku membayangkan lelaki bengis, bertato dengan banyak bekas luka di wajahnya. Namun, lelaki yang ada di depanku ini sangatlah… tampan…

Aku menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak! Pembunuh tidak bisa dilihat dari sosok yang tampan. Selain itu, dia mengenakan pakaian yang super aneh. Dia mengenakan sebuah ikat kepala dengan simbol yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku cukup yakin kalau dia berasal dari sebuah geng mafia yang ditugaskan untuk membunuhku.

"Si-siapa kau!" aku bertanya lagi, siap untuk melempar pisau ini ke arahnya.

Lelaki tersebut menatapku dengan bingung. Dia beranjak sambil merintih. "Di mana aku?" tanyanya, bingung.

"Jawab dulu pertanyaanku! Kau siapa?" aku menjerit. Dia menatapku dengan tatapan kosong.

"Aku… Naruto…" gumamnya lemah. "Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?"

"Harusnya aku yang bertanya itu padamu!" aku menjerit lagi. "Dari mana asalmu? Apa tujuanmu ke sini?"

Lelaki yang kira-kira berusia dua puluh ke atas itu kembali terdiam. Dia menggeleng perlahan. "Aku… tidak ingat apa-apa… Aku hanya ingat namaku saja…"

"Hah?" aku melongo. Seorang lelaki misterius muncul di rumahku dalam keadaan amnesia? Apa-apaan ini?

Tiba-tiba, aku mendengar suara gemuruh yang sangat hebat dari perutnya.

"Ah," dia bergumam. "Aku… lapar… dattebayo..." dia meringis dengan polos.

Mulutku terbuka semakin lebar. Kenapa di saat-saat ketika aku sudah siap mati aku bertemu dengan lelaki super aneh yang misterius ini?

Sebenarnya, apa yang kami-sama rencanakan untukku?


TBC

Moga-moga para pembaca suka ya...

sori kalau critanya jelek sama banyak typo... :p

mind to review? :)