Disclaimer: selamanya milik Masashi Kishimoto. Saya cuma minjem chara dari beliau. Series ini milik saya.
Warning: AU. Semoga sih ga OOC. Series type. Genre utama: drama. Bukan chara-bashing.
Catatan: Prolog ditulis terpisah dengan judul 'DREAMS Series: Prolog'. Silakan dibaca kalo gak ngerti pas baca chapter 1 ini :)
.
.
.
RAINBOW!
.
.
mysticahime™
© 2011
.
.
Chapter 1: Initial
Tarik napas. Hembuskan. Tarik napas. Hembuskan.
Fuhh... hah...
Pantulan di cermin balas tersenyum kepadaku ketika kutatap permukaannya. Kuamati penampilanku pagi ini—baju berkerah motif kotak-kotak merah-hitam dan celana panjang (yang sebenarnya adalah jeans) berwarna hitam. Apakah cukup rapi untuk wawancara pekerjaan? Kuharap begitu.
Semalam, Tsunade-basan—yang merupakan tetangga apartemenku—memberitahuku bahwa wawancaranya akan diadakan pukul sepuluh pagi di KG Entertainment. —bukankah aku akan menjadi asisten dari seorang kaya? Mengapa aku diwawancarai di sana? Lupakan, mungkin saja yang akan mempekerjakanku adalah seorang direktur yang workaholic dan jarang pulang ke rumahnya.
Omong-omong soal rumah, biaya sewa apartemenku sudah menunggak dua bulan. Sebentar lagi tiga bu—
"HARUNO!"
TOK TOK TOK
Oke, ini bunyi ketukan dari pemilik apartemen. Sepertinya ia akan menagih biaya sewa. Lagi.
Cklek—
Aku mengintip ke balik pintu, berpura-pura memasang senyum pada Chiyo-baasan—pengelola apartemen—yang muncul dengan wajah cemberutnya. "Ohayou gozaimasu, Chiyo-baasan..."
"Kapan kau akan membayar semua utangmu?" tanyanya dengan ketus, nenek itu bahkan tidak membalas senyumku sama sekali. Tangan kanannya terulur ke arahku, tentu saja meminta uang sewa yang kutunggak hampir tiga bulan.
"Sa-sabar sebentar, baasan," aku meringis kecil. "Hari ini aku akan mendapatkan pekerjaan, kok. Mungkin sekitar akhir bulan aku akan memba—" kata-kataku langsung berhenti ketika melihat empat tanda siku di kepala Chiyo-baasan. "Chiyo-baasan?"
"CEPAT KEMASI BARANG-BARANGMU DAN PERGI DARI SINI!"
EH?
Aku melongo mendengar kata-kata keras dari Chiyo-baasan. Kemasi barang-barang dan—PERGI DARI SINI?
"Baasan, bagaimana mungkin kau—"
"—AKU TIDAK MAU MENAMPUNG GADIS MUDA YANG TAK SANGGUP MEMBAYAR SEWA—"
"Hanya sampai akhir bulan," aku memohon dengan suara lemah. "Setelah melunasi utangku, aku akan—"
"—POKOKNYA KELUAR SEKARANG!"
Skakmat.
Aku mematung sementara Chiyo-baasan masuk ke kamarku dan menjejalkan barang-barangku (yang memang sedikit. Hanya pakaian, peralatan mandi, dompet, ponsel, dan beberapa pasang alas kaki) secepat kilat. Kemudian ia menyeretku turun dari tangga. Tergopoh-gopoh aku menyesuaikan diri dengan langkah-langkahnya, berusaha melepaskan diri juga.
Sial, tenaga Chiyo-baasan kuat sekali.
"Baasan, lepaskan aku—"
Chiyo-baasan membuka pintu pagar apartemen—dua pintu kayu yang tidak terlalu tinggi dan bentuknya nyaris merupakan gapura. Di sisi-sisi pintu itu terdapat tembok yang kira-kira setinggi leherku.
—dan ia melemparku keluar dari area apartemennya, disusul tasku yang mendarat tanpa ampun di atas aspal.
"Hei!" Aku berusaha mendekati gerbang itu. Chiyo-baasan hanya menyisakan celah kecil agar aku tidak bisa masuk, tetapi ia masih bisa mengintip keluar. "Baasan tidak bisa mengusirku seperti ini! Bagaimana aku tidur malam ini?"
Kedua matanya yang mengintip menyipit. "Sama sekali bukan urusanku."
BRAK!
Ia membanting pintu di depan wajahku.
"HEI!" Dengan kedua tanganku, aku berusaha membuka gerbang itu. Terkunci.
Bagus sekali. Baru saja memasuki awal cerita, aku sudah diusir dari tempat tinggalku sendiri.
Dengan gontai, aku mengambil tas besarku yang teronggok di atas jalanan dan menarik resletingnya. —zrrrrttt—sial. Ternyata Chiyo-baasan benar-benar murka. Ia menjejalkan barang-barangku tanpa peduli estetika lagi. Lagipula, apa yang kau harapkan dari seorang pengelola apartemen yang mengamuk gara-gara kau menunggak biaya sewa selama hampir tiga bulan?
Sialsialsial.
Beruntung sekali tasku ini tipe travel bag dengan roda di bagian bawahnya. Kutarik pegangan yang berada di bawah tas dan mulai menyeretnya, berjalan menjauh dari mantan tempat tinggalku.
Di mana aku bisa menitipkan tas ini? Kan tidak mungkin aku membawanya ke tempat wawancara—
Kuambil ponsel lipat pink-ku yang sedari tadi berada di saku celana jeans. Pukul 09.38.
Yeah, mau tak mau aku harus membawa tas ini ke KG Entertainment. Mungkin di sana ada penitipan barang.
.
.
.
Gedung besar yang tinggi menjulang dari permukaan tanah—bermodel office look. Dinding-dinding berwarna gading dengan puluhan kaca berbingkai tertanam pada permukaannya. Pintu ganda dari kaca yang dibukakan oleh penjaga pintu berseragam. Orang-orang rupawan yang keluar-masuk ke dalam gedung. Papan besar berisi tulisan KG Entertainment.
Apa benar ini tempat wawancaraku?
Rasanya semakin lama semakin tidak mungkin saja.
Meskipun kemampuan bahasa Inggrisku pas-pasan dan aku jaraaaaannggg sekali menonton televisi (karena tidak punya), aku tahu bahwa tempat ini semacam agensi bagi artis-artis Jepang terkenal.
Dan sialnya aku sama sekali tidak tahu siapa pun yang keluar-masuk gedung itu.
Jujur saja, satu-satunya artis Jepang yang kuketahui adalah Hamasaki Ayumi.
Sekali lagi, kutatap gedung yang berjarak sekitar dua puluh meter dari hadapanku dengan tatapan terpesona. Kurasa, wawancaraku memang di sini. Kalaupun tidak... setidaknya aku bisa berfoto dengan salah satu artis dan memamerkannya pada Ino.
—tapi kan aku tidak tahu artis mana dari agensi ini yang sedang tenar. Baka Sakura.
Jadi, kuputuskan saja untuk berjalan masuk—dengan menggeret tas troliku.
Seorang penjaga pintu melihat kedatanganku dan langsung keluar dari dalam gedung itu.
"Shitsureishimasu." Kuusahakan untuk memberikan kesan pertama yang baik—meskipun hanya untuk penjaga pintu. Dari pengalamanku, berbuat baik kepada setiap orang akan membawakan nasib baik. "Saya Haruno Sakura, dan saya—"
"Di sini bukan penginapan." Penjaga pintu itu langsung memutus kata-kataku sebelum aku selesai bicara. Dan kedua matanya melirik tas yang berada di belakang tubuhku.
. . .
Sepertinya aku perlu menitipkan tasku.
.
.
.
"Arigatou gozaimasu, Tsunade-basan. Maaf kalau merepotkanmu."
"Sama sekali tidak masalah, Sakura."
Aku membungkuk dalam-dalam sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih pada Tsunade-basan, baru berbalik dan keluar dari kantor konsultan tenaga kerja.
Beruntung sekali kantor Tsunade-basan tidak jauh dari KG Entertainment sehingga aku bisa datang ke sana secepat kilat dan menitipkan tasku. Kalau jauh, tentu saja aku akan terlam—aku melirik jam di ponselku—09.56.
Aku benar-benar akan terlambat.
Secepat kilat aku berlari menyusuri trotoar, secepat yang aku bisa. Kebetulan sekali, kakiku memang kuat. Dulu aku mantan pelari terbaik di SMP-ku. Setidaknya, saat ini kemampuan itu sedikit membantu.
Napasku terengah-engah ketika mencapai pintu depan KG Entertainment. Sialsialsial. Penampilanku pasti kacau. Aku harus merapikan diri sebelum wawancara.
Kali ini penjaga pintu tidak berkata apa-apa dan mengizinkanku masuk. Jadi, aku masuk ke dalam gedung itu—
—dan tidak tahu harus pergi ke mana.
Tatapanku beredar ke sekeliling ruangan. Dugaanku, ruangan luas ini adalah lobi—bisa dibilang terlalu mewah hanya untuk lobi sebuah kantor agensi. Lobi kantor ini setaraf dengan lobi di hotel-hotel bintang lima, dengan beberapa sofa berlapis kain beludru merah yang tampak mewah dan meja-meja berhiaskan vas bunga antik berisi bunga-bunga yang cantik. Lantainya dari marmer berwarna krem, memantulkan cahaya lampu dan sinar matahari yang pudar.
Haruskah aku bertanya pada resepsionis?
Kuurungkan niatku ketika melihat resepsionis yang berjaga di balik meja marmer tinggi itu kerepotan. Ia sedang mengangkat telepon dan meladeni lima orang sekaligus. Sebagai orang yang tahu diri, aku memutuskan untuk tidak ikutan menyiksanya.
Berarti aku harus mencari tempat wawancaraku sendiri.
Oh, sepertinya bukan ide yang buruk untuk bertanya pada penjaga pintu yang tadi—meskipun tadi ia sudah mengiraku gelandangan.
Jadi, aku berbalik dan hendak kembali ke pintu masuk—
—ketika tiba-tiba saja aku bertabrakan dengan seseorang.
BRUK!
"Kyaaaaa...!" Seseorang menjerit keras ketika aku terjatuh ke lantai, kemudian aku sadar bahwa akulah yang menjerit. Sialsialsial. Bisa kurasakan kini bokongku terasa ngilu. Susah payah aku bangun dari posisi jatuhku yang memalukan. Uhh, mengapa aku tidak jatuh dengan pose yang lebih elit?
"Gomennasai." Setelah berhasil berdiri dengan tegak, aku membungkukkan badan untuk meminta maaf pada orang yang bertabrakan denganku. Ia juga sama-sama jatuh ke lantai, hanya saja posisinya lebih keren. Orang itu—laki-laki itu, bila dilihat dari fisiknya—memasang wajah masam.
Ia memakai topi dan kacamata hitam. Hei, orang yang aneh. Masa memakai atribut seperti itu di dalam ruangan? Seperti menyamar saja...
"Punya mata tidak?"
Eh?
Aku mendongak dan mendapati laki-laki itu (sepertinya) memandangku dengan kesal. Bibir tipisnya terkatup.
"Punya mata tidak?" ulangnya dengan nada dingin.
"Tentu saja punya!" balasku dengan geram sambil menunjuk wajahku. Hei, aku kan sudah meminta maaf, mengapa ia tidak bisa lebih sopan sedikit? Mungkin memang benar aku yang menabraknya, tapi tetap saja— "Mengapa kau marah-marah begitu?"
Ia mendecih pelan—tapi tetap saja terdengar olehku. "Kau mengganggu pemandangan, Rambut Permen."
Oh, bilang dong dari ta—eh, apa?
Rambut Permen?
Kupelototi dia. "Apa kau bilang, Kacamata Bertopi?"
"Rambut Permen." Dengan santai, ia mengacungkan jarinya dan menunjuk ke kepalaku.
Tanpa sadar aku menyentuh kepalaku, lalu berpaling ke segala arah—mencari cermin, yang kutemukan di dekat meja resepsionis. Kuamati baik-baik kepalaku. Rasanya tidak ada yang salah kecuali—eh, rambutku berantakan!
Tergesa-gesa kurapikan rambutku dengan jari-jari tangan. Rambutku berubah mengerikan setelah acara lari-lari tadi. Warna pink yang berantakan memang... seperti permen, tepatnya permen kapas.
Laki-laki itu mendengus, lalu pergi begitu saja dari hadapanku, dan mendadak aku teringat. Wawancara! Astaga, sudah berapa lama aku terlambat?
Buru-buru aku mendekati penjaga pintu.
.
.
.
"Di sini?"
Aku membungkuk dan mengucapkan terima kasih pada penjaga yang mengantarkanku ke tempat wawancara sebelum ia kembali ke lantai dasar. Ternyata penjaga itu tidak menyebalkan, ia mau bersusah payah mengantarkanku ke lantai delapan—tempatku wawancara.
Dan di yang berada di hadapanku adalah sebuah pintu kayu dengan papan bertuliskan 'Vice President Room'. Huh? Ruang wakil direktur? Mengapa tidak menggunakan bahasa Jepang saja sih?
Sialsialsial, sekarang sudah pukul sepuluh lewat.
Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu itu.
Tok tok tok
"Masuk," terdengar suara dari dalam yang memerintahkanku untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Pelan-pelan, kubuka pintu itu. Saatnya pembantaian, Sakura...
"Shitsureishimasu..." Aku mengintip ke dalam ruangan, menemukan sosok seorang pria paruh baya, kemudian menyelinap ke balik pintu dan menutupnya—sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara. "Saya Haruno Sakura yang melamar untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh kantor konsultan tenaga kerja..."
Pria itu berdiri dan tersenyum. "Gamasen Jiraiya, wakil direktur dari KG Entertainment. Silakan duduk." Ia mempersilakanku duduk di kursi.
"Arigatou," gumamku, berusaha terlihat seprofesional mungkin. "Mungkin Anda telah membaca CV yang saya kirimkan melalui Tsunade-san."
Ia mengangguk. "Tentu saja."
"Jadi—" rileks, Sakura, rileks... "—seperti yang tertulis, saya sudah tamat sekolah menengah atas karena mengikuti akselerasi. Saya bisa melakukan pekerjaan rumah. Saya pernah magang di restoran selama dua bulan. Saya bisa mengendarai motor dan sepeda. Saya juga—"
Jiraiya-san tersenyum, "Semuanya sudah tertulis di CV-mu, aku sudah membacanya, tapi—"
"—tapi?" Aku mengangkat alis.
"Apa kau bisa menjaga rahasia?" tanyanya, sama sekali tidak berkaitan dengan CV-ku.
"Rahasia?"
Ia mengangguk. "Ya. Kantor kami adalah agensi yang cukup terkenal di industri hiburan Jepang. Kami menelurkan talent-talent berbobot yang harus terus berkiprah dengan cemerlang di dunia hiburan. Kami harus menjaga rapat-rapat rahasia yang sebenarnya terjadi pada para artis kami—"
"Maksudnya, mencegah skandal?" tanyaku, semakin bingung dengan arah percakapan ini.
"Tepat." Jiraiya-san mengacungkan ibu jarinya. "Bila ingin bekerja di sini, kau harus sanggup menjaga kejadian yang sebenarnya, kemudian membantah gosip-gosip yang tidak jelas, juga menghindari wartawan-wartawan yang selalu berusaha mengorek privasi artis idola dan menciptakan skandal."
Aku mengerjap-ngerjap. "Bukankah saya melamar untuk menjadi asisten orang kaya?"
Jiraiya-san tertawa. "Bukan," katanya. "Aku mengatur agar isi lowongan pekerjaan itu tidak terlalu mencolok—selalu ada kemungkinan wartawan menyamar menjadi aplikan dan melamar untuk menjadi manajer artis idola."
Lagi-lagi aku mengerjapkan mata. "Maksud Anda... saya akan menjadi manajer... artis idola?"
"Begitulah."
Tiba-tiba saja sekujur tubuhku terasa lemas. Menjadi manajer artis idola? Yang benar saja!
"Secara kebetulan," Jiraiya-san mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai, "hanya kau yang melamar untuk pekerjaan ini—memang baru semalam dibuka, tapi kurasa, tidak akan banyak orang yang ingin menjadi manajer artis idola, terutama bila artisnya sedikit merepotkan."
Tentu saja, aku pun tidak akan mau. Memangnya siapa yang mau menjadi manajer artis yang 'disiksa' dan bergaji kecil?
Seolah bisa membaca pikiranku, Jiraiya-san berkata, "Tenang saja. Gajinya cukup besar—mengingat orang yang akan kau manajeri adalah idola paling top saat ini. Lima ratus ribu yen satu bulan, bagaimana?"
Uh.
Tentu saja aku mau.
—selama artisnya tidak semenyebalkan si Kacamata Bertopi yang tadi.
Tapi, aku tidak mau terkesan sangat memerlukan uang (walau sebenarnya iya), jadi aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ngomong-ngomong, Gamasen-san, sejak saya tiba di gedung ini, banyak sekali orang keluar-masuk ke gedung ini. Siapa sebenarnya mereka?"
"Oh." Jiraiya-san memandang jauh keluar jendela. "Ada beberapa artis idola, penyanyi, dan mungkin beberapa orang calon artis yang sedang dalam masa pelatihan sebelum debut—mungkin juga ada peserta audisi."
Oh. Kalau si Kacamata Bertopi itu peserta audisi (entah audisi apa, aku tidak berani bertanya lebih lanjut), para juri audisi itu juga pasti tak akan mau menerimanya. Menyebalkan begitu.
"Saya mengerti," jawabku. "Saya berharap saya bisa menjadi manajer yang baik. Siapa artis yang akan menjadi tanggung jawab saya?"
"Mungkin kau pernah mendengar namanya," kata Jiraiya-san, "Aku sudah memanggilnya untuk datang ke sini, dan—" Ia menatapku dengan serius, "—karena kau perempuan, kuharap kau tidak histeris ketika bertemu dengannya. Saat ini, ia idola para gadis."
He.
Dia pikir aku ini gadis yang tergila-gila pada artis idola remaja yang sedang naik daun?
Tok tok
Terdengar bunyi ketukan di pintu, membuat kami berdua menoleh.
Jiraiya-san kembali tersenyum. "Masuk, Sasuke."
Pintu ruangan terbuka.
"Nah, Haruno Sakura, perkenalkan, artis yang akan menjadi tanggung jawabmu." Mataku membelalak sementara Jiraiya-san berbicara. "Uchiha Sasuke, top idol saat ini."
Wajah pemuda itu tetap kaku, tanpa senyum.
Dia kan... si Kacamata Bertopi yang tadi!
.
.
.
tbc
.
.
.
Author's Bacot Area
Terlalu cepat update kah? Saya semangat banget nulisnya, hahaha XD Maaf ya Sasuke-nya baru muncul sekilas doang~
Btw, nama marga Jiraiya itu buatan saya, Gamasen, dari 'gama' (katak) dan 'sen' potongan dari 'sennin' (petapa). LOL
Dan... kok saya malah ngerasa ini bukan drama ya? Baiklah... perbaikan di chapter selanjutnya XD
Makasih buat yang nge-review di DREAM Series: Prolog :)
Chousamori Aozora, Sorane Aiwa, Dae Uchiha, 4ntk4-ch4n, kakkoii-chan, Kirara Yuukansa, Kazuma B'tomat, Fidya Raina Malfoy, Maya, Nyx Quartz, QRen, rika nanami
Bersedia me-review lagi?
Me ke aloha,
mysticahime™
Bandung, 6 Juni 2011, 02.12 p.m
Edited: 28022012 (title)