Tanpa Batas
Naruto by Kishimoto-sensei
Endless Night by Agatha Cristie
This story purely mine.
SasuSaku's fanfic for Kira Desuke :D
Enjoy it!
.
.
Gadis itu memandang lekat pepohonan di sekelilingnya. Hutan perbatasan Konoha adalah tempat yang paling disukainya. Mimpinya adalah mempunyai rumah di sini. Di tengah pepohonan yang menjulang, di tengah kicau burung yang menenangkan hati, di kelilingi percikan air terjun di ujung hutan, sungguh… itulah mimpinya. Mimpi yang ia tahu akan sangat sulit untuk direalisasikan. Ia adalah pewaris utama keluarga Haruno. Tentu akan sangat sulit mendapat izin dari Asuma Sarutobi—selaku walinya—untuk tinggal di tempat ini. Beruntung ia mempunyai sahabat sekaligus asisten pribadinya—Yamanaka Ino—yang berhasil membujuk sang Paman—Asuma Sarutobi—untuk mengizinkannya berlibur di Konoha, tepatnya hutan perbatasan yang selama ini diingini Sakura. Dan di sinilah ia kini, tinggal di salah satu pondok penginapan biasa, jauh dari tatapan kagum atau apa pun yang menyiratkan ia adalah seorang Haruno. Karena di sini, ia hanyalah Sakura. Cukup Sakura.
"Kalungmu terjatuh."
Suara itu berhasil membuat Sakura membalikkan tubuhnya, memandang pria yang baru saja menyatakan bahwa kalungnya terjatuh. Dengan refleks, Sakura menyentuh lehernya, dan jemari tangannya merasakan tak ada kalung di lehernya—walau sempat ia berpikir, ia memang tak sedang memakai kalung—tapi menilik kenyataan bahwa kalung yang dipegang pemuda itu memang kalung miliknya. Peninggalan satu-satunya dari sang ibunda tercintanya yang telah pergi ke alam tak terjangkau.
"Aa… terima kasih, Tuan."
"Hn."
Pria dengan mata sehitam mutiara hitam itu pun berlalu seiring kalung yang ditemukannya telah diterima sang pemilik. Tak menyadari—atau justru dengan kesadaran penuh—mengetahui sang gadis, Sakura, telah tertawan pesonanya.
"Tunggu!" panggil Sakura. Ia melangkahkan kaki kecilnya di jalan setapak itu, berusaha menyejajari posisi pria bermata hitam itu.
"Hn?"
"Terima kasih. Terima kasih untuk kalung ini," ujarnya seraya menggoyangkan kalung yang ditemukan pria itu. Pria itu memandang heran ke arahnya sebelum berucap, "itu memang milikmu." Dan kembali berlalu, meninggalkan Sakura di sisinya.
"Aaa…." Tak tahu apa lagi yang ingin diucapkannya, Sakura hanya tersenyum tipis memandang punggung tegap pria itu yang semakin menjauh. Jauh… hingga tak terjangkau oleh kedua mata emeraldnya saat pria itu menghilang di balik pepohonan hutan yang cukup lebat.
.
.
"…Sudahakukatakan,akubaik-baiksajaIno. –Ok,akutahu.Danahiya,hahaha… Kalaukaumenanyakanhalitu,akuberikansaturahasia.Tadisoreakubertemudenganpriayangkautahu—mungkinakanmembuatmutakbisatidurseminggumemikirkannya.—ah,iya,baiklah,akutahuituberbahaya,tapipercayalah,kurasapriaituorangbaik.Sudahya,Narutosudahmenungguku.—Sudah-sudah,nantiakuceritakantentangNaruto.Hehehe…."
"Nampaknya kau sangat senang hari ini, Sakura-chan?" tanya Naruto yang kini berada di serambi pondok yang dijadikan tempat menginap Sakura.
Sakura tersenyum tipis sambil menutup ponsel lipatnya. "Udara di sini sangat menyenangkan," katanya.
Naruto memasang senyum terbaiknya. "Kalau menurutku, pria di depanmu ini yang menjadikan udara di sini menjadi menyenangkan—bukan, tapi sangat menyenangkan," kata Naruto diakhiri senyuman hangat.
Sakura tersipu. "Baik, baik. Kau memang menyenangkan, Naruto-san," kata Sakura.
Naruto Namikaze adalah seorang pria berbadan tegap dan kekar. Rambutnya yang berwarna kuning cerah ditambah iris mata berwarna biru miliknya membuatnya lebih dari cukup untuk disebut tampan. Tak lepas dari senyumannya yang begitu memikat. Kulitnya nampak berwarna kecoklatan—khas seorang lelaki. Sikap pria ini yang selau ramah kepada orang lain membuatnya menjadi pria yang paling disukai di daerah perbatasan. Pondok yang saat ini Sakura tempati adalah penginapan kecil yang khusus disewa oleh Sakura dari Naruto. Sedangkan Naruto sendiri tinggal tak jauh dari pondok itu, di sebuah pondok yang dindingna terbuat dari batu bata yang dibiarkan apa adanya tanpa dihiasi cat dinding atau sekedar wallpaper. Kesan yang alami katanya, jika ditanya mengenai dinding pondoknya.
"Nah Sakura-chan, jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku di pondokku," kata Naruto. "Aku akan berada seharian di pondok malam ini. Oh iya, jangan biasakan keluar dari pondokmu di waktu malam. Kabarnya ada beberapa orang tahanan desa yang kabur siang tadi." Naruto memandang wajah gadis di hadapannya dengan penuh perhatian. " Tapi kau tak perlu terlalu khawatir," tambahnya.
Sakura menganggukan kecil kepalanya. "Terima kasih, Naruto-san."
Naruto pamit pulang ke pondoknya setelah membantu Sakura merapihkan pondok yang akan ditempatinya selama satu bulan ke depan.
Sakura memandang ke arah hutan melalui jendela besar di samping kanan pondoknya—tepat mengarah ke hutan. Dari sini ia bisa melihat pohon-pohon pinus menjulang tinggi, berbaris rapi menyembunyikan pesona hutan yang selama ini disukainya. Ia bukan gadis kebayakan yang menyukai segala sesuatu entah itu mulai dari fashion,shopping, atau segala sesuatu yang dapat diukur dengan materi—uang. Sakura sadar, uang adalah barang yang menopang kehidupannya selama ini. Tanpa harta warisan dari almarhum orang tuanya, ia bahkan tak lebih dari seorang anak yatim piatu yang tak akan dipandang sedikit pun. Harta baginya adalah sebuah anugrah dan racun di saat yang bersamaan.
Kehidupannya sebagai seorang Haruno harus membuatnya menjadi seseorang yang bukan dirinya. Ia tak pernah tahu siapa-siapa saja yang berteman dengannya—atau mungkin hartanya—siapa yang menyanginya tanpa silau akan harta miliknya. Ia tak menampik, ada segelintir orang yang memang tulus menyayanginya. Sebut saja Asuma Sarutobi, paman sekaligus walinya, dan sahabatnya Ino Yamanaka. Baginya dua orang itu adalah lilinya. Lilin yang meneranginya di saat gelap, meski tanpa silau kekayaannya. Semestinya semuanya seperti itu dan terus seperti itu.
Sakura perlu berterimakasih kepada Ino yang berhasil membujuk Asuma agar mengizinkannya berlibur di Konoha selama sebulan penuh. Meski Ino mengarang tempat liburan Sakura yang sebenarnya. Yang Asuma tahu, Sakura berlibur di kota Konoha—bukan tinggal di pondok di perbatasan barat Konoha. Asuma tidak akan mengizinkannya jika mengetahui tujuan liburan Sakura yang sebenarnya.
Gemerisik daun-daun kering yang seperti diinjak sesuatu membuat Sakura memokuskan penglihatannya ke arah hutan pinus searah jendela pondoknya. Sekelebat bayangan muncul di balik pohon terdekat dengan halaman samping pondoknya. Sesaat rasa takut menyergapnya. Cerita Naruto tentang sekelompok tahanan desa yang melarikan diri dari penjara menghinggapinya. Hingga bayangan itu tampak lebih jelas, dan segala ketakutannya sirna. Bayangan itu adalah siluet sosok pria tegap berambut hitam legam yang kini sedang bersandar di batang pohon dengan sebatang rokok di mulutnya.
Sakura menyunggingkan sebuah senyum tipis. Dengan segera ia melangkah keluar menuju pria itu. Gadis berambut merah muda itu bahkan lupa memakai sweaternya, padahal udara di luar cukup dingin ditambah busana gadis itu yang hanya memakai kaus katun berlengan pendek dengan jelana bahan jeans.
"Kau tinggal di sekitar sini?" tanya Sakura.
Pria itu memandang Sakura dengan tatapan menilai sebelum mematikan rokok yang dihisapnya dan membuangnya ke tanah. Ia mematikan rokok itu dengan sekali injak, kemudian kembali memandang Sakura.
"Bukan," katanya. "Aku hanya sedang berlibur."
Sakura sedikit kecewa. "Benarkah? Kukira kau asli penduduk di sini."
"Kau keberatan?"
"Bu-bukan, bukan itu maksudku. Maksudku, aku hanya akan lebih senang jika kau penduduk di desa ini. Aku ingin tahu seluk beluk desa ini—hutan ini tepatnya. Kupikir kau bisa membantuku," jelas Sakura.
"Aku bukan seorang pemandu. Kau bisa mencari seseorang yang bisa kau bayar," kata pria itu datar.
Sakura nampak terperanjat atas perkataan pria itu. "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku... aku..."
"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa tersinggung," balasnya. Sakura sedikit terkejut ketika mendapati pria itu tersenyum tipis. "Namaku Sasuke Uchiha," katanya. "Salam kenal," imbuh pria itu. Kini dia mengulurkan tangannya ke arah Sakura.
Sakura manjabat uluran tangan tersebut sambil tersenyum. "Sakura. Namaku Sakura," katanya.
Sakura tak pernah tahu apa-apa yang terjadi setelahnya. Yang ia tahu, ia telah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya kepada seorang pria. Pria itu Sasuke Uchiha.
.
.
Kata orang cinta itu tumbuh secara perlahan dan konstan. Namun bagi Naruto, cinta bukan hal yang mampu dijabarkan dalam rentang waktu yang panjang. Jika kau telah menemui cintamu, bukan hal mustahil cinta itu adalah seseorang yang baru kaukenal kemarin sore atau tadi siang. Sama ketika ia merasakan perasaan senang dan bahagia menggebu-gebu ketika pertama kali melihat gadis yang akan menyewa pondok kecilnya dua minggu yang lalu.
"Melamun itu tidak bagus, Nak," nasihat Kushina ketika melihat Naruto tampak melamun di tengah acara minum teh sorenya.
Naruto tersenyum kecil. "Hanya memikirkan sesuatu yang menyenangkan, Bu," katanya.
Kushina menghirup aroma tehnya sebelum menyeruput pelan teh itu. "Tentang apa kalau ibu boleh tahu?" Ia memberi jeda sebentar sebelum meneruskan. "Tentang gadis cantik penyewa pondok kecilmu?"
Naruto hampir tersedak tehnya. Ia mengalihkan pembicaraan ibunya dengan topik lain. "Bu, kurasa malam ini akan turun hujan."
Kushina yang menyadari hal itu hanya tersenyum kecil. "Orang dewasa tidak akan membahas cuaca ketika seorang gadis cantik tepat berada di dekat rumahnya."
Naruto tersenyum kikuk sambil berucap, "ia akan menikah, Bu."
.
.
"Kau belum mengenalku lebih jauh Sakura," kata Sasuke. Sasuke mengeluarkan asap rokok melalui mulutnya. Jemarinya mengapit batang rokok yang masih menyala.
"Kau pun sama. Tak mengenalku," kata Sakura. "Kau bahkan tak tahu nama keluargaku. Aku bisa saja adalah seorang buronan yang melarikan diri dari penjara," tambah Sakura sambil tersenyum.
Sakura sedang duduk di atas batu besar di tepi air terjun, sedangkan Sasuke sedang bersandar di sebuah batang pohon di sebelah Sakura.
"Kau lebih terdengar seperti menyindirku."
"Astaga Sasuke-kun! Selera humormu jelek sekali," gerutu Sakura kecil sambil menggembungkan kedua pipinya.
"Hn." Sebuah seringai tipis menghiasi wajah Sasuke. "Aku hanya mengingatkanmu Sakura. Kau baru mengenalku selama dua minggu. Bukan waktu yang dapat dibilang cukup untuk memutuskan sebuah pernikahan," kata Sasuke. "Lagipula... kau belum cukup umur." Sasuke kembali menyeringai. "Aku tidak ingin disebut menculik anak gadis orang."
Sakura bangkit dan memukul kecil lengan Sasuke. "Dua minggu lagi usiaku genap 21 tahun, Tuan Sasuke. Di saat itu aku berhak mengatur hidupku sendiri. Karena aku adalah gadis yang merdeka." Sakura tersenyum menantang ke arah Sasuke.
"Ini Jepang Sakura, bukan Inggris."
"Sayangnya, aku berkewarganegaraan ganda, Tuan. Inggris dan Jepang," kata Sakura sambil tersenyum puas. Usia 21 tahun dalam hukum Inggris berarti kedewasaan dimana seorang gadis bukan lagi seseorang yang harus ditanggung atau diwalikan.
Sasuke diam. Ia menghisap rokoknya. Asap rokok yang dikeluarkannya membumbung tinggi di udara. "Banyak yang tidak kuketahui tentangmu, Sakura."
Sakura nampak sedikit merasa bersalah atas apa yang baru saja dikatakan Sasuke. Sasuke seolah kembali mengingatkan bahwa usia perkenalan mereka baru dua minggu. Sakura memandang mohon maaf pada kedua mata Sasuke. "Maaf."
"Sudahlah."
"Aku mencintaimu, Sasuke-kun," kata Sakura berusaha meyakinkan.
Sasuke kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, tetapi sebuah gerakan halus dari Sakura membuat rokok itu kini berada di tangan gadis itu. Sakura mematikan api rokok itu dengan ibu jarinya.
"Apa yang kaulakukan?" seru Sasuke.
Ia segera mengambil rokok itu dari tangan Sakura, membuang rokok itu ke tanah dan menginjaknya. Sasuke mengangkat ibu jari Sakura yang tampak merah akibat sundutan api rokok. Tanpa ragu pria beriris hitam itu menghisap ibu jari Sakura. Selang beberapa detik, Sasuke sudah melepaskan hisapannya pada ibu jari Sakura.
"Jangan lakukan hal bodoh itu lagi!" seru Sasuke. Ia membuang mukanya ke arah berlawanan dari tatapan Sakura.
Sakura menyentuh lengan Sasuke, meminta pria itu untuk berbalik menghadapnya. Kini mereka berdua kembali berhadapan.
"Aku mencintaimu, Sasuke-kun. Rokok itu hanya akan membunuhmu... dan aku tidak ingin hal itu terjadi," kata Sakura. "Berjanjilah tidak akan merokok lagi."
Sasuke menghela napasnya dengan berat. "Rokok adalah teman berbagiku." Ia tersenyum lirih. "Selalu seperti itu."
"Tapi sekarang kau punya aku, Sasuke," kata Sakura. Ia kini menggenggam jemari Sasuke. "Berjanjilah."
Sasuke memandang Sakura cukup lama sebelum berkata, "hn."
Suara derap kaki kuda yang terdengar mendekati tempat mereka berada mengalihkan perhatian mereka. Kini di jalan setapak tak jauh dari tempat mereka berpijak tampak Naruto Namikaze yang sedang duduk di atas seekor kuda putih bersurai emas. "Maaf jika aku mengganggumu, Sakura-chan," kata Naruto.
"Aaa... Naruto-san, tentu tidak. Ada apa?"
Naruto melirik sebentar ke arah Sasuke. Entah apa yang dipikirkannya tetapi ia memiliki rasa kurang menyukai pria berambut hitam yang kini resmi sebagai calon suami Sakura. Naruto mengembalikan tatapannya ke arah Sakura.
"Ada seorang gadis berambut kuning emas sedang menunggumu di pondok," kata Naruto. "Yamanaka, katanya."
Sakura terperanjat sepersekian detik sebelum berseru. "Astaga, Ino ke sini!" Sekilas ia menoleh ke arah Sasuke sebelum tersenyum ke arah Naruto. "Terima kasih, Naruto-san. Aku akan pulang sekarang," kata Sakura.
Naruto tersenyum hangat kepada Sakura. "Sama-sama," katanya. "Nah, aku permisi dulu." Naruto kembali melirik Sasuke. Ia menatap pria itu selama beberapa detik sebelum mengangguk kecil demi kesopanan.
Derap kaki kuda Naruto yang semakin lama semakin tak terdengar ditambah percikan air terjun yang konstan menjadi latar suasana hutan tempat Sakura dan Sasuke berada. Sakura menyentuh lengan Sasuke pelan.
"Aku akan mengenalkanmu kepada Ino—sahabatku," kata Sakura. "Satu-satunya," tambahnya dengan senyum lirih.
Sasuke mengangguk kecil kemudian bersama Sakura pulang ke pondok Sakura. Hujan semalam membuat jalanan menurun menuju pondok sedikit licin. Sakura hampir jatuh ketika menuruni lereng bukit yang sedikit curam. Beruntung Sasuke sempat menangkap pergelangan tangannya.
"Hati-hati," kata Sasuke.
"Maaf."
Hari sudah senja ketika pondok Sakura sudah terlihat di balik pepohonan pinus yang mengelilinginya. Tiba-tiba Sasuke memegang pergelangan tangan Sakura, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Sakura menatap Sasuke dengan pandangan bertanya.
"Apa gadis itu sahabatmu?"
Sakura sedikit terkejut dengan pertanyaan Sasuke. Namun sedetik kemudian ia telah tersenyum tipis. "Iya. Ino adalah sahabatku—satu-satunya," kata Sakura pelan.
"Kenapa?—Kenapa kau menganggapnya sahabat?"
Sakura diam. "Karena aku percaya padanya," kata Sakura mantap.
Sasuke tampak menilai perkataan Sakura sebelum melepaskan pegangan tangannya pada gadis itu. "Hn."
Mereka melanjutkan jalan mereka. Kini Sakura bisa melihat Ino yang memakai sebuah syal rajutan berwarna biru tua yang menutupi leher jenjangnya sedang duduk di serambi pondoknya. Iris biru langit milik Ino sedikit terbeliak ketika melihat Sakura datang dengan senyuman ke arahnya.
"Sakura!" serunya.
Sakura merentangkan kedua tangannya, bersiap memberi pelukan selamat datang kepada Ino. Ino pun membalas pelukan itu dengan tangan terbuka. Selama beberapa detik kedua gadis itu melepas kerinduan mereka dalam pelukan. Ino melepaskan pelukannya dan memandang wajah Sakura dengan sedikit kesal.
"Kau ingin membunuh aku, Bodoh!" serunya.
Sakura tersenyum canggung. Ia tahu yang dimaksud Ino adalah rencana gilanya menikahi pria yang baru dikenalnya selama dua minggu yang dikirimkan melalui email kepada Ino minggu lalu. Sadar kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut, Sasuke mengeluarkan suaranya.
"Kuharap rencana pernikahan kami tidak mengganggumu, Yamanaka-san."
Ino melirik Sasuke melalui sudut matanya. Entah kenapa ia sedikit tidak suka melihat jemari tangan Sasuke yang kini meremas pelan jemari Sakura.
"Ino, aku sudah memikirkan rencana ini matang-matang," kata Sakura.
"Tch! Matang-matang kaubilang? Dua minggu Sakura, dan kau bilang itu matang?" sembur Ino sedikit kesal. "Asuma bahkan akan langsung menembak kepalaku jika tahu hal ini."
"Ino!" seru Sakura. "Paman Asuma tidak akan melakukan hal itu."
"Aku mencemaskanmu, Sakura. Usiamu bahkan belum genap 21 tahun. Aku masih—"
"Dua minggu lagi usiaku 21 tahun, Ino. Dan aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri."
"Yeah! Dan kau bahkan tak ingin meminta persetujuan Asuma bahkan aku pun tak kauanggap?" sembur Ino.
"Bukan seperti itu Ino. Mengertilah... aku mencintai Sasuke," kata Sakura pelan. Ia menatap Sasuke yang kini berada di sampingnya.
"Aku tahu hal yang kaupikirkan masuk akal Yamanaka-san, tapi aku mencintai Sakura... dan akan menikahinya."
"Tch! Tahu apa kau tentang Sakura? Aku berani bertaruh kau bahkan tak tahu siapa Sakura sebenarnya?" tantang Ino.
Sasuke diam. Sakura mulai gelisah. Telapak tangannya berkeringat, ia takut Ino akan membongkar jati dirinya sekarang. Tidak... ia belum siap.
"Kau tak tahu, eh?"
"Ino!"
"Sakura adalah seorang—"
"Ino cukup!"
"Dia harus tahu Sakura!" seru Ino. "Uchiha-san, kau harus tahu, Sakura adalah seorang Haruno. Kau pasti tahu apa arti Haruno," sindir Ino telak.
Sakura menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ya, dia memang seorang Haruno. Pewaris satu-satunya kekayaan keluarga Haruno. Harusnya ia tahu, cepat atau lambat ia harus memberitahukan statusnya kepada Sasuke. Perlahan ia membuka kedua tangannya.
"Kau pasti hanya satu dari sekian lelaki brengsek yang ingin mengambil kesempatan menikahi Sakura."
"Ino!"
"Aku tidak peduli," kata Sasuke. "Yang kutahu Sakura yang akan kunikahi adalah Sakura. Tak peduli apa nama keluarganya, aku akan tetap menikahinya."
Sakura menatap Sasuke dengan lekat. Rasa hangat membanjiri hatinya ketika mendengar penuturan Sasuke.
"Ino, percayalah... ini adalah pilihanku, dan aku akan sangat bahagia jika sahabatku mendukung pernikahanku," kata Sakura.
Ino memandang Sasuke dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum mendengus pelan. "Asal kau bahagia, aku senang," katanya.
Sakura tersenyum lega. Ia memeluk Ino dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Ino."
Sasuke memilih membuang wajahnya ke arah lain. Melihat Sakura yang menyayangi Ino setulus hati membuatnya ingin membunuh gadis beriris mata biru itu.
'Sahabat?Tch!'
"Bagaimana dengan Asuma?"
"Aku akan mengunjunginya di saat usiaku 21 tahun," kata Sakura.
"Kau licik Sakura," kata Ino. "Kau tidak memberikan Asuma pilihan jika memberitahunya saat itu."
Sakura tersenyum sedih. "Aku yang akan menentukan hidupku, Ino," katanya.
Sakura baru menyadari di syal rajutan Ino terdapat sebuah lambang kipas kecil di ujung simpul kanannya. Perlahan ia menyentuh syal itu.
"Omong-omong, syal bagus Ino," kata Sakura. "Di mana kau membelinya?"
Ino tertawa kikuk sebelum menyamarkannya dengan sebuah cengiran. "Temanku yang memberikan ini."
"Oh..."
.
.
Ino membuka buku hariannya dengan gelisah. Ia nampak membulatkan tanggal-tanggal di mana terjadi sesuatu yang penting dalam kehidupannya. Tanggal pertama yang dibulatinya adalah tanggal 12 Agustus tahun lalu. Tanggal di mana ia sedang berlibur ke Paris dengan Sakura. Tanggal kedua yang ia bulati adalah 23 Desember tahun lalu, di saat ia sedang menemani Asuma rapat tahunan menggantikan Sakura sambil mencari hadiah natal untuk Sakura di Rusia. Terakhir adalah tanggal 27 Desember lalu di Konoha.
Tangan Ino menuliskan tanggal 28 Maret di buku hariannya dengan tenang.
28 Maret 2011
Semuanya berakhir...
Senyum kelegaan mengambang di bibir Ino. Ia menutup buku hariannya dan menyimpannya rapat dalam laci di sebelah tempat tidurnya.
.
.
Asuma mennghisap tembakau melalui pipanya dengan perlahan. Dihembuskannya asap tembakau melalui mulutnya. Asap itu membumbung tinggi ke langit-langit kamar kerjanya sebelum menghilang menyatu dengan udara di sekelilingnya.
Minggu lalu ia telah bertemu dengan Sakura. Bukan pertemuan yang baik mengingat pertemuan itu diakhiri dengan sedikit pertengkaran mengenai rencana pernikahannya dengan salah satu dari keluarga Uchiha. Asuma sudah mencari informasi tentang Sasuke Uchiha—pria yang ingin menikahi Sakura. Sasuke Uchiha adalah putra bungsu dari pasangan Fugaku Uchiha dengan Mikoto Uchiha. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki yang meninggal di setahun yang lalu, Itachi Uchiha.
Keluarga Uchiha adalah keluarga yang cukup terpandang di Oto. Fugaku Uchiha adalah kepala polisi di kantor kepolisian Oto. Sepanjang yang Asuma tahu, keluarga Uchiha adalah keluarga tua terhormat yang secara keseluruhan cukup baik jika salah satu anggota keluarga mereka berniat menikahi Sakura. Hanya saja, hati kecil Asuma seolah menolak kenyataan bahwa Sasuke mencintai Sakura yang baru dikenalnya selama dua minggu. Dari yang ia lihat, justru Sakura lah yang mencintai pria itu. Sakura terlalu polos untuk hal-hal semacam itu. Ada rasa ketidakpercayaannya kepada Sasuke. Ia merasa pria bermata hitam itu memiliki niat buruk kepada Sakura. Meski tak sedikit ia berpikir bahwa rasa sayangnya pada Sakura lah yang membuatnya seolah tak bisa menerima pernikahan mereka yang terkesan mendadak. Ia menyayangi Sakura seperti putrinya sendiri.
Sekali lagi ia menghirup tembakau melalui pipanya. "Semoga yang kutakutkan hanyalah ilusiku."
.
.
Kota Oto terletak di sebelah barat Konoha. Wilayahnya berbatasan dengan hutan perbatasan barat Konoha. Sakura dan Sasuke sedang menuju kediaman keluarga Sasuke di Oto. Deru halus mesin wagon yang dikendarai Sasuke menjadi latar perjalanan mereka.
Sakura sedikit gelisah mengingat pertemuan Sasuke dengan keluarganya—Asuma—tidak berjalan dengan baik. Ia mahfum dengan sikap Asuma yang terkesan menolak niat Sasuke yang ingin menikahinya. Namun ia tetap merasa tidak enak kepada Sasuke, meski pria itu sendiri telah meyakinkannya berkali-kali bahwa apapun yang terjadi Sasuke akan tetap menikahinya. Sakura membayangkan bagaimana reaksi keluarga Sasuke jika mengetahui putra mereka akan menikahi gadis yang baru dikenalnya selama dua minggu.
"Ada apa?" tanya Sasuke. "Ada yang mengganggumu?"
"Aaa ... tidak—tidak apa-apa, Sasuke-kun," balas Sakura kikuk. Ia mulai merasa telapak tangannya berkeringat gelisah.
Sesaat Sasuke nampak akan menginterupsi perkataan Sakura, namun nyatanya ia kembali berkonsentrasi dengan kemudinya.
"Jangan khawatir."
"Eh?"
"Apapun reaksi keluargaku, aku akan tetap menikahimu," kata Sasuke. Ia menatap kolam hijau jernih yang berpendar dari kedua mata Sakura sebelum memberikan sebuah senyum menenangkan di sudut bibirnya. Dengan lembut ia meremas jemari tangan Sakura di sebelahnya dengan tangan kirinya.
Seketika perasaan hangat memenuhi hati Sakura. "Terima kasih, Sasuke-kun," kata Sakura sambil balas meremas lembut jemari kekar Sasuke.
Wagon hitam milik Sasuke telah berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan gaya tradisional. Sasuke turun dari wagonnya diikuti Sakura di belakangnya. Mereka mulai memasuki kediaman keluarga Uchiha. Halaman kediaman Uchiha cukup luas, yang diisi dengan beberapa petak tanaman obat. Di salah satu petak tanaman obat, ada seorang wanita bermabut hitam digelung sedang berjongkok di antara tanaman obat yang sedang dirawatnya.
Sasuke menghampiri wanita itu, sedangkan Sakura mengikutinya. "Lama tidak berjumpa, Bu," sapa Sasuke.
Wanita itu bangkit dan membalikkan tubuhnya menghadap Sasuke. Garis wajah wanita itu tampak mengeras saat mengetahui siapa pria yang barus aja menyapanya. Sakura dapat melihat sinar kekecewaan terpancar dari kedua mata hitam wanita itu. Tanpa diberitahu pun, Sakura tahu, wanita itu pasti Mikoto Uchiha, ibu dari Sasuke.
"Kukira kautelah lama melupakan jalan pulang, Sasu-kun," kata Mikoto sedikit sinis. Ia mengalihkan pandangannya kepada Sakura yang berdiri di samping Sasuke. Sakura yakin, air muka wanita itu melembut ketika memandangnya meski kini wanita itu kembali memasang raut wajah tak senang.
"Aku tahu, aku telah lama mengecewakan Ibu," kata Sasuke. "Namun kepulanganku kali ini bukan untuk memperumit hubungan kita. Aku hanya ingin menyampaikan ...," Sasuke memegang pergelangan tangan Sakura pelan. "aku akan menikah minggu depan."
Kali ini Mikoto tidak menyembunyikan keterkejutannya mendengar berita yang dibawa oleh Sasuke. Ia kembali menatap Sakura—yang sedikit gelisah ditatap sedemikian rupa oleh Mikoto.
"Jangan hubungkan aku dengan hal-hal semacam itu," kata Mikoto datar. Ia memilih meninggalkan Sasuke dan Sakura masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sesuatu lebih lanjut.
Sakura gelisah. Ia sama sekali tidak menyangka hubungan Sasuke dan keluarganya sedemikian buruk sampai-sampai ibunya sendiri pun seolah tak mau ambil pusing dengan apa yang dilakukan oleh Sasuke.
Sasuke yang memahami kegelisahan Sakura menepuk pelan punggung tangan gadis itu. "Ayo masuk," katanya. "Ibu memang seperti itu."
Sakura berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, selama ada Sasuke di sisinya. Semuanya pasti akan baik-baik saja.
.
Sakura dan Sasuke kini duduk di ruang keluarga kediaman Uchiha. Mikoto nampaknya enggan memulai perckapan lebih dulu dengan pasangan di hadapannya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Sakura yang duduk di sebelah Sasuke. Perasaannya mengatakan gadis itu adalah gadis yang baik—jauh berbeda dari gadis-gadis yang selama ini dibawa Sasuke dalam keadaan mabuk jika Fugaku tak ada di rumah. Jauh di lubuk hatinya, wanita bermabut hitam ini berharap Sasuke memang telah menemukan cinta sejatinya pada sosok gadis ini. Namun ia ragu. Ia telah mengenal anak bungsunya itu sejak lahir, ia terlalu paham jalan pikiran pemuda itu. Satu hal yang ia takutkan: anaknya belum berubah.
"Siapa namamu?" tanya Mikoto pada Sakura.
"Sakura. Namaku Haruno Sakura."
Mikoto nampak terkejut ketika mengetahui nama keluarga Sakura. Sedikit pencerahan timbul dalam benaknya. Ia menghela napas berat sebelum berkata, "kukatakan, aku tidak akan menyetujui pernikahan kalian."
Bahu Sakura menegang. Ia belum pernah ditolak selama hidupnya. Dan kali ini ia harus ditolak untuk sesuatu yang semestinya menjadi hal yang paling bahagia dalam hidupnya.
"Ibu tidak berhak mengatakan hal itu," kata Sasuke pelan. Ada nada kemarahan tersirat di setiap kata yang diucapkannya, meski berusaha ditahannya sebisa mungkin. Sasuke melirik khawatir ke arah Sakura di sebelahnya. Gadis itu kelihatan rapuh setelah mendengar penolakan Mikoto yang dilakukan secara terang-terangan.
"Aku berhak melakukan apa-apa yang ingin kulakukan," kata Mikoto datar. Tak ada kemarahan di sana, Sakura lebih menangkap rasa kekecewaan tak terbendung di setiap perkataan Mikoto.
"Ibu—"
"Sudah, Sasuke-kun," potong Sakura. Sakura memberanikan dirinya untuk menatap kedua mata hitam Mikoto yang terlihat seolah menghindari tatapannya. "Maafkan aku, Bi. Tapi, katakanlah, mengapa bibi menolak merestui pernikahan kami? Setidaknya katakalan alasan bibi ... menolakku?" tanya Sakura lirih.
Mikoto menatap tajam kedua bola mata Sakura. Ia tahu hanya inilah satu-satunya cara menghentikan pernikahan itu—kehancuran anaknya. "Karena kau seorang Haruno," desisnya.
Sakura merasa tertohok hatinya ketika mendengar alasan Mikoto. Kenapa? Kenapa alasannya seperti itu? Apa salahnya menjadi bagian dari keluarag Haruno?
Sasuke yang merasa Mikoto sudah keterlaluan segera menarik Sakura untuk bangkit dan pergi dari kediamannya. "Aku tidak akan peduli apa yang Ibu katakan. Aku tidak peduli jika semua orang tidak merestui pernikahanku. Tidak ada yang akan mengubah keputusanku untuk menikahi Sakura!" kata Sasuke tegas. "Ayo, kita pergi!"
Sakura hanya bangkit dengan pasrah sambil menatap pilu ke arah Mikoto yang terpejam, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang didudukinya.
"Semoga Tuhan memberkatimu, Nak," bisik Mikoto pelan.
.
To be continue...
Terima kasih untuk Kira Desuke yang mau saya beri fanfic seperti ini. LOL
Deb, seperti yang kamu baca, fanfic ini jauh dari kata sempurna. Hanya sebuah proyek iseng saya yang tiba-tiba sangat menyukai genre angst .T.T Makasih banget udah mau dikasih fanfic macam ini. #melukdebbyampegepeng. LOL
Buat ka heny, aku minta saranmu sangat untuk fanfic ini. #toel-toel
Terima kasih sudah membaca.