Title : The Third Era (Chapter 01/?)

Author : skadihelias

Rating : PG-13

Genre : Science-fiction, drama, alternate universe

Characters/Pairings : ASEAN OCs and most Hetalia characters

Warnings : Hints of slash/shounen-ai/yaoi

Disclaimer : Hetalia belongs to Himaruya Hidekazu.

Summary : Pada tahun 2166, bumi memutar ulang jarum kehidupannya. Seluruh daratan yang tersisa tenggelam ditelan oleh air laut sebagaimana gambaran berakhirnya Atlantis, negeri dalam legenda. Umat manusia memulai era ke tiga kehidupannya di koloni-koloni luar angkasa yang dikembangkan sejak tahun 2050. Dan di dalam benteng-benteng metalik yang melayang-layang di kegelapan luar angkasa itu, sekelompok pemuda-pemudi mencari jati diri dan rahasia masa lalu mereka.


August 17th, TE 45. 02:41 AM. Center of Human Reproductive Science, Special Division 92 Laboratory 1001. Neo Batavia, Sub-Colony LXII, TERRA V.

Suara dengung mesin dan letupan gelembung udara menggema memenuhi ruang laboratorium yang sunyi dan remang-remang itu. Pada hari-hari biasa, setidaknya empat sampai lima ilmuwan biasa melakukan aktivitas di dalam ruang itu, tidak peduli siang maupun malam. Entah kenapa pada hari itu, tak seorangpun menampakkan diri di sana, bahkan tidak ada yang berjaga sampai dini hari. Padahal beberapa hari yang lalu pimpinan laboratorium sudah memperingatkan anak buahnya bahwa salah satu momen terbesar pada proyek mereka akan dimulai pada hari itu.

Di tengah ruang laboratorium, sebuah tabung besar yang terbuat dari kaca bening berdiri paralel dengan lantai dan langit-langit. Tabung itu mengeluarkan cahaya kebiruan dari lampu yang diletakkan di bagian atas dan dasar tabung. Di dalam tabung tersebut yang dipenuhi cairan kental berwarna bening, seorang bayi laki-laki sedang meringkuk, terlelap dengan tenang. Kedua tangannya yang mungil terkepal di depan dadanya dan matanya tertutup. Tubuhnya melayang-layang di dalam cairan amniotik artifisial tersebut tanpa terpengaruh oleh gravitasi koloni. Selang dan kabel di hidung, tengkuk, dan pusarnya terhubung ke mesin utama sistem itu, memantau data perkembangan dan menyuplai kebutuhan hidupnya.

Tiba-tiba kesunyian terpecah oleh sebuah deringan panjang. Lampu-lampu laboratorium menyala secara serentak, membanjiri ruangan itu dengan cahaya terang sampai ke sudut-sudutnya. Lampu indikator mesin utama yang berwarna merah berkedip-kedip memberi tanda. Komputer otomatis mengirimkan panggilan darurat kepada para staf laboratorium. Layar komputer utama menyala, menuliskan sebaris kalimat:

PRENATAL PROCESS COMPLETED.

Pintu baja laboratorium terbuka, diikuti oleh sekelompok ilmuwan berpakaian putih yang masuk dengan terburu-buru. Pimpinan mereka, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun mengangguk ke arah anak buahnya sebelum berjalan menuju mesin utama. Ia lalu membaca data yang tertera di layar-layar sistem, lalu mengangkat wajah dan memperhatikan bayi di dalam tabung tersebut. Di depan matanya, sang bayi mulai bergerak perlahan-lahan. Dimulai dari lengan dan jari-jarinya, diikuti oleh kaki dan kepalanya. Bayi itu tidak berhenti bergerak, seolah meronta-ronta pelan di dalam cairan yang menahannya.

"Waktu lahirnya sudah tiba." kata pimpinan laboratorium tersebut, entah pada dirinya sendiri atau pada anak buahnya.

Dan bayi itu pun membuka kedua mata hitamnya.


July 1st, TE 61. Liberty International Academy, High School Division. Washington City, Sub-Colony I, TERRA I.

Seorang pemuda berusia lima belas tahun meluncur terburu-buru di atas jalur magnet di koridor Liberty International Academy. Rambutnya yang ikal, hitam, dan berantakan tertiup ke belakang akibat kecepatan geraknya. Sesekali diliriknya jam di pergelangan tangannya dengan panik. Dua menit lagi pelajaran akan dimulai dan sepatu luncur magnetnya yang sudah model lama mungkin akan membutuhkan waktu lima menit lagi untuk mencapai ruangan kelas, bahkan dengan kecepatan maksimum. Memang dia diuntungkan oleh kosongnya jalur magnet yang sedang digunakannya, tapi kosongnya jalur magnet adalah penanda murid-murid sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Jadi melihat keadaan, tampaknya ia akan terlambat sendirian lagi hari itu.

"Aaaaah, Razak sialan! Kenapa dia nggak bangunin aku sih?" gerutunya dengan kesal. Teman sekamarnya itu seharusnya tahu kalau dirinya tidak bisa dibangunkan hanya melalui sistem alarm asrama. "Ergh, awas saja nanti kalau ketemu..."

Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga menit ketika akhirnya ia sampai juga di depan pintu kelas. Tiga menit terlambat dari jam dimulainya pelajaran. Cepat-cepat ditempelkannya tato barcode di pergelangan tangan kanannya ke mesin pemindai yang terletak di samping pintu kelas. Mesin itu mengeluarkan bunyi afirmasi sebelum memunculkan datanya di layar.

GIN: INA9201B | SIN: LIA-511708-HSX4-0062

Name: JAYAWARDHANA, Bhinneka Adi

Status: Student | Class: X-4

Current Subject: Pre-Colony History

Points: -2 | Total Points: 87

Causes: Delayed Arrival (violation of rule #1473)

Bhinneka Adi Jayawardhana, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Eka, mengumpat dalam hati melihat poinnya berkurang lagi hari itu. Beberapa hari yang lalu, ia sudah kehilangan sepuluh poin sekaligus akibat berkelahi dengan teman sekamar sekaligus rival seumur hidupnya, Razak Zainal Abidin, di kantin sekolah. Kenyataan bahwa Razak, yang terbukti lewat rekaman video telah memulai perkelahian tersebut, kehilangan lima belas poin sama sekali tidak membuatnya senang, karena ia tahu poin total saingannya itu masih di atas poin totalnya. Padahal setelah kejadian itu Eka sudah bertekad untuk tidak kehilangan poin lagi. Tapi memang kesulitannya untuk bangun pagi tidak pernah berhenti memberinya masalah, seperti yang terjadi hari itu.

Pintu kelas yang terbuat dari baja terbuka di depannya. Sambil cemberut, Eka memasuki ruang kelasnya. Semua siswa yang lain telah hadir di sana, namun meja guru masih kosong. Ia pun menghembuskan nafas dengan lega. Tidak enak rasanya kalau keterlambatannya yang sudah memakan poin itu ditambah lagi oleh teguran dari gurunya.

Ada sembilan belas orang siswa lain di kelas itu selain dirinya. Karena guru pelajaran hari itu belum tiba, mereka duduk berkelompok-kelompok sambil mengobrol. Masuknya Eka membuat mereka menoleh ke arah pintu kelas dengan serempak. Dan kemunculannya di ruang kelas disambut oleh gelak tawa dan tepuk tangan oleh teman-teman sekelasnya, membuat Eka semakin cemberut.

"Harusnya kau datang lima menit lagi saja, bodoh." ujar seorang siswa berkebangsaan Italia yang bernama Lovino Vargas. "Aku sudah terlanjur bertaruh kau akan telat sepuluh menit hari ini."

Salah satu siswa lain, yang wajahnya nyaris identik dengan Lovino, tertawa tergelak-gelak. "Ve~ Jangan jahat-jahat begitu dong, Lovi. Kasihan kan si Eka." Nama remaja itu adalah Feliciano Vargas, saudara kembar Lovino yang lebih ramah dan lebih murah senyum daripada kakaknya. Namun kabar burung mengatakan bahwa di balik senyuman manisnya ada sifat yang agak sadis.

"Cih, padahal kau sendiri juga ikut taruhan. Kau kan cuma sok simpatik karena kau menang taruhannya, Feli." tuduh Lovino, secara tidak langsung membenarkan dugaan Eka bahwa Feliciano tidak sepolos dan sebaik kelihatannya. Eka yang kesal cuma mengacungkan jari tengahnya ke arah kedua anak kembar itu.

Dengan bersungut-sungut Eka menghempaskan pantat ke kursinya. Gadis Filipina yang duduk di sampingnya, Isabel Maria Alquiros, mencolek bahu Eka untuk menarik perhatiannya.

"Hei," sapa Isabel, "Memangnya Razak nggak membangunkanmu pagi ini?"

"Sejak kapan monyet itu mau membantuku?" Eka bertanya balik dengan geram. "Dia pasti masih dendam gara-gara perkelahian kami beberapa waktu lalu. Yang jelas waktu aku bangun pagi ini dia sudah nggak ada di kamar."

Isabel menyembunyikan tawa di balik tangannya. Sebagai sesama siswa berkebangsaan Asia, memang Isabel adalah salah satu orang yang cukup akrab dengan Eka dan Razak. Tapi yang membuat Eka sedikit kesal, Isabel sepertinya menikmati sekali keributan antara dia dan Razak. Setiap kali mereka berdua beradu mulut, berkelahi, atau bahkan hanya saling melotot, biasanya Isabel berada di dekat mereka, mendengarkan dan memperhatikan dengan senyum aneh yang membuat mereka berdua risih. Salah satu dari sedikit sekali kekompakan Eka dan Razak adalah kesepakatan mereka bahwa ada sesuatu yang aneh (dan sedikit menakutkan) pada Isabel.

Baru saja Eka akan membuka mulut untuk menyuruh Isabel berhenti tertawa, tiba-tiba pintu kelas terbuka lagi dan guru mereka untuk pelajaran hari itu masuk. Para murid langsung membubarkan diri dari percakapan mereka dan mengambil tempat di bangku masing-masing sambil mengeluarkan datapad. Professor Adnan adalah laki-laki berkebangsaan Turki berusia tiga puluhan tahun yang memiliki tubuh tinggi besar dan perawakan yang sedikit menyeramkan. Tetapi dia adalah salah satu guru yang disukai para murid karena kesantaiannya dalam mengajar dan keahliannya dalam menguntai kisah-kisah sejarah, membuat pelajaran itu jauh dari membosankan.

"Selamat pagi!" sapa Professor Adnan dengan riang seperti biasa. "Saya sudah menerima dan membaca tugas essay yang kalian semua kumpulkan. Jangan khawatir, semua bagus-bagus kok!"

"Tentu saja, bre-...Professor. Kami sampai begadang mengerjakan tugas itu." gerutu Lovino.

"Ah, aku jadi ingat tentang essaimu, Lovino," kata Professor Adnan sambil membetulkan letak kacamatanya. "Essaimu memang bagus, tapi isinya lebih banyak tentang pendudukan Spain di South Italy daripada sejarah keseluruhan Italy. Kamu ini orang Italia atau Spanyol sih? Dan Feliciano, essaimu juga sebagian besar isinya tentang North Italy saja. Kalau ini bukan tugas individual, seharusnya essai kalian berdua digabungkan saja. Nah, kalau itu baru sempurna," ujarnya sambil tertawa.

"Ve~ Maaf, Professor," jawab Feliciano malu-malu. "Saya terlalu asyik mencari bahan tentang North Italy sampai keterusan. Karena yang saya tulis tentang North Italy sudah terlalu panjang, makanya saya cuma menulis sedikit tentang South Italy. South Italy nggak terlalu menarik sih."

"Enak saja!" sambar Lovino. "Justru South Italy itu lebih menarik tahu! Kau tahu kan kelompok yang disebut mafia, yang terkenal di seluruh dunia? Mereka asalnya dari Sicily, kota di South Italy. Lagipula negara Vatican dan ibukota Italy, Rome, juga letaknya di bagian selatan Italy." Terangnya membela daerah yang disukainya itu, meskipun dirinya sendiri secara pribadi belum pernah menginjakkan kaki di sana.

"Sudah...sudah...kok kalian malah jadi ribut?" potong Professor Adnan, mencoba menenangkan dua anak kembar yang sudah saling melotot itu. Atau tepatnya, Lovino melotot kepada adiknya dan Feliciano memasang muka cemberut dan melempar pandangan sebal pada kakaknya. "Nah, hari ini saya bermaksud membahas tentang wilayah South East Asia. Kebetulan ada dua orang di kelas ini, Bhinneka dan Isabel, yang bangsanya dulu berasal dari wilayah itu. Indonesia dan Philippines ada dua dari lima negara pelopor utama berdirinya ASEAN, Association of South East Asian Nations. Dan kebetulan, dua-duanya merupakan negara kepulauan. Sekarang buka peta wilayah South East Asia di datapad kalian masing-masing. Peta yang paling komprehensif bisa dilihat di buku 'Pre-Colony History of South East Asia' karangan Magda Yuniarti dan Evelyn Chen tahun 58, lampiran pertama."

Suasana kelas menjadi sunyi kembali. Para siswa sibuk mengakses perpustakaan digital lewat datapad masing-masing untuk mencari dokumen yang dimaksud. Eka, yang sebelumnya sudah memasukkan seluruh isi buku sejarah tersebut untuk kepentingan essainya hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk menemukan peta itu. Sambil menunggu teman-temannya selesai mengakses, dipandanginya gambar peta yang terbentang di atas layar datapadnya. Hamparan daratan-daratan berwarna hijau tersebar di atas bayangan biru gelap yang diketahuinya adalah laut dan samudera.

Susah rasanya membayangkan bagaimana kehidupan manusia pada masa itu. Seperti apakah bau tanah? Seperti apakah bau laut? Seperti apakah rasanya berdiri di bawah sinar matahari? Eka menghabiskan enam tahun awal kehidupannya di Neo Batavia, ibukota Sub-Colony LXII, salah satu wilayah terbesar di TERRA V. Karena usianya yang relatif muda, segala sesuatu yang ada di Sub-Colony LXII tergolong sangat modern. Bahkan bisa dibilang tidak ada satupun materi di Sub-Colony LXII yang merupakan peninggalan kebudayaan pra-koloni bangsa yang mendiaminya, bangsa Indonesia.

Pada usia enam tahun, Eka dipilih oleh untuk menjadi wakil Sub-Colony LXII di Liberty International Academy dan harus berpindah ke Washington City, ibukota Sub-Colony I di TERRA I yang merupakan pusat dari TERRA System sekaligus kota tertua di seluruh dunia. Di Sub-Colony I lah Eka mulai mengenal hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pra-koloni. Untuk pertama kalinya, ia melihat buku buatan pra-koloni yang ditulis di atas lembaran-lembaran putih bernama kertas. Menurut penjelasan sejarah, pada masa pra-koloni buku dicetak di atas kertas, benda yang terbuat dari kayu pohon yang telah diolah. Setiap kali membayangkan hal itu, Eka merasa miris (dan sedikit iri). Pohon berkayu adalah spesies yang sangat langka di koloni. Jangankan diolah untuk media penulisan buku, mengembangbiakkan pohon berkayu saja membutuhkan biaya dan kemampuan yang luar biasa besar, tidak semua negara sanggup melakukannya. Sejauh ini hanya negara-negara adikuasa yang berada di TERRA I saja yang sudah memiliki hutan artifisial yang berisi pohon berkayu. Susah sekali bagi Eka untuk membayangkan betapa kayanya manusia yang dulu tinggal di atas bumi. Bagaimana cara mereka mengembangbiakkan begitu banyak pohon berkayu sampai mereka bisa memboroskan pohon-pohon tersebut untuk membuat benda yang bernama kertas ini? Selain itu, Eka juga pernah membaca cerita tentang manusia pra-koloni yang sebagian besar memakan tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan hidup mereka. Di koloni, tumbuhan adalah komoditas berharga yang berguna untuk produksi oksigen. Karena kebutuhan akan oksigen yang besar dan pengembangbiakannya yang sulit, harga tumbuhan sangatlah tinggi. Mana mungkin sembarang orang bisa membelinya, apalagi untuk makanan sehari-hari. Sungguh mengerikan gaya hidup orang-orang pra-koloni, pikir Eka sambil bergidik.

"Semua sudah dapat petanya?" tanya Professor Adnan, membuyarkan lamunan Eka. "Baik, karena sejarah lengkap South East Asia sangat panjang, saya akan mengawali dengan terbentuknya ASEAN saja berikut pengaruhnya terhadap pertumbuhan negara-negara yang berada di wilayah itu. Nah, sekarang coba kalian lihat peta di hadapan kalian..."


To be continued...


Author Note

Haloooo, saya datang dengan membawa fanfic baru meskipun fanfic saya sebelumnya baru jalan dua chapter, hehehe~ #ditimpuktomat Sebenernya nggak enak juga sih kalo punya terlalu banyak WIP, tapi ide ini sangat mengganggu pikiran saya dan ngotot minta ditulis di tengah-tengah penulisan chapter berikutnya dari Freedom. Saya juga nggak tahu ide ini datangnya dari mana. Mungkin karena saya kebanyakan nonton film sci-fi kayak Star Wars dan Star Trek atau anime kayak Gundam series, saya jadi membayangkan bagaimana kehidupan manusia kalau bumi sudah tidak bisa ditinggali lagi. Apa yang akan terjadi pada nation-tan kita yang tercinta?

Selama ini headcanon saya adalah bahwa nation merupakan perwujudan dan bukan hanya wilayah geografis namun juga keberadaan bangsa yang mewakili nation tersebut. Inilah yang menyebabkan orang-orang seperti Gilbo dan Lovi masih bertahan walaupun secara resmi harusnya cuma Ludwig dan Feli yang masih 'eksis'. Orang-orang Prussia dan South Italy masih ada meskipun wilayah mereka sudah menyatu dengan Germany and Italy. Nah, ini yang membuat saya berpikir walaupun bumi sudah hancur, kalau manusianya masih hidup nation juga harusnya masih bisa bertahan kan? Kan? KAN? #maksa

Kita semua tahu kalau ide kolonisasi luar angkasa sudah sering dibicarakan di topik-topik science. Bumi kita ini sudah semakin tua dan kemungkinan besar suatu saat nanti bumi tidak akan bisa menahan laju pertumbuhan manusia dan segala teknologinya. Latar belakang fic ini adalah tenggelamnya seluruh daratan di bumi pada tahun 2166 akibat efek final dari global warming yang berkepanjangan. Untungnya sebelum 'kiamat' itu terjadi, manusia sudah berhasil mengembangkan teknologinya hingga mampu menciptakan koloni, yaitu daratan artifisial berbentuk kapal induk raksasa (bayangkan seperti space station di film Star Trek, LOL). Pada awalnya cuma ada satu koloni di luar angkasa, tapi seiring dengan kebutuhan migrasi yang tinggi mengingat kondisi bumi yang semakin memburuk, maka koloni pun beranak-pinak. Koloni-koloni ini menurut bayangan saya dibangun diatas orbit revolusi bumi dan ikut berevolusi mengelilingi matahari, tapi dikendalikan oleh mesin, bukan secara alamiah (bayangkan satelit buatan yang mengorbit bumi).

Koloni-koloni ini secara umum disebut TERRA System, dan TERRA System inilah yang merupakan 'bumi' yang baru bagi manusia. TERRA System terbagi jadi enam koloni besar (bayangkan sebagai benua) dan di dalam tiap koloni terdapat banyak sub-colony (bayangkan sebagai negara). Pembagian koloni yang ada pada saat seting waktu dalam fanfic ini adalah sebagai berikut:

TERRA SYSTEM

TERRA I – USA, Russia, Canada, UK, Italy, France, Germany, Japan, China

TERRA II – Negara-negara Eropa Utara, Timur, dan Barat

TERRA III – Negara-negara Eropa Selatan (Mediterannia) dan negara-negara di kawasan Timur Tengah (Asia Barat)

TERRA IV – Negara-negara Amerika Tengah dan Selatan

TERRA V – Negara-negara Asia Timur, Tenggara, dan Selatan

TERRA VI – Negara-negara Afrika

TERRA VII – Australia, New Zealand, dan negara-negara Oceania

Oya, sebenarnya di dalam Terra System tidak ada yang namanya 'negara'. Yang ada cuma bangsa dan wilayah. TERRA I merupakan pemerintahan pusat dari TERRA System dan seperti yang bisa anda semua lihat, didiami oleh bangsa-bangsa adikuasa (atau dalam kasus ini, mantan anggota Axis Powers and Allied Forces XDDD). 'Negara' dalam TERRA System disebut Sub-Colony dan ditandai dengan angka. Pemegang kekuasaan tertinggi di TERRA System adalah Terran Council (semacam MPR) yang membawahi pemimpin koloni yang disebut Colony Presidents yang membawahi pimpinan Sub-Colony yang disebut Supreme Commanders.

Setiap warga koloni memiliki GIN (General Identity Number) yang merupakan identitas utama mereka selain nama tentunya. Warga koloni memiliki tato barcode di bagian dalam pergelangan tangan kanan mereka yang digunakan untuk identifikasi. Semua pergerakan warga koloni dipantau melalui barcode ini karena tidak ada layanan publik yang bisa diakses tanpa terlebih dahulu melakukan scan barcode. Tato ini diberikan sejak lahir, sehingga tidak ada warga 'liar' yang tidak beridentifikasi di dalam koloni. Selain GIN, warga koloni juga memiliki nomor-nomor identitas lain sesuai dengan profesi mereka. Misalnya Eka yang berprofesi sebagai seorang siswa memiliki SIN (Student Identity Number).

Lalu bagaimana dengan nasib para nation-tan kita yang tercinta? Hohoho, kalau saya beri tahu berarti saya membocorkan inti dari cerita ini. Jadi tunggu aja dengan sabar ya~ #ditendangkeAlaska

Sebelumnya saya mohon maaf karena banyak kekurangan dalam fanfic ini. Maklumlah, ini pertama kalinya saya mencoba menulis genre sci-fi, salah satu genre yang paling membuat saya keder selain genre crack. Kalau ada pertanyaan dan masukan dari para pembaca sekalian, saya akan dengan sangat senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menampung masukan-masukan tersebut.

Terima kasih banyak atas kesediaannya untuk membaca~

PEACE OUT AND BE AWESOME!