Disclaimer : Bleach © Tite Kubo
.
Desire
.
Hoshikawa Mey
.
.
.
Desahan.
Desahan.
Dan—desahan lagi…
Ruangan mewah berukuran setara dengan satu ruang kelas itu penuh dengan suara desahan nafas penghuninya. Bersyukur pada tiap dinding telah dirancang kedap suara, mempersempit kemungkinan akan lolosnya suara keluar. Seakan menutup rapat semua dari pandangan luar.
Wha? Kesannya jadi seperti anti-sosial.
Tapi, wajar bukan mereka menginginkan privasi disituasi begini? Situasi dimana sepasang insan tengah bercumbu liar di atas kasur mewah, dimana tak ada satu pun yang membatasi mereka dari kulit ke kulit—saling menunjukkan gairah masing-masing pada lawan jenisnya.
"Jadi—Rukia," si laki-laki berambut orange menyala mulai membuka pembicaraan meskipun kegiatan mereka belum mencapai pertengahan.
Rukia yang semula mendesah gelisah sambil memeluk batal di bawah menoleh ke belakang punggung. Rambut pendek yang melintasi bahu menempel di sela-sela leher karena bercampur keringat, bahkan dua aliran tetes keringat mengaliri sisi tengkuk kala kulit dipenuhi ruam merah mengikuti pergerakan leher. Nafasnya compang-camping memaksakan tetap bisa berbicara normal meskipun sosok di belakang terus bergerak membawa pikiran bergulir gila.
"Apa?"
Ichigo menarik nafas sejenak, kemudian mulai menambah kecepatan. Seringai angkuh khas dari pemilik dahi berkerut terlukis saat ada jeritan kecil sebagai respons dari gerakan spontan si surai oranye. "Bagaimana—hari-harimu, di sekolah—tadi?"
Masi tampak normal. Meski intonasi yang terpatah-patah, vokal Ichigo cukup jelas untuk diperdengarkan. Tentu—pemuda itu sedang pamer. Posisi yang mereka lakukan pastinya tidak menguntungkan bila di ikuti dengan pembicaraan normal, sangat berbeda apabila Rukia berada di atas. Bagaimanapun posisi yang dipilih selalu menentukan siapa yang memegang kendali. Pasrah kali ini harus menerima kenyataan bahwa posisi Ichigo lebih baik.
Rukia membenamkan kepala ke bantal, meredam jeritan menyempatkan diri terkekeh teredam, "Setahuku pillow talk selalu terjadi setelah seks. Bukannya di pertengahan, Ichigo."
Tawa rendah di bibir Ichigo. Senang mengakui fakta pasangan tempat tidurnya adalah mitra yang tangguh. Tidak ada yang tidak menyenangkan apabila melakukan dengan mitra terbaik.
"Aku hanya ingin mengetes. Siapa yang paling sabar menanggapi sebelum bergerak liar sendiri," seringai Ichigo.
"Yang jelas—bukan aku."
"Oh, ya? Kenapa?"
Rukia tak langsung menjawab. Ia menyimpan jawaban karena mendadak gerakan Ichigo berhenti. Gadis mungil itu sama sekali tidak protes karena sudah hafal kebiasaan kekasih berambut oranyenya.
"Pindah."
Perintah cepat dipahami. Perlahan tubuh mungil Rukia berpindah posisi menjadi menghadap ke arah Ichigo. Hanya sepersekian detik dibutuhkan untuk mengatur posisi, tidak sabar—kentara makhluk oranye terburu secepat mungkin menyatukan sebelum akhirnya mulai bergerak kembali.
"Karena apa?" tuntut Ichigo membuka kaki Rukia kian lebar untuk menampungnya.
"Karena—," si mungil tidak serta merta menjawab. Senyum licik terkembang membangun taktik di dalam pikiran. Halus jemari membelai, menelusuri lengan berjalan hingga memeluk punggung pemilik tubuh tan agar dada mereka bersentuhan. Ichigo lantas langsung mengerang.
"—kau yang lebih menginginkan aku," ada hembusan nafas kala rayuan berbisik, menciptakan sensasi merinding disambut geraman halus yang tertahan
Dan dengan begitu—Rukia sukses membuat Ichigo bergerak liar.
.
.
.
.
Senandung manis bergema dengan nada rendah, pengisi kekososngan ketika Rukia duduk di tepi ranjang. Kakinya tidak menyentuh lantai terus bergerak berirama saat jari-jari mungil mengancingkan satu per satu kancing kemeja yang tengah dipakai.
Seringai kecil muncul di sudut bibir saat mulai menggulung lengan kemeja yang berukuran besar di badan. Sadar sepasang mata kuning madu tengah memperhatikan. Tak perlu melihat, hawa panas di sekujur tubuh karena feromon tengah bereaksi terhadap lawan jenis tentu sudah memberi penjelasan apa pemicunya.
"Aku terlihat seksi bukan?" masih—Rukia sibuk menggulung lengan kemeja.
Suara decakan membuktikan terkaan Rukia benar. Lewat lirikan sekilas, tampak Ichigo meninggalkan ambang pintu kamar mandi—tempatnya mengawasi barusan, sibuk berpura acuh mulai mencari pakaian yang telah ia buang ke lantai beberapa waktu yang lalu. Sisa air mandi menetes mengalir meresap di handuk, bahkan si surai oranye membiarkan ketelanjangan kala melepas lilitan handuk—bersiap memasang celana.
"Kau memang selalu ingin menggodaku."
"Huh? Jangan bilang kau menjadi marah karena itu?" goda Rukia.
Ichigo terkekeh. Suaranya bahkan masih begitu mengundang meskipun sudah hampir hitungan jam mereka melewati pergulatan panas di ranjang. Andai waktu mereka tidak terbatas, mungkin Rukia akan menimbang tawaran untuk bermalam. Tapi yah—itu hanya andai, nyatanya Rukia terus membiarkan pemuda itu terus sibuk memasang pakaian. Setelah selesai menarik resleting celana, ia langsung menghampiri.
Untuk beberapa detik pemuda itu terdiam menatap Rukia, dari ujung kaki ke kepala—bahkan rasanya lebih lama dari seharusnya. Wajahnya tampak berekspresi hendak mengatakan sesuatu, namun pada akhirnya pemuda itu hanya menggeleng sembari mendengus.
"Berikan kemejaku."
Rukia merengut, "Aku tidak percaya orang sekaya kau tidak punya kemeja lain di rumah."
"Aku punya, Nona Manis. Tapi aku tidak bisa memakai yang lain karena kita sedang di hotel sekarang. Cepat kembalikan."
"Dasar pelit!"
Mungkin Rukia hanya ingin menggoda kekasihnya, atau bisa saja dia belum ingin kembali kerealitas. Perempuan itu terus merengut cekatan melepas kemeja yang sudah susah payah ia pakai, lalu dilemparkannya tepat mengenai wajah Ichigo. Bahkan acuh si mungil mengangkat tangan seperti meminta sesuatu, menodong—tidak peduli beberapa detik lalu telah melakukan aksi melempar kemeja. "Mana uangku?"
Tanpa pertanyaan, bahkan tidak ada istilah tawar-menawar Ichigo merogoh saku untuk mengeluarkan dompet. "Berapa yang kau minta?"
"Lima belas juta."
"Che, temanku hanya membayar lima juta untuk meniduri gadis sepertimu."
Dahi Rukia berkerut—menaikkan sebelah alis pura-pura tersinggung. "Kalau kau ingin membayar lima juta, cari saja gadis lain di luar sana. Sudah tahu hargaku mahal, masih saja ingin tidur denganku."
Ichigo tak berkomentar apa pun, ia hanya mendengus—menampilkan seringai yang Rukia sendiri kadang tidak mampu menebak pikiran apa yang tengah melintas pada kekasihnya. Dikeluarkannya buku cek untuk diberikan ke Rukia setelah dibubuhi tanda tangan. "Ambil ini."
Rukia langsung berdiri dengan wajah riang. Di berinya Ichigo kecupan singkat sebelum mengambil cek, kegirangan melambaikan kertas berukuran persegi panjang di wajah surai orange.
"Terima kasih."
Ichigo memutar bola matanya bosan, ia sudah terbiasa dengan gelagat manis Rukia apabila sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Selagi sang kekasih masih berdiri dekat, Ichigo langsung meraih pinggan Rukia ke dalam pelukan.
"Terserah. Selagi kau masih menepati janjimu untuk tidak tidur dengan laki-laki lain selain aku, kau boleh minta uang sebanyak apa pun."
"Tidak usah mengingatkanku begitu. Sejak pertama kali kau membeliku, kau sudah tahu sendiri kalau aku sekalipun tidak pernah tidur dengan laki-laki mana pun."
Ichigo bergumam sesuatu yang samar sebelum memberi kecupan pada daerah leher Rukia.
"Kau bicara apa sih, Ichigo?"
"Hmm?" Ichigo masih sibuk menjelajahi leher Rukia. "Yakin mau pulang malam ini? Tidak besok pagi saja?"
Nah—
"Besok aku ada tes Matematika, aku perlu istirahat."
"Jadi, kapan kita bisa bertemu lagi?"
"Pastinya tidak minggu ini. Jadwal sekolahku penuh dengan tes sampai minggu depan. Dan sekarang—" Rukia menjauhkan paksa wajah Ichigo dari lehernya. "—antarkan aku pulang."
Ichigo menghela nafas berat, sedih rasanya akan kehilangan kontak dengan tubuh mungil dalam pelukan sampai beberapa hari ke depan. "Hhh… oke."
.
.
.
.
Rukia menjatuhkan tas sekolah dengan malas di lantai. Tubuhnya begitu tidak bertenaga ketika mendudukkan diri dikursi meja belajar, menempelkan dagunya pada sisi meja. Jam kecil di atas meja terus berdetak, menghipnotis membujuk sepasang kelopak mata bergulir menutup. Ada helaan nafas mengisi jeda sebelum kantuk menyerang. Enggan meninggalkan meja untuk bergerak ke tempat tidur untuk sekedar membaringkan tubuh, Rukia lebih memilih mengambil resiko diserang keram karena bertahan pada posisi tidak nyaman.
Hari ini tes Matematika tidak berjalan lancar. Karena semalam ia pulang kemalaman, hampir sepanjang jam pelajaran ia terus mengantuk. Soal tes yang seharusnya bisa dijawab semua, jadi tertinggal dua soal karena kehabisan waktu.
Rukia benci bila melakukan kesalahan.
"Kau pulang malam karena berkencan dengan kekasihmu yang sudah tua itu?"
Rukia menggeram malas, kantuk memudar memaksa kelopak membuka untuk melirik pada sosok sepupunya yang selama ini berbagi kamar dengannya tengah asyik menyisir rambut di depan meja rias.
"Dia bukannya tua, Orihime. Ichigo cuma punya selisih umur yang jauh denganku."
Sepupu Rukia—Inoue Orihime berbalik sambil mengibaskan rambut. Rukia akui rambutnya memang cantik. Dan Rukia tidak akan bersumpah tidak akan mengatakan kejujuran itu.
"Apa bedanya? Jarak umurnya sangat jauh darimu, dia juga sudah bekerja di perkantoran elite. Ciri-ciri seperti itu cuma dimiliki oleh orang yang sudah tua," Orihime bersikeras. "Aku masih tidak habis pikir seleramu adalah om-om."
"Terserah apa katamu. Yang penting aku tidak sepertimu yang suka gonta-ganti pasangan."
Orihime tertawa cekikikan, "Aku bermain sesuai dengan umurku, Ruru-chan. Mereka semua adalah yang terbaik. Kau tahu?" beringsut Orihime menghampiri penuh antusias, duduk ditepi tempat tidur yang dekat dengan meja belajar si gadis mungil.
"Kemarin aku tidur dengan Hisagi Shuuhei, dan tubuhnya lumayan berotot."
"Apa hubungannya denganku?"
"Rukia… aku memberitahumu tentang orang-orang seperti Shuuhei agar kau mau sekali-kali mencoba tidur dengan laki-laki seksi daripada dengan om-om yang pasti tubuhnya sudah melar semua."
Kali ini giliran Rukia yang tertawa cekikikan.
Beginilah orang timur sekarang, sudah terkontaminasi budaya barat. Tidur dengan si A, berkencan dengan si B serta C sekaligus. Semua itu sudah menjadi topik biasa di kalangan remaja. Tak heran sebuah survei sudah mengeluarkan bahwa di seluruh dunia hanya 40 persen remaja—laki-laki dan perempuan—belum pernah berhubungan seks.
Orihime menggembungkan pipinya. "Aku bicara serius, Rukia. Kau ini—kenapa suka sekali sih dengan pacarmu yang tua itu?"
Rukia mencobanya—membayangkan sosok yang dijabarkan Orihime dalam visual nyata dari Kurosaki Ichigo—seseorang yang sudah tua dan memiliki selisih umur jauh dengan Rukia maupun sepupunya. Namun perempuan mungil itu gagal memahami sudut pandang Orihime ketika mulai membayangkan sosok Ichigo yang begitu memiliki pahatan sempurna. Dapat dibayangkan seberapa hebat dada bidang pemuda orange itu ketika mendekapnya saat mereka bergumul. Terlebih—staminanya.
Senyum aneh muncul dengan sebelah alis terangkat, terlihat bahwa visual Ichigo pasca seks belum pudar sepenuhnya. "Dia itu seksi, Orihime."
"Seksi?" Rukia meringis merasa tuli sementara oleh jeritan histeris Orihime, perempuan karamel itu terlihat menahan kesal setengah mati pada Rukia. "Mana ada orang tua yang seksi selain uangnya?"
Pada akhirnya Rukia hanya mampu merespon kegaduhan si karamel dengan cengiran aneh. Ditinggalkannya begitu saja Orihime yang masih histeris menceramahinya. Mengenai Ichigo—yang jauh dari bayangan Orihime, Rukia tidak begitu ambil pusing. Biarlah gambaran sosok asli Ichigo menjadi miliknya sendiri.
.
.
To becontinued…
Note; No copas, no remake, no republish. Dilarang menciptakan fic ini di tempat lain, bahkan dengan alasan terinspirasi pun tidak diperbolehkan, terlebih—tanpa seizin penulis asli.
Tolong—mohon bantuannya untuk melaporkan ke account ini apabila ada temuan cerita Desire (atau model yang sama) di tempat lain.
Arigatou n.n