Disclaimer: Naruto dan seluruh karakternya adalah milik Masashi Kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan materil apapun dari fiksi ini. a/n: updatenya nggak sampai 9 bulan kan. Ya kan? Yeay! Walau tetap lama sih wkwk makasih dukungannya!

.

.

Ia melakukannya dengan sengaja.

Bibirnya yang berjarak tipis dari bibir Sakura tanpa ia mencoba menghabiskan jarak, ia sengaja. Semua hanya karena ia ingin tahu satu hal yang belakangan terlihat samar, seolah turut mengabur sebagaimana penglihatannya—perasaan Sakura, ia ingin pastikan. Maka saat jarak itu ditutup oleh sang gadis, Sasuke merasa senang.

Ia pikir, rasa senang itu hadir dari kemenangan. Seorang Uchiha Sasuke selalu bertempur dengan target yang ia pasang sendiri, maka ia pikir itu adalah euforia kemenangan. Tapi tidak. Rasa menang tidak selembut itu, ia tahu persis. Rasa menang bukan seperti ada musim semi di dalam rongga rusuknya, apalagi seperti sebuah lagu dimainkan di dalam kepalanya. Ini bukan perasaan menang.

Ia masih bisa merasakan bibirnya menekan lembut bibir Sakura, pun sebaliknya. Tangannya terangkat, menelungkupkan pipi hingga leher sang dara, merasakan lembut surai merah jambu di antara jemarinya yang pucat dan kasar. Otaknya terasa meleleh.

Kemudian ia melepaskan ciuman tersebut. Keningnya menempel pada kening Sakura, matanya terpejam nyaman, merasakan nafas mereka menyatu dalam setiap hembusnya. Kepalanya kini berisi banyak pertanyaan, tentang apa yang selama ini, sedang, dan akan terjadi nantinya. Apa yang perlu ia lakukan, dan apa yang sedang ia lakukan. Sasuke belum menemukan jawaban—dan ia putuskan untuk memikirkan jawabnya lain kali.

Masih dengan mata terpejam dan hangat wajah Sakura di telapak tangannya, Sasuke membuka mulutnya.

Ia berbisik.

"Tinggalkan Gaara."


3+1=7

oleh LuthCi


"Nanti ke kanan?"

"Pokoknya kalau di persimpangan kau lihat ada toko roti, ambil yang kanan, lalu lurus saja nanti ada lapangan latihan." Naruto berujar pada Sai dengan tangan bertolak di pinggang. Matanya menatap dua orang pemuda, Sai dan Sasuke yang mengenakan ransel berwarna senada, biru tua, dan akan pergi untuk berlatih.

Mulut Sai bungkam saat ia mengangguk, ia membalik badan lalu berjalan ke luar penginapan, "kami pergi."

"Terima kasihnya mana!" Tangan Naruto menunjuk dua orang yang tidak lagi mendengar suaranya. Ia melipat tangannya di depan dada, "harusnya bilang terima kasih dulu," cibirnya pada pintu kayu yang tertutup. Naruto membalik badan dan berjalan menuju dapur dengan langkah dihentakkan, "bukannya dia sudah baca buku tentang tatakrama kenapa tidak bilang terima kasih. Kalau Sasuke sih memang tidak punya sopan santun. Dasar anak kembar." Gerutunya panjang sekali hingga mengantarnya sampai dapur dan melihat Sakura yang tengah mencuci piring.

Gadis itu tertawa, "kenapa?"

"Sai aku kasih unjuk jalan tapi tidak bilang terima kasih."

"Biasanya tidak sesentimen itu sampai terima kasih saja diributkan."

Naruto tertawa, ia mendudukkan dirinya di konter meja dapur, mengadap Sakura. "Kau tidak tahu, Sakura-chan? Katanya laki-laki yang sudah dewasa itu sentimen. Misalnya aku."

Kekehnya terdengar, "aturan dari mana?" Matanya sibuk melihat empat mangkuk nasi yang sudah berbusa dengan beberapa piring serta sumpit yang ada. Sarapan pertama mereka di Suna berjalan baik-baik saja sekalipun saat sarapan tadi ia usahakan untuk tidak menatap Sasuke. Agaknya kejadian semalam tidak membuatnya dapat menatap pemuda satu itu tanpa salah tingkah.

"Entahlah, aku hanya membuat-buat." Naruto mengambil tabung kaca kecil berisi butiran putih yang terlihat agak menggumpal, ia asumsikan itu garam. Tangannya menggerakkan tabung tersebut, mengocoknya hingga tidak lagi menggumpal sedangkan matanya menatap punggung Sakura yang tengah mencuci piring. "Mau kubantu?" dan gelengan kepala yang ia terima. Telinganya hanya mendengar suara dari kran air yang menyala serta suara antukkan piring dengan logam dasar tempat cuci piring yang sesekali bertabrakkan-atau piring satu dengan piring lainnya.

"Na—"

"Su—"

Suara Naruto dan suara Sakura berujar bersamaan, membuat mereka berdua lantas terkekeh geli kemudian. Sakura mematikan kran air sekalipun masih banyak piring yang perlu dicuci dan tangannya masih dipenuhi busa. "Aku dulu yang bicara, boleh?" tanyanya dengan kekehan kecil tersisa.

"Silakan, silakan." Naruto membungkukkan badannya dengan siku pada paha dan mata terfokus pada Sakura. Bibirnya meliukkan senyum geli.

"Aku hanya mau bilang kalau sepertinya di meja ruang tamu ada gelas tertinggal. Boleh minta ambilkan?"

"Akan diambilkan kalau setelah ini aku punya giliran bicara," ujarnya bercanda seraya meletakkan tempat garam sembarangan di konter dan berjalan keluar dapur.

Sakura tertawa, "ayolah," dan ia kembali melanjutkan kegiatannya mencuci piring. Ia tahu candaan Naruto tidak perlu dijawab, toh tanpa dijawab pun Naruto langsung ke ruang tamu dan mengambil gelas seperti yang ia minta, tapi rasanya gatal saja untuk menjawab. "Seolah sedari tadi aku yang bicara," gumamnya dengan telengan kepala riang. Telinganya mendengar langkah kaki mendekat, maka ia menoleh untuk melihat Naruto dengan dua buah gelas di tangannya yang kemudian di letakkan di sebelah tempat cuci piring. "Terima kasih banyak. Sekarang giliranmu bicara." Lidahnya ia julurkan.

Naruto membalas deretan gigi putihnya ia pamerkan seraya bersandar pada dinding dapur, "aku hanya mau bilang kalau sudah lama kita tidak berdua saja begini."

"Hmm… masa?" Sakura berusaha mengingat hari-harinya belakangan ini. Jika dibuat secara detil perjalanan hidupnya, Sakura yakin sekali mayoritas harinya ia habiskan dengan Naruto. Maka ucapan Naruto agaknya membuatnya berpikir juga.

"Iyap. Memang kapan?" Naruto menyengir lebar.

"Entahlah. Sepertinya iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala sedangkan matanya masih agak mengawang, tidak percaya kalau ia benar-benar sudah lama tidak berdua saja dengan Naruto. Lalu, kepalanya menoleh pada pemuda yang tersenyum tersebut. "Kau terlihat senang sekali."

"Sakura-chan juga terlihat senang."

Mereka berdua terkekeh kemudian, candaan yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka berdua saja, rasa senang yang hanya dapat mereka bagi satu dengan lainnya, seolah hanya mereka yang merasa. "Menyenangkan, ya?" Alis perempuan itu terangkat sedangkan bibirnya meliuk tinggi.

"Sangat." Jelas. Hari-hari mereka yang biasanya mereka habiskan berdua—makan ramen di kedai berdua, Naruto menyusul Sakura ke rumah sakit untuk menjemput Sakura pulang kerja pada sore hari, atau Sakura yang menyusul Naruto ke manapun ia berada setiap ia tidak sedang memiliki giliran kerja. Namun belakangan ini keadaan begitu ramai—Sasuke kembali, mereka tidak hanya berdua saja kini. Sai makin dekat dengan mereka—menggenapkan jumlah mereka menjadi empat. Hari-hari terasa menyenangkan sekali walau fakta Sasuke yang bermasalah dengan penglihatannya bukanlah salah satu dari kabar gembira. "Aku ingin kita begini terus, asik sekali."

"Sama."

Mata Naruto yang sedari tadi menatap baik-baik Sakura, kini terlihat kosong sesaat sekalipun senyumnya masih tertempel di sana, seolah melamun dalam senyumannya. "Benarkah?"

Sakura menoleh, menatap pemuda tersebut dengan alis tertaut, "maksudmu?" Tangannya menghentikan kegiatannya membilas gelas terakhir. Suara air masih yang mengalir masih dapat terdengar di udara.

"Kalau Sakura-chan menikah dengan Gaara, kita terpisah lagi, kan?"

Senyuman Sakura terganti dengan ekspresi tak terbaca.

.

.

"Karena kalau begitu, Sakura-chan akan tinggal di sini."

"Bukan masalah kalau kamu bahagia begitu, sih."

Sakura menghela napasnya panjang dan berat, pandangannya tertuju ke bawah—melihat jalanan kering berpasir, sementara tangannya memegang jeruji kawat yang jarang-jarang. Obrolan dengan Naruto tadi pagi agaknya membuat kepalanya terasa kosong—atau penuh? Entahlah, yang jelas bukan sesuatu yang baik baginya.

"Kau tidak apa?"

Kepalanya tertoleh, melihat sosok Gaara dengan rambut merahnya yang diterpa matahari dan sorot matanya yang penuh tanya. Kepalanya menggeleng walau ia tidak tahu apa arti gelengannya itu, yang jelas ia tidak berminat memberitahunya pada Gaara. "Kenapa bertanya begitu?" Sebuah senyuman kaku terpatri di wajahnya.

"Sakura-san terlihat melamun." Gaara lantas menatap arah lain, lurus, pada dua sosok pemuda berambut hitam yang sedang berlatih dengan kunainya. Ia tahu jelas mereka siapa, Sai dan Sasuke. Mereka tengah sibuk dengan pertarungan sengit mereka. Gaara masih merasakan pandangan Sakura melekat padanya. "Kalau ada kesulitan, Sakura-san bisa memberitahuku."

"Aku tahu." Senyumnya tertarik, kali ini tidak kaku. Saat Gaara meliriknya dari sudut mata, senyuman itu melebar.

Siang itu Gaara meluangkan waktu istirahatnya untuk bertemu Sakura. Jelas, gadis itu sedang datang ke desanya, mana mungkin tidak ia sambut? Ia hanya mengikuti langkah Sakura yang terlihat melamun, ia bahkan tidak yakin Sakura tahu kemana ia berjalan, walau ia pikir Sakura akan berhenti untuk santapan siang. Namun, alih-alih langkah mereka berhenti di tempat makan, mereka berada di pinggir lapangan latihan, gadis itu termangu, seolah dirinya tidak sedang ada di sana. Matanya pun, lurus, tapi tidak bisa dibilang sedang menatap lekat dua orang temannya yang sedang berlatih.

Sai dan Sasuke yang tengah mengepalkan masing-masing kunai di pergelangan tangannya terlihat begitu serius. Mata Sasuke terbuka, sesuatu yang Gaara catat karena seharusnya terbuka atau tertutup tidak ada gunanya. Kecuali kalau Sakura sudah menemukan sesuatu di perpustakaan desanya untuk mengobati sahabatnya tersebut. Sahabat—Gaara berharap kata itu tepat untuk menggambarkan hubungan mereka.

"Setelah ini Sakura-san ke perpustakaan?"

"Iya, bukunya banyak yang menarik," ujarnya dengan senyuman samar. Sakura memang menemukan banyak hal menarik dari buku-buku yang ada di perpustakaan desa ini—terutama mengenai pengobatan tradisional. Hal yang menarik saat ia bisa melihat landasan pengobatan tersebut dan mengadaptasinya pada cara pengobatan yang telah ia tahu. Terutama tentang mata—hal yang utama, bahkan mungkin satu-satunya alasan ia membaca buku-buku itu begitu giat sedari awal.

Matanya menatap sosok Sasuke, menyadari kedua mata itu terbuka. Sasuke pernah menjelaskan padanya mengenai ia dapat melihat siluet walau samar saat cahayanya terang atau saat yang ia lihat tidak lagi hitam mutlak. Sakura tahu Sasuke akan dapat melihat, pasti—hanya saja ia ingin mempercepat. Dan tidak ada prioritas lain baginya saat ini selain mengobati kedua bola mata itu. Namun, ucapan Naruto cukup banyak menyadarkannya tentang sebuah hal yang ia pikir tidak akan berubah. Hal yang ia pikir akan terus sama: ia dan teman-temannya di Konoha, menuangkan hidupnya sepenuhnya hingga tua. Sesuatu yang ia pikir sudah pasti seperti itu, nyatanya tidak. Karena pilihannya akan membuat perubahan dan sesungguhnya Sakura tidak benar-benar pernah menyadari perubahan itu akan datang, merambat secara perlahan, lantas sudah akan ada di hadapannya bahkan sebelum ia siap.

Bibirnya terkatup rapat, Sasuke adalah sosok yang ingin ia lihat hingga kapan pun itu. Ia pernah merasakan hari-hari tanpa melihat pemuda itu dan rasanya seperti di neraka. Saat ia melihatnya lagi, saat sosok itu pulang, ia mulai terbiasa nyaman hingga hampir melupakan bahwa pilihan yang akan ia ambil mungkin akan mengembalikan neraka itu tepat ke relungnya, lagi. Bibirnya yang tertutup itu ia gigit, masih bisa dirasakannya bibir Sasuke di sana, masih dapat dirasakannya degup jantungnya memacu cepat hingga membuatnya kualahan.

Apa yang harus ia lakukan? Ia bahkan belum memulai apapun dengan Gaara. Ia tidak tahu apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Tapi garis awal mereka tidak pernah sama, garis itu jelas menunjukkan sejak awal ia memihak siapa untuk menang walau ia tidak tahu apakah pihak lain menginginkan kemenangan itu. Namun, kecupan semalam membuatnya meragu lagi, seolah seumur hidupnya ia tidak pernah merasakan keraguan, walau faktanya ia tidak pernah tidak ragu tentang pemuda itu. Selalu. Hanya untuknya. Sakura tidak bisa membayangkan bagaimana jika bukan dia.

"Sakura-san?" suara itu memecah lamunannya, Sakura segera menoleh pada Gaara dan menaikkan alisnya, menunjukkan bahwa ia mendengarkan. "Kau sedang melamun?" Gaara bertanya dengan pandangannya yang sepintas terlihat kosong, tapi Sakura tahu tatapan itu tidak kosong, tatapan itu justru menyelidik, meniliknya dalam.

Tapi kepalanya menggeleng, sekalipun otaknya mengatakan tidak ada gunanya berbohong, "tidak," bibirnya mengulumkan senyum untuk sesaat. "Makan siang, mau? Habis itu aku ke perpustakaan lagi."

Gaara tahu benar kemana mata serta pikiran lawan bicaranya mengarah, tapi ia jaga bibirnya bungkam. Mengetahui belum tentu harus mengatakan. Kepalanya mengangguk, mengiyakan ajakan.

.

.

Tangannya memegang kunai erat, chakra mengalir di balik kulitnya, dalam setiap pembuluh darah yang ia miliki, membuatnya terasa hidup walau pandangannya tidak memberikan penglihatan tentang kehidupan di sekitarnya secara jelas. Kakinya berlari ke depan, cepat, menghentak pada tanah untuk membuat loncatan seraya mengayunkan kakinya keras pada siluet di depannya, Sai. Sai mengangkat tangannya dan menghalau tendangan Sasuke untuk tidak mengenai pelipisnya, rasa sakit menjalar di tangan tapi ia abaikan—akan jauh lebih sakit jika terkena pelipis, tahu. Ia mendorong Sasuke sekuat-kuatnya lalu melompat mundur. Ancang-ancangnya ia turunkan dengan napasnya yang tidak stabil. Dari sepasang matanya yang hitam pekat itu Sai dapat melihat Sasuke juga sama, mengatur napasnya.

Pandangannya mengerling ke samping, melihat pagar, lokasi tempat dua orang yang tadi mengamati mereka berada. "Mereka sudah pergi," ucap Sai pelan, Sasuke hanya diam. Pemuda itu pasti mengerti apa yang Sai katakan, bahwa ada dua orang yang mengamati mereka sedari tadi, hanya saja ia tidak tahu kapan mereka datang dan kapan mereka pergi. "Tidak ada yang mau Sasuke-san katakan?"

Sasuke bergeming, diam tanpa memberikan respons apapun untuk pertanyaan yang Sai ucapkan. Namun, walaupun bibirnya bungkam, isi kepalanya sudah menjalar kemana-mana. Mengingat kejadian semalam juga menebak sedikit masa depan. Mungkin apa yang ia lakukan memiliki pengaruh, hanya saja ia tidak tahu apakah itu pengaruh yang cukup besar atau tidak. Ia sendiri tidak mengerti pengaruh apa yang ingin ia miliki, perubahan apa yang ia inginkan untuk terjadi. Sasuke sekalipun otaknya tidak mau menyimpulkan, namun sesuatu di dadanya telah meneriakkan alasan.

"Baiklah, ayo mulai lagi."

Langkahnya kembali bergerak untuk berlari menerjang, kali ini kepalanya sedang tidak tenang.

Ia tidak tahu apakah ini adalah benar-benar yang ia mau, apakah kelemahan hati yang ia tunjukkan dan rasakan belakangan ini adalah sesuatu yang benar. Sebuah keinginan untuk kabur dari Konoha sekali lagi sudah lama hilang dari kepalanya, dan Sasuke tidak tahu apakah hal itu adalah sesuatu yang baik. Pasalnya masih banyak hal yang perlu ia ketahui di luar sana, masih banyak hal yang harus ia hadapi. Jika ia mengatakan itu sebagai sebuah alasan di depan Naruto, Sakura, juga Sai, apakah mereka akan mengerti? Walau ia tidak paham kenapa ada bagian dari otaknya yang menginginkan mereka untuk paham dan memberikannya kebebasan itu sekali lagi.

Siapa mereka?

Sasuke tidak dapat memutuskan siapakah orang-orang yang tinggal dengannya saat ini. Matanya menatap sosok Sai dalam serangan yang mereka lakukan bertubi-tubi. Lawan latihan yang sudah lama tidak ia miliki, rekan bicara dalam bungkam atau kalimat-kalimat pendek yang tidak melelahkan. Sasuke yang dulu akan merasa Sai adalah kelemahan yang perlu ia singkirkan. Tapi apakah itu yang ia inginkan?

BRUK!

Ia ditendang tepat di bagian dada hingga badannya terpental menabrak tanah berumput jarang itu. Pikirannya sama sekali tidak fokus hingga pertarungannya begitu buruk. Kebimbangan adalah kelemahan terbesar—Sasuke tahu itu. Oleh karenanya, ia segera perlu memutuskan apakah mereka adalah teman atau lawan.

(Suara di hatinya berbisik, jika mereka tidak berarti apa-apa, tidak akan ada keraguan yang ia rasakan.)

.

.

Matahari tenggelam. Langit sore itu berwarna kelabu dan Sakura memeluk buku-buku dengan kedua tangannya. Ia meminjam beberapa buku untuk dibaca di kamar malam ini, menghemat waktu karena ia tidak mau berlama-lama di perpustakaan juga. Kata Kakashi, manfaatkan waktu mereka di Suna untuk liburan—dan Sakura tahu maksudnya adalah menjalin ikatan yang lebih baik dengan Sasuke. Matanya terus membaik—tidak akan lama sampai Sasuke bisa mandiri dan mereka akan kehabisan waktu untuk berusaha mencoba mengubah pandangan Sasuke tentang mereka.

Ikatannya harus diperbaiki, ikatan yang—

Ia bisa mengingat bagaimana rasa bibir Sasuke di atas bibirnya.

—bukan itu!

Langkahnya lebih cepat dari sebelumnya, wajahnya panas dan ia yakin sekali memerah, kepalanya menggeleng untuk menghapuskan bayangan itu dari pikirannya. Tidak, bukannya ia tidak mau mengingat, hanya saja ia tidak bisa tidak merasa bersalah setiap mengingat kejadian malam lalu.

"Tinggalkan Gaara."

Kalimat yang Sasuke ucapkan sangatlah jelas, Sakura memejamkan matanya erat sekalipun langkahnya masih terus melaju. Meninggalkan Gaara, membatalkan pertunangan mereka, begitu? Bibir bawahnya ia gigit resah seiring matanya terbuka. Ini bukan tentang dirinya saja, kan. Ini tentang Gaara yang sudah sangat baik padanya, tentang Tsunade yang mempercayainya, tentang pendapat Ino untuk tidak berbuat bodoh—dan juga tentang ucapan Naruto siang tadi. Hatinya terasa berat sekali.

Adalah bohong kalau ia mengatakan pertimbangannya banyak. Walau memang ada banyak, tapi ia sendiri tahu hal itu timpang. Nama itu selalu ada di atas segalanya, betapapun ia berusaha untuk dewasa. Nama yang selalu ingin ia dengar pendapatnya, selalu ia harapkan untuk membuka mulut dan berbicara keinginannya kini mengatakan apa yang ia inginkan. Lalu, apa yang ia tunggu lagi?

"Uhh…" Egois sekali ia. Sakura menundukkan kepalanya dalam saat langkahnya memasuki penginapan mereka. Ia benar-benar merasa menjadi orang yang sangat buruk karena memiliki pikiran seegois itu. Bagaimana caranya ia bisa memutuskan hal seperti ini? Ia sendiri tidak yakin jika ia cukup pantas untuk mengambil keputusan perihal masalah ini.

"Sakura-san?" Suara Sai yang memanggil membuat Sakura mendongakkan kepala.

"Ya?"

"Tidak apa. Sakura-san barusan terlihat seperti Naruto-san kalau kedai Ichiraku sedang tutup," ujarnya sebelum kembali menunduk pada kanvas di hadapannya. Tangan kanan laki-laki itu memegang kuas kecil, sedangkan kanvas yang terbuka di atas meja rendah itu sudah tercoreng tinta hitam. Sakura asumsikan Sai tengah mencoba menggambar sesuatu, entahlah kalau gambar itu akan hidup atau tidak nantinya.

Seburuk itukah…—pertanyaannya tertahan di dalam hati karena ia tidak ingin membahas kalau-kalau Sai bertanya lebih lanjut. Ia melangkah mendekat pada Sai, meletakkan buku yang sebelumnya ia peluk sepanjang perjalanan di atas meja, lalu duduk berhadapan dengan pemuda itu. "Sasuke dan Naruto mana?"

Sesaat, wajah Sai terlihat berpikir, "Naruto-san sepertinya mandi. Sasuke-san entahlah, mungkin sedang berpikir."

Tangan Sakura yang semula terulur untuk mengambil salah satu buku, tiba-tiba terhenti. "…tentang?"

Bahu Sai terangkat. "Tidak tahu. Tapi saat latihan tadi sepertinya sedang banyak pikiran," lanjutnya dengan mata menatap Sakura, sebelah alisnya terangkat seolah curiga. "Apa Sakura-san tahu?"

"A-ah," tangannya buru-buru terangkat dan melambaikan penolakan, "tidak tahu apa-apa, kok. Makanya aku tanya…"

"Hm…" Untuk tiga detik, pandangannya masih terlihat curiga. Barulah setelahnya bola matanya terfokus pada buku-buku di hadapan. "Itu untuk?"

Sakura menahan helaan napas leganya saat Sai mengganti topik pembicaraan. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kalau-kalau Sai bertanya lebih lanjut, kan. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang terjadi, entah bagaimana caranya untuk menceritakan pada orang lain. "Buku pengobatan mata, untuk Sasuke. Kenapa?"

Bahu Sai terangkat, lagi. "Hanya bertanya saja, kata buku kalau ada yang bertanya pada kita, akan lebih baik kalau kita bertanya balik." Sai menganggukkan kepalanya yakin. Bertanya balik adalah salah satu hal yang mengesankan ia cukup bersahabat dan tertarik pada lawan bicara, kan. Itu trik yang baik. Tapi, tunggu. Sakura baru saja bertanya padanya dan ia belum bertanya balik. "Kenapa?"

Sakura mengerutkan alis, "apanya yang kenapa?"

"Tidak apa-apa, hanya bertanya balik. Kenapa?"

"…apanya yang kenapa..."

"Apa itu masih kalimat pertanyaan?"

"Bukan. Sudah selesai, jangan bertanya lagi, oke?" Sakura sudah mulai kesal.

"Oke. Sakura-san oke?"

"Bukannya tadi aku bilang sudah?" Ia sungguhan mulai kesal.

"Oh, ya, kalau begitu—"

"—kalian ngapain, sih?" Sebuah suara dari belakang Sakura membuat perbincangan menyenangkan mereka terputus. Astaga, Sakura senang sekali Naruto menginterupsi mereka. Pemuda itu terlihat dengan alis mengerut, tangan terlipat di depan dada, dan rambut pirangnya yang sedikit basah.

"Sedang berbincang. Kenapa?"

Bibir Naruto melekuk ke bawah, di belakang pemuda itu muncul sosok Sasuke yang juga berambut basah. "Apa itu rahasia?"

"Bukan—"

"Naruto, jangan berbicara dengan Sai dengan nada tanya." Sakura berusaha menginterupsi.

"—Kalian habis mandi bersama?"

"Hah?!" Naruto menganga. Terdapat silangan urat di pojok keningnya. Sakura menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, tidak tahu harus merespon apa dengan dialog yang sedang terjadi di antara mereka.

"Hm… Apakah 'hah' itu pertanyaan?"

Cukup. Sakura sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia berdiri dari duduknya, menggapai buku-bukunya, lalu menarik tangan Sasuke untuk memasuki kamar pemuda itu. Berada di ruang tamu saat ini sangatlah membuat stress. Ia yakin tekanan darahnya akan naik kalau ia tetap berada di antara pembicaraan bodoh itu. Bahkan saat ia mencoba menutup pintu kamar, ia masih bisa mendengar pembicaraan mereka.

"MAUMU APA?!"

"Apa saja. Naruto-san maunya apa?"

"AAAARRRGHHHH!"

.

.

Sakura menghela napas panjang, ia sungguh tidak habis pikir dengan cara Sai menyimpulkan sesuatu terutama tentang sosialisasi. Langkahnya mendekat ke tempat tidur dan Sakura mendudukan dirinya di sana, membawa Sasuke dalam prosesnya. "Kita coba mengobati matamu, ya," ujarnya pelan.

Kepala Sasuke mengangguk, matanya yang semula terbuka itu tertutup. Sakura tidak tahu sudah sejauh apa kemajuan dalam mata Sasuke, tapi yang jelas belakangan ini kedua bola mata kelam itu sering terlihat—yang berarti Sasuke mulai sering membuka matanya. Mungkin penglihatannya sudah jauh lebih membaik?

Tangannya terulur untuk membuka buku-buku perpustakaan itu di sebelahnya, menunjukkan manual pengobatan chakra di mata. Cara itu belum pernah Sakura coba dan sangatlah rumit, ia tidak yakin kalau mencoba tanpa buku untuk ia intip.

"Tadi," Sakura mengerjap kala Sasuke menatapnya sambil berbicara, "kami habis dari toko buku."

Kami?

"Mungkin Sai beli buku di situ."

Ah. Matanya berkedip beberapa kali, terkejut. Jelas saja, Sasuke baru saja bercerita apa yang telah ia lakukan dengan Sai, lalu ia bahkan menangkap sudut bibir Sasuke terangkat sedikit—sangat sedikit. Mungkin kejadian di ruang tamu barusan adalah sesuatu yang menarik untuknya. Atau mungkin Sai lah yang menurut Sasuke menarik. Ia seringkali menangkap sosok Sai dan Sasuke yang terlihat nyaman satu sama lain. Padahal, sebelumnya ia pikir Sasuke tidak mungkin cocok dengan Sai. Tahu, kan, kalau Sai sudah bicara, Sakura saja kesal, apalagi Sasuke?

"Yah, Sai memang begitu. Tapi yang sekarang sudah jauh lebih baik," kekehnya terdengar, tangannya membalik halaman buku yang terbuka di atas tempat tidur itu, "dulu dia parah sekali." Dulu, saat Sasuke belum kembali pada mereka. Kini pemuda itu ada di antara mereka lagi, Sakura tidak bisa membayangkan kalau Sasuke sampai pergi lagi, benar-benar tidak mampu.

Mata hitam kelam itu menatap matanya balik—terlihat kosong jika dibandingkan pandangannya yang sendu. Sebuah kosong yang Sakura ingin singkirkan jauh-jauh, gadis itu selalu berharap mata Sasuke diisi dengan kilatan bahagia. Sudah, kelam hatinya sudah sampai di sini saja, tidak usah lagi pemuda itu meraih apa yang hanya akan menyakitinya. Sakura tidak ingin lagi Sasuke merasakan kepedihan lainnya. Kenapa dunia tidak adil pada pemuda itu, Sakura tidak tahu.

Setiap hal yang pemuda itu miliki selalu diambil oleh takdir. Kebahagiaannya lepas satu per satu—kali ini penglihatannya juga direbut. Hatinya terasa nyeri sekali kalau ia mencoba untuk membayangkan perasaan Sasuke saat ini.

Alis pemuda itu terangkat, menatap heran padanya yang tiba-tiba bungkam. Sakura mengulum senyumnya. Akan ia kembalikan penglihatan Sasuke secepatnya, akan ia berikan rumah untuk Sasuke pulang, akan ia berikan kenyamanan keluarga bersama Naruto, Kakashi, juga Sai. Akan ia berikan semuanya—untuk sang bungsu Uchiha.

"Aku akan coba mengobatimu dengan metode baru, ya."

Saat anggukkan ia terima, kedua tangannya terulur untuk menyentuhkan dua jemarinya pada kedua sudut luar mata Sasuke. Mata itu tertutup, chakra yang hangat keluar dari ujung jemari.

Sasuke akan sembuh dengan cepat, pasti.

.

.

"Kazekage-sama." Suara pelan seorang shinobi yang berdiri tegak di ambang pintu ruangan tersebut terdengar. Gaara menganggukkan kepalanya singkat, lantas pria tersebut berjalan mendekat setelahnya, menuju meja kerja yang diisi dengan gulungan-gulungan yang setengah terbuka. Malam itu Gaara tengah lembur—karena pemuda itu menemukan dirinya jauh lebih berkonsentrasi pada malam hari saat semua orang terlelap. Pun, ia tidak akan bisa tidur.

Gaara menatap pria di hadapannya, dengan tangan pria tersebut dibebat oleh perban panjang dan usang, pakaiannya sewarna darah yang telah kering kecoklatan, tatapannya lurus tajam namun patuh di saat yang bersamaan. Ucapan Gaara adalah mutlak bagi pria itu, dan kali ini ia tengah menunggu konfirmasi perintah yang sebelumnya sudah ia terima.

Mata sang Kazekage mengerling pada gulungan berwarna hijau di dalam laci mejanya yang setengah terbuka, gulungan berisi surat yang membuatnya mengernyitkan kening beberapa hari yang lalu, namun Gaara tahu ia tidak memiliki kerugian atau alasan untuk menentang surat tersebut. Maka ia putuskan untuk melakukan apa yang diminta untuk ia lakukan.

"Besok, kan?" Suaranya mengatung di udara, terdengar tidak yakin dengan apa yang ia pertanyakan. Anggukkan dari pria yang berlutut di hadapannya itu ia tangkap dengan sepasang matanya.

Gaara menghela napas, tangannya terulur meraih pena tinta yang sebelumnya tertelantarkan karena sosok tersebut yang daang barusan, matanya kembali pada tumpukan berkas-berkas di atas mejanya. "Lakukanlah." Kalimatnya terucap tanpa matanya melihat lawan bicara.

Ia tidak yakin apa yang ia lakukan adalah benar, tapi jelas ia juga tidak memiliki keuntungan atau kerugian apa pun untuk membantah. Terserah mereka saja, Gaara tidak ada sangkut pautnya.

.

.

Bersambung

3850 kata. Terima kasih yang sudah bersedia membaca