Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Pairing : SasuIno
Rated : T – Semi M for the conflict.
Genre : Romance/ Hurt n Comfort
Summary : Ino sudah mencintai pemuda itu sejak lama, sejak awal pertemuan mereka di musim panas. Mungkin ini-lah yang dinamakan cinta sepihak yang buta. Ia tidak pernah meminta lebih. Ia sudah cukup senang bisa melihat pemuda itu meskipun pemuda itu tidak pernah melirik padanya. Tapi, apa yang akan dilakukan Ino saat ia akhirnya bisa merasakan kehangatan pemuda itu walaupun hanya sekejap dan karena dorongan sesaat? However, still, her love for him is too strong, that she could do nothing but to raise 'him'.
SasuIno for SISTER – SasuIno Summer Time Everlasting Romance
My Summer is You
Last chapter : 3rd Person's POV/ Normal POV
.
.
Keduanya terdiam selama beberapa saat lamanya.
Bagaimanapun, Uchiha Sasuke masih terlalu kaget dengan fakta yang baru didengarnya. Sementara itu, Yamanaka Ino yang perlahan sudah dapat mengontrol air matanya, kini sedang berusaha mengatur napasnya kembali.
Begitu Ino berhasil membuat dirinya menjadi lebih baik, Sasuke mendadak membuka mulutnya.
"Kenapa kau menyembunyikannya dariku sampai 3 tahun seperti ini?"
Ino yang semula enggan melihat ke arah Sasuke, akhirnya mampu menatap mata onyx itu sebelum ia menjawab.
"Aku hanya tidak ingin membuatmu repot. Apalagi… dengan statusmu yang merupakan tunangan orang lain."
Tak pelak, Sasuke pun sedikit membelalakkan matanya mendengar itu. Meskipun ingin menyangkal, entah kenapa saat itu Sasuke hanya bisa terpaku melihat wanita di hadapannya. Tidak, tepatnya, melihat senyum wanita di hadapannya.
"Dari awal," lanjut Ino, "aku tidak pernah berharap bisa menjalin hubungan lebih denganmu."
Ino menggerakkan tangannya untuk merapikan rambutnya sedikit. Ia kemudian berbalik, siap meninggalkan Sasuke yang bahkan belum bisa berujar sepatah kata pun lagi.
"Katakan saja, ini hanya suatu cinta buta yang bodoh. Kau tidak perlu repot-repot memikirkannya."
Beberapa langkah dan Ino perlahan mulai meninggalkan Sasuke. Namun, entah karena dorongan apa, Ino kembali menghentikan langkahnya, sesaat. Ia kemudian berbalik dan menunjukkan senyum lebar pada pemuda yang hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang masih campur aduk.
"Sungguh, aku bahagia bersama Sai. Karena itu… kau tidak perlu memikirkanku ataupun Sai. Tidak perlu merasa bersalah atau pun bertanggungjawab." Ino memberi jeda sebentar pada kata-katanya. "Ini hanya keegoisanku semata. Dan aku justru merasa senang mempunyai anak darimu."
"Kau…"
"Karena itu, kuharap kau juga bisa bahagia dengan tunanganmu. Tidak usah memikirkan kami. Anggaplah aku dan Sai…" Ino terdiam, pikirannya sesaat mengawang ke masa lalu. Tapi tak lama setelah itu, ia menunduk dan melanjutkan kata-katanya, "Hanya mimpi belaka…"
Ino melemparkan satu senyuman terakhirnya sebelum ia berjalan ke arah pondokannya, meninggalkan Sasuke yang kini telah menyerahkan berat tubuhnya pada pohon kelapa di sampingnya. Tangannya mengepal kuat dan beberapa kali ia menghantam perlahan batang kokoh pohon di sebelahnya itu.
"Bodoh," gumamnya. "Hanya mimpi katanya? Sementara mereka begitu nyata?"
Sasuke menggemeretukkan giginya dan berdecih pelan. Matanya terpejam. Sementara tangannya perlahan mengarah ke dadanya, mencengkram kaos berwarna putih yang tengah dikenakannya.
"Apanya yang tidak usah bertanggungjawab? Karena ada tunangan, eh?"
Sasuke menundukkan kepalanya sedikit. Matanya yang telah terbuka kini terarah sepenuhnya pada pasir berwarna putih keemasan yang ada di bawah kakinya.
'Cerita tunangan hanyalah cerita 3 tahun yang lalu. Apa dia tidak pernah mendengar soal pembatalan tunangan itu?' batin Sasuke. 'Kalaupun dia mau meminta pertanggungjawaban, aku…'
Mata onyx itu perlahan mengarah pada direksi terakhir dimana sosok wanita berambut pirang itu menghilang.
Entah apa yang ada di pikiran pemuda tersebut, tapi tidak lama kemudian, ia menegakkan tubuhnya. Tangannya pun terkepal semakin kuat. Raut ketegasan tampak terpancar dari ekspresi wajahnya.
"Seharusnya dia..." Sasuke menghela napas sembari menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi dia terlalu bodoh untuk itu."
Bersamaan dengan itu, kakinya pun perlahan melangkah. Mengikuti jejak di pasir yang telah ditinggalkan wanita itu untuknya.
o-o-o-o-o
"Mama!"
Mata Ino membesar tatkala ia sampai di pondokannya. Bukan karena melihat anaknya, Sai, yang berteriak riang lalu menghampirinya. Bukan karena itu tentu saja. Sosok lain yang semula terlihat bersama Sai itulah yang membuat Ino sampai membuka mulutnya dengan kaget.
"Yo, Ino-chan!" sapa sosok berupa pemuda berambut coklat tersebut.
"Kiba-kun?" ujar Ino sambil menggendong Sai yang sudah menempel di kakinya.
Kiba tampak menyeringai saat Ino berjalan semakin mendekat ke arahnya.
"Ada perlu apa?" tanya Ino sambil tersenyum ramah.
"Yah…" jawab Kiba sambil menggaruk-garuk pipinya. "Aku hanya ingin bertemu denganmu."
Ino tertawa kecil. "Lagi?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu, Kiba pun jadi tampak semakin salah tingkah. Bagaimanapun, kemarin sore Kiba memang sempat mengunjungi Ino di pondokannya, sebagaimana yag diributkan Suigetsu. Tidak banyak yang mereka bicarakan karena Ino sendiri buru-buru memutus percakapan mereka dengan alasan pekerjaan yang masih bertumpuk. Saat itu, mereka hanya sempat membicarakan sedikit mengenai hari-hari mereka di SMA terdahulu.
Sekarang, Kiba kembali mengunjungi wanita yang sempat menarik perhatiannya selama di SMA tersebut. Yah, tidak dapat dipungkiri, begitu ia melihat Ino setelah sekian lama mereka tidak bertemu, perasaan yang semula sudah terlupakan itu sedikit mencuat kembali ke permukaan. Meskipun demikian, bukan berarti Kiba bermaksud mengutarakan perasaannya dengan datang ke tempat Ino seperti ini. Dia hanya ingin tahu. Dia hanya bermaksud baik, sebagai teman satu SMA.
"Jadi…" ujar Kiba yang kemudian mengikuti Ino untuk duduk di kursi panjang yang memang terletak di depan pondokan kecil tempat wanita itu menetap. Wanita itu pun meletakkan Sai dalam pangkuannya dan membuat Kiba memasang mata pada bocah kecil yang kini tampak sibuk sendiri. "Ehm… Bagaimana keadaanmu yang sebenarnya?"
Ino mengangkat bahunya sementara tangannya membelai rambut Sai.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kurasa," jawab Ino yang kemudian melemparkan senyum manisnya pada Kiba.
Perhatian Kiba pun teralihkan dari Sai ke mata aquamarine Ino. Pemuda itu berusaha mencari kebenaran melalui bola mata yang tampak sedikit berbeda dari hari kemarin. Sedikitnya, Kiba bisa melihat suatu kelegaan terpancar dari sorot mata itu. Tidak ada lagi kecemasan, seakan Ino yang kemarin hanyalah mimpi. Bahkan dari caranya bicara pun, Kiba menangkap kesan yang lain.
Tapi… inilah Ino yang ia kenal.
Lugas dan jauh lebih ceria.
"Begitu?" Kiba balas tersenyum meskipun ia tidak sepenuhnya yakin akan jawaban yang baru diberikan Ino. "Tapi aku tidak menyangka… kau sudah mempunyai anak. Maksudku…"
"Ini yang namanya 'kecelakaan', Kiba-kun," jawab Ino sambil tertawa kecil. Tentu saja Kiba langsung memasang ekspresi terkejut yang malah membuat Ino dengan sengaja memasang senyumnya. "Aku tidak menikah. Dan yah… beginilah keadaanku."
"Kau… apa?" ujar Kiba yang mendadak bangkit dari kursinya. "Kau tidak menikah tapi kau sudah mempunyai anak?" Mata pemuda itu pun berkilat, membuat Sai yang semula tidak mempedulikan pemuda itu langsung menatapnya nyaris tanpa berkedip. "Kecelakaan…" gumam Kiba.
Ino sendiri kini sudah memejamkan matanya meskipun senyum masih terpampang di wajah mulusnya.
"Demi Tuhan! Kenapa ini bisa…" Kiba mengacak rambutnya dengan cepat. "Ino! Kenapa ini bisa terjadi?"
Wanita itu hanya bungkam dalam posisinya. Ia seolah tidak mendengarkan perkataan Kiba dan memilih memainkan jari-jari anaknya yang masih amat mungil.
"Ino? Jawab aku!" ujar Kiba yang kini sudah mencengkram kedua bahu Ino hingga wanita itu pun terpaksa membuka mata dan mendongak untuk melihat ke arah sang pemuda. "Siapa yang telah melakukan ini padamu?"
Mulut Ino sudah hendak terbuka saat mendadak sebuah suara ikut menimpali percakapan mereka.
"Itu aku."
Kiba terdiam dan perlahan melepaskan cengkeramannya pada bahu Ino. Kemudian, kepalanya menengok ke belakang hanya untuk melihat sosok Sasuke yang memandang tanpa ekspresi ke arahnya.
"Aku yang melakukannya," ulang Sasuke datar, "Sai adalah anakku."
"Sasuke…"
"Sasuke-kun…"
"Papa!" teriak si kecil Sai dengan wajah tersenyumnya. Tangannya terangkat ke udara, seolah hendak menyambut Sasuke yang sudah semakin mendekat ke arah mereka.
"Tidak mungkin," ujar Kiba dengan nada ketidakpercayaan yang terdengar jelas dalam suaranya. "Kau… dan Ino…"
Sasuke berhenti melangkah tepat di depan Kiba. Ia menatap pemuda di hadapannya dengan pandangan meremehkan sebelum ia kemudian menengok ke belakang, ke arah Ino yang sudah berdiri di atas kedua kakinya sambil menggendong Sai. Sekali lagi, Sasuke tampak tenggelam dalam pikirannya. Ino sendiri tampak menelan ludah sebelum suara Kiba memecah lamunan keduanya.
"Apa maksudmu, Sasuke? Kau yang menghamili Ino, heh?"
"Itulah yang kukatakan tadi, Maniak Anjing Bodoh. Apa kau tidak mendengarku?" jawab Sasuke sinis sambil kembali menghadap Kiba. "Kukatakan saja padamu," tambahnya kemudian sambil menyeringai, "dia benar-benar membuatku puas dengan pelayananannya!"
Mata Kiba langsung membesar kala itu. Ino sendiri seolah membatu di tempatnya. Pikirannya masih berusaha mencerna apa yang hendak dilakukan Sasuke sebenarnya.
"Lebih dari itu, dia membiarkanku melakukan apa pun yang aku mau tanpa perlu mempertanggungjawabkan perbuatanku." Sasuke memiringkan sedikit kepalanya. "Bukankah dia pelacur yang baik, hem?"
"Kau…" geram Kiba. "DASAR BRENGSEK!"
BUAAGH!
Satu tinjuan Kiba melayang dan langsung mengenai pipi Sasuke tanpa ampun hingga pemuda berambut raven itu terjatuh ke atas pasir. Ino yang semula membatu pun sampai memekik melihat kejadian tersebut. Namun, belum sempat wanita itu melakukan apa pun, Kiba sudah langsung menerjang Sasuke yang sekali lagi melontarkan hinaan pada Ino.
Pemuda berambut coklat itu pun menghajar Sasuke bertubi-tubi. Sasuke sendiri tampak tidak melawan dan membiarkan Kiba memukulinya. Sai dalam gendongan Ino hanya melongok melihat pemandangan tersebut. Sebelah tangannya ia masukkan ke mulut sementara tatapannya tampak datar melihat perkelahian dua pemuda dewasa yang salah satunya ia anggap sebagai ayahnya. Ino sendiri akhirnya berhasil menghentikan Kiba dengan satu teriakannya setelah cukup lama ia terdiam karena kaget dengan perkelahian yang tiba-tiba tersebut.
"Hentikan, Kiba-kun!"
Kiba berhenti dengan sebelah tangannya yang masih menarik kaos Sasuke. Sementara tangannya yang lain, yang siap melancarkan satu pukulan, akhirnya terdiam begitu saja, mengambang di udara.
"Heh? Kenapa berhenti?" ujar Sasuke dalam suara yang memprovokasi.
"…Ino yang memintanya! Selain itu," jawab Kiba sambil mengernyitkan alis, "kenapa kau sama sekali tidak membalas?" Ia pun melepaskan Sasuke dan kemudian berdiri, menunggu yang bersangkutan untuk menjawab pertanyaannya.
Jangan menjawab, Sasuke hanya mendecih pelan sambil menyeka sudut bibirnya yang sudah mengeluarkan darah. Ia yang semula terbanting hingga posisi berbaring memilih mengubah posisinya hingga terduduk di atas pasir dengan sebelah tangan yang membantu menopang berat tubuhnya.
"Kiba-kun, Sasuke-kun…" panggil Ino yang entah sejak kapan sudah berdiri berdampingan dengan Kiba. "Apa-apaan sih kalian ini?"
Kiba tidak menjawab dan hanya memandangi Sasuke dengan tatapan tidak suka yang tersirat jelas. Sasuke sendiri membiarkan tatapan tersebut dan memilih untuk menatap ke arah pasir.
"Sasuke…" ujar Ino lagi.
"Kenapa kau menghentikannya?"
"Eh?"
"Bukankah dia sudah mewakilkanmu untuk memberi pelajaran padaku? Harusnya kau membiarkannya memukuliku lebih dari ini," ujar Sasuke tanpa ekspresi.
Ino mengernyitkan alisnya. "Untuk apa aku memberi pelajaran padamu?"
"Cih!" decih Sasuke kesal. "Berhentilah bersikap selalu mengalah seperti itu! Kau membuatku kesal!"
"Oi! Kau…"
Kiba yang sudah memajukan tubuhnya, hendak menghajar Sasuke kembali, terhenti oleh satu tangan Ino yang menghalanginya. Wanita itu kemudian menurunkan Sai yang perlahan berjalan mendekat ke arah Sasuke. Tidak ada rasa takut di mata berwarna onyx milik anak berusia dua tahunan itu walaupun ia baru saja melihat perkelahian terjadi di depan matanya.
Sasuke hanya bisa terdiam, demikian pula dengan Kiba. Ino tidak bereaksi selain memasang mata pada anaknya yang kini sudah mengulurkan tangan pada pipi Sasuke yang memerah akibat pukulan dari Kiba.
"Cakit? Cakit ya, Pa?" tanya Sai polos. Melihat Sasuke yang tidak bereaksi, Sai pun melanjutkan kata-katanya. "Ung… Telbang cakitnya…"
Sambil tersenyum, Sai kemudian menggerakkan tangannya ke udara. Berulang kali ia melakukan itu, mengusap pipi Sasuke dan kemudian membuat gerakan seolah membuang rasa sakit itu ke udara. Sasuke hanya bisa memandang anak di hadapannya dengan tatapan tidak percaya, takjub.
"Udah nggak… cakit?"
Bagaikan ada sesuatu yang menyuruhnya, Sasuke pun mengangguk kaku. Hal ini membuat Sai langsung tersenyum lebar, senang karena mengira ia berhasil menghilangkan rasa sakit yang dirasakan oleh ayahnya.
"Ma! Ma! Cai bica nyembuhin Pa, lho!" seru bocah kecil itu riang.
Ino hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Ia kemudian mengelus lembut kepala Sai yang sudah mendekat kembali ke arahnya. Setelahnya, sang wanita muda itu pun melihat ke arah Kiba yang masih termangu.
"Kiba-kun…" panggilnya.
"Ah? Hem?"
"Tolong jaga Sai sebentar," pinta Ino sambil menyerahkan tangan Sai untuk digenggam oleh pemuda tersebut. "Ternyata pembicaraanku dengan Sasuke memang belum selesai…"
"Ino-chan…"
Ino tersenyum. "Onegai?"
Kiba akhirnya menggenggam tangan kecil Sai yang masih tersenyum. Anak yang benar-benar tanpa rasa takut. Sikap yang jarang dimiliki seorang anak seusianya, yang biasanya akan menangis meraung-raung saat diminta mengikuti orang lain yang tidak begitu ia kenal. Apalagi orang tersebut adalah orang yang baru saja memukuli orang yang dianggap sebagai ayahnya. Tapi berkat keberanian semacam itulah, Ino tidak harus menemui kesulitan untuk membujuk Sai di saat-saat seperti ini.
"Baiklah," ujar Kiba perlahan. Ia kemudian melirik Sasuke masih dengan tatapan kesal. "Sebagai gantinya, kau harus menceritakan semua padaku nanti!"
Ino mengangguk lemah. Kiba pun akhirnya berbalik sambil menarik Sai menjauh. Anak itu harus berjalan dengan susah payah mengikuti langkah Kiba, namun tidak terdengar keluhan sedikit pun dari bibir mungil bocah berkulit pucat tersebut.
"Kiba-kun," panggil Ino setelah Kiba membawa Sai berjalan menjauh beberapa langkah.
Kiba pun terdiam tanpa membalikkan tubuhnya.
"Terima kasih sudah memukul Sasuke untukku."
Sasuke berdecak pelan mendengar kata-kata tersebut dan kemudian membuang muka. Ino tersenyum melihat reaksi Sasuke sementara Kiba tidak beranjak dari tempatnya sebelum ia menjawab.
"Kapanpun kau butuh bantuanku untuk menghajarnya, katakan saja!"
"Ya. Terima kasih!"
Setelah itu, Kiba kembali menarik Sai menjauh dari kedua orangtua bocah tersebut. Setelah memastikan bahwa Kiba sudah benar-benar menjauh, Ino langsung berjongkok, menyejajarkan matanya dengan mata Sasuke.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Ino tanpa berbasa-basi.
"Apa maksudmu?"
"Kau membiarkan Kiba memukulimu kan?"
"Huh!" Sasuke memilih untuk memandang ke arah lain. "Karena kau tidak akan bisa melakukannya."
Ino mengerjabkan matanya sekilas sebelum wanita muda itu tersenyum. "Maksudmu… memberi pelajaran padamu?"
Sasuke tidak menjawab. Ino benar. Sasuke sengaja membiarkan dirinya dipukuli oleh Kiba, sebagai ganti Ino yang tidak mau melayangkan satu pukulan pun padanya. Padanya yang telah menyakiti wanita itu.
Selama tiga tahun, wanita itu berjuang sendiri, mengandung anaknya, melahirkan anaknya. Sementara dia? Bersenang-senang dengan kebebasan yang baru didapatnya. Seberapa besar penderitaan wanita tersebut, seberapa dalam sakit yang dirasakannya, Sasuke sama sekali tidak pernah memikirkannya. Harusnya wajar jika wanita itu memberinya sedikit hukuman.
Tapi apa? Wanita itu malah mengatakan ia tidak beniat meminta pertanggungjawaban apa pun padanya.
Terlalu baikkah?
Atau… bodoh?
"Kau tidak akan bisa!" ujar Sasuke pelan.
PLAK!
Sasuke membelalakkan matanya, kaget akan suatu tamparan yang mendadak melayang, menghantam pipi kirinya.
"Aku bisa melakukannya kalau aku mau…" jawab Ino setelah ia memberikan satu tamparan pelan ke pipi Sasuke. "Kau tidak perlu sengaja memanas-manasi Kiba seperti tadi."
Sasuke memegangi pipinya. "Kau bisa… tapi kau tidak akan melakukannya," jawab Sasuke lirih.
Ino hanya tersenyum sedih sambil menggerakkan bahunya sedikit.
"Kau bodoh, Ino," jawab Sasuke tanpa memandang ke arahnya. "Kau melepasku begitu saja bahkan setelah aku tahu kenyataannya."
"Aku…"
"Karena tidak ingin mengacaukan hubunganku dan tunanganku?" tanya Sasuke sinis. Tangannya sudah dijauhkannya dari pipi. "Apa kau tahu kalau pertunangan itu sudah dibatalkan 3 tahun yang lalu?"
"Eh?"
Sasuke kini memandang ke arah Ino. "Tidak tahu, heh? Dan kau berbicara tanpa tahu apa-apa!"
Perlahan, pemuda itu berdiri. Tanpa sadar, Ino pun mengikutinya.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Kenapa bukannya menuntutku kau malah membiarkanku begitu saja setelah apa yang telah kuperbuat padamu? Kau, dengan baik hatinya, malah sengaja menghilang hingga kesempatanku untuk menyadari keberadaanmu benar-benar lenyap!" Sasuke mengepalkan tangannya dengan erat. "Apa maumu sebenarnya?"
"Mauku… sebenarnya…" Ino memandang sendu pada pasir-pasir di bawah kakinya.
Pikirannya mulai berkecamuk. Haruskah ia mengatakan isi hatinya pada pemuda di hadapannya ini? Setelah 3 tahun ia berjuang seorang diri, apakah kini akan datang saatnya dimana orang yang paling diinginkannya menyangga tubuhnya dan kemudian berjalan berdampingan dengannya?
Ino tidak tahu.
Tapi bukankah… ia bisa bertaruh?
Apa pun yang akan terjadi nanti setelah ia melontarkan jawabannya, ia tetap tidak akan kehilangan apa-apa. Bahkan jika Sasuke akhirnya memilih untuk berbalik, memperlihatkan punggungnya lalu menjauh dari hidupnya. Ya, bahkan jika pemuda itu memutuskan untuk menghilang selamanya, dengan membawa serta harapan selama 3 tahun yang akan berubah menjadi kenangan. Tidak akan ada yang berubah walau Ino menyatakan isi hatinya.
Mungkin?
"Mauku sebenarnya," jawab Ino sambil tersenyum kecil, inilah pertaruhan, "hidup bahagia bersama Sai. Juga… bersamamu."
Sasuke menatap Ino dalam diam.
"Aku mencintaimu… jauh lebih lama dari yang kau tahu." Ino memejamkan matanya. "Sejak pertama melihatmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa pada perasaanku ini. Dan… oh! Jangan tanya alasannya. Aku juga tidak tahu." Ino menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga. "Tapi yang selalu kuinginkan… hanyalah Uchiha Sasuke."
"Kau tahu?" jawab Sasuke yang kini sudah menunduk hingga ekspresinya tidak terbaca. "Aku tidak percaya kalau kau menginginkanku. Bukankah kau justru menghilang supaya aku tidak tahu apa-apa tentangmu?"
"Ya," jawab Ino perlahan, "itu karena aku…"
"Sebaiknya kau berhenti bicara kalau kau hanya ingin mengatakan bahwa semua tindakanmu hanya demi kebahagiaanku!"
"Tapi, aku…"
"Kh!"
Tanpa aba-aba, Sasuke langsung menarik sebelah tangan Ino. Lalu, tangannya yang lain langsung mendorong kepala Ino hingga bibir wanita tersebut mendarat di bibirnya sendiri. Ino terlalu terkejut hingga ia tidak sempat menutup matanya di awal-awal. Tapi, bersamaan dengan semakin intens-nya ciuman tersebut, Ino pun perlahan menurunkan kelopak matanya, menghilangkan warna laut tersebut dari kedua matanya.
Perlahan, Sasuke menempatkan sebelah tangannya di pinggang Ino sementara tangannya yang berdiam di kepala wanita itu semakin menekan, membuat keduanya semakin larut dalam ciuman yang panjang dan panas tersebut. Ino mendesah di sela-sela ciuman mereka. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Sasuke akan segera menyudahinya.
Selama beberapa saat, mereka terus begitu. Beberapa orang yang lewat di situ sampai sedikit menyingkir. Bahkan pemilik pondokan di sekitar tempat Ino sampai menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sepasang muda-mudi yang bahkan tidak malu-malu mengumbar kemesraan mereka di depan publik.
Merasa tidak nyaman dengan situasi ini, Ino akhirnya mendorong Sasuke untuk sedikit menjauh. Sasuke akhirnya melepaskan ciumannya dengan Ino, tapi tidak membiarkan wanita itu menjauh darinya barang sedikit pun.
"Sa-Sasuke-kun…"
"Aku ingin mendengarnya sekali lagi dengan jelas," ujar Sasuke tepat di telinga Ino. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Ino memejamkan matanya dengan kuat, mati-matian menahan sensasi aneh yang terasa mengaduk-aduk isi perutnya.
"Ino…"
Suara berat Sasuke benar-benar membuatnya kehilangan akal sehat seperti dahulu, saat ia membiarkan tubuhnya dimiliki oleh pemuda tersebut.
"Aku… aku menginginkanmu," jawab Ino lemah.
"Hn? Lalu?"
"Bertanggungjawablah atas apa yang sudah kau lakukan padaku! Jadilah milikku dan jadilah ayah yang baik untuk anakku!" ujar Ino dengan wajah memerah yang melebihi warna merah dari tomat yang sudah ranum.
Sasuke menyeringai. "Kalau itu maumu…"
Ino menahan napas karena suara yang begitu jelas dan nyata itu berbisik tepat di telinganya.
"Menikahlah denganku!"
o-o-o-o-o
"N-Nah! Sudah selesai…" Seorang gadis berambut indigo tersenyum saat melihat hasil pekerjaannya. "S-Sakura-chan, Ino-chan terlihat cantik kan?"
"Hem, hem!" jawab Sakura sambil mengangguk dan tersenyum. "Sebentar lagi waktunya ya?"
"Ng… Ano… Sai di mana?" tanya Ino sambil melihat kedua gadis yang baru saja menjadi temannya.
"Terakhir kulihat, dia bersama Tou-san-mu," jawab Sakura lagi sambil menunjuk ke pintu dengan jempolnya.
Ino mengangguk. "Ah! Arigatou ne, Hinata-chan, Sakura-chan."
"J-Jangan terlalu dipikirkan," jawab Hinata sambil meletakkan sisirnya dan kemudian tersenyum.
"Ya, tidak usah terlalu dipikirkan," timpal Sakura.
"Tapi ngomong-ngomong ya," tambah Sakura tiba-tiba hingga membuat pandangan Hinata dan Ino jatuh padanya, "sampai sekarang aku masih ingin tertawa kalau mengingat bahwa Sai-chan ternyata memang benar-benar anak Sasuke. Bahkan gara-gara itu, Sasuke sampai dihajar Kiba dan Tou-san-nya karena ketahuan telah menghamili anak gadis orang dan tidak bertanggungjawab selama 3 tahun! Untung saja Tou-san-mu tidak ikut-ikutan menghajarnya ya?" cecar Sakura tanpa memberi kesempatan bagi Ino untuk membantah. Ino pun hanya bisa terlihat panik dengan wajah yang sedikit memerah.
"Hahaha. Yah… bukannya aku tidak mengerti perasaanmu sih." Sakura menunduk sedikit sehingga matanya dan mata aquamarine Ino yang tengah duduk kini berada dalam posisi sejajar. "He's so damn sexy! Sudah pasti kau tidak bisa menolaknya saat ia memaksamu melakukan 'itu'! Iya kan?"
Sakura mengedipkan sebelah matanya sementara Ino hanya tertawa getir karena itu. Hinata hanya tersenyum lembut sebelum ia kemudian ikut mengutarakan pendapatnya.
"Di-dipikir-pikir, m-mungkin, karena itulah… Sa-Sasuke-kun membatalkan, eh… p-pertunangan kami."
"Ng?"
"M-mungkin, sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Sasuke-kun sadar bahwa ia telah… m-melakukannya dengan Ino-chan. T-tapi, karena satu dan berbagai sebab ia jadi tidak yakin… sehingga menganggap itu sebagai… ano… mimpi."
Ino mendengarkan dengan seksama penuturan Hinata.
"S-setelah melakukannya dengan Ino-chan, perlahan dia mulai berubah. Dia bukan lagi Sasuke-kun yang mau diatur-atur oleh Fugaku-Jisan. Dia… juga jauh lebih terbuka dibanding sebelumnya…" Hinata tersenyum manis dan kemudian melihat ke arah Sakura, seolah meminta persetujuan. Begitu Sakura mengangguk, Hinata pun melanjutkan. "Dia berubah semenjak hari… dimana Ino-chan memberikannya 'kebebasan'."
"Walaupun 'kebebasan' yang kau berikan itu benar-benar nakal ya, Ino-chan?" sindir Sakura. Tak pelak lagi, Ino pun semakin merona mendengar kata-kata Sakura. Sakura pun tertawa karena hingga Ino memasang wajah setengah merengut.
Tapi setelah itu, Ino menghela napas, mengatur emosinya kembali. Ia pun memilih menanggapi kata-kata Hinata.
"Aku tidak tahu. Sungguh, saat itu yang kupikirkan hanyalah bagaimana memberikan Sasuke-kun kebebasan yang dia inginkan, walaupun hanya satu kali."
"Ya," jawab Hinata lagi. "Dan t-tanpa sadar, mungkin Sasuke sudah mengembangkan perasaan khusus itu padamu, Ino-chan. B-buktinya, Sasuke-kun tidak pernah tahan berpacaran lama-lama dengan seorang perempuan dalam waktu 3 tahun itu."
Ino tertawa kecil. "Mungkin itu karena pada dasarnya dia…playboy?"
"E-eh?"
"Soalnya, setelah melakukan itu, dia kan tidak mengenaliku? Bagaimana mungkin ia bisa mengembangkan perasaan khusus padaku?" jawab Ino santai sambil mengedikkan bahunya sedikit.
"B-bukankah itu karena kau yang menghindarinya?" tanya Hinata lagi.
"Eh?"
Sakura berkacak pinggang saat itu. "Ya, ya. Kau tidak mencoba untuk berbicara padanya. Kau bahkan meninggalkannya tanpa berkata apa-apa? Bagaimana ia bisa mengenali dan menyadari keberadaanmu?"
"Itu… kupikir… itu yang terbaik untuknya…" jawab Ino sambil mengernyitkan alisnya sebelum ia akhirnya menunduk. Tatapannya menyiratkan bahwa ia merasa sedikit bersalah dan menyesal. "Aku pikir, kalau aku mengatakannya, aku malah akan menghancurkan kehidupannya…"
Hinata dan Sakura pun berpandangan satu sama lain sebelum mereka kemudian tersenyum.
"T-tapi buktinya, begitu ia melihat Ino-chan, ia langsung merasa familiar kan? Pasti itu karena tanpa sadar, S-Sasuke-kun sudah merekam Ino-chan dalam ingatannya."
"Benarkah?"
"Siapa yang tahu?" jawab Sakura sambil menyeringai, "Tapi, hei! Itu kan sudah masa lalu! Lupakan saja!" ujar Sakura sambil menggerakkan tangannya. Ia kemudian melipat tangannya di depan dada, "Yang penting sekarang, kalian akan segera bersama kan? Sebaiknya pikirkan saja soal itu! Kebahagiaan sudah di depan mata, tidak ada gunanya mengungkit hal tidak menyenangkan di masa lalu."
Ino terdiam.
Ya, dalam hitungan jam, ia akan segera terikat secara resmi sebagai istri Sasuke. Tentu saja hal semacam ini bagaikan mimpi yang jadi kenyataan bagi Ino. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa suatu hari, akhir seperti inilah yang akan menjadi bagian dari hidupnya.
Ino memandangi rangkaian bunga berwarna putih dan kuning dalam genggaman tangannya. Matanya kemudian terpejam, menapaki kilas balik yang mendadak menyusup ke dalam benaknya.
Musim panas, ia bertemu dengan Sasuke untuk pertama kalinya.
Musim panas, ia melakukan hal 'itu' dengan Sasuke dan mendapati bahwa dirinya kemudian hamil.
Musim panas, ia memutuskan untuk meninggalkan Sasuke dan melangkah maju dengan bayi yang dikandungnya.
Musim panas, ia bertemu kembali dengan Sasuke karena suatu kebetulan yang tidak bisa dijelaskan.
Musim panas, Sasuke melamarnya.
Dan sekarang… masih dalam satu musim yang sama.
Musim panas.
Keduanya akan mengikat janji, sumpah untuk bersama dalam suka maupun duka. Sumpah untuk saling mengasihi hingga maut yang memisahkan.
Sebuah ketukan di pintu menyadarkan Ino dari lamunannya. Ia kemudian bisa melihat sosok pemuda berambut kuning yang langsung disambut oleh Sakura. Tidak lama setelah berbicang dengan pemuda tersebut, Sakura akhirnya melihat ke arah Ino.
"Ino, sudah waktunya!"
Perlahan tapi pasti, Ino bangkit berdiri. Dengan gaun putih yang membalut tubuhnya, serta kerudung transparan dengan bunga-bunga yang menghias rambut pirangnya, Ino pun berjalan ke arah pintu.
Tidak lama lagi…
Pemikiran itu pun membuat Ino tersenyum.
Di sana, di penghujung altar, ia bisa melihatnya, sosok yang akan mendampinginya mulai sekarang. Sosok yang akan merupakan ayah dari anak yang telah dirawatnya selama ini. Sosok yang tidak pernah menghilang dari mimpi-mimpinya meskipun musim panas telah datang dan pergi berulang kali.
Ya, sosok itu – pemuda Uchiha itu.
Ia lah perwujudan nyata dari mimpi musim panas Ino yang tidak akan pernah berakhir.
Musim panas…
Dan kisah kehidupan mereka pun masih akan terus berlanjut sampai musim panas-musim panas selanjutnya.
***おわり***
This is it, the end of the story. Yay!
Maaf kalau ceritanya aneh dan terkesan rush. Dari awal idenya memang kurang lebih begini, tapi begitu dituangin dalam bentuk tulisan, ada aja yang jadi nggak sesuai harapan. Tapi yah, moga-moga nggak terlalu mengecewakan ya?
Ohyah, saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya buat yang udah ngereview chapter sebelumnya : Yuki Tsukushi (kyaaaa! Dirimu jadi pereview pertama 2 chapter berturut-turut. Mau hadiah apa nih?:P), agusthya, Yamanaka Chika, NaraUchiha'malfoy, Ann Kei (model rambut Sai sama kayak Sai yang asli kok ^^v), NamiZuka LoveeMinhoo, nee-chan (nee-chan, jangan pake kata baka dunk… hehe. Nah, nah, udah liat kan? Nggak jadi ama Kiba kok. Tetep hints aja sampe akhir XD), Kataokafidy (mana fic buat SISTER-mu?:D), Cendy Hoseki (tanpa diteror olehmu, kuapdet duluan nih XD), FYLIN, Lollytha-chan, winda wou zuki , Uzuchihamel, yukino amai a.k.a uchan (yaay! Makasih banyak dah mau baca walaupun ini bukan pair kesukaan uchan. Hehehe. Senang kalau uchan bisa suka ceritanya ini ^^v), Mimi a.k.a Kara a.k.a boss (si sasu ilang ingatan di kamarnya, boss :P), kyu's neli-chan, Yuzumi Haruka, Thi3x, risa-chan-amarfi (hahaha, maaf yah si sasu-nya saya buat seenak udel XD tapi di sini dia juga dah tobat kok?), serta vaneela yang ngereview via PM. ARIGATOU! Thanks juga buat semua silent reader dan juga yang udah nge-fave dan nge-alert fic ini. Hontou ni arigatou. #bow#
Nah, jadi gimana pendapat minna-san soal fic ini? Memuaskan? Mengecewakan?
Well, whatever it is, please tell me your opinion by reviewing this fic, onegai?
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie
~Thanks for reading~