*liat tanggal terakhir update* Woaaaa sekarang udah 2014, bro! 2014! Bahkan udah mau ganti jadi 2015! #plak.

Maaf lamaaaaaa banget updatenya, baru nemuin mood untuk nulis lagi. Mungkin tahun depan saya lebih punya waktu untuk nulis. Gomen, neeeee. Ga kerasa ini fic umurnya udah 3 tahun, yaaa. Pokoknya edisi kali ini saya full mau minta maaf ;w;

el Cierto: Sebenernya sempet kepikiran mau nyerempet-nyerempet ke Sasu-Shion sih sedikit /woy. Entah kenapa saya suka banget bikin karakter muka dua yang semacam Naru, pengen nambahin lagi kebusukannya lebih dari ini, tapi kasian juga Ino-nya kalau gitu ya :" /ih. Arigatou reviewnya! Gomen lama update

vaneela: Sasuke ga salah sih memang, eh salah deh. Salah kenapa dia ga bisa percaya sama ceweknya sendiri -kan lu yang bikin jadi gitu woy. Makin seru? Hontou? *w* Woaaaa, makasih reviewnyaaa~

Tachi Edogawa: Yup, ini udah di update yaa *telat banget!* Kita lihat sama-sama apa yang mau diomongin sama Sasuke setelah ini. Semoga masih bersedia baca. Arigatou reviewnya .

White Azalea: Salam kenal juga, makasih udah suka dan mau baca. Maaf udah buat nunggu lama banget, jangan amnesia dulu yaa ;w; Iya, authornya suka Vocaloid, tapi kalau bikin fic di vocaloid hobby-nya tebar darah doang /hush. Makasih reviewnya XD

Suu Foxie: Saya bakal mencoba berjuang buat banyakin ItaIno-nya~ …atau SasuShionnya, ya? /gaaak. Ya semacam itulah karakter Naru di sini, pengen banget menggambarkan mentalnya lebih lemah lagi(?). Deidei gimana yaaa? Semoga masih mau dibaca. Arigatou reviewnya, Suu-san~

reader: Tenang aja, saya gak ambil pikir negative kok ^^" Memang saya yang salah karena kurang romance-nya -ngerasa. Mungkin pengaruh dari diri sendiri juga yang kurang bisa ngerasain romance dan hal sejenisnya, gomeeeen. Memang mungkin genre romance-nya harus dipindah posisi jadi genre kedua. Makasih reviewnyaaaa :3

Yamanaka Yuri: Huaaa maaf gagal update kilat! DX Sebenernya ini udah 75% selesai dari lama banget sih, tapi malah baru nulis fic lagi-nya sekarang. Arigatou reviewnya, semoga masih mau baca ;w;

Niaaa: Satu tahun lebih dari waktu kamu review, woaa maaf ya lama. Makasih reviewnyaaaa :"

Uchiha gamabunta: Gomen, neeeeee. Ini udah berusaha di update ga tahun 2015 kok *tetep lama woy*. Arigatou review dan tegurannya :"

lastrhee yamanaka: Ini ya, gomen, gomen. Makasih udah penasaran dan semoga masih bersedia baca chapter 11 ini (/_\) Makasih reviewnya dan makasih sudah mengingatkan

Disclaimer:

Naruto © MasashiKishimoto

Can You Feel This? © HimeUguisu

Pairing:

Itachi – Ino,

Slight:

ShikaTema (sedikit-banget-tapi), SasuNaru, ItaDei (chotto, ii?), NejiGaa, maybe NejiShion? ^^a

Summary:

Chap. 11! Dia membuatku patah hati, tapi kini semua luka itu hilang tak berbekas karena kehadiran Itachi. Jujur aku menyayanginya, namun aku takut ia akan sama dengan adiknya. B'day fic for Minami22, 22 Mei 2011. Maaf lama banget updatenya! RnR please.

*#*#*#*#*#*#*#*#*#**#*#*#*#*#*#*#*#*#*

Can you feel this?

A

Naruto Fanfic

By

Hime Uguisu

Birthday Fic For

Minami22

22 Mei 2011

*#*#*#*#*#*#*#*#*#**#*#*#*#*#*#*#*#*#*

.

.

.

Ino's POV

Aku masih duduk dengan santai sambil menonton televisi sampai akhirnya suara ketukan pintu mengusik telingaku. Dengan semangat aku bangkit dari sofa dan berlari menghampiri pintu. Aku sangat menanti kepulangan Shion. Berada di dalam rumahnya seharian ini membuatku bosan juga. Kubuka pintu rumah itu.

"Shion, aku bosaaan" keluhku. Tubuhku terasa membeku ketika melihat siapa sosok di balik pintu kini. Pemuda berambut midnight blue dan mata onyx yang sudah sangat kukenal sekaligus sedang tak ingin kulihat. Mataku terpaku seperti melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Memang menakjubkan, jika kau bertanya padaku. Seorang Uchiha Sasuke yang tak pernah berdamai dengan Shion itu kini berdiri di depan rumah Shion. Ditambah lagi ada Shion yang berdiri di sampingnya. Dan yang lebih membuatku terkejut saat melihat Itachi turun dari mobilnya yang diparkir di depan pagar.

"A-ada apa ini? Apa yang telah terjadi saat aku tak ada?" Aku menatap Shion seperti meminta penjelasannya.

"Banyak hal yang harus kuceritakan padamu. Sekarang kita semua masuk dulu saja," ujarnya. Aku hanya mengangguk singkat, lalu membuka pintu lebih lebar. Mendudukkan diri di single sofa. Mataku menatap tajam ke arah mereka bertiga yang mulai duduk bersama di sofa panjang. Seperti saling memberi kode untuk mulai bicara. Aku pun berdehem keras.

"Aku akan tersinggung jika kalian seperti itu di depanku." Mendengarnya, mereka segera menghentikan kegiatan 'berbisik'nya.

"Maaf Ino, aku bingung harus menjelaskan dari mana." Shion angkat bicara lebih dulu.

"Biar aku yang bicara padanya." Kini Sasuke ikut bersuara.

"Jika hanya ingin menghinaku, lebih baik aku pulang sekarang," ketusku. Aku segera bangkit dari sofa dan mencoba berjalan menjauh. Namun langkahku terhenti saat tangannya menahan pergelangan tangan kiriku.

"Tunggu, aku bukan mau menghinamu. Ada hal penting sekali yang harus kubicarakan denganmu," ucapnya. Aku hanya menghela napas berat, menepis tangannya dengan kasar. Kembali duduk di tempatku semula.

"Jadi, apa yang akan kau bicarakan?"

"Sebelum itu, bisa aku minta kalian berdua untuk keluar sebentar?" Sasuke melirik ke arah Shion dan Itachi yang tampak bingung. Namun melihat keseriusan di wajah sang Uchiha bungsu itu, akhirnya mereka berdua mengalah dan berjalan keluar. Menutup rapat pintu rumah. Meninggalkanku berdua dengan Sasuke di tengah keheningan ini.

"Sekarang apa?" tanyaku lebih ketus lagi.

"Aku ingin bilang bahwa selama ini aku telah salah menilaimu."

"Salah?" Aku semakin bingung. "Memangnya selama ini kau menilaiku seperti apa?"

"Aku kira kau adalah wanita murahan," ucapnya pelan. Mataku membulat mendengarnya. Tanganku seakan bergerak dengan sendirinya, menampar pipi pemuda itu. "Aku memang salah karena tak mempercayaimu. Kau boleh tampar aku lagi."

"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?!" bentakku.

"Naru.."

"Hah?!" Aku menautkan alis mendengar nama itu disebut olehnya. "Ada apa dengan Naru?"

"Ia yang telah memfitnahmu dan membuatku berpikir seperti itu," jawabnya. Matanya terfokus menatap pantulan dirinya di lantai. Aku dapat melihat penyesalan yang dalam dari sorot matanya itu.

"Memfitnahku? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ujarku yang semakin bingung.

"Sehari sebelum kita putus, Naru memberitahukan padaku bahwa ia melihatmu berjalan menuju sebuah rumah. Ia meneleponku dan memintaku agar segera datang untuk menghampirimu. Aku yang saat itu bingung hanya menurut dan datang ke tempat yang ia maksud." Samar-samar aku dapat mengingat apa yang terjadi saat itu. Aku yang sedang berjalan pulang dari sekolah dikagetkan oleh sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat di depanku. Dari mobil itu turun seorang pria berkacamata hitam yang langsung menutupi lebih dari setengah bagian wajahku dengan sapu tangannya. Setelah itu mataku terasa berat dan aku tak ingat apapun lagi.

"Aku ingat sore itu memang seorang pria menghampiriku," ujarku seraya mencoba mengingat.

"Itu adalah anak buah Naruto. Ia yang memerintahkan mereka untuk menangkapmu."

"Menangkapku? Tapi untuk apa? Apa aku telah berbuat kesalahan padanya?" Aku terkejut mendengar ucapan Sasuke. Sasuke menghela napas berat. Perlahan ia mencoba mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Untuk menjebak kita berdua, lebih tepatnya aku. Setelahnya kau di bawa ke sebuah rumah dan ditidurkan di sebuah ranjang. Ke rumah itulah Naru membawaku. Dan di sana lah aku melihat kau sedang tertidur di ranjang bersama seorang pria, lalu-" Penjelasan Sasuke itu terhenti saat aku tiba-tiba berdiri. Menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"A-apa yang kau bicarakan sih? Tidur bersama seorang pria?! Bohong! Kau sedang mengarang cerita untuk menjatuhkanku kan?!" Tanpa sadar aku membentaknya. Sasuke segera berdiri menghampiri dan menahan bahuku. Matanya menatapku lurus dengan penuh keseriusan.

"Aku tidak bohong. Sungguh. Aku mendengarnya dari mulut Naru sendiri. Tidak mungkin jika Naru berbohong dan menghancurkan nama baiknya." Sasuke benar. Naruto tidak mungkin menceritakan cerita seperti itu jika itu bohong. Naruto yang selalu menjaga nama baiknya di depan Sasuke tidak akan menjatuhkan dirinya sendiri jika disengaja.

"Tapi kan tetap saja aku sama sekali tidak merasa seperti itu. Pasti ada bagian yang ia ubah di cerita itu. Aku.." Tubuhku lemas seketika. Bagaimana jika saat itu anak buahnya benar-benar melakukan sesuatu padaku?

"Setidaknya anak buah Naru tidak benar-benar melakukan apa-apa padamu. Kau hanya dibuat tidak sadarkan diri lalu diantarkan pulang kembali." Seperti bisa membaca pikiranku, Sasuke mengucapkan kalimat yang bisa menenangkanku sedikit. "...Mungkin" Dan kalimat selanjutnya membuatku ingin berlari menghajar Naru sekarang juga. Sasuke mengalihkan pandangannya dengan raut wajah cemas.

"Jadi bagaimana? Kau sendiri bahkan tidak yakin kan? Bodoh! Ini semua karena kau! Menghilang dari pandanganku sekarang juga!" Aku membentaknya dan mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke sofa. Tak lama kemudian terdengar suara pintu yang membentur tembok dengan keras.

"Ino, ada apa?" Itachi lah pelaku utama yang menimbulkan suara tadi. Ia masih berdiri sambil menahan pintu yang terbuka. Menatap ke arahku dengan khawatir, lalu menatap Sasuke yang sedang mencoba untuk kembali berdiri dengan tatapan marah. Menghampiri adiknya itu. "Apa lagi yang kau lakukan pada Ino sampai ia membentakmu?"

"Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya menceritakan hal tadi dan Ino malah tidak percaya lalu mulai membentakku."

"Bagaimana aku tidak membentakmu? Kau mengatakan hal yang sekarang membuatku gelisah. Kau tak mengerti betapa takutnya aku sekarang?" Aku kembali membentaknya. "Tadi kau mengatakan mereka tak melakukan apapun, setelahnya kau mengatakan mungkin. Bagaimana jika mereka benar-benar melakukan hal buruk padaku? Kita membicarakan soal Naru. Naru yang akan melakukan apapun untuk ambisinya!"

"Kalau memang sesuatu terjadi padamu, aku yang akan bertanggung jawab!" Balas Sasuke. Tentu saja kami semua tertegun mendengar ucapannya. 'Bertanggung jawab' katanya? Kenapa ia bisa menyebutkan hal seperti itu.

"Bodoh! Aku yakin aku baik-baik saja. Sekarang pergilah atau aku yang akan pergi."

"Ino, aku serius. Aku akan bertanggung jawab" ujarnya sambil mencoba memegang kedua pergelangan tanganku.

"Berhenti bicara seakan-akan aku sedang hamil begitu!" Kutepis tangannya dengan kasar.

"Ma-maafkan aku. Baiklah, kuperbaiki kalimatku. Ino, aku ingin memperbaiki semuanya dan kembali memulainya denganmu." Sasuke berujar dengan sorot mata penuh keseriusan yang menatapku langsung. Tatapan seperti itu lagi. Sepertinya hari ini aku akan sangat membenci sepasang mata hitam itu. Kami semua terdiam mendengarnya. Terutama aku yang tak dapat berkata apapun.

"Maksudmu..." Aku menatapnya dengan ragu. Apa mungkin ia benar-benar bermaksud untuk kembali menjalin hubungan denganku? Apa saat ini ia tidak sedang mempermainkanku? Apapun yang dimaksud oleh Sasuke itu tetap saja membuatku terkejut. Semudah itu ia bilang ingin memperbaki semuanya? Setelah semua yang ia lakukan? Setelah menghancurkan seluruh perasaanku padanya? Tunggu dulu, seluruhnya? Apa seluruh perasaan sayangku untuknya memang telah hancur dan hilang? Apa benar sudah tidak tersisa? Saat ini aku benar-benar bingung dengan perasaanku sendiri.

"Ino, kau tidak harus menjawabnya langsung. Aku mengerti ini sulit untukmu. Kesalahanku padamu memang tidak mudah kau maafkan, tapi aku mohon kau memikirkannya dan jangan menjawabnya dalam keadaan marah seperti sekarang ini." Tiba-tiba Uchiha bungsu yang sangat keras kepala dan memiliki harga diri tinggi itu berlutut di hadapanku. Tangannya menggenggam jemariku. Seakan tak mau melepaskannya. "Kumohon maafkan aku. Aku masih sangat menyukaimu," ucapnya lembut.

Sungguh, aku tak tahu bagaimana harus membalasnya. Ia masih sangat menyukaiku? Lalu bagaimana sebenarnya dengan perasaanku ini? Kalau aku sudah menetapkan untuk membencinya, kenapa jantungku masih berdegup dengan cepat seperti ini? Tidak, aku tak mau jatuh lagi ke dalam perangkapnya. Tapi, tatapan mata itu hanya memperlihatkan ketulusan. Bagaimana ini? Apa benar aku juga masih menyukai pemuda di hadapanku ini?

"Sasuke, aku…" Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mataku terpejam, tak sanggup melihatnya. Tanganku gemetar. Mati-matian aku menyangkal bahwa aku masih menyukainya. Ya, tidak mungkin aku masih menyukainya. "Aku.." Saat aku hendak melanjutkannya, dapat kurasakan tangan Sasuke melepaskanku. Kubuka mataku perlahan. Ternyata Itachi menarik paksa lengan Sasuke hingga ia kini berdiri dan tidak lagi berlutut.

"Pulanglah, hal yang kau bicarakan dengan Ino hanya cukup sampai di sini." Itachi berujar sambil menatap adiknya itu dengan tatapan dingin. Sasuke terdiam melihatnya. Ia tak mengerti kenapa kakaknya terlihat begitu marah.

"Aku belum selesai. Kau lah yang seharusnya pulang. Ini kan tidak ada hubungannya denganmu!" Sasuke balas dengan membentak. Perlahan Itachi menjauh. Ia tersenyum miris.

"Tidak ada hubungannya denganku, ya? Kau benar. Aku sendiri juga bingung kenapa aku harus merasa sangat kesal saat ini." Tak lama kemudian Itachi pun kembali terdiam. Sasuke mengabaikannya. Ia mencoba meraih jemariku lagi sebelum akhirnya Itachi menepis tangannya itu. Belum sempat Sasuke mengeluarkan kalimat protesnya, Itachi sudah terlebih dulu menggenggam tanganku dan menarikku keluar. Langkah kakinya sangat cepat. Membuatku kesulitan untuk mengimbanginya.

"Oi, aniki! Apa yang kau lakukan, hah?!" Terdengar suara Sasuke dari belakang. Itachi tak menghiraukannya dan terus berjalan semakin cepat menjauhi rumah Shion. Aku pun menoleh ke belakang sambil terus berjalan dengan cepat mengikuti Itachi. Kulihat Shion menahan Sasuke di depan pintu rumahnya. Mencegah Sasuke untuk menyusul kami. Terlihat mereka beradu mulut sejenak sampai akhirnya Sasuke diam. Menatap ke arah kami dengan tatapan kesal. Aku sendiri juga tak tahu apa yang sebenarnya diucapkan oleh Shion tadi.

"Anou, Itachi-senpai, kita mau ke mana?" Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya. Hening. Tidak ada jawaban darinya. Yang dapat kulihat hanya punggungnya. Tangannya semakin menggenggam dengan erat. Setelahnya aku tidak berani bertanya apapun lagi. Hanya terdiam mengikutinya yang kemudian memperlambat langkahnya. Terlihat sebuah taman di sebelah kami. Ia pun berbelok dan menarikku berjalan menuju taman itu. Tepat di depan sebuah ayunan, ia melepaskan tanganku. Mendudukkan dirinya di sana, lalu menundukkan kepalanya.

"Maaf," ucapnya pelan.

"Kenapa tiba-tiba kau minta maaf?" tanyaku bingung.

"Maaf karena tiba-tiba menarikmu seperti tadi," jawabnya.

"Tidak apa-apa kok," balasku sambil tertawa hambar. Sejujurnya aku berterima kasih karena ia sudah membantuku lari dari situasi menyebalkan tadi. Lama kami saling terdiam. Sibuk mendengarkan embusan suara angin yang sesekali meniupkan helaian rambutku.

"Ino, saat ini aku benar-benar tidak mengerti perasaanku sendiri," ujarnya memecah kesunyian. Aku masih berdiri di depannya yang terduduk tanpa berani menatapku. Aku hanya dapat menatap surai hitamnya tanpa mengetahui bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Perkataannya tadi benar-benar mewakili suara hatiku sejak tadi.

"Aku juga mulai tidak mengerti perasaanku sendiri. Kita aneh, ya?"

"Kau … masih menyukai Sasuke?" Pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar malah diucapkan oleh orang yang paling tidak kuharapkan untuk mempertanyakannya. Tapi, kenapa dari semua orang yang ada, hanya dia yang membuatku kesal jika bertanya seperti itu?

"Tidak! Ini pasti salah paham. Aku tak mungkin menyukainya, tidak mungkin!" tegasku.

"Sungguh?" suara berat itu kembali mengusik telingaku. Ia mulai menatapku dengan sejuta tanya tersirat di wajahnya. Entah kenapa aku tak sanggup menatapnya. Mengalihkan pandangan dari onyx itu.

"Tentu saja aku tidak bohong." Suaraku mulai pelan.

"Ino, tolong tatap aku dan bilang kalau kau tidak menyukai Sasuke. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya jika kau mengucapkan hal itu, aku akan merasa tenang." Aku dapat merasakan tatapan penuh kegelisahan itu masih menatapku. Rasanya berat sekali untuk menolehkan kepalaku dan balas menatapnya. "Ino?" Ia kembali memanggil namaku. Seharusnya mudah saja bagiku untuk menatapnya dan mengatakan aku tidak menyukai Sasuke. Tapi kenapa sekarang sulit sekali melakukannya? Apa karena sebenarnya aku masih menyukai Sasuke? Bukan, bukan itu penyebabnya. Lalu, apa?

"Kenapa kau malah merasa tenang jika aku mengatakannya?" Bukannya melakukan seperti yang ia minta, aku malah bertanya padanya.

"Aku tidak tahu, karena itu aku ingin mencari tahu. Kau tidak sanggup mengatakannya karena kau masih menyukai Sasuke?"

"Bukan begitu! Aku tidak menyukainya!" bentakku. Tanpa sadar aku menoleh dan menatapnya. Pemilik onyx itu terlihat agak terkejut mendengar nada suaraku yang meninggi. Kenapa juga aku harus membentaknya? Karena aku merasa kesal jika ia mengira aku masih menyukai Sasuke? Jadi, kenapa aku harus merasa kesal karena itu, ya? "Itachi-senpai, tolong jangan bahas Sasuke lagi. Mendengar namanya saja sudah membuatku sakit kepala." Aku mencoba mengalihkan pandangan lagi darinya. Sampai akhirnya ia berdiri dan memegang pipiku. Kedua telapak tangannya yang hangat kini menyentuh kedua sisi pipiku. Seakan memaksaku untuk menatap lurus ke arahnya.

"Kalau begitu, apa kau mulai menyukai orang lain?" Ia menatapku dalam-dalam. Aku tak sanggup menatapnya lagi. Aku tak mau terjerat oleh tatapan mata kelam itu. Wajahnya mendekat. Ia sedkit menunduk untuk mengimbangi tinggi badanku. "Tatap aku," bisiknya tepat di telinga kananku saat aku mulai menutup mata rapat-rapat.

"Tidak tahu," jawabku pelan. Berada sedekat ini dengannya malah membuat jantungku semakin berdetak tidak karuan. Apalagi saat ia berbisik, wajahku terasa panas seketika.

"Bagaimana kalau aku bilang sepertinya aku malah menyukaimu?" Pertanyaannya kali ini malah membuatku semakin tak dapat berkata-kata. Sudah cukup. Kenapa kedua Uchiha bersaudara ini harus terus memainkan perasaanku? Menyukaiku? Apa ia bercanda? Bukankah ia menyukai laki-laki? Aku yakin ia hanya ingin menggodaku yang sedang kebingungan ini.

"Selera humormu sangat buruk, Itachi-senpai." Aku mendorongnya menjauh dengan pelan. Berusaha tersenyum seperti biasa.

"Tentu saja karena aku memang tidak berniat untuk bercanda," balasnya. Ia memegang kedua pergelangan tangaku. "Ino, aku serius."

"Itachi-senpai kan menyukai … laki-laki," ucapku dengan hati-hati.

"Mungkin," jawabnya asal. Membuatku semakin bingung.

"Kalau begitu tidak mungkin kau menyukaiku. Aku bukan laki-laki, lho!"

"Aku tahu kau bukan laki-laki. Lalu apa masalahnya?"

"Tentu saja masalah. Argh, kau membuatku pusing sekarang. Sudah dong, jangan membuatku bingung lebih dari ini. Cari orang lain saja untuk kau permainkan. Aku permisi dulu," ujarku kesal. Namun saat aku berusaha meninggalkannya, ia masih memegang erat pergelangan tanganku. "Apa lagi sih?"

"Karena itu aku sendiri juga bingung. Aku tidak tahu kenapa aku bisa kesal melihatmu bersama Sasuke. Aku juga tidak tahu kenapa melihat sosokmu yang sedang bersedih selalu membuatku ingin membantu dan menghiburmu. Aku tidak tahu kenapa melihatmu tertawa dan menyentuhmu seperti ini bisa memacu kerja jantungku. Dan yang paling tidak aku mengerti adalah kenapa aku jadi ingin memilikimu untuk dirikku sendiri?" Tatapan matanya menunjukkan keseriusan yang teramat sangat.

"Itachi-senpai?"

"Ino, izinkan aku menyukaimu. Walau aku yakin Sasuke lah yang jauh lebih menyukaimu, tapi aku mohon, biarkan aku egois dan melarangmu untuk menerimanya kembali. Beri aku kesempatan untuk meyakinkanmu bahwa aku menyukaimu." Ia semakin mendekat. Mendekat hingga hidung kami dapat bersentuhan. Aku tak sanggup menggerakkan tubuhku saat ini. Tak bisa kabur dari jeratannya. Hanya bisa menutup mataku dan membiarkannya terus mendekat. Merasakan hangat embusan napas dan bibirnya yang perlahan menyentuh bibirku. Aku tak mau membuka mata saat ini. Benar-benar tak sanggup untuk melihat kenyataan yang sedang terjadi ini. Wajahku semakin memanas. Napasku terasa sesak.

"Aku tidak akan kembali pada Sasuke," bisikku saat ia menjauhkan bibirnya. Tangannya kembali menyentuh pipiku. Masih dalam jarak sedekat ini, dengan hidungnya yang masih bersentuhan denganku.

"Terima kasih sudah mau mendengarkan permintaan egoisku." Selanjutnya ia memelukku dan menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Hanya membiarkannya tetap memelukku tanpa balas memeluknya juga. Perasaanku semakin berantakan. Apa aku menyukai Itachi-senpai? Tapi kenapa rasanya masih ada yang mengganjal? Apa aku belum benar-benar menyukainya? Atau dari awal aku hanya menyayanginya karena ia hadir di saat aku sedang membutuhkan seseorang untuk medukungku?

.

.

.

Normal POV

Sebuah mobil putih terparkir tak jauh dari taman di mana Itachi dan Ino kini berada. Di dalamnya, seorang pemuda berambut pirang sedang duduk di bangku pengemudi. Ia terrdiam dengan tatapan dingin. Menatap taman itu dengan seksama. Kedua mata sapphirenya seperti tak sanggup dipejamkan. Jemarinya menggenggam stir mobil dengan kuat. Semakin kuat seperti hendak menghancurkannya. Ia menundukkan kepalanya. Tetap terdiam hingga ia tiba-tiba membenturkan kepalanya pada stir mobil di depannya.

"Perempuan sialan itu…" ujarnya di tengah keheningan mobil. Kembali keheningan menyelimutinya. Seakan membuat hatinya terasa semakin kelam saat ini. Dengan lemas, tangan itu meraih ponsel yang tergeletak di bangku sampingnya. Masih menyandarkan kepalanya pada stir mobil, ia hanya menengokan sedikit kepalanya demi mencari sebuah nama di daftar kontaknya. Setelah berhasil menemukannya, ia pun menekan tombol dan menelepon seseorang.

"Sepertinya perempuan itu memang harus diberi pelajaran yang lebih dari ini. Besok datanglah ke kelasku pada jam istirahat. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan lagi." Tanpa banyak bicara, ia memutuskan panggilannya. Lagi, terdiam sejenak sebelum akhirnya ia kembali menegakkan tubuhnya. Menyalakan mesin mobilnya dan segera melaju meninggalkan taman tersebut.

.

.

.

Itachi melepaskan pelukannya saat merasa Ino mendorongnya pelan. Matanya menatap penuh tanya atas perlakuan Ino tadi. Sementara gadis yang ditatapnya itu malah menghindari tatapannya lagi. Masih berusaha menata perasaannya. Ia seperti baru tersadar dari mimpinya dan hanya bisa berkutat dengan pikirannya sendiri. Terus memikirkan kejadian beberapa saat lalu. Apa yang sebenarnya ia lakukan tadi dengan pria di depannya.

"Tadi kita…" Kata-kata gadis itu terhenti.

"Berciuman." Itachi segera membalasnya dengan cepat. Ia mengatakannya dengan santai seperti tidak ada masalah dengan hal itu. Hening. Ino semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Ahaha, kasian Shion menunggu di rumahnya, aku harus segera kembali!" ujar Ino salah tingkah. Seperti mencoba lari sekuat tenaga, ia pun berjalan cepat menjauhi Itachi.

"Tunggu dulu! Kau kenapa?" Itachi pun mengikutinya, membuat mereka kini berjalan berdampingan dengan langkah yang cepat mengimbangi langkah Ino. Pertanyaan itu tak mendapat respon. Ino hanya menatap jalanan tempatnya berpijak sambil tetap berusaha mempercepat langkahnya. "Ino!"

"Aku tidak apa-apa kok, sungguh."

"Aku tidak bisa percaya kalau kau berusaha menghindar dariku seperti itu."

"I-Itachi-senpai bisa pulang duluan kok. Tenang saja, aku akan menganggap seperti tidak terjadi apa-apa."

"Apa? Aku tadi serius, semua perkataanku padamu juga serius. Bagaimana mungkin aku membiarkanmu menganggap seperti tidak terjadi apa-apa? Hey, Ino! Pelankan langkahmu dan kita bicarakan lebih tenang sekarang." Tepat sebelum Itachi berhasil meraih pergelangan tangannya, Ino sudah lari terlebih dulu.

"Jangan mengikutiku dulu. Sampai besok saja deh, saat ini rasanya aku malu sekali menatap wajah Itachi-senpai!" teriaknya sambil berlari. Tak tinggal diam, Itachi berlari mengikutinya dari belakang.

"Kenapa harus malu?" tanya Itachi dengan suara agak keras agar dapat terdengar oleh gadis di depannya.

"Bodoh! Tentu saja aku malu!" Meihat rumah Shion sudah tak jauh lagi, ia pun semakin mempercepat langkahnya. Berbelok memasuki pekarangan rumah Shion. Sementara itu, Sasuke dan Shion yang sedang terduduk di teras hanya bisa kaget melihat Ino yang mulai menghentikan langkahnya dan berdiri di hadapan mereka dengan napas cepat. Tak lama kemudian di belakangnya terlihat Itachi yang sedang kesulitan mengatur napasnya juga.

"Ada apa ini?!" Shion berdiri dari posisi duduknya.

"Kan sudah kubilang Itachi-senpai pulang saja duluan!" Gadis itu tertunduk. Masih membelakangi Itachi tanpa ada niatan untuk menoleh ke belakang. Wajahnya perlahan semakin terlihat memerah.

"Tidak mau. Aku belum sempat menyampaikan hal yang terpenting."

"Besok saja di sekolah."

"Sekarang. Aku mau bicara sekarang." Itachi berjalan mendekati Ino. Berdiri di hadapannya, dan memegang bahunya lagi. Mengguncangkannya sedikit karena Ino tetap tidak mau menenggakan kepalanya. Sasuke terlihat ingin protes. Ia tidak mengerti apa yang telah dlakukan oleh kakaknya tadi hingga keadaannya menjadi seperti itu. Ia tak bisa duduk diam di kursinya, dan mulai berdiri. Mencoba menghampiri kakaknya. Baru saja Sasuke hendak membuka mulut, ia tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Itachi memegang dagu Ino, membuat wajahnya terangkat dan membuat mata itu bertatapan. "Daritadi kan sudah aku bilang, tatap aku saat aku bicara denganmu!" Mata aquamarine itu membulat, dan semakin membulat saat Itachi nekat mendekatkan wajahnya lagi. Dengan cepat mencium kembali bibirnya dihadapan Sasuke dan Shion yang semakin mematung dibuatnya.

"Kali ini akan kukatakan dengan jelas agar kau mengerti. Aku menyukaimu. Aku tak mau kau kembali menjalin hubungan dengan Sasuke. Aku mau kau, untukku sendiri. Mengerti? Aku mau kau menjadi kekasihku. Aku, dan bukan Sasuke," ujarnya dengan tegas dan penuh penekanan pada kata 'aku'.

"Aniki, kau…" Sasuke sudah tak mampu menahan amarahnya lagi. Tangan yang terkepal kuat itu ingin sekali ia pertemukan dengan wajah kakaknya. Tangannya menarik paksa lengan Itachi, membuat Itachi kini menghadap dirinya, dan bukan gadis Yamanaka itu lagi. Dengan sekuat tenaga ia mengarahkan pukulannya pada pipi kakaknya itu. Gagal. Itachi dapat menahan tangannya lebih dulu tepat sebelum menyentuh wajahnya. "Berani sekali kau berkata dan melakukan hal seperti itu pada Ino!"

"Kau sudah gagal menjaganya, Sasuke. Bahkan kau tidak mempercainya. Jadi, kau tidak pantas untuk mendekatinya. Apalagi sampai memintanya kembali denganmu!"

"Tapi bukan berarti kau boleh memilikinya. Kau saja baru sebentar mengenalnya!"

"Berisik! Apa keluarga Uchiha memang melahirkan anak-anak dengan sifat yang sangat buruk? Berhenti mempermainkan perasaan orang lain! Pulang sana!" bentak Ino. Air mata yang sejak tadi sudah ia tahan pun akhirnya tak dapat dibendung lagi. Sedih? Bukan. Lebih tepatnya ia sangat merasa kesal saat ini. Sasuke yang tiba-tiba berkata ingin berbalikan dengannya setelah menghinanya berkali-kali dan membuangnya, lalu Itachi yang tiba-tiba menyatakan perasaannya padahal selama ini selalu terlihat biasa saja. Ia merasa seperti sedang dipermainkan sekarang.

"Ino, maaf. Aku tak bermaksud membuatmu marah." Dengan sigap, Itachi segera berbalik dan menghapus air mata Ino dengan jarinya. Tangannya kembali memegang kedua pipi itu. "Di taman tadi aku memang belum menanyakan bagaimana perasaanmu. Ino, apa kau menyukaiku?" Pertanyaan itu terdengar sangat lembut. Lembut dan hati-hati. Setidaknya di telinga seorang Yamanaka Ino. Sasuke yang mencoba untuk memukul Itachi lagi pun ditahan oleh Shion.

"Itachi-senpai benar. Kau sudah mengecewakan Ino, Sasuke." Shion menatapnya tajam. Membuat Sasuke melemahkan kepalan tangannya. Hanya bisa terdiam menahan emosinya karenaa melihat gadis yang disayanginya itu kini sedang menatap Itachi dengan wajah yang masih memerah.

"Kau sungguh-sungguh?" Setelah sekian lama terdiam, Ino pun akhirnya berbicara.

"Tentu. Aku sungguh-sungguh."

"Kalau begitu, beri aku waktu 1 hari untuk memikirkannya. Sekarang pikiranku berantakan sekali." Kini Ino dapat menatap sepasang onyx dihadapannya dengan tenang. Melihatnya, Itachi pun menjauhkan tangannya dari pipi gadis itu.

"Baik. Terima kasih," balas Itachi. Ia pun menarik adiknya untuk memasuki mobil. Duduk di bangku pengemudi, sedangkan Sasuke memilih untuk duduk di kursi belakang. Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil yang menyala. Beberapa saat kemudian mobil itu pun sudah menjauh dari kediaman Shion. Meninggalkan Ino yang masih berdiri menahan ai matanya agar tak keluar lagi. Shion pun merangkul sahabatnya itu.

"Maaf Ino, kalau kau mau, aku akan menjelaskan kejadian sebenarnya dengan rinci. Soal tadi siang di sekolah."

"Terima kasih, Shion. Banyak hal juga yang ingin kubicarakan denganmu. Aku semakin tak mengerti dengan perasaanku sendri."

.

.

.

.

TBC alias つづ

*#*#*#*#*#*#*#*#*#**#*#*#*#*#*#*#*#*#*

Oke, chapter kali ini memang didominasi sama dialog ya kayaknya. Saya mau ada perdebatan sih di sini. Buat yang nungguin adegan romance-nya, sabar ya, sabar #plak. Habis gimana dong, menurut saya kurang greget aja kalau Ino langsung terpesona sama Itachi dan ngelupain Sasuke gitu aja. Dia harus menggalau dengan konflik batinnya dulu #halah.

Intinya, saya mau minta maaf atas keterlambatan update ini dan kalau cerita ini belum bisa memuaskan pembaca. Makasih buat yang masih bersedia bacaaaaaa :"3