OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOI! APA KABAAAAAAAAAAAAAAAAAR?

Aku benar-benar telat mengapdet. Mohon maafkan aku, teman-teman. Habisnya tiap mau ngapdet adaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aja dosen yang ngasih tugas. Dan sudah kebiasaanku yang, entah jelek atau baik, untuk menghabiskan waktu lama menyelesaikan chapter terakhir dari sebuah fic. Chapter terakhir sangat menakutkan buatku, LOL.

Yosh! Terima kasih untuk yang sudah meripyu di chap lalu, ada: Carnadeite, hirumaakarikurosakikuchizaki, Just 'Monta –YukiYovi, 11291baskerville, Sky Melody sudah kubalas lewat PM yaah!

Juga:

Kotone Saionji: makasih yaaa! Hehehe, kalau mau lihat Hana dan Masato lagi, setelah ini akan ada sebuah fic yang ada mereka di dalamnya, tapi bukan side-story ataupun sekuel Flowers. ditunggu aja ya… oh iya, aku salah ketik tuh! Terima kasih sudah diingatkan, review lagi yaa! :D

Yuki kineshi: halooo! Tentu aja ga bosen kalo kamu review, hehehe. Makasih banyak ya. Ah, itu… itu karena dia sudah jarang latihan nyanyi semenjak keluar dari band, makanya kalau dia nyanyi, suaranya nggak sebaik dulu. Begitulah, hehe. Makasih dukungannya! xD

Lala san Machiru: halo! Emm, terima kasih banyak, ya! Terima kasih juga dukungannya! Gapapa kok ripyu dua kali, hihihi. Yosh, pertanyaanmu akan dijawab di akhir cerita :D

Enjoy! Hope you like it :))


Side-story from Grow Up, Flowers!

Love Labyrinth

Chapter 12: Sakura, Sakura (Way Back Into Love)

Disclaimer: Inagaki Riichiro and Murata Yuusuke

Written by: undine-yaha

Writer's assistant: Chopiezu

Hana menghirup dan mengembuskan napasnya perlahan sambil memejamkan mata. Kami akan berhasil.

"Spell Pentagram," ucap Hana. Di bawah tangan Hana dan Mamori terbentuk sebuah pentagram dengan cahaya putih-kebiruan yang menyala-nyala.

"Anezaki-san, sebutkan nama kedua target dan ucapkan mantranya!" Yuki memberikan instruksi.

"Fujiwara Sara. Kaede Nagisa," Mamori bertemu dengan Hana. Hana mengangguk. Mamori mengangguk. Mereka siap.

"MEMORY REPAIRING!"

Pentagram itu mengeluarkan cahaya yang lebih menyilaukan dari sebelumnya. Ada angin yang bertiup dari tengah pentagram itu, membuat rambut Hana dan Mamori berkibar-kibar. Suzuna, Musashi, Juumonji, dan Yukimitsu bisa merasakan angin itu juga. Seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang tidak terlihat berputar di pentagram itu.

"Ganbatte! Ganbatte!" desis Suzuna, melihat Hana dan Mamori begitu memusatkan konsentrasi dan tenaga.

Dua menit berlalu. Tampaknya upacara itu belum selesai. Hana mulai terlihat kelelahan. Setiap kali Mamori merasa ragu untuk melanjutkan, Hana pasti meyakinkannya untuk terus saja.

"Memasuki menit ketiga," Yuki melirik jam tangannya. "Astagaaa… apakah masih lama? Aku benar-benar khawatir!"

"Tidak ada informasi yang mengatakan berapa lama waktu yang dibutuhkan ya?" tanya Suzuna.

Yuki menggeleng. "Aku sudah mencari, tapi nggak ada."

Hana mulai terlihat lemas. Napasnya terengah-engah. Berkali-kali ia hampir jatuh dari kursinya.

"Damn," Juumonji berdiri dari tempatnya dan berjalan keluar.

"Kau mau kemana?" tanya Musashi.

"Aku mau diluar saja. Malas melihat orang pingsan," jawab Juumonji ketus.

"Hanya."

Juumonji terhenti. Semua menoleh ke arah suara imut itu.

Kiseki.

"Hanya, Hanya," Kiseki menggapai-gapaikan tangannya pada Hana yang ada di depannya.

"Eh? Ada apa Ao-chibi?" tanya Suzuna.

Kalung Kiseki menyala hijau. Ia melepaskan diri dari pelukan Suzuna dan terbang menuju Hana.

"Kiseki-chan! Kembali!" panggil Yuki.

Kiseki mendarat di pangkuan Hana dan memeluk 'kakak'nya itu.

"Hanya," ucapnya. Kesadaran Hana yang mulai hilang berangsur kembali.

"Chibi… jangan-jangan—" Juumonji tidak jadi keluar, "—ia memberi tenaga untuk Hana!"

"Apa?" Musashi tersentak.

"Yukki! Bagaimana ini? Cari petunjuk di ensiklopedimu!" Suzuna mengguncang-guncang bahu Yukimitsu.

"K-k-kalau k-kau b-begini a-aku t-tidak b-bisa m-menulis!" protes Yuki.

Mereka dikagetkan kembali dengan cahaya pentagram yang perlahan menghilang. Angin yang muncul dari dalam simbol itu juga telah reda. Mamori dan Hana perlahan-lahan membuka mata mereka.

"Sudah selesai?" Suzuna berhenti mengguncang bahu Yuki.

Mamori dan Hana baru menyadari kalau ada Kiseki di sana.

"Kiseki? Kenapa ada di sini? Dan… kenapa aku nggak pingsan ya?" Hana melepaskan Kiseki yang memeluknya dan menggendongnya.

"Ya-ha!" hanya itu jawab Kiseki.

"Tadi waktu kau mulai kehilangan kesadaranmu, Ao-chibi terbang ke pangkuanmu dan kalungnya menyala. Sepertinya ia memberikan tambahan tenaga untukmu, Ao-chan!" cerita Suzuna.

"Harusnya itu tidak bisa dilakukan," ujar Yuki, "kata ensiklopedi sih begitu."

Kiseki hanya tertawa-tawa sementara semua orang dewasa di ruangan itu menjadi bingung sekaligus takjub.

"Kiseki itu… keajaiban 'kan?" Mamori setengah bergumam, "sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi mungkin…."

"Kiseki…," Hana tersenyum bangga, "terima kasih banyak!"

"Coba dicek apakah sihirnya berhasil?" Mamori berkata pada Juumonji dan Musashi. Mereka berdua kompak mengeluarkan ponsel masing-masing dan menghubungi gebetan mereka.

Suzuna, Mamori, Yukimitsu, dan Hana tertawa kecil ketika mendengar percakapan mereka di telepon. Kelihatannya semua sudah kembali seperti semula. Mereka saling bercakap-cakap seakan-akan tida terjadi apa-apa.

"Ah, syukurlah," Hana menghela napas lega.

Sambil senyam-senyum, Juumonji dan Musashi mengakhiri panggilan mereka.

"Berhasil 'kan?" tanya Suzuna dengan mata berbinar.

Juumonji tersenyum lebar. "Nagisa benar-benar mengobrol denganku seperti biasa. Aku nggak nyangka," ia bercerita.

"Fujiwara juga. Memorinya benar-benar sudah diperbaiki," tambah Musashi.

"YA~! Kalian berhasil! Mamo-nee, Ao-chan, Ao-chibi, kalian hebat!" sorak Suzuna.

Hana memangku Kiseki menghadap ke Mamori dan memeluknya.

"Kau akan jadi penyihir hebat. Pasti," ucapnya senang.

Tiba-tiba Juumonji dan Musashi sudah berada di kanan dan kiri Hana. Mereka berlutut dan mencium pipi Kiseki—satu di kanan, satu di kiri.

"Arigatou gozaimasu."

"Yeeyy~! Jiji! Hoppa!" Kiseki menjerit-jerit.

Hana berdiri dari kursinya sambil menggendong Kiseki. "Kalian nggak mengucapkan terima kasih padaku dan Kak Mamori," protesnya.

"Kenapa? Kau mau kucium juga?" tanya Juumonji datar.

"Frozen flower!"

"Waaaa!" Juumonji merunduk ketika belasan tangkai bunga beku melesat ke arahnya.

"Heh! Aku hanya bercanda, tau! Kenapa kau mengeluarkan sihirmu? Kau mau membunuhku ya?" sentak Juumonji.

Hana hanya berbalik dengan jutek, masuk ke kamar bersama Kiseki, lalu menutup pintunya.

"Dia marah, ya?" Yuki menatap pintu, sweatdrop.

"Biarin. Terima kasih Kak Mamori," kata Juumonji.

"Terima kasih atas bantuannya, Anezaki," kata Musashi.

Mamori mengangguk. "Sama-sama. Sebetulnya aku tidak melakukan apa-apa. Aku yakin posisi Hana sebagai backup-lah yang sangat berat."

Semua melihat ke pintu kamar. Mamori berdiri dan berjalan ke pintu itu lalu membukanya sedikit.

"Eh?" Mamori mengerjapkan mata, kaget. "Mereka..."

"Kenapa?" Suzuna ikut melihat ke dalam. Mamori membuka pintu sedikit lebih lebar. Juumonji, Musashi, dan Yukimitsu berdiri di belakang Mamori.

Mamori melangkah masuk, memastikan apa yang dilihatnya.

"Ah, benar," Mamori tersenyum, "mereka tidur."

"Haah?" Juumonji mengendap-endap masuk. Suzuna, Yukimitsu, dan Musashi juga mengikutinya—minus mengendap-endap.

Hana dan Kiseki tertidur pulas. Mereka kelelahan akibat upacara sihir tadi.

Mamori mengambil selimut yang terlipat di ujung tempat tidur dan menyelimuti mereka berdua.

"Kalian sudah bekerja keras. Oyasumi," kata Mamori lembut.

"Ayo, kita biarkan mereka beristirahat," Suzuna mengajak semuanya untuk keluar dari kamar itu.

Juumonji dan Musashi mengikuti Suzuna keluar. Tapi sebelumnya, mereka menyempatkan diri untuk berkata…

"Terima kasih."

~GrowUp!~

Keesokan paginya

"Aku mulai bisa membayangkan apa hanami itu. Sepertinya akan menyenangkan," Masato berkata sambil menggendong Kiseki yang terus menarik kerah kemejanya.

"Bunganya pasti indah," sahut Hana. Ia dan teman-teman yang lain sedang bersiap-siap untuk pergi ke Ueno Park. Mamori mengajak mereka semua ke sana untuk hanami ramai-ramai.

Monta dan Toganou mengangkut kotak-kotak berisi makanan dan minuman ke dalam mobil. Kuroki sedang memaksa Juumonji untuk mengajak Nagisa ikut serta.

"Tidak bisaaa," Juumonji mengangkat alis, memasang ekspresi jutek pada sahabatnya itu, "Nagisa ada kuliah tamu hari ini. Dia sudah janjian dengan teman-temannya untuk menghadiri kuliah itu."

"Uuh nggak asik," Kuroki mengeluh, berbalik ke pintu keluar, "kalau begitu apa kau tidak mau hanami dengan dia?"

"Tentu saja mau!" sembur Juumonji tanpa sadar. Ia masih ingat kejadian kemarin, ketika tiruan dirinya menghancurkan hubungannya dengan Nagisa. Sekarang semuanya sudah kembali seperti semula. Juumonji belum menemui Nagisa lagi setelah itu.

Antena Suzuna bergerak-gerak ketika Musashi melewatinya sambil menelepon seseorang.

"Iya. Kau libur kan?" tanya Musashi, "kuusahakan malam ini atau besok. Jangan sekarang."

Musashi diam, mendengarkan suara Sara.

"Yah, kau tahulah, kalau teman-temanku itu suka bikin ricuh," kata Musashi, "aku… aku nggak ingin kau dijahili oleh mereka."

Musashi mendengarkan lagi. Senyumnya terkembang. Ia berhasil membujuk Sara untuk tidak ikut hanami kali ini. Mamori sudah mengajaknya, tapi Musashi khawatir kalau-kalau akan ada musuh yang menyerang mereka. Musashi tidak mau Sara terlibat.

Juumonji juga, sebenarnya, memikirkan hal yang sama.

~GrowUp!~

Mereka benar.

Para penyihir hitam benar-benar datang ketika mereka sedang menikmati indahnya sakura yang bermekaran. Siap atau tidak, mereka harus bertarung melawan musuh.

Pertarungan di atas langit dimulai. Hana menyihir sebuah lantai bening yang diterbangkan hingga ke langit untuk menghindari kekacauan di Ueno Park. Sekarang mereka semua sedang berlari, menunggu instruksi dari Hiruma yang membuat strategi seperti permainan amefuto.

"Bagi jadi beberapa tim!" teriaknya tanpa berhenti berlari, "gendut, gendut junior, dan kakek sialan, bawa manajer dan bayi sialan ke tempat yang aman! Tiga saudara sial—"

"KAMI BUKAN SAUDARA!" teriak Jumonji, Kuroki, dan Toganou kompak. Musashi, Kurita, dan Komusubi mendekat pada Mamori, tapi Mamori menggeleng tanda tak mau pergi.

"Berhenti sekarang juga dan halangi tentara-tentara sialan itu!" perintah Hiruma lebih lanjut. Ha-ha Bros langsung mengerem dan memutar balik—bersiaga dengan perisai mereka.

"Ahaha! Sepertinya kalian butuh bantuankuuu! Heart Weapon, aktif dong!" kata Taki sambil berputar dan mengangkat tinggi-tinggi lencana sihirnya ke udara. Angin puyuh andalannya mulai tercipta.

"Semoga berhasil!" kata Sena.

Hana berhenti dan menggumamkan mantra, "Closed Conversation (1), Juumonji Kazuki."

Juumonji yang sedang berdiri menanti musuh tiba-tiba mendengar Hana memanggilnya. Padahal Hana sudah berlari jauh di belakang sana. Lebih anehnya lagi, teman-temannya yang lain kelihatannya tidak mendengar suara itu.

"Juumonji. Hei, kau dengar aku 'kan?" suara itu terdengar lagi. Bergema di dalam kepala Juumonji.

'Iya aku dengar, ada apa? Kau menggunakan sihir ya?' Juumonji menjawab dalam hati.

"Iya," suara Hana terdengar jelas, "aku ingin menyampaikan satu hal padamu."

'Apa?'

Tiga detik berlalu.

"Jaga dirimu. Kau harus selamat dan menemui Nagisa. Janji?" pinta Hana.

Juumonji menatap gerombolan musuh yang semakin dekat dengan berani.

'Janji.'

~GrowUp!~

Hana terus berlari hingga penyihir black magic berambut ungu, Viola, menyihir sebuah tali berwarna hitam yang menjerat lengannya.

"Hana!" Masato berbalik dan mencoba menyelamatkannya.

"Lari terus! Aku akan hadapi dia!" teriak Hana sambil memasang kekkai, berjaga-jaga jika Viola mencoba menyerangnya sebelum ia siap.

Hana diseret menjauh dari teman-temannya. Tapi ia masih bisa melihat Masato yang maju melawan Nero.

"Closed Conversation, Takekura Gen," gumamnya secepat mungkin.

Musashi sedang meneruskan pelariannya bersama Hiruma, Mamori, Kiseki, Kurita, dan Komusubi ketika ia mendengar suara Hana di kepalanya.

Ia sontak berhenti karena kaget.

"Aoihoshi?" panggilnya pelan, mencari ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, hanya dataran bening, hamparan langit, dan kelopak-kelopak sakura yang beterbangan.

"Aku menggunakan sihir untuk berkomunikasi denganmu," ujar Hana, "ingat. Kita harus kembali kepada orang-orang yang menyayangi kita. Kita tidak boleh mati di sini."

Musashi melangkahkan kakinya kembali ketika Hiruma dan Kurita memanggilnya. Semakin lama semakin cepat.

"Kak?"

"Ya," Musashi berlari, "pasti."

Di tempat lain, Hana mulai bertarung dengan Viola. Tapi ia sempatkan membuat satu dialog lagi dengan seseorang.

"Closed Conversation, Niwa Masato."

Setelah merasakan adanya koneksi yang ditandai dengan munculnya suara dari tempat Masato berada, Hana memanggilnya.

"Hana?"

'Semangat ya! Kita akan bertemu lagi nanti. Jaga dirimu.' Hana melesat ke kanan, menghindari sihir Viola.

"Hana, kau dimana? Aku hanya bisa mendengar suaramu!" tanya Masato.

"Explosion!" Hana meluncurkan ledakan. 'Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Viola mulai marah, selamat berjuang, sampai nanti, ya!'

"Baiklah kalau begitu. Kita ketemu lagi nanti!" sahut Masato.

'I love you,' kata Hana, "Conversation End (2)." Ia melihat duri-duri es meluncur cepat ke arahnya.

"Burning Shield!" Hana berseru, membakar habis duri-duri es itu.

~GrowUp!~

Fujiwara Sara terlihat mondar-mandir di ruang TV apartemennya. Musashi tidak bisa dihubungi sama sekali. Hari sudah siang dan sejak pergi hanami bersama teman-temannya tadi pagi, Musashi tidak mengabarinya apapun. Sara berpikir mungkin ia sedang asyik dengan teman-temannya, jadi tidak terpikir untuk mengabari. Karena itulah Sara berinisiatif untuk menelepon duluan.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan…" terdengar suara dari ponsel Sara yang ia aktifkan speakernya.

"Apa mungkin baterainya habis, ya?" gumam Sara. Akhirnya ia duduk di sofa dan menyalakan TV.

"Ah, kutunggu saja sampai sore nanti. Mungkin jaringan teleponnya sedang ada perbaikan," gumamnya sambil mencari acara yang menarik.

~GrowUp!~

Sore menjelang. Nagisa dan teman-temannya keluar dari ruang pertemuan tempat kuliah tamu dilangsungkan.

"Akhirnya selesai jugaaa," keluh salah seorang teman Nagisa yang memakai bando berwarna hijau muda. "Aku hampir mati bosan."

"Masa sih?" sahut Nagisa, "bukankah menyenangkan bisa merasakan diajar oleh pakar berskala internasional?"

"Ah, Nagisa. Daripada membicarakan kuliah tadi, bagaimana? Kau tidak ke Ueno Park untuk hanami dengan pacarmu yang pengacara itu?"

Nagisa blushing. "Bukan pacarku," elaknya, "dia sedang ada urusan dengan teman-temannya… mungkin… besok kami akan pergi juga…."

Wajah Nagisa semakin memerah ketika teman-temannya menertawainya beramai-ramai.

"Sudah, jangan menggodaku!" protes Nagisa. Ia mengambil ponselnya untuk meng-SMS Juumonji.

Sayangnya, SMS itu tidak terkirim.

"Eh? Kenapa ya?" Nagisa menatap layar ponselnya bingung.

~GrowUp!~

Burger King Restaurant

Seibu-Shinjuku, Tokyo

Akhir pekan. Restoran terlihat sangat ramai. Sara berbalik sambil memegang nampan, melihat sekeliling mencari tempat duduk.

"Ramai sekali. Semua tempat penuh ya?" gumamnya sedih. Namun tiba-tiba ia menangkap sesosok perempuan berambut cokelat dengan blazer warna jingga melambai ke arahnya.

Cepat-cepat Sara berjalan ke arah perempuan itu. Benar, masih ada tempat duduk kosong di meja untuk dua orang itu.

"Arigatou gozaimashita," ucap Sara riang sambil menaruh nampannya.

"Douitashimashite," jawab perempuan itu, "aku sedang sendirian saja, lalu aku melihat Kakak berdiri di sana sambil melihat kesana-kemari—jadi—"

Sara tertawa malu. Ia menarik kursi dan duduk.

"Iya, aku bingung mau duduk di mana. Kelihatannya sudah nggak ada tempat lagi," ujar Sara.

Perempuan berparas manis itu hanya tertawa mendengar penjelasannya, lalu mengambil sepotong kentang goreng miliknya.

"Hei, nama Kakak siapa? Aku Kaede Nagisa," ia lalu memperkenalkan diri.

"Aku Fujiwara Sara, yoroshiku," sahut Sara sambil tersenyum.

"Sekolah, kuliah, bekerja?" tanya Sara. Ia membuka bungkusan burgernya.

"Kuliah," jawab Nagisa, "menjelang semester akhir, hehehe. Fujiwara-san?"

"Aku sudah bekerja," jawab Sara, "kenapa sendirian saja?"

Nagisa tertawa kecil. "Iya, tadinya aku bersama teman-temanku, tapi mereka pulang duluan. Aku masih ingin jalan-jalan, jadi aku ke sini. Ngemil, hehe."

"Begitu," Sara mengangguk mengerti, "kalau aku memang sering ke sini sih. Biasanya juga dengan teman, tapi hari ini mereka sudah punya acara sendiri-sendiri."

Nagisa mengangguk-angguk. Mereka kembali ke makanan mereka masing-masing. Setelah itu tanpa sengaja mereka mengambil ponsel bersamaan dan menelepon dua orang yang—tanpa mereka ketahui—saling kenal.

"Yaaah," keluh Nagisa, "masih nggak bisa ditelepon."

"Eh?" Sara terkejut, "kau juga?"

Nagisa mengerjapkan mata. "Fujiwara-san juga?"

Mereka berdua sontak tertawa dan meletakkan ponsel mereka di atas meja.

"'Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi', begitu 'kan katanya?" Sara bertanya, masih tertawa.

"Iya, iya! Sampai bosan aku mendengarnya. Pertama kupikir mungkin jaringannya error. Tapi waktu kucoba menelepon temanku, kok, bisa ya? Aaah menyebalkan!" jawab Nagisa.

Sara meminum Diet Coke-nya. "Pacarmu?"

Nagisa menggeleng sambil tersipu. "Bukan, hehe."

"Oh, gebetanmu ya?" goda Sara. Nagisa menutup wajahnya dengan tangan, malu.

"Kalau Fujiwara-san, pacarnya ya?" tanya Nagisa, membuka tangannya sedikit dan mengintip Sara.

Sara menghela napas. "Bukan juga."

Nagisa menurunkan tangannya. "Kok sedih?"

Sara menatap Double Whopper Sandwich-nya sedih. "Aku suka padanya. Dia baik padaku, tapi aku nggak tau apakah dia punya perasaan yang sama denganku."

Nagisa menyendok Oreo Sundae yang tinggal setengah itu dan memakannya. "Aku juga begitu, Fujiwara-san. Sama persis. Apa memang semua cowok itu begitu ya?"

"Benarkah?" Sara terlihat terkejut, lalu tersenyum. "Terakhir kali ia mengabariku ketika berangkat hanami di Ueno Park tadi pagi."

Nagisa sontak berhenti menikmati Sundae-nya. "Pria yang kusukai itu juga ke Ueno Park tadi pagi bersama teman-temannya."

"Jangan bilang dia pemain American football," Sara melotot.

Nagisa mengangguk. "Dia memang pemain amefuto. Jangan bilang dia alumni Deimon Devil Bats."

Sara mengangguk. "Dia memang alumni Deimon…."

Mereka berdua menelan ludah. Jangan-jangan kita menyukai orang yang sama?

"Baiklah, aku akan menghitung sampai tiga. Saat itu kita akan sebutkan nama pria yang kita sukai itu. Siap?" tanya Sara.

"Baiklah," jawab Nagisa. Ia menepis pikiran buruk kalau kakak di depannya ini juga didekati Juumonji.

"Satu, dua, tiga. Takekura Gen."

"Juumonji Kazuki."

"Fiuuuuuh," mereka berdua menghela napas bersamaan ketika mengetahui bahwa nama yang mereka ucapkan ternyata berbeda.

"Syukurlah, ternyata bukan orang yang sama," kata Nagisa, kembali memakan Sundae-nya.

"Tapi mungkin saja mereka saling kenal! Ya ampun, kebetulan sekali ya kita bertemu di sini," kata Sara.

"Sara-san," Nagisa menatap Sara, "boleh kupanggil begitu?"

"Boleh, Nagisa-chan," jawab Sara. Nagisa tertawa kecil.

"Yah, itu lebih baik. Begini, aku jadi khawatir. Mungkinkah mereka memang pergi bersama-sama dan terjadi sesuatu? Bukannya aku menginginkan sesuatu yang buruk, tapi kita tidak bisa menghubungi mereka, mungkin saja…," kata-kata Nagisa mengambang.

Sara berpikir sejenak. Perasaan khawatir mulai menderanya.

"Cepat habiskan makananmu," perintah Sara sambil mengunyah cepat-cepat Double Whoppernya. "Kita akan ke Ueno Park."

~GrowUp!~

Ueno Park

4 p.m.

Sembari terus mencoba menghubungi Musashi dan Juumonji, Sara dan Nagisa berjalan menyusuri Ueno Park. Suara tawa yang riuh dan menyenangkan terdengar di sana-sini.

"Semua orang kelihatannya sibuk dengan teman-temannya sendiri," kata Nagisa.

"Jadi maksudmu, kalau benar terjadi sesuatu pada Gen-kun dan teman-temannya, tidak akan ada yang menyadarinya?" terka Sara.

Nagisa mengangguk. Ia merangkul lengan Sara.

"Sara-san, aku takut. Firasatku tidak enak," ucapnya lesu.

Sara tersenyum padanya. "Kita keliling sekali lagi. Kalau memang mereka tidak ada di sini, mungkin mereka sudah pulang. Siapa tahu baterai handphone mereka habis, jadi tidak bisa dihubungi."

"Baiklah," Nagisa mengangguk setuju, "kita keliling sekali lagi. Kalau memang Kak Juumonji nggak ada di sini, aku akan mengecek apakah dia ada di rumahnya."

Dua orang wanita muda itu kembali berjalan mengelilingi Ueno Park. Mereka terus mencari seseorang yang paling mereka sayangi. Mencari hati yang dicintai.

Tanpa mereka sadari, dua orang itu sedang berada tepat di atas kepala mereka—jauh di atas langit.

~GrowUp!~

Petang menjelang. Berkas-berkas sinar oranye menyusup di sela langit yang sedikit mendung.

Nagisa masuk ke sebuah taman kota sambil membawa gelas kertas berisi lemon tea dan duduk di salah satu kursi.

"Kak Juumonji ke mana?" gumamnya, "kenapa nggak mengabariku?"

Ia mengamati lemon tea yang sudah diminumnya sedikit.

"Aku ingin belikan lemon tea untukmu juga, tapi kau nggak ada," gumaman Nagisa terdengar semakin lirih, bahkan ia merasakan perih dalam setiap kata yang diucapkannya.

Ia meluruskan kakinya yang sudah berkeliling mencari Juumonji. Ueno Park, rumah Juumonji, SMA Deimon, Universitas Saikyoudai, dan akhirnya ia menyerah dan sampai di taman ini.

"Eh?" Nagisa menemukan sepetak tanah yang ditanami bunga-bunga berwarna merah dan ungu kebiruan. Ia membungkukkan badannya untuk melihat lebih jelas.

"Ini… Primrose, ya?"

Seketika itu juga ia teringat sesuatu.

"Primrose?" Hana mengulang nama bunga yang ditanyakan Nagisa, "ah, Primrose itu memang punya arti yang bagus."

"Ya, temanku berkata kalau ia melihat bunga itu di dekat rumahnya. Memang apa artinya Kak?" Nagisa bertanya dengan sangat penasaran, sampai-sampai ia mendekatkan wajahnya ke Hana.

Hana tertawa. "Artinya adalah—"

Nagisa melihat nama yang tertera di dialed numbers ponselnya.

"Artinya adalah—" ia menatap langit di atasnya, "aku tidak bisa hidup tanpamu."

~GrowUp!~

Fujiwara Sara menatap kebun bunga berwarna merah dan hitam itu dengan sendu. Hari mulai gelap, angin terasa dingin, dan Musashi belum ia temukan.

"Mamo dan Hana juga tidak bisa kuhubungi. Astagaaa, kalian semua kemanaaa?"

Sara mulai putus asa. Ia meninggalkan kebun bunga disamping ruang klub DDB itu dengan langkah pelan.

"Kenapa kau menghilang, Gen-kun?" gumamnya, "ah, tidak mungkin dia menghilang. Mungkin mereka pergi ke tempat yang tidak kuketahui. Lalu ponsel mereka semua disita oleh Hiruma. Mungkin," ia bergidik ngeri membayangkan skenario apa yang dibuat oleh Hiruma. Mungkin Hiruma menyuruh mereka melakukan latih tanding karena mereka berasal dari tim yang berbeda sekarang, sehingga setan itu bisa melihat kemampuan mereka seperti apa. Mungkin mereka dibawa ke tempat tinggal Hiruma untuk dijadikan pembantu. Mungkin.

Sara melangkah keluar dari area SMA Deimon dan melayangkan pandangan terakhir untuk gedung almamaternya itu.

"Sudah lama sekali sejak pertama kali aku melihatmu di sini," gumam Sara, "kenapa sekarang aku harus bertemu denganmu lagi? Lalu, kenapa harus jatuh cinta padamu segala?"

Angin berembus lagi. Sara merapatkan blazernya dan melangkah lebih cepat.

"Apakah setiap pertemuan itu hanya kebetulan saja?"

~GrowUp!~

Pertarungan Langit

Aoihoshi Hana VS Viola

Aliran listrik itu menyengat Hana dengan telak. Ia tidak bisa merasakan apapun lagi kecuali kejutan pada setiap sarafnya. Ia mendengar Toganou bertanya, ia menjawab, tanpa sadar apa yang dikatakannya. Juumonji ingin membawanya pergi, tapi ia tahu harus menyelesaikan urusan ini dengan Viola.

"Kita pergi! Kita harus berkumpul kembali ke teman-teman yang lain!" teriak Kuroki.

Hana mulai sadar kembali. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Masato. Bagaimana keadaan teman-teman yang lain, juga Kiseki.

"Ya," ia menjawab, pelan, namun cukup keras untuk didengar Juumonji, Kuroki, dan Toganou yang secara kebetulan datang ke tempatnya berada. "Kita harus kembali… pada orang yang menyayangi kita."

Juumonji tidak bisa mengelak. Ia benar-benar membayangkan wajah Nagisa. Ia ingin kembali. Ia ingin kembali padanya.

"Aku masih punya urusan dengan dia," Hana mencoba berdiri dengan kekuatannya sendiri, "kalian pergilah. Cari Kiseki. Lindungi dia, oke?"

Jumonji menghela napas. "Kalau nanti aku bertemu dengan pacarmu, aku harus bilang apa?"

Ao tersenyum, "Bilang aku mencintainya."

"AH! Kata-kata macam apa itu? Komik shoujo banget!" protes Toganou.

"Terserah kau sajalah," Jumonji berdiri. "Ayo teman-teman, penyihir ceroboh ini tidak mau ditolong!"

"Kami pergi ya!" pamit Kuroki. Mereka bertiga berlari lagi sambil mencari teman yang lain.

Kelopak-kelopak sakura beterbangan mengiringi kepergian mereka.

Sakura, sakura

Seorang wanita menunggu seorang pria

Menunggu hati pria itu tiba

Untuk membalas perasaan cintanya

Cinta yang sangat indah

Bagai sakura yang sedang mekar

Sakura, sakura

Seorang pria sangat mencintai seorang wanita

Ia ingin menyatakan perasaannya

Tetapi ia masih mencari jalan

Menuju hati wanita itu

~GrowUp!~

Takekura Gen mengendarai pick upnya dengan sedikit sembrono. Ia melupakan rasa letih yang menderanya dan menutupi dengan baik memar-memar yang didapatnya setelah bertarung tadi. Sekarang pukul delapan malam dan ia harus melakukan sesuatu yang sangat mendesak.

Sesuatu yang tidak bisa ditahannya lagi.

Ia memarkir pick up dan meloncat turun.

"Akh," ia mengaduh ketika kakinya terasa sakit. Namun ia lanjut berjalan masuk ke dalam gedung apartemen itu.

"Sakit. Tapi tidak apa-apa. Yang penting kami menang dan Kiseki selamat. Semua terjadi dalam sehari—benar-benar gila," ujarnya pada diri sendiri.

Ia berkata pada resepsionis untuk memanggilkan Sara. Setelah itu ia duduk di salah satu sofa. Lumayan, bisa mengistirahatkan kaki lagi.

Musashi masih mengingat dengan jelas ketika adegan-adegan mengharukan para penyihir black magic yang diadili akibat kejahatan mereka berakhir. Hana melakukan Closed Conversation lagi dengannya.

"Kakak," ia berkata, "begitu kembali ke bawah sana, segera temui Kak Sara. Jangan buang waktu lagi. Segera nyatakan perasaanmu."

Musashi tidak menjawab. Ia mengangguk ketika pandangannya bertemu dengan Hana.

Untung saja ia mendapat ide bagaimana melakukannya. Kalau tidak, mana mungkin ia berani ke apartemen ini.

"Maaf, Nona Fujiwara sedang tidak ada di tempat," kata-kata resepsionis membuat Musashi kecewa, "mungkin Anda ingin meninggalkan pesan?"

"Baiklah…. Kalau dia kembali, bilang Takekura Gen—"

"Takekura Gen!" resepsionis itu berseru, "Nona Fujiwara sudah meninggalkan pesan sebelumnya untuk Anda."

"Benarkah?" tanya Musashi. Resepsionis itu mengangguk.

"Ia bilang kalau Anda mencarinya, ia ada di pertokoan Deimon sekarang."

"Arigatou gozaimasu," sahut Musashi cepat dan segera kembali ke parkiran untuk menuju pertokoan Deimon.

~GrowUp!~

Fujiwara Sara melintasi jalanan yang ramai dengan perasaan hampa. Tiba-tiba ia berhenti di sebuah toko yang tutup.

"Aneh sekali—" gumamnya, mendekat ke toko yang gelap itu, "—seingatku, kemarin ada toko bunga di sini, sudah tutup ya?"

Ada sesuatu tentang toko itu. Tapi ia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Bahkan ia ragu apakah itu benar-benar ingatannya atau hanya khayalan.

Ia menghela napas dan melanjutkan langkahnya. Tidak ada tujuan, hanya berharap keajaiban akan mengantarkannya bertemu Musashi.

Keajaiban itu terjadi sekarang.

Sara mengeluarkan ponselnya yang berdering dari saku mantel dan sangat terkejut melihat nama penelepon yang tertera di layar.

"GEN-KUN!" serunya sangat, sangat antusias, "kau ada diman—"

"Arah jam enam," jawab Musashi, berlagak seperti mata-mata.

Sara berputar dan menemukan seseorang yang sangat dikenalinya di tengah keramaian. Orang itu tersenyum dan mulai berjalan ke arahnya.

Awalnya Sara merasa kakinya membeku karena terlalu senang. Tapi akhirnya ia mulai bisa melangkah menuju orang itu.

"Aku mencarimu kemana-mana," Sara memeluk tubuh kekar Musashi yang terbungkus jaket, "kebetulan sekali kita bertemu di sini!"

Musashi balas memeluknya dengan lega. Lega rasanya bisa memenangkan pertarungan langit tadi dan bisa bertemu dengan seseorang yang paling ia sayangi.

"Bukan kebetulan," ucapnya lembut di telinga Sara, "pertemuanku denganmu pasti bukan kebetulan."

Sara terkejut. Ia ingin menyudahi pelukan itu, tapi lengan Musashi menahannya.

"M-maksudmu?" Sara mulai merasa panas—juga malu, karena mereka berpelukan di tengah jalan.

Musashi melepaskan Sara dan menggandengnya pergi. "Ayo ikut, kutunjukkan sesuatu padamu," ajaknya.

"Ke mana?" tanya Sara, mengikuti langkah buru-buru Musashi.

"Kejutan, kau tidak boleh tahu," jawab Musashi, "wanita itu… suka kejutan 'kan?"

Sara tertawa. Lagi-lagi kejutan.

~GrowUp!~

Pick up itu mulai meninggalkan area pertokoan Deimon. Sara langsung menginterogasi Musashi perihal dirinya yang tiba-tiba 'menghilang'. Musashi mulai menceritakan hasil karangan Kuroki dan Toganou yang dibuat sebagai alibi semua orang yang terlibat dalam pertarungan tadi. Hiruma menculik mereka ke sebuah pedesaan menggunakan dua buah helikopter pribadi, merampas dan mematikan ponsel mereka, lalu menyuruh mereka berlatih untuk mengecek kemampuan mereka semua.

"Tentu saja aku merasa dimata-matai," kata Musashi, menambahkan bumbu pada cerita bohong itu, "aku 'kan beda tim dengan dia."

Sara hanya mengangguk-angguk.

"Bahkan Aoihoshi dan Niwa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal ini harus ikut terlibat. Niwa yang dari awal sudah sensi dengan setan itu sempat marah-marah," lanjut Musashi.

"Gomen?" Sara menoleh pada Musashi, "siapa itu Aoihoshi dan Niwa?"

Saking kagetnya, Musashi hampir saja menerobos lampu merah.

"Aoihoshi… Hana," ia menjawab, "kau… tidak… ingat?"

Sara menggeleng. "Aku tidak mengenalnya."

Lampu menyala hijau. Musashi melanjutkan perjalanan.

"Oh, mungkin aku lupa mengenalkannya padamu. Tidak apa-apa, nggak penting kok," Musashi sedikit merasa bersalah ketika mengatakan kalimat itu. Berkata bahwa teman sendiri itu nggak penting sangat menyakitkan.

'Ingatan Fujiwara tentang Aoihoshi terhapus,' batin Musashi.

Musashi memasuki sebuah kawasan perumahan. Belok ke kanan, lalu ke kiri, dan berhenti di depan sebuah rumah bergaya tradisional dengan halaman yang cukup asri.

"Kita sampai," Musashi tersenyum tipis dan mengajak Sara turun.

"Rumah siapa ini?" tanya Sara bingung. Musashi membuka gembok pagarnya dan masuk ke halaman depan. Sara melihat sekeliling dengan senang.

"Aku suka halamannya. Ngng, ini rumah siapa, Gen-kun?" Sara mengulang pertanyaannya.

Seharusnya ia sudah menemukan jawabannya. Setelah membuka pagarnya, Musashi mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintu rumah itu.

"Silakan masuk," Musashi membukakan pintu. Masih terbingung-bingung, Sara masuk ke dalam.

"Sumimasen," ucap Sara. Ia melihat sekeliling. Rumah itu masih kosong, tapi bersih dan terawat.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Musashi sambil mengajak Sara berkeliling.

"Kelihatannya rumah yang nyaman. Kalau sudah ada perabotannya, pasti lebih bagus lagi," Sara berkomentar sambil tersenyum.

"Baguslah kalau kau suka," sahut Musashi santai.

"Hah?" Sara mengernyit, "Gen-kun, kau tidak menjawab pertanyaanku dari tadi. Sebenarnya ini rumah siapa?"

Musashi menaiki tangga ke lantai dua. Sara mengikuti dengan kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Musashi.

"Di atas sini ada tiga kamar," kata Musashi, "cukup 'kan ya?"

Sara mulai frustasi. "Gen-kun!" ia menarik lengan Musashi, "dari tadi aku tanya, sebenarnya ini rumah siapa?"

Musashi terdiam sesaat. Lalu ia tersenyum.

"Ini rumah kita," jawabnya, "nantinya."

Sara ternganga. Musashi mendengus geli. Sara langsung menutup mulutnya.

"Gen-kun… aku… tidak mengerti… jadi… maksudmu?" Sara bertanya, penuh harap.

Musashi memberanikan diri berdiri di depan wanita itu dan menatapnya lurus-lurus.

"Maaf baru mengatakannya sekarang. Sebetulnya, kurasa, sudah lama—" Musashi terlihat gugup. Lebih gugup daripada harus menendang bola hingga ke goalpost di detik-detik terakhir pertandingan. "—aku menyukaimu."

Sara mematung. Musashi memeluknya.

"Aishiteru yo, Fujiwara," bisik Musashi, "aishiteru."

Sara tersenyum dalam pelukan Musashi. Ia membalas pelukan itu.

"Kupikir hari ini tidak akan pernah datang," ucap Sara, "kupikir hari ini tidak akan jadi kenyataan, tapi ternyata—" ia mulai terharu, "—ternyata yang selama ini kuimpikan jadi kenyataan."

"Fujiwara, maaf," kata Musashi pelan, "aku membuatmu sedih dan bingung karena aku tidak bisa menentukan perasaanku sendiri."

"Tidak apa-apa," Sara menyahut, "tidak apa-apa—"

"Maafkan aku," potong Musashi, "ini pertama kalinya aku merasakan yang seperti ini… jadi… aku bingung. Yah, begitulah. Aku tidak jago mengungkapkan perasaan."

"Yang penting sekarang kau nggak bingung lagi," Sara berkata, "aishiteru mo, Gen-kun," ujarnya.

"Maaf juga, tadi aku sempat menghilang," kata Musashi.

"Selamat datang kembali," Sara mengendurkan pelukannya untuk melihat wajah Musashi, "kau sudah kembali, Gen-kun. Aku senang."

'Aku sudah kembali pada orang yang kusayangi , pada orang yang menyayangiku,' batin Musashi, 'aku sudah menepati janjiku, Aoihoshi.'

"Mmm, Fujiwara?"

"Berhentilah memanggilku Fujiwara," protes Sara dengan wajah blushing, "seperti bukan… pacar… saja."

"Baiklah… Sara." Musashi mengucapkannya dengan lancar. Sara tertawa lalu kembali memeluk Musashi.

"Bagaimana, kau mau 'kan kalau kita sudah menikah nanti, kita tinggal di rumah ini?" Musashi bertanya dengan senyum tipisnya, lalu mengecup dahi Sara.

Sara tidak bisa berhenti blushing. "Tentu saja aku mau! Hei! Kalimat apa itu tadi? Lamaran tidak langsung?"

"Anggap saja begitu," Musashi memeluk Sara lagi.

'Aku sudah kembali,' ujarnya dalam hati, sementara kedua lengannya seakan tidak mau melepas Sara lagi, 'aku sudah menemukan jalan menuju hatinya.'

~GrowUp!~

RRRIIINGG!

RRRIIINNGGGG!

"Mmmmh…."

Kaede Nagisa membuka mata mendengar suara berisik dari ponselnya. Alarm ponsel telah berbunyi lima belas menit yang lalu, tapi mahasiswi itu mematikannya dan tidur lagi. Hari ini masih hari libur dan Juumonji tidak mengabari apa-apa hingga pagi ini.

RRRIIINNNGGG!

Nagisa mengambil ponsel yang ia letakkan di meja belajar itu dengan wajah kusut.

"Siapa sih yang menelepon?" Nagisa mengangkat panggilan itu tanpa melihat nama yang muncul di layar. "Moshi moshi?"

"Ohayou, Nagisa."

Nagisa berhenti bernapas.

"Mm, hei, maukah kau ke sini sekarang? Aku ada di depan rumahmu."

Nagisa masih belum bisa bernapas.

"Nagisa? Halo? Kau di sana 'kan?" suara itu terdengar panik, "please, jangan marah! Err… oke, mungkin kau marah. Aku minta maaf. Akan kujelaskan semuanya sekarang, bisakah kau ke depan rumahmu?"

Nagisa menghembuskan napas dan menarik napas kuat-kuat sebelum berlari secepat yang ia bisa, keluar dari kamar, menuruni tangga ke lantai dasar, dan berlari menuju pintu depan.

CKLEK

Nagisa terpana melihat seseorang yang ia tunggu-tunggu, Juumonji Kazuki, berdiri hanya dua langkah dari pagar rumahnya. Ia tidak ingat kalau rambutnya masih acak-acakan dan piama bermotif ceri yang dipakainya terlihat kusut.

Juumonji juga terpana. Nagisa bahkan masih terlihat manis meskipun kondisinya seperti itu.

Nagisa membuka pagar dan berjalan perlahan mendekati Juumonji. Matanya yang berwarna cokelat, sama seperti rambutnya, tidak fokus pada Juumonji lagi. Ia melihat objek lain yang berada di sebelah Juumonji.

Sebuah karangan bunga yang cukup besar dengan warna-warna terang yang ceria. Kuning, merah, merah muda, ungu, membentuk gambar hati yang membingkai sebuah tulisan—sesuatu yang ingin diungkapkan Juumonji, tapi tidak pernah bisa dikatakannya secara langsung.

Sesuatu yang selama ini mencari jalan untuk dapat keluar dari dalam hatinya.

HONTOU NI GOMENASAI, NAGISA

I LOVE YOU

"Wow," desis Nagisa kagum. "Ini… bukan mimpi 'kan?"

Juumonji salah tingkah. Wajahnya memerah. Ia mengetuk-ngetukkan ujung sneakersnya ke tanah dengan tidak nyaman.

"Emm, bukan. Emm, norak ya?" Juumonji bertanya, mencoba memasang wajah jutek.

Nagisa menoleh dan menemukan ekspresi tidak karuan lineman itu.

"Haaahahahahaha!" Nagisa sontak tertawa, "nggak! Nggak, Kak! Karangan bunga ini… justru… sangat istimewa… dan—"

Nagisa berhenti tertawa. Setitik air mata mengaliri pipinya.

Juumonji terkejut. "Nagisa?"

"Kakak… ke mana saja… kemarin?" Nagisa mulai menangis.

Rasa bersalah menyerang Juumonji. Ia melangkah mendekat.

"Nagisa, maaf—"

"Aku mencoba menghubungi Kakak, tapi nggak bisa…. Aku mencari Kakak kesana-kemari…. Kakak ke mana?"

"Nagisa… maafkan aku… aku…."

Juumonji menceritakan karangan bohongnya pada Nagisa sambil terus meminta maaf. Tapi Nagisa masih menangis.

"Aku sangat khawatir," isaknya, "aku sangat khawatir… aku takut… aku benar-benar takut… sehari saja nggak kontak denganmu, aku merasa sangat kehilangan!"

Juumonji melingkarkan lengannya pada Nagisa dan memeluknya.

"Aku benar-benar minta maaf," Juumonji berkata, "gomen… hontou ni gomenasai…."

"Kenapa nggak mengabariku lebih cepat?" tanya Nagisa lirih.

"Aku terlalu letih dan langsung tidur…. Aku memang salah, maafkan aku," jawab Juumonji.

'Hana! Kau bilang aku bisa memberikannya bunga sebagai permintaan maaf! Aku sudah melakukannya! Sekarang bagaimana?' Juumonji membatin. Ia memang sempat meminta saran pada Hana sebelum mereka berpisah kemarin. Juumonji sangat berharap rencana ini berhasil.

"Kak," panggil Nagisa, "tulisan yang ada di karangan bunga itu… nggak bohong 'kan?"

Juumonji mengendurkan pelukannya. "Tentu saja aku serius! Aku sengaja mengatakannya lewat ini karena… aku akan sangat payah kalau harus mengatakannya langsung."

Nagisa mengamati sekali lagi karangan bunga itu. I love you. Cinta Nagisa tidak bertepuk sebelah tangan.

Juumonji menggerakkan tangannya, menyeka air mata yang tersisa di wajah Nagisa. "Kau sampai menangis seperti ini… maafkan aku."

Nagisa masih memandangi karangan bunga itu.

"Kata-kata itu… untukmu… Hana yang menyarankan untuk melakukan ini," kata Juumonji.

"Gomen?" Nagisa menoleh, "Hana siapa?"

Juumonji terdiam. "Haah? B-bukan. Bukan siapa-siapa."

'Aturan menghilangkan ingatan….' Juumonji membatin. Ia merasa sedikit sedih. Nagisa 'kan sudah jadi teman Hana. Sayang sekali ia harus melupakannya.

Nagisa kembali ke karangan bunga. Ada sesuatu yang sangat menyentuh di sana. Bukan hanya kata-kata maaf dan aku cinta padamu, tapi juga…

Juumonji menyentuh karangan bunga itu. "Bunga ini… kau tahu di bagian tulisan ini terbuat dari bunga apa?"

Iya. Nagisa baru saja menyadarinya.

"Itu… Primrose?"

Juumonji tersenyum kecil. Hana yang memberitahunya soal bunga itu. Tak ketinggalan, ia memberitahu juga apa arti dari bunga itu.

"Kau benar." Juumonji mengumpulkan kepercayaan diri untuk bisa tersenyum sekeren mungkin. "Itu Primrose. Kau tahu arti bunga itu?"

Wajah Nagisa sontak memerah karena malu berat.

"I-iya… itu—"

"Jadi… apa kau mau memaafkanku?" tanya Juumonji, "apa kau mau… m-menerima... err… kata-kata itu?"

Nagisa terlalu senang sampai tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Juumonji, lalu mengangguk.

Juumonji tertawa lega.

"Terima kasih!"

Saat itu ia memberi hadiah balasan untuk Nagisa. 'Hadiah kecil' dari Nagisa yang diberikan saat mereka pulang dari acara reuni. Sebuah ciuman di pipi.

Ya, Juumonji mencium Nagisa di pipi—nyaris dekat ke bibir.

Nagisa nyaris pingsan. Juumonji hanya cengar-cengir senang, sampai ia mendengar suara—

"SUIT SUIIIIIIT! BAGUS SEKALI KAZU-CHAAAAN!"

"Eh?" Nagisa menoleh ke sumber suara. Juumonji serasa terkena sambaran petir penyihir black magic.

Dari gang di dekat rumah Nagisa, muncullah Toganou dan Hiruma yang memegang camcorder. Satu ketawa setan dan satunya memasang wajah sirik abis. Kuroki cekikikan.

Dan 'sambaran petir' itu berubah jadi badai topan ketika hampir seluruh mantan anggota Deimon Devil Bats muncul dari gang itu.

"Mou, Hiruma-kun! Memata-matai orang itu tidak baik! Ini urusan pribadinya Juumonji-kun!" tegur Mamori.

"Mamo-nee, kalau tidak suka, kenapa ikut menonton?" sindir Suzuna.

"Ahaha~!" Taki berputar menyatakan setuju.

"Woooow tadi itu benar-benar romantis! Mengharukan, huuuhuhuhu!" Kurita berkomentar sambil menangis, "bagaimana menurutmu, Yuki-kun? Doburoku-sensei?"

"Ternyata anak nakal itu ada yang naksir juga," Doburoku-sensei memberi komentar.

Yuki tertawa. "Tapi aku jadi merasa sungkan kalau ikut-ikutan mengamati mereka seperti ini."

"Iya… kau benar… aku tidak akan ada di sini kalau tidak diseret Suzuna," keluh Sena.

"AKU PENGEN PUNYA PACAR, MAX," Monta berkata sambil membuat scene nangis-bombay-nggigit-saputangan.

"KEKEKE! Kau pasti punya kalau kau pindah ke kebun binatang, Anak Jelek!" sahut Hiruma sadis. Mamori memelototinya.

"K*SOOOOOOOOOO!" sembur Juumonji. Nagisa sweatdrop.

"Hei hei, jangan berkata kasar begitu dong di depan pacarmu! Iya 'kan, Nagisa -chan?" goda Kuroki. Juumonji menempelengnya dengan kekuatan sedang.

"Kalau dia membuatmu menangis lagi seperti ini, bilang pada kami. Akan kami keroyok nanti," kata Toganou. Juumonji merampas camcorder Toganou dan hampir membantingnya ke tanah kalau tidak dihalangi oleh Nagisa.

"Kak Juumonji… sudah… jangan marah-marah!" tegurnya malu-malu.

"Iyaaa Kak Juumonjiii jangan marah-marah doooong," ledek Kuroki sambil ketawa-ketiwi. Juumonji hanya bisa menggeram menahan emosi.

"Ramai sekali."

Hiruma mengenali suara itu dan langsung mengarahkan camcordernya ke sebelah kanan, arah datangnya suara.

Musashi sedang berjalan bersama Sara yang merangkul lengannya dan melihat sekeliling dengan bingung. Kelihatannya mereka baru saja pergi membeli sarapan.

"Kupikir ada apa kau menyuruhku ke sini, Hiruma," Musashi berkata dan memasang ekspresi jutek di depan camcorder yang sedang mengabadikan kemunculannya bersama Sara. "Ternyata ini."

"Kekekeke, hari ini memang hari yang menyenangkan. Aku mendapat dua bahan ancaman sekaligus!" kekeh Hiruma puas.

"Sara -chan! Selamat yaaa!" Mamori menghampiri Sara dan memeluknya.

"Arigatou, Mamo-chan!" sahut Sara senang.

"YA~! Karena hari ini ada dua orang yang jadian, mari kita minta ditraktiiiiir!" Suzuna melompat dengan semangat. Sena sweatdrop. Monta mengulang lagi adegan nangis-bombay-nggigit-saputangan.

Suasana jadi meriah. Juumonji merangkul Nagisa, mengklaim wanita itu sebagai miliknya dan menjauhkannya dari kejahilan dua sahabatnya. Musashi hanya diam saja ketika Hiruma terus merekamnya, tapi tangannya terus menggandeng tangan Sara.

Nagisa dan Sara bertemu pandang. Mereka saling melambaikan tangan dengan bahagia. Setelah begitu banyak kebimbangan dan air mata, semua berakhir bahagia seperti yang mereka impikan.

Bersama dengan senyuman mereka, saat itu kelopak-kelopak sakura beterbangan dibawa angin, menghias momen manis itu.

Sakura, sakura

Pria itu telah menyatakan cintanya

Ia telah menemukan jalan menuju hati sang wanita

Meski sempat ragu dan tersesat

Tapi sekarang ia telah kembali pulang

Sakura, sakura

Wanita itu begitu bahagia

Hingga tawanya berderai bersama air mata

Sang pria yang sempat hilang telah kembali ke hatinya

Cinta itu bersatu dan mekar bagai sakura

Sakura, sakura…..

.

.

.

"Hana?"

"Ups."

Aoihoshi Hana segera menutup window di laptopnya yang menampilkan siaran langsung dari komplek perumahan Kaede Nagisa. Semua temannya sedang berada di sana, menyaksikan Juumonji menembak Nagisa.

Meskipun Sara dan Nagisa tidak mengingatnya, ia merasa baik-baik saja. Mungkin memang lebih baik begitu. Lagipula sebetulnya memori itu tidak benar-benar hilang, hanya tersimpan di suatu tempat yang hanya akan muncul jika Hana bertemu dengan mereka lagi.

"Sedang apa?" Niwa Masato yang tadi memanggilnya, bertanya. Ia baru saja pulang dari rapat di kerajaan dan berjanji menemui Hana di kafe ini.

"Nggak, nggak ngapa-ngapain," jawab Hana bohong. "Hihihi."

"Hmmmh, wajahmu mencurigakan," ujar Masato sambil mengangkat alis. Sebelum duduk, ia sempatkan mengecup pipi Hana.

Hana cekikikan. "Ayo pesan makanan, aku lapar!"

"Oke. Aku juga lapar." Masato memanggil salah satu waiter dan meminta daftar menu.

Hana memandang keluar. Ia tersenyum kembali. Ia ingin tersenyum bahagia seperti Sara dan Nagisa. Tersenyum lega seperti Juumonji dan Musashi.

"Sakura, sakura," Hana bergumam, mengingat kelopak-kelopak terakhir yang dilihatnya pada saat bertarung. "Mereka sudah menemukan jalan keluar dari labirin cinta."

Ia melirik Masato yang sedang memesan makanan pada waiter.

Sakura…

aku juga…

sudah menemukan jalanku.

-TAMAT-

1. Closed Conversation: mantra untuk berkomunikasi dengan seseorang, dan tidak ada yang bisa mendengar percakapan tersebut kecuali yang mengucapkan mantra dan orang yang ia ajak bicara. Mantra ini hanya berlaku untuk dua orang.

2. Conversation End: mantra untuk mengakhiri mantra Closed Conversation.


-Let's Ask Characters!-

Yosh! Kita mendapat dua pertanyaan yang akan dijawab di chap terakhir ini. pertanyaan pertama datang dari hirumaakarokurosakikuchizaki

Q: Seandainya chara itu ganti pair, maunya dipairing sama siapa?

Hiruma: aku dipairing dengan Akuma Te Chou-ku saja. KKEKEKE.

Mamori: eh? Ngng, siapa ya? Emm… boleh milih aktor dari luar negeri, nggak? Brad Pitt atau Tom Cruise? *dilirik Hiruma* *jealous*

Suzuna: ya~! Aku bingung! Habisnya aku cuma suka sama Sena, sih! Kalau Kak Mamori boleh sama actor Hollywood aku juga mauuuu!

Sena: hiee? Ganti pair? Ah… *blush* mungkin… mmm… siapa ya? *dipelototin Suzuna* hi-hieee! Aku nggak mau ganti pair! Nggak mauuu!

Hana: waaaah ganti paaaaair? *binar2* banyak cowok keren di Eyeshield 21! Aku harus pilih yang mana yaaaa? Ups, jangan kasih tau Masato ya :P

Pertanyaan kedua dari Lala san Machiru!

Q: Seandainya Suzuna dipairing sama Monta, apa pendapat kalian?

Monta: Ogaaaaah! Ogah kalo sama cewek galak dan sadis itu!

Sena: HIEEEE? OAO"

Taki: ahaha~! Kasihan sekali adikkuuu, arienaaaaiii!

Kuroki: Monyet itu cocoknya dipairing sama PISANG.


HOREEEEE! *tebar confetti*

Aku berhasil menyelesaikannya, did I?

Terima kasih buat Chopiezu yang udah nyumbang ide, heheheeee.

Terima kasih untuk kalian semua yang sudah memberiku dukungan dan setia mengikuti Love Labyrinth, terima kasih terima kasih terima kasih!

Aku juga mohon maaf kalau ada salah-salah kata atau kesalahan lain ya… :D

Sampai jumpa di cerita berikutnya, semoga bisa cepet ketemu lagi! tapiii aku UTS dulu TAT

Jangan lupa tinggalkan review ;D

See you!
COMIN' AT YA: Shin x Wakana Fanfiction