"Nee... if I can rule the time, I will make the time between both of us stop. Thank you for your smile. I always fell happiness when I see those."

.

Special thanks for A.B.I., the one who inspired me with the whole story.

Disclaimer: Absolutely not mine. I, ReiyKa, just have the plot story.

Yap. I use accelerator 4.0 and office OOC 3.5 to make this story. And because I just have the plot story, I decided to use AU (Alternate Universe).

Why I use english when I have to make Indonesian story? Oke. Change. Subtitle: Bahasa.

.


"Cinta itu panas. Panasnya mampu membuat hatimu hangat atau bisa juga membakar hatimu hingga menjadi abu. Apakah rasa hangat yang kurasakan ini cinta ataukah pengaruh terik matahari di musim panas?"

.

"Kan kutuliskan kisah kita di sebuah buku berjudul Cinta"

.

.


Bab 3: Tangisan Misterius


"Sepupumu sedang ada di rumahmu sekarang? Wah, selamat saja ya!"

Hinata meringis saat mendengar tanggapan Tenten tentang ceritanya mengenai Neji. Gadis itu menatap bayangannya di cermin dengan bosan. "Kau jahat ya."

"Tidak tidak. Menurutku kau sangat beruntung. Ceritakan, apa sepupumu keren?"

Hinata memilih untuk tidak menyampaikan hal itu pada Tenten. Dia tidak mau sahabatnya yang satu itu terpesona habis-habisan pada Neji yang nantinya akan memberikan kesulitan pada Hinara. "Tidak keren sama sekali!"

"Eeeh? Kok rasanya terdengar seperti bohong ya?"

"Hah? Kenapa juga aku harus berbohong padamu?"

"Kenapa? Pasti karena kau ingin memonopoli sepupumu itu sendirian. Ayolah, Hinata, masa kau nggak sadar sih?"

"Hah? Tenten, dia itu sepupuku! Jangan bercanda!"

"Memangnya sama sepupu nggak boleh pacaran ya?"

"Tentu saja..." Hinata terdiam dan melanjutkan kalimatnya hanya dengan gerakan bibirnya saja. Tidak.

"Berani taruhan kalau kau pasti sedang memikirkan sesuatu yang aneh-aneh tentang sepupumu yang keren! Kya!"

"Tenten!" Hinata berdiri dengan gusar dan melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. "Lagipula, aku sudah menyukai seseorang."

"Eh? Siapa siapa? Kau tidak pernah cerita padaku? Siapa? Siapa pangeran tampan yang sangat beruntung itu?"

Pacarmu tahu!—pikir Hinata dengan hati miris.

"Yah, ada seseorang lah pastinya!"

"Bohong! Kau pasti bohong! Ayo! Beritahukan padaku siapa orang itu? Supaya Gaara-kun dan aku bisa membantumu supaya kalian bisa dekat!"

Hati Hinata benar-benar mencelos saat mendengar nama orang yang disukainya barusan.

"Tidak. Aku tidak mau mengatakannya."

"Eeh? Kok begitu sih? Aku tahu sih kalau kau itu tidak banyak bicara, sama seperti Gaara... tapi tapi kalau begini terus, nanti pangeran itu sudah direbut duluan oleh orang lain!"

Rasanya bilang pun percuma mengingat orang itu bahkan sudah jadi kekasih seseorang di luar sana. Seseorang yang merupakan sahabat baiknya.

Hinata menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak ah. Lagipula aku sama sekali tidak punya harapan. Orang itu sudah menyukai orang lain."

"Jangan menyerah, Hinata! Kau pasti bisa merebut orang itu! Aku akan mendukungmu!"

Hinata terkikik geli saat membayangkan ekspresi Tenten jika sahabatnya itu tahu kalau sampai tahu bahwa orang yang disukai oleh Hinata adalah pacarnya sendiri. "Tidak tidak. Aku baik-baik saja."

"Hemm... begitukah? Pokoknya kau harus cerita padaku apapun yang terjadi! Oke?"

"Umm..." Hinata menganggukkan kepalanya. Dia akan cerita pada Tenten ketika dia sudah menemukan orang baru pengganti Gaara. Itu pasti.

"Ngomong-ngomong, besok apa yang akan kau lakukan?"

"Membantu di rumah paling dan juga..."

"Dan juga?" Nada suara Tenten terdengar nakal.

Hinata terpaksa menghela napas panjang. "Mengajak sepupuku berjalan-jalan."

"Aww~"

"Tenten!"

"Kalau ada unsur romantisnya, kau harus memberitahuku!"

Hinata menguap lebar. "Oh ya? Berani taruhan tidak akan terjadi apapun."

"Nee... tapi kau bisa berbicara lancar dengan sepupumu kan? Maksudnya kau tidak canggung seperti biasanya kan, Hinata?"

Canggung? Hinata lebih suka menyebutnya ganjil. Terutama seperti tadi malam ketika Neji tiba-tiba menjemputnya di taman dan mengatakan hal-hal aneh. Hinata tidak tahu seperti apakah hari esok ketika dia hanya bedua saja dengan Hinata. Untuk hal-hal seperti ini, Hinata benar-benar berharap Hanabi bisa menemaninya.

"Hinata?"

"Ah... ya... tidak... maksudku... aku bisa bicara lancar dengannya." Terkadang.

"Hmm, baguslah kalau begitu. Kuharap dengan begitu, kau bisa bicara dengan orang yang baru kau temui dengan terbuka. Maksudku, kau manis Hinata. Hanya saja, kau teralu diam kepada orang yang baru pertama kali kau temui."

Hinata menghela napas panjang. "Aku tahu, Tenten. Terima kasih banyak karena kau sudah mengingatkanku akan hal itu!"

"Hei, aku bermaksud baik!" Tenten memprotes.

Gadis berambut biru gelap itu tersenyum. "Yap. Terima kasih karena kau sudah mau menerima teleponku jam dua pagi dan membuat kita mengobrol habis-habisan selama dua jam lebih."

"Terima kasih karena kau bisa membuatku kacau di latihan basket besok!" balas Tenten sambil terkikik geli. "Oke... kau pasti baik-baik saja kan? Jangan lupa cerita padaku tentang berbagai hal yang terjadi besok! Oke? Kau dengar aku, Hinata?"

"Yaa... Tenten." Setelah itu, Hinata menjauhkan ponselnya dari telinganya. Dia berjalan ke cermin untuk melihat seberapa merahkah telinganya. Dua sahabat itu memang memiliki kebiasaan seperti itu. Mengobrol sepanjang pagi dan akhirnya justru tertidur di kelas.

Hinata jauh merasa lebih nyaman ketika dia harus mengobrol dengan seseorang tanpa perlu berhadapan dengannya. Lebih terasa menyenangkan tanpa perlu memasang ekspresi yang pas.

Itulah salah satu kekurangannya. Sikap pemalunya teralu berlebihan. Tenten benar sekali soal Hinata yang teralu pemalu bahkan hanya menganggukkan kepalanya saat bertemu dengan orang baru. Dan karena sikapnya itulah, Hinata terpaksa harus menyesal ketika orang yang disukainya tiba-tiba saja pacaran dengan sahabat baiknya.

Hinata tidak menyalahkan Tenten mengenai masalah itu. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Dia menyesal kenapa dia tidak pernah bisa mengatakan semuanya pada Gaara lebih dulu dibandingkan Tenten.

Yang jelas, sekarang, dia tidak berniat memberitahu pemuda tampan yang jauh lebih muda setahun darinya itu. Tidak ada gunanya dan dia tidak berminat mengacaukan hubungan romantis sahabatnya. Lagipula, ini kali pertama Tenten yang selalu fokus pada olahraga basket itu untuk pacaran. Dan pasangannya tentu saja termasuk dalam katagori idola karena sikapnya yang tenang dan wajahnya yang imut.

Hinata lagi-lagi menghela napas panjang. Tidak ada yang perlu dikatakannya dan tidak ada yang perlu dikomentarinya. Gaara adalah pacar Tenten dan orang yang dulu pernah disukainya.

Daripada memikirkan hal menyulitkan seperti itu, akhirnya Hinata memutuskan untuk melompat ke atas ranjangnya yang lembut, meletakkan kepalanya di bantal tidurnya, serta menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Dia siap tidur dan menerima mimpi indahnya.

"\O_o/"

Nyatanya mimpinya malam itu sama sekali tidak indah. Hinata harus terbangun sekitar sepuluh menit dari saat di terlelap. Saat bangun, dia bahkan tidak bisa mengingat mimpinya dan akhirnya malah bangun dengan perasaan kesal yang entah pada apa akan dilampiaskannya.

Gadis itu duduk di atas ranjangnya dan melirik jam bekernya. Jam 04:34.

Bagus sekali. Dia merasa lelah, tapi dia teralu takut untuk tidur lagi.

Akhirnya, Hinata berdiri dan berjalan keluar menuju dapurnya di lantai bawah. Mungkin segelas susu dingin mampu mengembalikkan rasa kantuknya dan membuat dia terlelap ke alam mimpi lagi.

Setelah menuangkan segelas susu cair ke dalam gelas favoritnya, Hinata berjalan kembali menuju kamarnya dan langkahnya terehenti di salah satu kamar. Kamar tamu di rumahnya. Kamar dimana terdapat seorang pemuda tampan yang sedang tertidur pulas.

Mendadak ucapan Tenten di ponsel tadi merasuk ke otaknya: "Memangnya sama sepupu nggak boleh pacaran ya?".

Oh ayolah, Hinata! Kenapa kau bisa mengingat sesuatu hal yang aneh seperti itu sih?—Hinata rasanya ingin mengutuk dirinya sendiri. Lagipula pintunya pasti terkunci dan—Eh! Apa itu artinya kalau pintunya tidak terkunci aku boleh masuk dan—

Hinata merasa pikirannya akan bertambah aneh kalau sampai dia terus-terusan berdiri di depan pintu itu. Dia harus pergi dari sana secepat yang dia bisa.

Namun, baru satu langkah dari tempat itu, tubuh Hinata langsung terdiam. Dia tidak sanggup melanjutkan langkahnya ketika dia mendengar isakan tangis.

Seingatnya, rumahnya tidak memiliki semacam roh penasaran yang tidak bisa pergi ke alam sana. Akan tetapi, isakan tadi... berasal darimana?

Dari kamar tamu tempat sepupunya sedang tertidur pulas.

Neji menangis?

"\O_o/"

Hyuuga Hiashi mengamati wajah putri sulungnya yang tampak terlihat sangat lelah itu. Apa yang dilakukan seorang Hyuuga Hinata hingga membuatnya seperti orang kehabisan energi setelah lari marathon berkilo-kilo jauhnya?

"Hinata, kau tidak tidur semalaman?" tanya Hiashi pelan dengan suaranya yang berat.

Hinata yang awalnya sedang sibuk menggerakkan garpu dan pisaunya di atas roti panggangnya akhirnya menegakkan wajahnya. "Tidak, Ayah."

"Kau memang sedang liburan, tapi kalau kau sampai tidak tidur, bisa berbahaya kan?"

"Ya, Ayah. Aku tahu dan aku minta maaf." Hinata kembali melanjutkan sarapanya tanpa perlu menunggu komentar Ayahnya. Lagipula, dia merasa malas kalau harus mendengarkan nasihat-nasihat ayahnya yang selalu serius dalam memandang setiap persoalan.

"Ngomong-ngomong, Neji belum bangun?"

Hinata baru saja sadar bahwa sepupu tampannya tidak ada di ruangan itu. Mendadak hatinya dilimuti perasaan cemas yang begitu besar. Dia segera meletakkan garpu serta pisaunya dan berniat berdiri sebelum akhirnya gerakannya terhenti oleh ucapan ayahnya.

"Kau mau kemana?"

"Umm... membangunkan Neji, mungkin."

Ayahnya menatap kedua mata abu-abu putrinya. Dia tersenyum. "Kalian ternyata sudah dekat seperti dulu lagi ya..."

"Eh?" Alis Hinata terangkat. "Maksudnya?"

"Dulu kalian selalu begitu... saling membangunkan dengan bisikan lembut... aku dan Hizashi bahkan sempat menduga kalau kalian pacaran. Itu tidak benar kan?"

Jantung Hinata mencelos. Kenapa belakangan ini topik mengenai 'pacaran dengan sepupumu sendiri' sedang hangat? Tadi malam Tenten baru saja mengatakan itu dan sekarang Ayahnya! Oh tuhan, tolonglah, dia dan Neji tidak memiliki hubungan seperti itu.

Walaupun saat kecil, mereka pernah membuat janji polos tentang pernikahan... tapi yang benar saja! Hinata saat itu hanya berusia lima tahun dengan Neji yang berusia tujuh tahun! Apa yang kau harapkan dari janji anak kecil yang bahkan tidak tahu nama makanan favoritnya?

"Tidak, Ayah. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi kan?"

Hiashi tertawa. Sebuah tawa yang sangat jarang terdengar di rumah keluarga Hyuuga yang selalu terlihat serius. Lagi-lagi, Hiashi harus mengakui kepolosan dan kemurnian Hinata.

"Ya. Tentu saja. Hal itu tidak akan terjadi kan? Tidak akan pernah terjadi kan? Ah ya, kau bisa membangunkan Neji sekarang."

Hinata masih tidak mengerti maksud ucapan ayahnya barusan, tapi dia sama sekali tidak berniat bertanya lebih jauh lagi. Akhirnya, dia berdiri dan berjalan menuju lantai atas.

Betapa terkejutnya Hinata saat dia melihat ternyata Neji sudah turun ke bawah dan berdiri di depan ruang keluarga sambil menatap kalender dengan sorot mata yang tidak bisa ditebak Hinata. Sepupunya sudah terlihat sangat rapi dengan rambut kecoklatan panjangnya yang dikuncir satu di bagian bawahnya. Bahkan Hinata berani bertaruh bahwa Neji sudah mandi dan gadis itu mendadak merasa malu karena dia sendiri belum mandi.

"Neji?" panggil Hinata. Pemuda itu sekarang menatapnya datar. "Kau sudah bangun ternyata... umm... selamat pagi."

Neji masih menatap Hinata dengan sorot mata aneh itu. Lalu, beberapa saat kemudian, otot pipinya mengendur dan dia mulai tersenyum tipis seperti biasanya. "Selamat pagi, Hinata."

"Sarapan sudah siap... kukira kau belum.. bangun..."

Neji masih tersenyum tipis. "Aku sudah bangun dari tadi. Maaf membuatmu khawatir."

"Eeh? Aah... tidak..." Wajah Hinata memerah. "Kita... sarapan saja... sekarang."

"Baiklah." Neji mengangguk dan berjalan melewati Hinata menuju ruang makan.

Hinata merasa sikap Neji kepadanya terlihat sedikit berbeda. Ada sesuatu yang berubah yang tidak bisa Hinata deskripsikan seperti apa bentuknya. Mencoba mengusir pikiran aneh itu, Hinata menggelengkan kepalanya dan berjalan kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapannya.

"Jadi, apa rencanamu hari ini, Neji?"

Ayah Hinata menatap kedua mata abu-abu Neji sambil tersenyum. Neji menganggukkan kepalanya. "Mungkin jalan-jalan, Paman."

"Hinata akan menemanimu hari ini. Kau tinggal bilang kau mau kemana saja. Oke?"

Gadis berambut hitam panjang yang duduk tepat di sebelah Neji merasa wajahnya memanas. Ini semua gara-gara ucapan Tenten semalam! Hinata harus mulai mengutuk sifat Tenten yang selalu mengatakan apa saja yang diinginkannya itu!

"Tidak, Paman. Aku bisa jalan-jalan sendiri. Lagipula, aku masih ingat daerah ini kok. Aku tidak ingin menyusahkan Hinata."

"Eh? Hinata, apa kau merasa kesusahan?"

Hinata menegakkan kepalanya dan melirik Neji sekilas. "Tidak, Ayah."

"Nah, Neji, kau tinggal mengatakan apa keinginanmu dan Hinata akan menemanimu."

Akhirnya, Neji menganggukkan kepalanya dan refleks langsung membuat jantung Hinata berdebar dengan keras.

Ini bukan acara kencan, Hinata!—tegur Hinata pada dirinya sendiri. Mata abu-abunya berputar ke arah Neji. Ini bukan kencan dan berhentilah memikirkan betapa kerennya sepupumu!

"\O_o/"

Hinata menatap bayangan dirinya di cermin. Seorang gadis dengan warna mata abu-abu yang membosankan dengan rambut hitam panjang sampai ke pinggang dan mengenakan kaus panjang dan celana jeans selutut sedang balas menatap Hinata dari balik cermin.

Kemudian, dia memutar bola matanya ke arah tempat tidur dimana disana banyak bertaburan pakaian yang baru saja dia coba tadi. Dia mencobanya-menatap bayangannya di cermin-merasa tidak puas-dan melemparkannya kesana.

Apa yang sedang coba kupikirkan?—gerutu Hinata. Ini bukan acara kencan, tapi kenapa jantungku terus berdebar dan kenapa aku ingin terlihat cantik hari ini?

"Oh tuhan, apa yang akan kulakukan?"

Tiba-tiba Hinata mendengar pintunya diketuk oleh seseorang. Dengan panik, Hinata segera meraih semua bajunya dan melemparkannya ke lemari. Setelah itu, dia langsung membuka pintu kamarnya.

Sepupunya sedang berdiri di depan pintu kamarnya dengan pakaian yang sama seperti yang Hinata lihat saat sarapan tadi. "Kau sudah siap?"

Hinata mengangguk dengan gugup. "Kau sendiri sudah siap?"

"Dari tadi," jawab Neji pelan. "Cewek butuh waktu lumayan lama ya buat berdandan."

Berdandan? Aku tadi habis berdandan?—eeeh?

"Aah... tidak!" Hinata menggerakkan tangan di depan dadanya. "Aku tidak dandan kok. Aku..."

Neji tersenyum. "Kalau begitu, aku salah paham." Dia berbalik dan turun duluan ke bawah.

Hinata merasa jantungnya berdegup dengan kencang. Apa dia teralu menghabiskan waktu teralu lama dalam memilih baju? Tolong segera salahkan otak Hinata yang menyuruhnya melakukan hal seperti itu!

Saat keluar dari rumahnya, Hinata melihat Neji sedang membungkuk sambil memperhatikan tanaman di pekarangan rumahnya. Wajahnya tampak serius saat menyentuh bunga dandofil dan entah kenapa, Hinata menganggumi ekspresi Neji saat itu.

"Neji," panggil Hinata.

Sepupunya membalikkan badan dan menatap wajah Hinata.

"Kau mau kemana hari ini?"

Neji diam sebentar dan malah terus-terusan menatap Hinata. Lalu, setelah sekitar semenit, dia tersenyum. "Kau ingin kemana?"

"Kenapa malah bertanya padaku? Kau yang ingin jalan-jalan kan?"

Neji tertawa ringan. "Kita jalan-jalan saja dulu. Setelah aku tahu nanti, aku akan memberitahumu."

Hinata merasa pendapat Neji agak aneh, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti keinginan pemuda itu. Gadis itu memberikan helm milik Hanabi pada Neji dan dia sendiri sudah memakai helm Doraemon miliknya.

"Aku boleh pakai helmmu saja tidak?"

"Eh? Kenapa memangnya?"

Neji tersenyum. "Tidak boleh ya?"

Hinata tidak tahu dia harus mengatakan apa. Padahal, saat Hinata menjemput Neji saat itu, Neji mau saja memakai helm Hanabi. Kenapa sekarang dia malah ingin mengenakannya?

"Tentu saja boleh. Kenapa tidak." Hinata melepaskan helmnya dan memberikannya pada Neji.

Selama beberapa detik, Neji hanya memandangi helm itu tanpa mengedipkan matanya. Sedikit membuat Hinata bingung dan heran.

"Neji, kau baik-baik saja?"

Neji menatap wajah Hinata dan dia tersenyum tipis. Setelah itu dia mengenakan helmnya tanpa menjelaskan maksud dari tingkah lakunya barusan.

Hinata memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Dia segera naik ke skuter miliknya, menyalakan mesinnya, dan menoleh ke arah Neji sekarang. "Pokoknya, bilang padaku kalau ada tempat yang ingin kau kunjungi!"

Sepupunya mengangguk perlahan dan ketika pemuda tampan itu duduk tepat di belakang Hinata, lagi-lagi Hinata bisa merasakn jantungnya terancam bahaya.

Parfum Neji serta napasnya tercium dan terasa oleh semua indera perasaan Hinata, membuat tubuhnya menengang. Rasa panik segera menguasai Hinata. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang.

"Hinata, kau baik-baik saja?" bisik Neji dengan suara rendahnya.

Oh tuhan, kenapa suaranya bisa terdengar begitu indah? "Tidak apa-apa." Hinata langsung menggelengkan kepalanya dengan panik. Wajahnya terasa memanas di balik kaca helm yang menutupinya. Ini pengaruh matahari. Wajahku panas karena ini musim panas dan matahari bersinar dengan terik. Bukan karena sepupuku yang menyilaukan dengan berbagai macam pesona yang dimilikinya!

Oh tuhan, tolong usir pikiran aneh ini dari pikiranku segera!

.

.


.

"Kan kutuliskan kisah kita yang selanjutnya di bab empat sebuah buku berjudul Cinta"

.


a.n. yah, sedikit bingung dan tidak memiliki motivasi untuk melanjutkan cerita ini, tapi merasa sayang juga karena plot cerita sudah dibentuk sampai akhirnya. saya nggak tahu apakah ini akan berubah menjadi cerita bodoh yang gampang ditebak dan membosankan, tapi semoga aja nggak kayak gitu. :)

terakhir: berkenan memberikan pendapatnya?