Previous Chap :
Kunci mobil yang Gaara pegang terjatuh ke lantai. Semua orang berbalik dan menyaksikan Sabaku Gaara yang mendekati ruang tamu dengan langkah terseret. Tubuhnya kaku, detak jantungnya berpacu cepat. Ia terpaku kaget. Ia terlalu shock mendengar itu semua.
"A-Apa?" Gaara berdesis susah payah. Tangannya yang bergetar memegangi pelipisnya yang berdenyut. "Apa kau bilang?"
"Ga-Gaara-sama!?" Shizune dan Ino berdiri serentak.
"D-Dia adalah..." Gaara nyaris tak bisa bernafas. "Naru?"
Ilusi anak kecil yang ada di sofa itu tertawa kecil. Ia mengangkat wajah, dan terlihatlah wajah dari gadis cantik bermata sapphire, dengan tiga garis di masing-masing pipinya. Ia tersenyum lebar.
Naru. Kali ini jelas. Itu wajah Naru.
Gadis yang dicintainya sejak dulu... adalah istrinya yang pernah tiap hari ia siksa dengan penuh kebencian.
.
.
Normal POV
Bongkahan jantung yang terpompa cepat, keringat dingin, dan juga kepanikan yang terpatri jelas di raut wajahnya. Dia, Sabaku Gaara, tak bisa berkata-kata. Pria bersurai merah marun itu benar-benar diambang batas keterkejutannya. Segala kenangan masa lalu mulai bermunculan, semua bersirobrok lagi dengan kenyataan pahit mengenai fakta-fakta di masa lalunya.
Ya. Itu benar, Gaara. Dia, gadis kecil yang dulu kau cintai... adalah Naru. Sabaku Naru. Ia yang selama ini kau siksa tanpa henti.
Gaara terduduk lemas di lantai. Tangannya mencengkram badan sofa. Dirinya benar-benar hancur. Selama otaknya terus memikirkan kerasionalan dari segala cerita Ino, dia menutup mata. Keterkejutan ini bagai petir di musim semi. Terlalu membuatnya shock sampai lututnya bergetar. Paru-parunya tersumbat. Dia susah bernafas.
Gaara berbisik. "Jadi... itu adalah kenyataan yang sesungguhnya?"
Ino menelan ludah, menatapnya dengan nanar. "Ya. Maaf terlambat memberitahumu. Aku juga baru dapat informasinya tadi."
Gaara menelan ludah. Isi kepalanya yang kelam berganti seiring waktu. Bermula dari bayangan hitam polos yang lama-kelamaan mulai berwarna, melukis sosok 'Naru' waktu itu. Sosok 'Naru' dalam wujud remaja saat pertama kali bertemu dengannya. Hari di mana ia masih belum menyadari atau bahkan terpikir bahwa dia adalah anak kecil yang setia berada di pelukan hatinya hingga detik ini. Kala itu Gaara masih ingat jelas, dia terlihat cantik dengan dua kunciran di surai pirangnya. Memakai baju SMA ketat dengan rok pendek di atas lutut. Tampilan yang pas untuk bocah 16 tahun seusianya.
Tapi sayang, bukannya merajut cerita baru dengan hal-hal baik, Gaara malah dihanyutkan oleh rencana busuknya untuk menghancurkan Sasuke Uchiha. Hal yang membuatnya menarik Naru ke sebuah lubang hitam, di mana dia membunuh Sasuke di depan matanya, memperkosanya tanpa ampun, dan merengut masa depannya dengan sebuah pernikahan tanpa ada asas cinta. Dia menggaulinya tanpa iba, tanpa perasaan. Membuang janin pertama di kandungannya, menyelingkuhinya, dan bahkan seringkali memukulnya sampai dia hilang kesadaran.
Jika dipikir ulang... apakah itu perilaku yang pantas untuk orang yang kau cintai selama ini, Gaara?
Kutanya sekali lagi—apakah pantas?
Tidak, Gaara.
Kau jahanam.
Kau bangsat.
Kau adalah orang yang bahkan tak pantas menyentuh Naru lagi barang sedetik pun.
"Naru... di mana dia?" Bisik Gaara tiba-tiba. Pria itu dengan terengah berdiri. Suaranya bergetar. Kaki dan tangannya sama. "Aku harus mencarinya..."
Tak perlu jawaban, pria itu berlari menuju kamar Naru. Memanggil-manggil namanya. Berteriak. Segala sisi rumah ia cari. Tapi hasilnya nihil, tidak ada. Shizune menahan tangis melihat Gaara yang sedemikian frustasi. Setengah tidak tega, ia berkata bahwa Naru sudah pergi; kabur. Pada akhirnya ia berbalik dan berlari keluar rumah.
"Gaara-sama, ini sudah malam! Lebih baik mencarinya nanti—!"
Ino menghentikan Shizune yang berniat mengejar tuannya. Shizune langsung menoleh tak terima, namun Ino tetap bersikeras.
"Sudahlah. Ini urusan mereka. Biar Gaara menyelesaikannya."
Shizune tak lagi meronta. "Ta-Tapi..."
Ino menghela nafas. "Setidaknya biarkan Naru tau, entah di mana pun dia berada, bahwa Gaara benar-benar menyesali perbuatannya."
.
.
.
MISTAKES
Sanpacchi's Fanfiction 2011
Naruto is Masashi Kishimoto's | GaaFemNaru & SasuFemNaru | Fanfiction-net
Genre : Angst, Drama, Tragedy, Romance. | Warning : AU, OOC, Typos, Gender Bender, Mature Themes, etc.| Jika ada kesamaan ide harap dimaklumi.
[Di sini Gaara ngga punya lingkar mata dan Naru kulitnya jadi putih—bukan tan]
-Naru (17 th) Gaara (22 th)-
MATURE CONTENT—YOU HAVE BEEN WARNED!
.
.
Mistakes no XIX. Malam Tragedi
.
.
Keesokan sorenya, dengan tangan yang memegangi bagian bawah perut yang telah membesar, Naru keluar dari sebuah kamar di rusun yang baru saja ia sewa untuk seminggu ke depan. Gadis itu menuruni tangga demi tangga dengan hati-hati. Sesudah menyentuh lantai terbawah dengan susah payah, ia hela nafas lega. Meski kalau mau ke kamarnya saat pulang nanti dia harus mati-matian lagi menaiki tangga, paling tidak untuk sekarang dia bisa belanja makanan di minimarket. Perutnya sudah keroncongan dari tadi minta diisi.
Dengan latar belakang sunset yang cukup indah di tengah kota, Naru menepuk-nepuk pelan perutnya. "Maaf ya, Mama lagi-lagi terlambat makan. Mungkin ramen instan tak akan mengenyangkanmu, tapi setidaknya kamu tidak kelaparan lagi." Gadis berpenampilan sederhana itu tersenyum. Syukurlah sebelum pergi dia sempat mengambil beberapa lembar uang di laci Gaara—silahkan anggap dia mencuri uang suaminya, tak apa, memang itu yang dia lakukan. Tapi dengan itulah dia bisa terbebas dari kediaman Sabaku.
Hanya saja karena uang ini terbatas, dia tidak bisa berdiam diri. Mungkin suatu saat nanti ia akan ke rumah Matsuri—teman dekatnya saat dia masih part-time di kafe. Barangkali Matsuri mau membantunya berkerja sebagai maid seperti dulu. Jadi janitor yang kerjaannya bersih-bersih juga tidak apa. Asal ada uang per jamnya.
TIIIN!
Sebuah suara nyaring memecahkan lamunan Naru. Ia kira suara klaksonan mobil yang panjang itu ditunjukkan untuk dirinya, namun nyatanya tidak. Ada sebuah pertigaan di ujung jalan raya sana yang kelihatan rusuh. Kemungkinan besar ada pengemudi nakal yang tidak mau menaati rambu lalulintas. Lihat saja mobil hitam yang memaksakan diri menyerobot padahal lampu merah masih bersinar di jalurnya
Naru memandang mobil itu—mobil yang barusan melarikan diri dari umpatan pengemudi mobil lainnya. Dia lihat jenis mobil tersebut, warna dan juga plat nomornya yang khas. Mata biru safirnya terbelalak singkat. Belahan bibirnya terbuka.
Dia... tau siapa pemilik mobil tersebut.
"Bukannya itu mobil Gaara?" Bisiknya ke diri sendiri. Lalu ia menelan ludah seraya memalingkan wajah. Ia coba untuk tidak peduli. "Ah, untuk apa memikirkannya? Dia bukan lagi urusanku..."
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Gaara yang hingga detik ini menyetir terus saja menekan pedal gas dengan terburu-buru. Kalau tak ada kendaraan lain yang menghalangi, mungkin ia akan menekan penuh sampai mencapai kecepatan tercepat. Matanya yang berwarna jade pudar terus bergulir ke kanan dan kiri di trotoar, mencari seseorang. Dia tak peduli dengan orang-orang yang marah, menglaksoninya dengan bunyi nyaring panjang karena dirinya yang dari tadi terkesan sembarang dalam urusan setir-menyetir.
Tapi Gaara tak peduli. Detik ini fokus utamanya hanya satu. Mencari seorang Naru, gadis yang seharusnya ia peluk dan rengkuh dalam segala sukma cita yang telah ia ciptakan sejak lama. Rasa rindu yang membuncah. Rasa cinta yang begitu besar. Namun hal itu tak akan terkabul apabila Naru tidak ia temukan. Tuhan telah memisahkan mereka oleh takdir yang berliku. Rasa penyesalan ini terus mendesaknya.
Ia harus meminta maaf. Kalau perlu sampai bersujud di depan kakinya.
"NARU!" Teriaknya kesal sambil meninju stir. "KAU DI MANA!?"
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Seminggu terlewat, waktu telah mempertemukan Naru ke Matsuri. Gadis bersurai coklat yang dulu bertubuh mungil itu kini sudah besar. Setidaknya penampilannya jauh lebih rapi daripada dirinya yang berantakan—dalam dua hal; penampilan dan kehidupan. Matsuri Sakata. Dia kuliah, berpendidikan, dan punya cita-cita yang akan dia raih dalam waktu dekat. Sedangkan Naru malah hamil besar tanpa ada pendamping yang bisa menyertainya. Walau malu membebani kedua pundak, Naru akhirnya mencurahkan pengalamannya selama dia menghilang dalam kurun waktu dua tahun ini. Hanya saja cerita kelam itu dia kembangan dan dikurangi di sana-sini. Penjelasannya seputar: dia yang terpaksa nikah muda karena masalah ekonomi, namun dia kabur dari rumah karena memergoki suaminya selingkuh. Meski kisah aslinya tak sebegitu sederhana, setidaknya ada uneg-uneg yang dikeluarkan juga. Tak dia jelaskan peristiwa Sasuke, pemerkosaan Gaara, siksaan, dan juga kekejaman Itachi padanya. Naru sendiri tak sanggup menceritakan hal itu.
Matsuri berniat membantu Naru, hanya saja Naru menolak saat dia ditawari tempat tinggal di kosannya ataupun selembar yen. Sekalipun sedang kesulitan Naru masih tau diri. Dia tidak ingin merepotkan Matsuri. Apa yang dia inginkan cuma bantuan agar bisa mendapatkan kerja. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh ibu hamil agar dapat mengisi kantung dompetnya yang telah menipis. Alhasil, dengan segala kebaikan Matsuri, Naru menemukan tempat yang cocok untuk bekerja. Ya, daycare—rumah penampungan anak kecil yang ditinggal ayah-ibunya kerja. Babysitter untuk sebutan mudahnya. Kalau boleh terus terang sebenarnya Naru tak punya pengalaman apa-apa dalam mengurus anak, tapi ya mau bagaimana lagi? Cuma daycare ini yang mau menampungnya. Lagi pula kalau dia mengambil shift pagi, sorenya kan dia bisa mengisi waktu dengan menjadi buruh cuci dan setrika panggilan ke rumah-rumah di dekat rusun kecil tempatnya tinggal.
Lelah mendera, keringat membanjiri tubuh, kaki bengkak saat berjalan di atas trotoar, Naru terus bekerja agar bisa membiayai persalinan anaknya. Tak peduli jika dia harus puasa makan nasi. Tak peduli jika dia kelelahan. Pokoknya harus—'dia', bayi di perutnya ini, harus lahir dengan selamat. Apapun yang terjadi. Karena itulah selama Naru berjuang di sini, nama Sabaku Gaara sudah tak pernah lagi menghampiri otaknya. Tiap malam dan pagi ia hanya berdoa supaya Tuhan memberkatinya yang sebentar lagi akan menjadi single parent. Karena memang hanya dia lah yang tersisa. Cuma dia dan anak yang ada di kandungannya ini.
Sampai suatu ketika, hari itu malam menjelang, bintang dan bulan yang biasa menghiasi langit malam kota Tokyo kini tak terlihat. Naru dengan perut yang sudah sangat besar itu berjalan mengarungi trotoar sepi. Dengan hati-hati ia perhatikan tiap langkah yang akan diambil, menelusuri susunan bata jalanan yang membawanya ke kluster di mana rumah keluarga Tachibana berada. Tugas saat ini cuma mengucapkan salam ke tuan rumah, mencuci pakaian, bersih-bersih piring, lalu menemani dua balita bandel keluarga tersebut sampai tertidur.
Tapi ketika ia akan menyeberangi sebuah jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil bermuatan besar yang menghalangi. Sejenis minivan yang sekiranya cukup untuk tujuh orang itu berhenti di depannya. Tanpa lampu send, klakson atau yang lain.
Naru menelan ludah. Karena sepintas ada sebuah firasat tidak enak yang menyuruhnya agar cepat-cepat pergi, lantas dengan memegangi perut, Naru berjalan maju. Dia tinggalkan mobil itu dan mencoba untuk tidak mengamatinya lebih lanjut. Toh, siapa tau mobil itu lagi kebetulan parkir di dekatnya. Namun baru lima meter dia bergerak, ada siulan yang mengalun.
"Hei, wanita hamil. Coba sini noleh sebentar ke belakang..."
Naru terdiam. Apa dia bilang? Wanita hamil? Apa kalimat itu ditujukan untuknya? Menelan ludah, dengan keraguan yang menghantui dia masih berusaha mengabaikan suara tadi. Namun kali ini ada bunyi lain yang mengganggu. Tiba-tiba klakson ditekan nyaring tanpa henti sampai membuat kedua bahu Naru naik seketika—dia kaget. Dia mencoba memiringkan wajah, mengintip siapa yang ada di mobil tersebut lewat ekor mata. Lalu dia terbelalak.
Ternyata di mobil sana ada dua jendela di sisi kanan yang sengaja diturunkan. Satu, di bangku kemudi, sudah ada Itachi Uchiha yang memegang setir. Dia memasang wajah datar sambil menatapnya. Ada pula dua kenalan atau teman Itachi yang tidak Naru kenali. Dia berada di jok depan—sebelah Itachi—dan satunya lagi yang berambut agak panjang di belakang. Melalui jendela tengah yang terbuka dia menyeringai senang pada Naru. Pandangannya bergulir dari atas ke bawah dengan pandangan lapar. Mungkin sosok si pirang dengan poni miring yang menutupi mata kirinya itu adalah orang yang sempat bersiul kepadanya.
Ada apa ini? Mereka mengerikan.
"Ikut kami, yuk. Mau, tidak? Bos kami mau bicara."
Bos? Itachi?
Naru menggeleng cepat dan meluruskan pandangan ke depan. Dia anggap ajakan tadi sebagai angin lalu dan semakin mempercepat langkah—walau berat di perut ini menghalanginya untuk berlari. Jujur saja Naru takut. Ada Itachi, batinnya. Mana mungkin pertemuan ini adalah hal baik. Dia sudah hafal bahwa pria itu selalu membawa malapetaka. Dan berhubung Naru sudah tau sejarah pertemuan dia dan Sasuke, serta masalah intrinsik Sabaku dan Uchiha, dia pikir rasanya cukup di sini urusannya dengan Itachi. Dia harus menghindar.
Dataran dia pijak, Naru lanjut berjalan.
"Eh, kenapa dia kabur sih? Bikin repot saja."
Setelah keluhan si blondie itu terdengar, ada bunyi pintu mobil yang terbuka. Seseorang turun dan mengekorinya. Naru semakin cemas. Inginnya berlari tapi tak sanggup. Untuk berdiri saja kakinya sudah kesulitan menopang tubuh sang bayi yang dia tampung ini, bagaimana kalau berlari? Bisa-bisa nanti dia terjembab ke depan. Karenanya Naru cuma bisa memekik saat ada seseorang yang menarik sikunya.
"Lepaskan!"
Pria itu, orang yang sebut saja bernama Deidara, langsung tertawa sinis sambil memeluk Naru, menjaga agar gadis itu tidak lepas dari pegangannya. "Galak sekali. Remaja memang banyak kurang ajar ya sekarang?"
Nafas Naru memburu. Dia tidak senang keadaan ini. Ditambah lagi kedatangan pria bersurai hitam jabrik yang dengan senyum mencurigakannya membantu Deidara menghentikan rontaannya. Dia adalah Tobi. Lewat bantuan kain yang dibekapkan ke mulut serta tubuh Naru yang masih ringan bagi mereka berdua, dengan mudah gadis berhelai emas itu dia culik ke dalam mobil. Tas besar Naru jatuh, sepatu flat-nya lepas terlempar, dan setelah pintu mobil tertutup, Itachi menekan pedal gas dan pergi.
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
"Apa-apaan ini! Lepaskan aku!"
Teriakan Naru menggema di dalam kabin mobil yang dipenuhi oleh pria-pria asing itu. Tubuhnya terus bergerak bagai ulat. Tangannya mencakar dan mencubit apa yang bisa dia pegang, dan kakinya menendang-nendang tanpa arah. Dia berkeringat, panik, takut dan matanya berkaca-kaca secara jelas di bawah deretan temaram lampu luar yang mereka lewati. Naru berteriak kencang berkali-kali, tapi tak ada yang peduli. Membungkam mulutnya pun tidak. Yang mereka lakukan hanyalah menahan Naru agar tidak ke mana-mana dan menertawakannya.
"Apa kalian tuli!? Lepaskan! Aku mau keluar dari sini!"
"Hei, tenang, wanita hamil. Sebaiknya kau mendengarkan lagu klasik daripada mengucapkan sumpah serapah itu. Kau mau anakmu jadi cacat, eh?" Ucap Deidara. tangan pria itu menyentuh perut besar Naru yang terlapis kain pakaian, gadis itu berjengit dan menepis kencang. Pandangannya berkilat defensif seolah menjeritkan 'jangan sentuh!' secara non-verbal. "Ck, ck, galak sekali."
"Bukan urusanmu!" Tandas Naru, cepat. "Sekarang lebih baik kalian lepaskan cengkeraman tangan bau kalian!"
"Ah, berisik! Jadi perempuan jangan banyak omong, kali! Lagi pula bau dari mana coba!?" Kesal sendiri, Deidara menempelkan telapak tangannya ke wajah Naru dengan kasar. "Nih, cium kalau kau tak percaya!"
"Ahh, jauhkan tangan sialanmu itu!"
Itachi yang berada di kemudi cuma mendengus malas. "Tak heran kau dibuang suamimu seperti ini..." Kalimat Itachi menyedot perhatian orang-orang belakang. Semua, tak terkecuali Naru, langsung menoleh kepadanya. "Tapi karena itulah kami akan memberikanmu sebuah pelajaran..." Dia menatap dua mata safir Naru lewat kaca tengah mobil. "Pelajaran terakhir yang tak mungkin kau lupakan..."
Tak lama setelah kalimat itu terucap, mobil yang dikendarai oleh Itachi berhenti di depan sebuah perumahan lama pinggir jalan yang kelihatan kosong dan tak berpenghuni. Naru langsung menelan ludah. Segenap firasat buruk merasuki relung otaknya. Tubuhnya merinding luar biasa saat dia ditarik turun dari mobil, mengikuti Deidara dan Tobi.
"Turun! Katanya tadi kau tidak mau di mobil!?" Deidara menjambak rambutnya sampai ia meringis kesakitan. Naru dengan terpaksa menurut. Tubuhnya diseret masuk ke sebuah rumah yang tak terkunci. Kadang lutut Naru yang tertekuk ditendang Deidara, masa bodo dengan satu nyawa kecil yang sedang dikandung oleh gadis itu. Yang penting Naru tidak rewel saat dibawa ke ruangan bagian dalam sana sesuai perintah Itachi.
Naru terjembab menyamping saat dirinya dilempar Deidara di ruang tengah. Seraya menormalkan nafas, pandangan cemasnya bergulir dari langit-langit ke sekeliling. Sekarang dia sedang berada di sebuah ruangan kotor tak terurus. Tangannya yang baru menyentuh lantai pun sudah hitam oleh debu tebal. Lampu yang baru dinyalakan oleh Itachi juga tak berfungsi sebagaimana mestinya—berkedip-kedip sebentar, lalu menyala dengan sinar yang teramat redup. Tapi yang lebih penting dari itu semua...
Untuk apa dia dibawa ke rumah ini?
Was-was, Naru membuat tubuhnya terduduk dan memandangi tiga orang yang berdiri di hadapannya. Itachi, Deidara, dan si surai hitam jabrik, Tobi. Hingga akhirnya Itachi yang saat itu mengenakan mantel dinginnya mengeluarkan sesuatu dari saku; sebuah putung rokok dan pemantik. Sebelum bicara dia menyalakan ujung rokok tersebut dan menyesapnya dalam-dalam. "Di sini... aku cuma ingin berbicara." Katanya. Dia hela nafas dan biarkan asap tipis keluar dari mulutnya. "Jujur saja sebenarnya aku sudah bosan denganmu. Muak lebih tepatnya." Ia pandangi Naru dengan tatapan datar. "Tapi masalahnya dendamku mengenai kematian Sasuke masih belum bisa kumaafkan. Sekalipun Gaara yang melakukan, kau tetaplah biang dari segala kesialan di keluarga Uchiha. Kau benar-benar harus dimusnahkan."
"Iya. Musnahkan saja." Deidara yang tepat di belakang Itachi tersenyum nakal. "Tapi sebelum itu, setidaknya biarkan aku dan Tobi menyicipinya dulu. Bagaimana?"
Naru menahan nafas mendengarnya. Tak bisa dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau saja tak ada tangan Itachi yang terangkat tiba-tiba, menyuruh Deidara menghentikan kalimatnya. Itachi memandangi Naru sebentar melalui tatapan tajamnya. Walau udara malam ini dingin, dapat dia lihat kening dan leher Naru berkilat oleh air keringat. Pemandangan dari sosok gadis lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Itachi Uchiha menggeleng.
"Buat apa? Pilih yang lebih bagus dari dia apa susahnya?" Dia berdecih pelan. "Gadis ini sama sekali tidak luar biasa. Payah. Kau tak akan bisa terpuaskan olehnya."
Tobi tertawa dan Deidara mengomel pelan. Naru pandangi Itachi yang saat itu menatapnya. Menatap mata hitam bagai elang itu dengan tatapan luka. Jelas. Dia jadi teringat kebodohannya malam itu. Malam di mana dengan mudahnya Naru terbelit perangkap dari seorang Itachi. Perangkap yang mengubah hubungan baik yang telah dia rajut selama setahun bersama Gaara. Semua itu hancur tanpa ia sadari. Benar-benar... menyesakkan.
Naru berniat berdiri. Agak kesakitan, dia memegangi perutnya. Namun karena adanya isyarat tangan dari atasannya, Tobi dan Deidara langsung mengambil langkah. Tangan Naru dipegang, lalu mereka suruh gadis pirang itu menduduki sebuah kursi berkayu rapuh. Tubuhnya pun dililiti oleh tali tambang. Melintang melewati bahu, menekan belahan dadanya dan mengikat mati pergerakan kedua tangannya yang kini sudah terkunci.
"A-Apa-apaan ini? Kenapa aku diikat!?"
"Biar kau terlihat agak sedikit seksi mungkin?" Tobi menambahkan. Dia semakin semangat mengelilingi tubuh Naru dengan tali panjang tersebut. Mengikatnya hingga tubuh itu tercetak jelas. Separuh selesai Deidara mundur selangkah. Tatapan matanya menjelajahi dada Naru yang begitu besar dan menggoda. Sesuatu yang bangkit di bawahnya, itulah yang Deidara rasakan. Dari lirikan matanya dan dengusan remeh yang kadang keluar, sudah dapat ditebak bahwa ada sebuah fantasi kotor yang tercermin di kepalanya.
"Lalu... kalau kita tidak memberikan dia pelajaran secara fisik... apa yang mau kau lakukan dengan dia selanjutnya, Itachi?"
Itachi yang tak melakukan apa-apa hanya menjawab pelan. "Sebenarnya aku berniat membunuhnya. Tapi karena aku tidak suka cara cepat, aku cuma ingin meninggalkannya di sini sendirian. Membiarkannya mati perlahan."
"Hanya itu? Simple sekali rencanamu..." Tobi ikutan lesu.
"Oh, ayolah, Itachi. Aku ingin coba-coba sebentar. Pose dia lagi bagus. Aku ingin tau apa rasanya." Dia pun merangkul Naru yang ada di kursi. jari-jarinya mengelitik dagu Naru seolah dia adalah kucing yang ingin dimanja. Sedangkan Naru masih speechless di tempat. Tau niat Itachi yang baru saja dijelaskan saja sudah membuat hatinya luar biasa terluka dan gemetar takut.
Apa dirinya benar-benar akan dibuat mati di sini?
"Jadi... apa boleh? Satu ronde saja tak apa."
"Jangan. Akan kusewakan orang lain untukmu, asal jangan dia. Dia terlalu murahan." Itachi menegaskan. "Setelah kau mati, akan kubakar rumah Sabaku Gaara itu."
Itulah kalimat terakhir Itachi di depan Naru. Dia buang rokoknya di lantai, menginjaknya, lalu menyuruh Deidara dan Tobi pergi. Diiringi keluhan kecewa Deidara, pintu ditutup rapat. Mereka tinggalkan ruangan sesak tanpa ventilasi itu dan berangkat menggunakan minivan-nya.
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Gaara yang masih berada di mobil pun menghela nafas panjang. Saking lamanya tidak beristirahat, mata pandanya yang kini menyipit menatap ke arah petugas POM bensin yang mengucapkan selamat malam kepadanya. "Mau isi berapa?"
"Full."
Sambil menyiapkan uang, Gaara menunggu aliran bensin memasuki tangki di mobil. Ya, memang. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang atau bahkan membaringkan diri di atas kasur. Kalaupun over limit, paling dia hanya bersandar di jok mobil, memejamkan mata selama satu jam, lalu kembali beraktivitas. Makan juga hanya dari layanan drive-thru fast food untuk menghemat waktu. Tentunya semua hal merepotkan itu hanya dia lakukan untuk mencari Sabaku Naru yang hingga detik ini belum dia ketahui di mana dirinya berada. Dia cari tanpa henti. Dimulai dari kota Tokyo sampai daerah-daerah kecil di pinggiran kota pun dia kelilingi. Semua orang dia tanyai. Demi seorang Naru.
Selesai Gaara membayar dan pergi dari kawasan tersebut, Gaara melirik ponsel yang tergeletak begitu saja di jok kursi sebelah. Dia menyesal. Kalau saja ia sempat memberikan Naru ponsel, mungkin jejak gadis itu akan lebih mudah terdeteksi. Menghela nafas, dia sambar ponsel tersebut dan melihat simbol telfon merah di layar. Ada beberapa misscall dan juga email dari ino. Inti dari isinya menyuruh Gaara pulang dan beristirahat. Gaara berdecak dan membuang ponsel itu ke jok belakang.
Mendadak gemuruh dari awan gelap di atas sana terdengar. Hujan rintik-rintik yang perlahan menderas mulai menjatuhi bagian atas mobil besarnya. Udara dingin mulai menghantui dan Gaara menyalakan wiper seraya memfokuskan pandangan.
Ia benar-benar harus mencari Naru.
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Tepat satu setengah jam setelahnya, di dalam rumah kosong berbau apek, Naru yang masih terdiam di atas kursi itu menghela nafas panjang. Otot tenggorokannya sakit, kelelahan berteriak minta tolong—percuma, di luar hujan rintik-rintik telah berganti ke badai; mana ada yang bisa mendengarnya? Menelan ludah pun bagai menelan duri. Tapi hal itu sama sekali tak terbayar oleh apa-apa. Tidak ada yang datang ke sini untuk menolongnya. Yang ada hanyalah keringat yang membanjiri wajahnya walau dingin malam menyergap.
Lalu di samping itu semua... perutnya terasa sakit.
Kepalan tangan Naru mengerat. Dengan sisa tenaga yang ada dia coba menggerak-gerakkan badan. Kekangan tali tambang yang mengikatnya ini sungguh sulit dia lepaskan. Tak heran mulai hadir goresan merah di kulit putih susunya yang terjepit ataupun tergesek karenanya. Naru berdesis risih. Ekspresinya seperti menahan sakit, lalu dia menjerit kesal. Perih tak tertahankan di bagian dalam perut, air matanya mengalir.
"Sakit... perutku sakit... ah..."
Dia menangis. Dengan menggigit bibir bawah ia memandangi ruangan yang lama-lama akan membunuhnya ini. Ingin berteriak, namun rongga pernafasannya terlanjur lelah. Yang ia bisa lakukan cuma menunggu dirinya membusuk di kursi ini. Itachi benar-benar jelmaan iblis. Kenapa dia bisa berbuat seperti ini? Tak tahukah dia sedang hamil besar? Tak tahukan dia bahwa ada satu nyawa kecil yang sedang dia tanggung?
Kenapa tidak bunuh dirinya setelah ia melahirkan saja? Kalau saja anak ini sudah lahir, mungkin Naru merasa rela jika nyawanya dicabut. Asal bayi ini selamat. Asal suatu saat nanti dia bisa menyerahkan bayi ini ke sebuah panti. Asal bayi ini bisa tumbuh dewasa tanpa mengetahui seberapa hina ibu yang mengandung dirinya—walau ia tak tau apakah bayi ini akan diterima atau tidak oleh pemilik panti tersebut.
Naru hanya ingin mati sendiri, tidak ingin membawa nyawa lain yang tak bersalah ikut menyertainya ke alam baka.
Sekalipun sulit dia tersenyum miris.
Kenapa hidup ini begitu kejam?
Tanpa sadar satu isakan keluar. Air mata yang tumpah terus mengalir sampai dirinya terbatuk beberapa kali. Isi perutnya memanas. Di posisi duduknya yang seperti ini, dapat ia rasakan sebuah sakit yang merajalela di dalam rahimnya sana. Ada suatu urat atau entahlah apa itu yang seperti terlepas dan robek perlahan-lahan. Perih. Aliran darah mengalir. Perutnya kontraksi.
Benar atau tidak, ketubannya pecah. Darah segar mengaliri paha dan kaki bangku yang dia duduki.
Sakit. Tak tahan, Naru membungkuk dan memiringkan tubuhnya tiba-tiba. Kaki kursi yang tak tahan menahan berat tersebut jatuh ke samping. Kepala Naru terbentur dan bahunya bertemu dengan lantai. Sakit, memang. Tapi saat Naru sadar bahwa kaki bangku rapuh itu patah. Secercah Dengan segera ia tarik simpul ikatan tali itu ke patahan, terlepas, lalu saat secercah cahaya bagi kehidupannya ini sudah mulai bersinar kecil, ada sesuatu yang menghentikannya.
Isi perutnya. perutnya kontraksi. Kali ini tidak seperti yang pertama. Ini jauh lebih sakit dan lebih terasa. Nafas terengah, Naru yang sebenarnya sudah bisa melepaskan tali-tali yang mengikatnya ini jadi tak bisa konsen. Bukannya melepaskan tali-tali lain, satu tangannya yang bebas malah memegangi perut dan kecemasannya meninggi, dirinya panik. Apa ini tanda-tanda bayi ini akan keluar? sekarang?
Yang benar saja.
Memejamkan mata, Naru mengerang. "Ahhhhhh!" Perutnya seperti melilit. Rasanya ada yang bergerak-gerak tak terkendali. Perih, sakit, hancur. Entahlah apa yang terjadi di dalam sana. Ini benar-benar sakit yang jauh lebih sakit dibandingkan hal-hal lain yang pernah ia rasakan di dalam tubuhnya. Ada sesuatu. Ada sesuatu yang mau keluar.
"Sakit... tolong! Akh!" Tapi sayang semua rasa sakit menyetrumnya. Ini sudah di ambang batas kesanggupannya untuk bertahan. Ia Cuma bisa menangis. "To-Tolong... ini sakit..." Buku-buku jarinya menekuk sampai menguning.
"Sa-Sasu—" Naru memejamkan mata. Sasuke tidak akan datang menolongnya. Air mata semakin senantiasa keluar. "Seseorang... tolong aku..."
Ia menangis. Menangis kencang. "Siapa pun... tolong aku..."
Bibirnya bergetar. Selain kedinginan kedinginan, tiba-tiba juga tanpa terencana Naru tersentak hebat. Kedua matanya terbelalak dan tubuhnya luar biasa menegang. Ada sesuatu yang sangat menyakitkan dan besar akan keluar dari kewanitaannya.
Tubuhnya sudah tidak tahan lagi.
Dan Naru pun menjerit pilu.
"GAARA! TOLONG AKU! INI SAKIT! GAARA!"
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
"Itachi, kau ini bodoh atau apa? Kenapa kau menyia-nyiakan kesempatan kami untuk bersenang-senang sih? Seharusnya kau biarkan dia mencicipi surga dunia sebelum dia mati menjamur di dalam sana..."
Omelan Deidara terdengar di dalam minivan milik Itachi yang tengah berjalan di tengah malam.
"Padahal tadi aku sudah siap-siap. Iya kan, Tobi?"
"Iya, dia cantik." Tobi mengerucutkan bibir. "Dadanya juga besar."
"Wanita hamil biasanya dadanya memang membesar kan?"
Tawa Tobi dan Deidara dengan omongan kotornya terus mengisi dalam mobil. Itachi tak begitu mengacuhkannya. Dia tetap fokus menyetir, melewati sebuah jalan pintas sepi yang sekiranya akan membawa mereka bertiga ke daerah mansion Uchiha. Sebuah rokok berasap tebal menemaninya.
Namun tiba-tiba saja, dibarengi oleh bunyi derasnya hujan dan juga tawa dan obrolan mesum di pendengarannya, mata oniks Itachi terbelalak. Ada sesuatu yang tiba-tiba saja menjadi pandangan utamanya saat ini; sesuatu yang benar-benar mengejutkan di depan sana.
Dengan laju mobil yang memelan, Itachi menyipitkan mata. Tatapannya lurus ke 'seseorang' di ujung jalan ini yang berdiri di tengah guyuran hujan. Tepatnya tengah jalan lurus, membiarkan tubuhnya disorot oleh dua sinar lampu jalan yang menyala redup di masing-masing sisinya. Seorang anak kecil bersurai pirang. Pakaiannya daster putih selutut yang basah kuyup oleh hujan. Poninya yang cukup panjang menutupi wajahnya yang sedang menunduk. Dan dia... sama sekali tidak bergerak.
Pedal gas dia tekan secara dadakan. Dua orang di belakang tersentak sampai kepala Tobi terbentur jok depan. Deidara yang heran bertanya. "Ada apa?"
"Kalian lihat gadis itu?"
Dua pasang manik mata memandang lurus ke kaca depan. Di ujung jalan, tepat di bawah rintikan hujan yang cukup lebat di tengah malam, berdiri seorang perempuan bertubuh kecil—ditinjau dari umur, kira-kira awal belasan. Rambut emas panjangnya lepek oleh guyuran air. Kepalanya tertunduk. Kakinya tak beralas. Suram. Deidara tak mengerti. Siapa anak itu? Apa dia adalah seorang pemulung yang tak memiliki rumah untuk berteduh? Lalu kenapa dia bisa mengejutkan Itachi?
Bibir pucat terbuka pelan, tanpa suara gadis itu mengadah ke depan. Mata birunya berpendar melawan gelapnya suasana. Deidara, Tobi dan tak lupa, Itachi, sama-sama terbelalak. Paras itu, lekuk wajah itu... tak perlu berpikir lama, itu benar-benar menyerupai Naru. Gadis hamil yang sempat mereka ikat beberapa saat lalu di gudang. Apa mungkin dia orang lain?
"Itachi... kau mengenalnya?"
Itachi menelan ludah. Ya, dia meyakini bahwa gadis itu adalah Naru Uzumaki—atau sekarang Sabaku—bukan anak lain yang mirip dengannya. Tiga garis halus di masing-masing pipi itu membuktikan secara telak. Wujud Naru sewaktu kecil yang selalu membuat matanya sakit apabila dia didekati Sasuke, adiknya. Itu memang dia.
"Tidak ada orang di sekitar, kan?"
Pertanyaan Itachi yang terdengar penuh penekanan terucap. Deidara melihat ke belakang.
"Ya, tidak ada orang. Jalanan sepi."
Itachi menggerakkan kopling, menginjak gas. Penuh. Mobil melaju cepat ke depan.
"Hei, tunggu! Itachi, kau mau apa!?"
Itachi mengabaikan pertanyaan Deidara dan terus memfokuskan pandangan ke arah anak itu. Jarum speedometer mobil dengan cepat bergeser ke kanan. Tobi sampai tersentak ke belakang akibat gerakan mobil yang mengencang. Sontak suasana menjadi tegang. Pasalnya ini jalanan kecil. Kau tidak mungkin bisa menjaga keseimbangan kalau mobil secara tiba-tiba melesat hingga mencapai angka ratusan km/jam dalam waktu dekat, kan?
"Itachi! Kau mau menabraknya. hah!?"
"Diamlah!"
"Hentikan mobil ini! Kau bisa membunuhnya—bahkan kita semua!"
"Aku sama sekali tidak peduli! Dia memuakkan, apalagi dalam wujud anak kecilnya! Dia harus mati!"
"ITACHI!"
Bersama emosi yang terlibat di dalam dirinya, Itachi Uchiha menerjang Naru kecil yang ada di depan sana. Gadis basah kuyup itu melirik mobil yang berniat menerjangnya. Lalu bibirnya membuat lekungan manis. Itachi yang menyaksikan itu mendadak merinding. Sesuatu di pandangan matanya berubah ke sebuah kilasan balik masa lalu.
Hal itu saat Naru kecil membawa sebuah kursi roda yang diisi oleh pria remaja bersurai merah, Gaara Sabaku. Pria itu duduk diam di kursi tersebut dengan balutan perban yang mengelilingi kepalanya, menutup bagian mata. Naru tersenyum lembut kepadanya. Berbisik sambil tertawa kecil di dekat telinganya.
Namun saat dia lihat ke arah Itachi—arah dimana mobil ini mengarah hanya padanya—refleks naru mendorong kursi roda tersebut, dan detik berikutnya... suara tabrakan terjadi.
BRUAKH!
Entah di detik ke berapa, semua terasa menjadi lebih lambat. Itachi berkedip, dan kemudian pandangannya kembali lagi ke suasana malam di tengah hujan. Dirinya baru sadar kalau kakinya masih menginjak pedal gas, mobil masih melaju, dan Deidara dan Tobi yang masih menahan dan meneriakkannya agar dia berhenti.
Namun ketika Itachi meluruskan pandangannya kembali ke depan. Kini tak ada lagi naru kecil yang berdiri. Yang ada hanyalah ujung jalan pertigaan tajam yang berbentuk T. Dan sebuah dinding beton yang kelihatannya cukup keras dan mampu untuk menghentikan laju kendaraan yang bergerak cepat ini.
Tabrakan kedua—yang benar-benar nyata; bukan imajinasi—pun tak terelakkan.
PRANG!
Kaca pecah, badan mobil penyok, dan aliran darah yang menetes dari dalam lekukan mobil.
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Naru mengambil nafas patah-patah. Masih di tempatnya tergeletak, dia merasa seperti akan mati di saat itu juga. Sudah nyaris satu jam lamanya perutnya berdenyut sakit dan darah mengaliri kulit paha. Tubuhnya kaku. Mulutnya tak bisa meredam erangan sakit dan tangannya selalu ingin mencari pegangan untuk dia remas. Jujur saja Naru tak tau apa yang terjadi namun ia benar-benar ingin hal ini cepat berakhir.
"Akh..."
Sebuah sakit yang lagi-lagi menyerang itu datang. Naru mengernyit perih. Kebetulan ada keringat asin yang mengalir memasuki bola matanya yang menyipit. Dia berkedip sesaat lalu tiba-tiba terbelalak. Di tengah sakit yang menyerang otot rahim bagian bawahnya, terasa sesuatu yang besar yang perlahan akan keluar. sesuatu yang besar dan menyakitkan. Naru yang tersentak luar biasa itu dengan tangan gemetar mencoba membuka celana dalam di balik baju terusannya yang panjang. Tapi baru saja kain putih yang telah tercampur darah itu ia turunkan sampai sebatas lutut, gerakannya terhenti. Dia... sungguh-sungguh akan keluar sekarang.
Dia.
Buah hatinya bersama Gaara.
Darah daging pertamanya.
Sebuah ruh yang sempat merasakan kasih sayang seorang ayah bernama Sabaku Gaara.
"Gaara..." Rintihnya, menahan tangis. "Ga-Gaara, tolong aku... ini sakit..."
Dapat ia rasakan sebuah kepala bulat yang terdorong keluar dari belahan kewanitaannya. Perlahan.
"Ga-Gaara!" Jeritnya dengan tangis pilu. "Ga-Gaara!"
Naru mendapat patahan kayu bangku di tangannya. Tak peduli itu kotor atau tidak, ia menggigitnya keras-keras. Ia cari juga sebuah benda keras yang bisa dia jadikan pelampiasan dari rasa sakit yang mendera oleh otot-otot dalam pinggangnya ke bawah.
.
.
: mistakes | sanpacchi :
.
.
Bulan sabit di bawah bayang-bayang malam tertutup awan mendung. Hujan masih belum bosan menjatuhkan airnya ke permukaan bumi. Tokyo yang malam ini menjadi sasaran utama awan mendung di atas sana. Dan dilihat dari kondisi cuaca, itu tandanya sudah hampir puluhan jam Gaara habiskan hari ini hanya untuk kembali mencari Naru di pinggiran ibu kota. Tapi maaf saja hasilnya tetap nihil. Polisi-polisi yang dia suruh untuk melacak jejaknya sedari kemarin juga tak berguna banyak. Sabaku Naru benar-benar telah tenggelam di lautan penduduk Jepang. Entahlah saat ini dia di mana. Gaara jadi menyesal karena tak pernah tau apapun dari Naru—dimulai dari nomor ponsel ataupun sesuatu yang bisa ia jadikan komunikasi.
Gaara yang saat ini sedang mengistirahatkan diri di sebuah rest area tol menghela nafas. Mata hijaunya menatap langit hitam di atas sana yang bersih tanpa bulan dan bintang. Bosan, dia melirik lelah ke jendela di sampingnya. Kalau dipikir-pikir, mungkin ini sudah ke berapa kalinya dia tiduran di mobil sejenak untuk mengumpulkan tenaga—tidak pulang ke rumah. Tak terhitung berapa kali ia bolak-balik turun-naik mobil ke jalan untuk bertanya ke orang-orang mengenai Naru. Memastikan apakah mereka sempat berpapasan dengan seorang gadis muda berperut besar dengan surai pirang panjangnya. Well, sebenarnya ada ciri Naru yang mudah dikenali—tiga garis di masing-masing pipinya—tapi tidak tau kenapa tetap tak ada yang pernah melihatnya.
Gaara memejamkan mata sejenak. Nyatanya sangat sulit seorang gadis apalagi di kota besar seperti ini. Gaara yang seharusnya tidur tiba-tiba jadi kepikiran. Dia buka matanya selebar mungkin, minum kopi kalengan dan melaju ke luar tol.
Tak ia pedulikan sebuah keramaian di ujung jalan yang hadir di jam sepi seperti ini. Dari garis kuning yang mengelilingi tempat tersebut dan beberapa mobil polisi, kelihatannya ada kecelakaan di sana. Gaara mengambil jalan pintas untuk melaju. Melintasi sebuah jalanan luas nan panjang yang dikelilingi deretan rumah-rumah lama. Dan tanpa dia sadari ada sesuatu yang mampu menarik perhatian Gaara. Mata hijaunya melirik lama ke sederet rumah-rumah tersebut. Ada yang kelihatan terisi, dan ada juga yang kosong tak terurus.
Tapi... rasanya kayak ada yang aneh.
Seperti ada sesuatu yang menyuruhnya untuk ke sana.
Gaara menggeleng sambil berdecak. Dia suruh dirinya agar tak melamun di tengah malam seperti tadi. Ingin menenggak kopi lagi tapi baru saja tetesan terakhirnya menjatuhi kerah kemeja Gaara.
"Tsch."
Kehabisan kopi adalah malapetaka. Jadilah Gaara berhenti di depan warung kecil di tepi jalan. Kebetulan di sana masih ada kakek dan seorang remaja belasan tahun—mungkin cucunya—yang sedang berbincang-bincang di bawah sinar redup lampu tempat mungil tersebut. Ia sedikit membuka jendela mobil dan bersuara.
"Ada rokok?"
Sang kakek berdiri. Dia mengangguk. "Ada." Dengan bantuan payung yang di pakai, dia berjalan ke arah Gaara. "Perlu apa lagi?"
"Mungkin kopi kalengan. Ada?"
"Butuh berapa?"
"Lima."
Sang kakek tertawa. "Pantas matamu bengkak seperti itu, Nak."
Gaara otomatis melirik ke arah kaca tengah kabin. Akibat pencarian Naru yang berlangsung non-stop dirinya memang jarang istirahat. Dia benar-benar seperti panda kali ini. Jadi teringat waktu itu Naru pernah mengusap pelan kelopak matanya, tersenyum, dan menyebut mirip dengan panda dengan mata ini.
Sakit. Hatinya berdenyut sakit.
Ia rindu pandangan sayang itu.
Kalau seandainya dia sudah tau Naru adalah sosok gadis kecil di masa lalunya. Tidak akan pernah ia sia-siakan masa itu. Akan dia peluk dan cium bibir manisnya. Memagutnya pelan dan mengusap punggungnya. Tak akan pernah dia lepaskan. Tak akan pula ia pernah membuatnya mengeluarkan air mata.
Tapi itu terlalu... terlambat.
"Kalau kau ada waktu, turunlah sebentar. Biarkan tubuhmu istirahat sambil menikmati hujan." Ajaknya, ramah. Tipikal orang jaman dulu.
Gaara mengangguk. Tak tau kenapa untuk pertama kalinya Gaara menurut dengan omongan orang tanpa banyak bicara. Dia parkirkan mobilnya di samping warung dan kemudian duduk sambil mendesah lega di kursi rotan milik warung. Lebih keras dari jok mobil, memang. Tapi bagi Gaara rasanya jauh lebih lega.
"Mau ke mana? Kau tampak kacau..." Remaja perempuan dengan gaya tomboy itu bertanya pada Gaara yang kini menyalakan rokoknya. "Lembur kerja?"
"Sejenis itu." Jawabnya, tak acuh. Dia kembali memperhatikan lebatnya hujan yang begitu deras membasahi bumi. Lalu dia lirik lagi ke ruko-ruko gelap di daerah belakang. Cukup lama, hingga dirinya cukup terkejut saat ia rasakan kaleng kopi dingin yang menyentuh kulit tangannya yang ada di meja.
"Jangan terlalu serius menatap ke sana. Kalau ada yang muncul, nanti kau sendiri yang ketakutan." Sama seperti dia, si kakek menunjuk anaknya. "Dia bilang dari tadi dia seperti dengar teriakan dari arah ruko sana. Padahal aku tidak mendengarnya."
"Kakek..." Si cucu berdecak sebal, malu juga kakeknya membicarakan dirinya. Lalu dia melihat Gaara. Sekalipun pria itu kelihatan sekali sifat cueknya, tampaknya dia benar-benar penasaran dengan ruko belakang. Pasalnya dari tadi hingga sekarang pemuda bersurai merah itu masih memeriksa keadaan ruko di belakang sana. Apa jangan-jangan Gaara percaya soal hantu di sana?
"Tapi serius, aku mendengar suara teriakan dari tadi. Kakek memang tidak mendengarnya... dia kan agak susah mendengar sekarang." Ia berbisik. "Tapi aku yakin, sudah beberapa kali aku mendengar suara itu. Teriakan pilu meminta tolong. Menyeramkan sekali."
Gaara menatap remaja perempuan itu dengan pandangan malas. "Seperti apa suara yang kau dengar?"
"Teriakan. Dia seperti bilang... mmm, 'Aara! Ara! Sakit!'..."
Gaara terbelalak. Dengan nada yang anak kecil itu gunakan untuk mengulang suara tadi, jelas itu mirip dengan suara erangan Naru sewaktu gadis itu masih di sisinya—disiksa. benar-benar luar biasa serupa. Nada yang khas, intonasi yang berbeda. Itu benar-benar seperti Naru... yang menyebut namanya.
"Ah, pokoknya kurang lebih seperti itu. Menyeramkan sekali, kan?"
Si kakek tertawa, dan Gaara malah berdiri.
Apa mungkin itu Naru?
Naru berada di ruko itu?
"Eh? Ada apa?"
"Di mana?" Dia menatap cewek berambut pendek itu dengan tatapan serius. "Di mana asal kau mendengar suara itu?"
"E-Eh? D-Di ruko sana. Persis di belakang warung ini."
Gaara ingin langsung bergegas ke sana, namun ada tangan yang menahannya. "Tunggu! Anda mau ke mana!?"
"Ke sana."
"Untuk apa?"
"Memeriksa apa yang ada di dalamnya—"
"Apa? Tapi itu bisa saja hantu, kan! Untuk apa kau periksa segala!?"
"Tidak ada hantu di dunia ini! Lagi pula aku cuma mau memastikan saja di sana ada istriku atau tidak!" Ucapnya dengan teriakan kesal. Tangan anak itu dia lepaskan dengan agak keras. Lalu sang kakek bergumam.
"Istri? Kau mencari istrimu?"
Gaara menelan ludah dalam diam. Dia keterusan bicara.
"Jika kau mencari istrimu, untuk apa periksa di sana? Kau waras atau tidak sih? Carilah ke polisi!"
Gaara tersentak pelan. Nafasnya yang tak beraturan. Dia mengusap wajah dan memejamkan mata.
'G-Gaa...'
"—!" Dia menatap lurus arah ruko belakang.
'Gaara...'
"Naru?" Bisiknya lirih. suara seraknya ia usahakan kencang. "Kau di mana!?"
'Gaara... tolong aku...'
Kali ini suara itu melintasi isi kepalanya, membuat Gaara yang sempat terdiam jadi berniat lagi ke arah ruko. Tapi ada tangan yang menahannya. Remaja itu menggeleng. "Aku serius, kau mulai bertingkah aneh. Lebih baik kau pulang dan tidur. Istirahatkan badanmu."
Gaara menelan ludah. dengan melemaskan tangannya yang menegang, dia melirik ruko gelap di depan sana. pintu yang tertutup rapat bahkan ditempeli label "DISEWAKAN" besar-besar—sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda kehadiran manusia di sana. Lagi pula benar juga kata mereka, untuk apa dia mencari Naru di sana? Mana mungkin kan Naru mengambil ruko menyeramkan seperti itu untuk tempat tinggal?
Dia menggeleng.
Benar. Jangan menjadi orang gila, Sabaku Gaara. Kalau bisa relakan saja Naru pergi. Biarkan anak itu bebas tanpa kekangan. Kau sudah terlalu lama menyiksanya. Kini gilran gadis itu bahagia di dunianya sendiri.
"Ya..." Gaara menghela nafas dan menatap sendu orang-orang yang sedang perihatin dengan keadaannya. "Itu mungkin cuma ilusi."
Dan dia melangkah pergi.
Hanya saja... yang dia tidak ketahui, tepat di belakang warung yang ia singgahi tadi, terdapat seorang gadis pirang yang bersimbah darah di atas lantai kotor. Itu Naru. Istri yang selama ini dia cari-cari di seluruh pelosok kota. Gadis yang detik ini bahkan kesulitan untuk bernafas.
Dia, Naru Sabaku yang ada di sana, memejamkan mata. Tubuhnya lemas kekurangan darah. Dan dalam kesenyapan ini terdengarlah tangisan bayi dari dalam rumah kumuh penuh debu yang menggema. Dia, bayi dengan surai halus berwarna merah menyala, hadir di dunia.
"Sa-Saso..."
'Maaf Gaara, aku menamai anak kita secara sepihak...'
Bisiknya walau dia tidak bisa melihat rupa sang bayi.
"Sasori... tetaplah hidup, Sasori..."
"Jangan seperti mama... atau papamu..."
Dia memejamkan mata. Suaranya semakin redup, dan lama-lama menghilang.
"Hiduplah... bahagia..."
Di balik ruangan remang ini, aliran darah terus mengalir, sang bayi terus menangis, dan gadis itu tergeletak lemas di lantai.
Tak bergerak.
Tak bersuara.
'Semoga kelak... kita bertiga—ah, tidak, mungkin cuma kalian berdua, bisa bertemu lagi. Walau itu adalah suatu yang tidak bisa kuharapkan secara pasti, aku hanya ingin dia tau... kalau dia sempat mempunyai papa dan mama yang pernah menunggu kehadirannya.'
.
.
Apa kalian tau... bagaimana cara menyesali sebuah kesalahan besar?
kau hanya perlu menanggung resiko meski tau itu sulit.
Tak apa. Air mata berjatuhan, sesak menyergap, serta emosi yang berkecamuk, tak apa.
Teruslah melangkah ke depan.
Karena kita harus yakin, Tuhan ada di atas sana untuk mengampuni segala kesalahan kita.
.
.
THE END
.
.
Sansan's Notes
Ending? Ya ini ending murni dari Mistakes. Sebenernya aku no comment untuk ending fict ini (apalagi tata bahasanya yang bener-bener no feels dan ngasal). Kasian sih lebih tepatnya. Naru miris banget. Tapi namanya juga Tragedy/Drama. Mohon dimaklumi. Apalagi jika menemukan segala kemaksaan plot dari 19 chap fict Mistakes yang telah beredar. Barangkali aku akan membuat sekuel nantinya yang bergenre family. Mau?
Mohon maaf untuk keterlambatannya. Dan terima kasih atas apresiasi kalian ke fict Mistakes. Aku sayang kalian semua.
.
.
Super Thanks :
stillewolfie, guest, hyuashiya, himeko laura dervish cielo, FressyaSH-HFYJ, darknight, Ciput, o-O rambu no baka, Natsume Rokunami, Aristy, kazekageashainuzukaasharoyani, Yashina Uzumaki, ookami child, itanatsu, RaraRyanFujoshiSN, Guest, akane-uzumaki-faris, siriuslight, Amu B, Luluk Minam Cullen, Payung Biru, Guest, nanonano, shanzec, Hinan Dyan, Neliel Minoru, anita-indah-777, login chafujitaoz, Zaoldyeck13, Red'Ocean, azhuichan, Namikaze Aira-Chan, Cicikun, Rechi, Karinliyana, minyak tanah, Jasmine DaisynoYuki, ayu chan, V3Arra, Bilqis Saffiree, Arnygs, Hyde'riku, Mitsuki Hoshino, funny bunny blaster, your readers, Ashiya yukia, nhanjung, Xiaoo, Guest, Nay Hatake, uchiha hana hime, Takuchizuki, ItaOcKyuu lopers, potato, mamamiaoZumi, Amai Ruri, Guest, Dahlia Lyana Palevi, fiv, noviyanti, Sabaku no Gaa-chan, hazuki, Guest, AngelzVr, G-N, Niyyzuchi't, Natha Nala, newmoon26, Uchiha XXXXXX, Guest, MizuKage Naru, darknight, riekincchan, Guest, Guest, langit-cerah-184, Lee San Hae for Senju Koori, Tanggane Kaki Bari, WhieKyu88, Ethel Star, Pearl Jeevas, ajolbada, Kawaii Aozora, sun kissu, Dark de-ay, Asterella Roxanne, Shiroi-144, Guest, Yo chan, Aiko Fusui, ulvha, delviaa, wyfckh, ChanyeollieAnggieTaoziie, Guest, EllaWiffe, Jean Cosz, Subaru Abe, browblow, Guest, guest yui, Yamazaki Koharu, RyanryanforeverYaoi, Rechi, UchihaXo, Jenna, JILLIAN, Namikaze Eiji, Devzlee, JEN, ulvha, pyon, gnagyu, Kyu-ru-25, Nayuya, xJEx, darkguest, ayuki siFHujo, Guest, yuki chan, Bakar3x, SasuHinaGaa, Arum Junnie, Kiki Ro'uf, Guest, Jiji, kesalahan, ulvha, Go Minami Hikari Bi, evha-chibie, Hime Kunoichi-Chan, genie luciana, Guest, himeka, racel, Natsume Rokunami, chand-limz, Icha Icha Kenjinaru.
.
.
Frequently Asked Questions :
Bacanya ampe nangis dan deg-degan. Thankss. Naru mau ngga ya diajak balik sama Gaara? Sayangnya mereka ngga sempet ketemu. Happy ending dong, San. Sorry. Kayaknya Itachi bakal nampil lagi di ending. Iya, tapi dia juga dapet bad end. Buat Naru ingat dari amnesianya. Plot hole akan ditaruh di sekuel. Berharap ada scene lemon tapi sweet. :) Kebiasaan kan update lama? Aku khawatir kalian kecewa sama ending ini. Padahal aku ingin mengcopy pairing ini dengan pairing ItaOCKyu. Maaf, aku ngga ngizinin hal kayak gitu. Mohon pengertiannya. Boleh tau akun sosmed Sansan? Aku ngga pake sosmed apapun. Awalnya aku cuma suka GaaHina, tapi fict ini buat aku jadi suka GaaFemNaru. Aku juga suka GaaHina. Percaya atau ngga di awal skrip asli, aku pake chara Hinata untuk fict Mistakes. Tapi berubah karena faktor cerita. Yang jadi hantu anak-anak itu siapa, ya? Naru jaman kecil (sebelum dia amnesia/ditabrak ItaSasu). Maaf kalau ceritanya agak maksa :) Aku berharap fict ini akan ditranslate ke inggris. Masalahnya aku ngga bisa Inggris. Siapa nama Naru sebelum kecelakaan/amnesia? Belum terpikir sama sekali :)) Kenapa Gaara bisa lupa total sama muka Naru, padahal dia adalah orang yang sejak dulu dia cintai? Nanti Gaara sendiri yang bakal jelasin :) Katanya ceritanya udah rampung, kok tetep lama update? Rampungnya memang udah lama, tapi itu masih dalem bentuk kerangka. Ngembangin sama editingnya itu yang lama. Jijik baca GaaFemNaru. Ngga usah baca, aku sama sekali ngga maksa. Anda kalau buat fict jangan bawa nama ustad dan agama. Did I? Kapan?
.
.
I'll pleased if you enter your comment
Mind to Review?
.
.
SANSANKYU