= QUARTA APOCRYPHA =

.

Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya

Quarta Apocrypha © kuroshironimu

.

( AU. OOC. Messy dictions. Bad writings )


.

.

.

BOOK TWO:

Beta

Beta the dream and synod cites;

And catalogues the naval knights.

{ ~ Iliad, Another Argument – Book Two }


Soviet Kingdom. Sebuah kerajaan besar di tengah-tengah pegunungan. Salju adalah teman dari kerajaan tersebut, dimana mereka menghiasi tiap inci dari kota-kota yang ada dengan putihnya dan dinginnya substansi tersebut selama hampir satu tahun. Musim panas adalah satu-satunya saat dimana salju itu tidak lagi ada, namun dinginnya masih melekat dan sulit untuk dilepas. Kerajaan yang terisolir dari kehidupan di luar sana, dimana mereka berkomunikasi hanya untuk berdagang. Dan disana—di sebuah kastil yang terletak di ibukota—hiduplah keluarga kerajaan yang begitu disegani para rakyatnya. Braginsky, namanya. Keluarga yang misterius namun tetap dikagumi oleh rakyatnya. Yang telah memberikan satu lagi putri untuk keluarga dan negara mereka.

One never well, but doing ill, a girl so full of head

That though all other Gods obey, her mad moods must command*

Dan putri itu—Natalia, namanya. Dinamakan sama seperti ratu terdahulu saat Soviet masih bernama Kiev Empire. Perak yang menjuntai sampai ke pinggangnya, wajah bulat nan polos yang bersinar di tengah-tengah gelapnya kastil Braginsky. Gaun hitam yang berkibar selagi kaki kecilnya berlari-lari di atas pijakan dari batu-batu hitam kelam. Natalia, sang putri kecil kesayangan keluarga kerajaan. Dambaan kedua orang tuanya, yang begitu disayangi oleh rakyat-rakyatnya. Sempurna, hidupnya. Seorang putri dengan keinginan yang selalu terkabul, kedua orang tua yang mencurahkan segala perhatiannya padanya, kedua kakak yang menuruti keinginannya. Di Soviet Kingdom, kata-kata Natalia adalah hukum. Tidak boleh ada yang membantah.

Hidup itu indah, ya?


"Natalia, apa yang kau inginkan untuk ulang tahunmu?"

Sayup-sayup suara kakaknya yang manis terdengar dari belakang tubuhnya, dan iris violet menatap sang kakak yang sedang memanjakan rambut peraknya yang indah dari bayangan cermin besar dengan figura emas. Yekaterina, sang putri sulung. Baik hati, manis (tidak semanis Natalia, tentu saja), seorang putri yang tidak kalah sempurna dibanding Natalia. Namun perhatian yang diberikan padanya tidak sebanyak Natalia. Bahkan tidak sebanyak anak kedua sekaligus sang pangeran mahkota, Ivan.

Ayah dan ibu tidak suka anak pertama mereka perempuan.

Begitu katanya.

Natalia berpikir sebentar. Apa yang ia inginkan sekarang? Seluruh keinginannya telah dipenuhi. Boneka-boneka lucu berbagai ukuran yang teronggok di atas ranjangnya dan dilupakan begitu saja, perhiasan-perhiasan mahal dari berbagai macam negara, gaun-gaun terindah dari sutra terbaik dan ditenun oleh penjahit paling hebat di seluruh negeri, furniture mahal berpelitur emas yang bahkan bangsawan pun masih bermimpi untuk mendapatkannya.

Apa lagi yang bisa ia minta?

"Aku ingin tiara," ujar Natalia dengan senyum kecil yang terpampang di wajahnya. "Tiara yang seperti punya ibu dengan batu safir berwarna merah."

Dan Yekaterina tersenyum, mengelus rambut perak sehalus sutra milik adik kecilnya. "Tentu saja, Natalia. Aku akan memberitahukannya pada ibu.

"Lagipula—apa yang tidak untuk putri semanis dirimu?"


Hari ini adalah hari yang berbahagia, para rakyat jelata berpesta di jalanan berlumpur yang tertutup selimut putih tebal bernama salju. Bahkan udara dingin menusuk kulit dihiraukan oleh mereka, ditutupi oleh riuh rendah musik tak senonoh bagi para bangsawan. Sahutan samar, gelak tawa tak senonoh, gerakan liar, melodi tak beraturan—hari ini mereka sedang berbahagia. Hari ini ulang tahun putri kesayangan mereka.

Sementara sang putri sendiri bahkan tidak peduli parade yang telah dilaksanakan untuknya di luar sana—mungkin pula dia tidak tahu. Sang putri mempunyai pesta yang lebih layak untuk dirinya yang begitu sempurna; sebuah pesta yang dipenuhi bangsawan-bangsawan kelas atas dengan gerakannya yang gemulai tanpa cela, musik yang mengalun merdu dan bergaung di tembok-tembok batu kelam. Bukannya pesta jelata yang ada di bawah. Tidak, dia tidak tertarik. Katakanlah ia angkuh, tapi toh mereka masih mencintainya. Karena tidak pernah ia tunjukkan angkuh itu di hadapan orang lain.

Gaun hitam sang putri berkibar pelan begitu kaki-kaki kecilnya menelusuri pijakan di bawahnya, melewati sosok-sosok tinggi para bangsawan yang melemparkan manisan dan gula-gula padanya dengan senyum menjijikkan terpampang di wajah mereka yang terlalu lama dipoles hingga terlihat seperti badut. Ya, itulah yang Natalia pikirkan tentang mereka. Lupakan pujian kosong yang dia lontarkan tiap kali bangsawan-bangsawan itu memujinya—Natalia sudah memakai topengnya sejak lama, tidakkah kalian tahu?

Dengan senyum tanpa dosa, Natalia berdiri di depan sang ratu yang sedang berbincang dengan salah seorang bangsawan. Sebuah senyuman yang sekiranya diterjemahkan sebagai,

"Pergi dari hadapan ibuku, bisa?"

Tentu, orang-orang tidak membacanya seperti itu. Bangsawan itu hanya tertawa kecil, tersenyum menjilat dan mengundurkan diri dari hadapan sang ratu untuk berkumpul kembali dengan bebek-bebek lain—orang-orang tiada guna yang hanya bisa berkoak tentang hal-hal sekecil apapun. Natalia kembali tersenyum pada sang ratu yang berdiri dengan anggun untuk memeluk postur mungil putri kesayangannya—perlahan, tidak erat, karena Natalia seperti boneka porselen.

One wrong move and she'll break.

"Oh, Natalia, putriku, ayah dan ibu memiliki kejutan untukmu," sang permaisuri tersenyum lembut pada anaknya, yang dibalas Natalia dengan senyum manis yang sudah dipasangkan permanen di wajahnya. Iris violet berkilau dengan indahnya bak intan—intan yang telah terasah dengan sempurna tanpa satupun kecacatan. Natalia menatap ke depan, memerhatikan ayahnya (yang bodoh, sama seperti bangsawan lain—bahkan tidak menyadari topeng anaknya sendiri) berjalan ke samping ratu dan memegang satu benda yang begitu diidamkan oleh sang putri kecil. Sebuah tiara perak dengan kilau berlian di sisinya, dengan batu safir merah berkilau di tengahnya.

Dan sang ratu pun dengan gemulai memasangkan tiara itu di antara sutra perak putrinya, tersenyum lebar selagi berpasang mata bangsawan penjilat menatap mereka dengan tatapan bercampur aduk. Bibir mereka tersenyum, memang, namun mata tidak bisa dibohongi. Topeng mereka tidak sesempurna topeng Natalia. Iri—ya, iri, terbentang jelas di iris mereka, iris yang berkilau seperti intan, namun tidak seindah intan milik Natalia. Intan mereka terlihat indah, memang—namun cobalah kau memeriksanya, dan kecacatan tampak jelas di tiap permukaannya.

Sang raja berdeham sebentar dan seketika itu juga, kastil menjadi hening. Musik tidak lagi diputar, suara bebek berkoak tidak lagi terdengar, bahkan suara parade di bawah sana tidak terdengar sama sekali. "Hari ini, kita berkumpul untuk merayakan ulang tahun putriku—" sang raja menatap Natalia dengan penuh kasih, "—Natalia Braginsky, putri ketiga dari—"

ada darah, darah

Panah—menembus langsung ke kepala sang raja, membiarkannya tersenyum dengan bodohnya dengan kedua mata hampa. Percikan darah mengenai wajah Natalia, dan dia berdiri sebentar sebelum terhuyung, jatuh.

Mati.

Dentuman meriam, kastil yang bergetar, dan seluruh kota berteriak—melengking, menyakitkan. Natalia ditarik mendekat menuju figur ibunya, menjauh dari arus panik bangsawan-bangsawan yang lebih memperhatikan harta mereka dibanding nyawa kerabat mereka. Mata sang putri terbelalak ketakutan saat sosok sang ayah terbaring tidak bernyawa di dekatnya—darah mengucur daras, membentuk sebuah kolam berwarna derah yang perlahan menggenang menuju kaki sang putri, menodai gaun hitamnya yang indah.

"Ayah...?" suaranya pelan, berbisik parau di tengah gaduhnya suasana. Namun sang raja tidak bisa lagi mendengar, dirinya hanya tinggal raga, dan mungkin cepat atau lambat raga itu akan habis dimakan belatung dalam tanah. Tapi sang putri tidak mau menerima hal itu—ayahnya harus bangun, dia ingin ayahnya bangun. "Ayah?"

Dan sesuatu melesat tepat di atasnya, kemudian percikan darah kembali menodai wajah manisnya. Panah kedua—kini tertancap di dada, menembus jantung ibunya. Tidak ada waktu bagi sang ratu untuk berteriak kesakitan, saat darah merembes menuju gaun sutranya yang begitu ia agungkan. Kedua iris violet memandang wajah anaknya yang kini telah diwarnai oleh darah—tidak, ia tidak mau anaknya ternoda oleh darah kotor. Sang putri adalah seseorang yang suci, dan tidak boleh ada yang menodainya. Bahkan darah ibunya sendiri—tidak. Dia harus membersihkannya sebelum kesucian itu ternoda sepenuhnya, sebelum jiwanya pergi meninggalkan raga, menyusul sang suami.

Bibir itu bergerak tanpa suara, mengucapkan keempat silabel yang begitu ia sayangi. Yang tidak bisa lagi ia ucapkan dengan penuh kasih.

"Na... Ta... Li... A..."

Danau menggenang di langit violet dan sungai mengalir darinya, meliuk di permukaan pucat yang ternoda oleh samarnya merah. Bibir ibunya bergerak tanpa suara—dan Natalia menangis. Menangis sejadi-jadinya. Tidak dipedulikan kegaduhan yang terjadi di sekelilingnya. Tidak dipedulikan pelukan Yekaterina dan Ivan yang memaksanya menjauh dari sosok tak bernyawa milik kedua orang tua mereka. Natalia ingin mereka kembali berdiri. Natalia ingin. Dan tidak pernah, seumur hidupnya, keinginannya tidak dipenuhi.

"Aku ingin bersama ibu!"

"IBU!"


THE END OF THE SECOND BOOK


Another Argument

"Akurasimu menjadi semakin bagus, Arthur."

Satu dua kali tepukan kepala pada sang bocah berambut pirang, dan Arthur tahu dia sudah berbuat hal yang benar. Dylan bangga, Arthur bisa melihatnya dari ekspresi wajahnya yang datar itu—mata Kirkland tidak mampu ditutupi oleh kerasnya ekspresi mereka. Namun entah apakah Scott dan Elizabeth akan bangga padanya.

"Kita tidak perlu membunuh mereka?" jari menunjuk ke bawah (karena mereka rendah, jauh di bawah Kirkland yang maha kuasa—karena itulah Kirkland sepantasnya berada di atas), pada ketiga pewaris yang segera menjauh dari mayat raja dan ratu yang masih berlumuran darah segar, pada sang pangeran bersurai perak, pada sang putri sulung yang menangis dalam diam, pada sang putri bungsu yang terus berteriak memanggil kedua orang tuanya. Arthur berjengit melihatnya—seorang bangsawan tidak sepantasnya bersikap seperti itu. Blimey, bahkan dia tidak bereaksi seperti itu saat kematian ibunya. Bahkan Prissilia pun tidak sehisteris itu.

How despicable of you, spoilt little princess.

Dylan kembali mengisap cerutunya, membiarkan asapnya menari-nari di depannya selagi ia mengobservasi keadaan kacau di bawah. Di luar sana, pasukan United Kingdom telah menyerang pusat kota. Tidak, mereka tidak menyerang kastil—untuk apa? Raja dan ratu telah mati dengan indahnya di tangan sang calon raja yang agung. Tidak perlu lagi mereka menghancurkan kastil ini menjadi debu. Misi mereka dalam setiap penyerangan yang mereka lakukan telah berhasil.

Lagipula, bukankah menyenangkan melihat sebuah kerajaan yang telah dipenggal kepalanya merangkak kembali mencari kejayaan?

"Tidak perlu," adalah jawaban singkat yang diberikan sang kakak ketiga pada adiknya. "Biarkan mereka menderita mental break down. Sejujurnya aku lebih suka kalau mereka tetap disini, melihat kedua orang itu," mengisap kembali cerutunya dalam-dalam, "tapi melihat orang tuanya mati di depannya, itu sudah cukup. Apalagi untuk putri manja itu."

Suara dentingan metal terdengar samar di balik punggung mereka—semakin mendekati balkon tempat mereka berdiam diri. Dylan membuang cerutunya ke bawah—peduli setan apinya mengenai kepala orang atau tidak. Tangannya meraih pedang yang sedari tadi tersemat damai di pinggangnya, dan Arthur hanya berdiam di samping sang kakak.

"Nah, sekarang giliranku," iris hijau itu memicing, seringai kecil melebar di wajahnya yang kaku. Buas, seperti seekor singa. Seekor singa kelaparan yang akan menerkam mangsa. Seorang prajurit Soviet Union menerjang mereka dari balik tirai balkon, dan Dylan mengayunkan pedangnya. Satu kepala terpenggal di depannya, menggelinding sementara tubuhnya berdiri lunglai dan terjerembab di atas pijakan batu seperti sang raja dan ratu.

Dan Arthur tertawa melihatnya.


.

.

.

* Iliad – Book Five: 873-874

Bacotan author:

Halo, halo~ kembali lagi bersama saya dalam fanfic-yang-katanya-berdasarkan-Revelation-tapi-malah-nyasar-ke-puisi-Iliad /plak dan sekarang, mari kita beralih sebentar ke keluarga Braginsky:

Keluarga Braginsky dulu hanyalah kerabat dekat dari keluarga Arlovskaya, keluarga kerajaan dari Kiev Empire. Begitu keluarga Arlovskaya punah karena perang dan tidak ada penerus, maka keluarga Braginsky menguasai Kiev Empire dan mengubahnya menjadi Soviet Kingdom. Soviet Kingdom termasuk satu dari empat kerajaan besar walaupun, berbeda dibanding United Kingdom, Soviet Kingdom tidak begitu gencar dalam usaha untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Walaupun begitu, Soviet Kingdom mempunyai teritori yang cukup luas dan kekuatan militer terkuat kedua di dunia sama seperti Germanic Empire. Dan juga, Soviet Kingdom pun ikut dalam perang besar yang selalu terjadi empat abad sekali walaupun Soviet Kingdom tidak pernah kehilangan banyak dan mereka adalah kerajaan yang paling cepat memulihkan diri dibanding tiga kerajaan lain.

Keluarga Braginsky tidak pernah mempunyai tradisi gila seperti keluarga Kirkland, walau mereka mempunyai satu kepercayaan bahwa angka tiga adalah angka pembawa keberuntungan dan anak ketiga adalah anak yang akan membawa kemakmuran bagi kerajaan mereka—walau tidak dijadikan sebagai pangeran atau putri mahkota berikutnya. Dan satu lagi kepercayaan mereka bahwa jika anak pertama mereka adalah perempuan, maka gadis itu akan membawa kesialan. Yekaterina sempat akan dibunuh begitu kelahirannya namun segera dicegah oleh salah satu penasehat Braginsky. Imbasnya, Yekaterina hampir tidak pernah diperhatikan oleh kedua orang tuanya maupun rakyatnya dan statusnya dicabut sebagai putri mahkota, digantikan oleh Ivan yang notabene anak kedua.

Chapter ini pendek? Emang *insert troll face* *plak* oke, sebenernya sih muse buat Natalia itu rada-rada... gimana ya, kurang lah. Seenggaknya sih, buat prolog doang. Untuk chapter-chapter berikutnya, saya usahakan ga sependek ini B| well, namanya juga prolog *ngeles*

Dan sekedar catatan sampingan, disini Natalia baru berumur 8 tahun dan Arthur sudah—atau baru—berumur 10 tahun. Yap, Arthur membunuh pertama kali di umur 10 tahun. So much for a psycho :|

Thanks untuk orang-orang yang sudah memberi review atau alert chapter kemarin ataupun hanya sekedar membaca, feedback tetap ditunggu BD

Thanks for reading! (/ ' ')/ \(' ' \)