Love In Apartment

.

.

Summary : Apa jadinya jika seorang anak pejabat seperti Sakura, bertemu dan memutuskan untuk tinggal bersama dengan Sasuke, tukang susu keliling idola para wanita yang tampan tapi menyebalkan. Akankah benih-benih cinta dapat muncul di antara mereka?

.

.

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto

Rate : T

Genre : Romance

Warning : AU, OOC, Typo(s), ide pasaran, Aneh bin abal, dan masih banyak lagi

Enjoy the fic ^_^

.

.

"Waw..." Mata Sakura berkilat-kilat menatap cincin bertahtakan safir biru di genggamannya kini. "Cantik sekali." Ia membolak-balik cincin itu untuk mengecek kilatannya. Ia masih saja memandang cincin itu dengan kagum hingga sebuah tangan mengambil paksa cincin itu dari tangannya. Ia merengut.

"Kampungan sekali sih," cibir Rin sambil mengacak rambut anaknya dengan penuh sayang.

"Terserah..." Sakura menyilangkan tangan di dada seraya mengerucutkan bibir. Gaya khasnya jika sedang ngambek.

Rin tersenyum tipis. "Ini milikmu, Sayang." Rin menyodorkan cincin itu pada Sakura. Gadis itu tersenyum lebar. "Benarkah?" tanyanya tak percaya.

"Ya. Dari calon suamimu." Jawaban Rin kontan membuat senyum Sakura memudar.

"Apa?" Sakura membulatkan matanya.

"Cincin itu dari calon suamimu. Kau akan dijodohkan dengan putera dari kolega ayahmu. Ibu belum bilang, ya?" Rin meletakkan telunjuknya di dagu sambil menatap puterinya dengan seksama.

"Tapi... Tapi kan..." Takut-takut gadis itu menatap balik ke arah ibunya. Yang ada ia hanya menunduk sembari memain-mainan telunjuknya. Rin mengernyit melihat gelagat aneh Sakura.

"Jangan katakan kau sudah punya kekasih, Sakura. Kita sudah sepakat tentang hal itu." Rin memegang dagu anaknya.

Sakura meneguk ludah. Tidak mungkin ia membongkar hubungannya dengan Gaara kepada ibunya. Selama tiga bulan ini, ia dan Gaara hanya bisa berkomunikasi melalui email atau telepon. Bertemu langsungpun masih bisa dihitung dengan jari. Ia menggigit bibir.

"Aku kan belum melihat pemuda itu. Aku tak mau menikah dengan orang yang tidak aku kenal," kilah Sakura mencoba mencari-cari alasan.

Rin menangkupkan kedua tangannya di pipi Sakura. "Kau akan segera mengenalnya. Besok kita akan makan siang bersama keluarga mereka. Kau tidak akan menyesal, Sayang."

Sakura menimbang-nimbang. Dilihat dari cincin pemberiannya sih sepertinya pemuda yang dijodohkan dengannya berwajah rupawan dan berasal dari keluarga bangsawan. Lagipula sayang cincinnya. Kalau ditolak, pasti cincin itu langsung diambil. Kalau pakai basa-basi dulu, kemungkinan cincinnya akan diambil bisa berkurang. Otak matre Sakura mulai jalan rupanya.

"Baiklah. Mungkin aku akan mencoba mengenalnya dulu," putus Sakura sambil mengelus-ngelus cincin safir birunya.

OoO

Sakura menopang dagunya dengan tangan yang ia sandarkan dipinggir jendela mobil. Matanya tertuju pada objek-objek bergerak yang berada di luar namun pikirannya melayang entah kemana. Ia menggaruk kepalanya dengan gusar. Saat ini ia sedang menuju ke restoran di mana keluarganya akan makan siang bersama dengan keluarga kolega ayahnya untuk menyusul ayah dan ibunya yang sudah terlebih dahulu berada di sana.

"Sial..." Sakura menggaruk-garuk kepalanya lagi. Ibiki mengernyitkan dahi dari balik kemudi. Ia mengamati majikannya yang kini tampak kusut melalui spion kecil di depannya.

"Ada apa, Nona?" tanyanya seraya melirik sekilas ke belakang.

Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku berubah pikiran, Paman. Aku tak mau dijodohkan. Persetan dengan cincin ini."

Ibiki tersenyum geli. "Mungkin Nona perlu melihat dan mengenalnya dulu. Setelah itu baru mengambil keputusan. Saya yakin Tuan dan Nyonya tidak akan salah memilih." Pria itu mencoba memberikan saran.

Sakura hanya manggut-manggut. "Semoga saja, Paman."

OoO

Sakura melangkahkan kaki ke dalam bangunan megah itu. Lampu-lampu kristal, alunan musik klasik yang mengalun indah, tamu-tamu dengan pakaian resmi, sungguh tipikal restoran bintang lima. Matanya mencari-cari di mana kiranya Ayah dan Ibunya berada. Suasana restoran ini cukup ramai. Para pelayan tampak bersliweran sambil membawa nampan-nampan berisikan masakan-masakan mewah yang harganya selangit.

Ia masih saja mencari-cari sebelum matanya menangkap keberadaan ayah dan ibunya di meja besar yang letaknya di dekat jendela. Ia tersenyum kecil dan berjalan pelan ke arah orang tuanya. Namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya sambil memicingkan mata. Mencoba melihat dua sosok yang baru saja datang dan menghampiri ayah dan ibunya.

Matanya membesar. Tubuhnya langsung kaku. Jantungnya serasa ingin berhenti menghadapi kenyataan bahwa dua sosok yang kini berbicara dengan ayahnya adalah Maito Guy bersama dengan putera kesayangannya, Rock Lee.

Susah payah ia menelan ludah. Kerongkongannya serasa tercekat. Maito Guy adalah salah satu kolega ayahnya. Pasti Lee yang akan dijodohkan dengannya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang tuanya akan tega menjodohkan dirinya dengan pemuda aneh berbulu mata lentik seperti Lee.

Lee merupakan teman satu universitas Sakura. Sudah menjadi rahasia umum di kampusnya bahwa pemuda yang gemar berbaju ketat itu memiliki perasaan khusus kepadanya. Dan bukan rahasia lagi, bahwa Sakura sudah berjuta-juta kali menolak pernyataan cinta dari Lee baik secara halus –berbicara baik-baik– maupun secara kasar –menghajar Lee sampai masuk rumah sakit–.

'Ini pasti konspirasi terselubung,' batinnya. Gadis itu mundur perlahan. Ia harus segera kabur sebelum ayah atau ibunya melihatnya. Sakura langsung berbalik dan mengambil langkah seribu. Peduli setan mau kemana. Yang penting kabur dulu. Keselamatan dirinya lebih penting. Ia terus menerus berlari cepat dan keluar dari restoran itu.

'Lovely Mother calling.'

Sakura melotot melihat panggilan yang tertera di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang ia langsung membanting ponselnya karena takut dan gugup. Ia terus menerobos kerumunan orang yang memandangnya dengan pandangan heran. Tak lama kemudian ia berhenti dan menyandarkan dirinya di dinding. Nafasnya tersengal-sengal. Ia meringis dan memijit kakinya yang lecet akibat lari marathon dengan sepatu hak tinggi. Sakura mengusap keringat di pelipisnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Lumayan jauh juga ia berlari.

Sakura mengerutkan keningnya. Berpikir kira-kira ke mana sebaiknya ia akan pergi. Jika ia pulang ke rumah saat ini, sama saja dengan menyerahkan diri. Tiba-tiba ia menjentikkan jari ketika melihat sebuah bus antar kota yang berhenti di sebuah halte.

Dengan langkah pasti ia berjalan dan masuk ke dalam bus tersebut. Ia menghela nafas lega. Paling tidak untuk beberapa waktu ke depan ia akan terbebas dari perjodohan itu. Sakura telah memutuskan untuk pergi ke rumah neneknya yang berada di pinggiran kota Konoha. Meskipun tujuan bus ini ke luar kota, tapi Sakura masih bisa menyuruh sopir bus untuk menurunkannya di daerah perbatasan.

Sakura menyenderkan punggungnya yang lelah. Ia memijit pelipisnya yang pening. Sesekali ia menguap dan mengusap matanya yang sedikit berair. Sedikit demi sedikit, sang puteri pun mulai terlelap dalam tidurnya.

OoO

"Eng..." Sakura melenguh pelan ketika dirasakannya seseorang menggoyang pelan bahunya.

"Maaf, Nona. Kita sudah sampai," ujar seseorang sambil terus menggoyang bahunya dengan perlahan.

Sakura membuka matanya. "Ini di mana?" tanyanya dengan suara agak serak. Matanya masih tampak sayu dan memerah.

"Kita sudah sampai di Suna, Nona. Silahkan turun," ucap sang kondektur sembari tersenyum ramah.

"Tunggu. Kita sudah sampai di mana?" tanya Sakura sekali lagi.

"Di Suna, Nona," sahut kondektur itu seraya mengangkat alis.

"APA?" pekik Sakura. Ia mulai kalang kabut. Sepertinya ia ketiduran sampai tak sadar bahwa ia telah berada di kota yang berjarak lumayan jauh dari Konoha. Perbatasan pasti telah lewat beberapa jam yang lalu.

"Ada apa?" tanya kondektur itu dengan heran.

"Tidak ada," jawabnya lirih.

Sakura bergegas turun dari bus dan melihat ke sekelilingnya. Sepi. Ia melirik ke arah jam di pergelangan tangannya dan mengacak rambutnya frustasi. Jam 12 malam. Pantas saja lingkungannya sudah sepi. Hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang lewat di jalanan.

Sakura mengusap-ngusap lengannya untuk sekedar mengusir rasa dingin yang menusuk kulitnya. Gaun hitam berbahan satin miliknya tak dapat melindungi tubuhnya dari udara malam seperti ini. Ia mulai berjalan perlahan menyusuri jalan. Sebagian besar tempat telah tutup. Hanya beberapa tempat saja yang masih buka. Itu pun yang memang beroperasi pada malam hari. Sakura sedikit bergidik mendapati beberapa pria yang sedang berada di depan bangunan klub malam menatapnya dengan penuh nafsu.

Timbul sedikit penyesalan di hatinya. Kenapa ia harus lari, kenapa ia harus ketiduran, dan kenapa ia harus membanting ponselnya. Sekarang apa ia dapat? Terkatung-katung tanpa tujuan di tempat yang asing dan berbahaya. Malam hari pula.

Sakura menendang kaleng di depannya dengan kesal. Ia tak punya siapapun di Suna. Ia terus berjalan menyusuri jalan kota Suna. Berharap mendapat penginapan yang layak untuk tempatnya tidur malam ini.

'Srek. srek.'

Sakura membalikan badannya. Tak ada siapapun. Ia mengelus tengkuknya yang mulai dingin dan meneguk ludah. Ia memang bukan seorang yang penakut. Namun sendirian di tengah kegelapan malam seperti ini tentu saja membuatnya merinding.

Ia mulai berjalan kembali. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengusik pendengarannya.

'Srek.'

Sakura perlahan menolehkan kepalanya sedikit ke arah belakang. Tiba-tiba wajahnya pucat pasi. Sekelebat bayangan muncul di hadapannya dan membentuk siluet seseorang.

"Oh... Tidak..." Tanpa pikir panjang lagi, Sakura sontak berlari kencang sambil menenteng sepatunya. Ia terus menerus berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Gaunnya berkibar-kibar tertiup angin yang mulai menusuk persendiannya. Tiba-tiba saja matanya menangkap sesosok pemuda yang berjalan terseok-seok –mungkin karena mabuk- yang akan masuk ke sebuah bangunan apartemen.

Sakura mengikuti pemuda itu dari belakang dan ikut masuk ke bangunan itu. Sakura mengamati tempat itu dengan seksama. Bangunan itu tidak bisa dikatakan mewah namun berukuran cukup besar. Mungkin terdapat beberapa apartemen yang bisa di sewa di tempat ini. Entah karena keasyikan melihat-lihat, tanpa sadar gadis itu terus saja mengikuti langkah pemuda itu hingga ke depan pintu apartemennya. Sakura baru sadar ketika pemuda mabuk yang diikutinya masuk dan membanting pintu tepat di depan wajahnya.

"Aduh! Brengsek," makinya sambil mengusap-ngusap hidungnya yang memerah.

Sakura melihat sekelilingnya. Lampu temaram dan suasana senyap seperti ini membuat bulu kuduknya merinding lagi. Dengan ragu ia memutar kenop pintu di hadapannya. Nihil. Pintunya terkunci. Ia mengalihkan perhatian ke pintu lainnya dan mencoba membukanya. Sama saja.

'GRRR...' Sakura menghentak-hentakkan kakinya dengan sebal. Ingin rasanya ia mendobrak masuk ke salah satu apartemen di sini. Gadis itu butuh istirahat dan untuk istirahat ia butuh tempat yang aman dan hangat. Ia tak tahu penginapan di sekitar sini dan ia terlalu takut untuk keluar ke jalanan lagi. Ini sudah tengah malam dan tubuhnya sudah sangat lelah. Sambil komat-kamit, Sakura mencoba untuk membuka salah satu pintu apartemen.

'CKLEK.'

Pintu terbuka. Sakura langsung sumringah. Ia menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan untuk mengamati kondisinya.

"Halooo..."

Tak ada jawaban.

"Apa ada orang?" Sakura mulai beranjak masuk ke dalam ruangan itu.

Masih tak ada jawaban.

Sakura mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Apartemen yang rapi. Cukup sederhana namun semua barang-barangnya tertata dengan apik. Pasti penghuninya adalah seorang wanita. Sakura mendesah lega. Sepertinya ia bisa tidur dengan nyaman malam hari ini.

Sayup-sayup terdengar alunan musik opera dari salah satu ruangan itu. Sakura bergegas menuju ke arah di mana suara itu berasal.

'Sasuke's Room.'

Sakura menempelkan telinganya ke daun pintu. Tidak salah lagi. Sambil tersenyum ia mulai membuka pintu itu dengan perlahan.

"Permisi. Maaf, Nyonya. Aku tidak sopan. Aku—" kata-kata Sakura terhenti seketika melihat sesosok tubuh polos seorang pemuda dari arah belakang. Mulutnya membuka dan matanya membelalak.

Mendengar suara dari arah belakang, pemuda itu kontan membalikkan badannya. Dan...

'CROTT.'

"HEY! KAU SIAPA?"

'BRUG.'

Alhasil Sakura pingsan dengan darah mengucur dari hidung karena dengan suksesnya melihat tubuh polos nan sexy seorang Sasuke.

TBC

Author's note :

Huwaa... Cerita apa ini? *garuk-garuk tanah*. Maaf banget kalau ceritanya super ga jelas kayak gini. Ide ceritanya muncul tiba-tiba aja sih di otak saya. Ehmm... Jadi gimana minna? Fic ini bagusnya dilanjutin apa nggak? Saya minta reviewnya ya Heheheh *dilempar tombak*. Saran & kritik (except flame) sangat dibutuhkan ^_^...

Akhir kata...

Mind to Review?