Naruto dan segala tokoh dalam fiksi ini adalah milik Masashi Kishimoto

Saya hanya meminjam tokoh-tokohnya dan tidak mengambil keuntungan materi dalam bentuk apa pun.

.

.

Ketika

Bagian Tiga

.

.

Kata orang cinta itu buta. Tapi menurut Sakura cinta itu dingin. Sama seperti es batu yang kini ada di minumannya. Dia melirik pemuda berusia 21 tahun yang sedang asyik memainkan sebuah game di laptop hitam miliknya.

"Sas, boleh, ya?" pinta gadis itu. Gadis itu menggoyang-goyangkan ujung kaos kekasihnya. Berharap itu semua bisa meluluhkan hati sang kekasih.

"Tidak," sahut pemuda itu cepat.

"Cuma kumpul-kumpul sebentar kok," bujuknya. "Lagi pula nanti ada Ino dan Hinata juga."

Pemuda bernama Sasuke itu mengklik icon pause pada laptopnya. Dia kini menatap wajah kekasihnya itu dalam-dalam. "Tidak," katanya lagi.

"Ah, Sasuke-kun. Aku kan sudah lama tidak berkumpul. Jahat, ish!"

"Hn." Tanpa memedulikan wajah Sakura yang sudah ditekuk, Sasuke malah melanjutkan kegiatannya semula.

Kalau Sasuke itu kucing, Sakura tidak akan segan-segan membunuh Sasuke saat ini juga. Biar saja. Toh, kucing punya nyawa sembilan. Huh!

Sakura tidak habis pikir, apa sih susahnya mengizinkannya pergi bersama teman-teman semasa sekolahnya dulu? Lagi pula mereka juga mengajak Sasuke. Sasuke sendiri yang bilang kalau teman-teman mereka semasa sekolah dulu berencana mengadakan reuni kecil-kecilan hanya untuk angkatan mereka.

Sasuke memang menolak menghadiri acara itu karena besok dia harus ikut rapat dengan para direksi di kantor ayahnya. Maka dia melarang Sakura untuk hadir di acara itu. Dia hanya tidak ingin Sakura datang sendiri ke acara itu sendiri tanpanya. Dia khawatir. Apalagi akhir-akhir ini marak terjadi kasus pelecehan seksual dan perampokan di jalan. Namun Sakura mengartikan larangan itu sebagai usaha Sasuke untuk mendominasinya, menjauhkannya dari para sahabat-sahabatnya.

Sakura masih marah. Dia kesal. Dia tidak peduli pada Sasuke yang masih ada di apartemennya. Gadis itu meninggalkan Sasuke di ruang tengah, sedangkan dia sendiri malah masuk ke kamarnya. Merajuk.

Blam!

Suara pintu yang ditutup dengan keras membuat Sasuke berhenti sejenak dari kegiatannya. Sasuke mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah pintu kamar Sakura yang tertutup rapat.

Benar-benar marah, rupanya.

"Hei, buka pintunya," kata Sasuke.

Tidak ada jawaban.

"Sakura."

Masih tidak ada jawaban.

"Hn. Aku pulang."

Suara pintu dibuka terdengar, disusul kepala Sakura yang melongok ke luar. Hal itu disambut sebuah seringaian yang terpampang di wajah Sasuke.

"SASUKE-KUN RESE!"

Blam!

Kali ini Sakura tidak akan tertipu dua kali. Dia tidak peduli ketika Sasuke mengatakan kalau dia akan pulang. Sampai saat dia bosan merajuk, ternyata Sasuke benar-benar sudah pulang. Dan dia pulang tanpa mengusahakan apa-apa agar Sakura memaafkannya terlebih dahulu!

Sisi wanita Sakura yang sensitif sedikit terusik. Hasilnya adalah puluhan tisu berserakan di lantai kamarnya.

"Sasuke-kun jahat! Rese! Dingin! Tidak peka! Hiksss...!" Sakura meraih tisu lagi dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. "Jadi lelaki sama sekali tidak memikirkan perasaannya pasangannya! Hiks!" Sakura membuang bekas tisu ke sembarang tempat.

"Kenapa, sih, tidak mau mengizinkanku pergi besok?" Lagi-lagi Sakura mengambil tisu dari tempatnya. "Padahal Ino saja diizinkan oleh Sai, meski Sai tidak bisa ikut. Hiks!" Lalu kembali membuang bekas tisunya dengan asal.

Sakura melirik ponselnya. Sasuke bahkan tidak menghubunginya meski hanya sekadar meminta maaf kepadanya. Sakura menimbang-nimbang, apakah lebih baik dia menelepon Sasuke? Kemudian dia menggelengkan kepalanya. Gengsi!

Sakura masih mengamati ponselnya. Ponselnya masih sama. Masih berwarna putih gading, masih dengan gantungan lucu pemberian Sasuke (sebenarnya Sakura yang memaksa Sasuke memberikan gantungan lucu itu untuknya) yang menghiasi ponselnya, dan masih dengan wallpaper foto mereka berdua yang saling merangkul erat. Sakura jadi ingin melempar ponselnya saat melihat foto Sasuke yang sedang menyeringai. Tapi dia ingat kalau ini adalah ponselnya satu-satunya. Bisa gawat kalau sampai rusak.

Sasuke menyebalkan!

Bahkan di foto pun Sasuke tetap menyebalkan, begitu pikir Sakura. Dia masih marah, ditambah lagi Sasuke seperti tidak ada usaha untuk meminta maaf kepadanya. Sakura benar-benar kesal. Di satu sisi dia ingin meminta maaf, karena bagaimanapun juga dia sadar kalau terkadang tingkahnya terlalu kekanakan. Tapi sebagai wanita dia juga merasa ingin Sasuke yang meminta maaf padanya. Bukan sebaliknya. Namun sepertinya Sasuke sama sekali tidak ada niat untuk meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya tidak dibuatnya. Maka semalaman Sakura hanya menatap ponselnya penuh harap, tapi dia harus kecewa. Sampai dia tertidur pulas, Sasuke sama sekali tidak menghubunginya.

.

.

Sakura sudah memutuskan, palu sudah diketuk. Dia akan tetap hadir ke acara reuni teman-teman sekolahnya. Masa bodoh jika Sasuke marah. 'Memangnya hanya dia yang bisa marah?' pikir Sakura.

Sakura mematut dirinya di depan cermin. Gaun sederhana tanpa lengan yang panjangnya sebatas lutut membungkus tubuhnya yang ramping dengan sempurna. Acara dimulai pukul lima sore. Sakura akan tetap hadir, apa pun dan siapa pun penghalangnya, dia tidak peduli. Termasuk Sasuke. Bahkan Sasuke belum menghubunginya sejak semalam!

Sakura paham, kali ini dia pergi bukan karena benar-benar ingin bertemu dengan teman-temannya semasa sekolah, melainkan lebih kepada ingin menunjukkan kepada Sasuke bahwa dia bisa berbuat apa pun yang dia mau, tidak peduli pada respons Sasuke. Sakura mengabaikan kata hatinya yang mengatakan bahwa tindakannya ini adalah kekanak-kanakan.

Sakura tiba di tempat reuni pukul setengah enam. Sudah banyak teman-temannya yang datang. Ino, Hinata, Temari, dan Matsuri bahkan sudah tampak asyik mengobrol. Sakura memekik gembira ketika akhirnya mereka bisa berkumpul lagi seperti sekarang. Pekikan Sakura dibalas sama hebohnya oleh Ino dan Matsuri; Hinata dan Temari hanya tertawa kecil.

Kelima sahabat itu tampak benar-benar menikmati acara temu kangen mereka. Sesekali mereka membicarakan sikap pasangan mereka masing-masing.

"Tentu saja Sai masih tetap lelaki paling romantis. Hahaha...," kata Ino. "Yah, tapi tetap saja, mulutnya terlalu jujur untuk ukuran lelaki. Dia pernah bilang kalau aku terlalu gendut saat mencoba gaun di butik." Ino cemberut ketika mengingat salah satu hal paling menyebalkan dari kekasihnya.

"Hahaha... Kau masih enak, Ino. Karena Sai itu romantis," kata Matsuri. "Kalau Gaara, dia tetap irit bicara. Tapi dia selalu menyempatkan dirinya mengantar jemputku kerja. Hehehe..., bahkan menyempatkan untuk meneleponku setiap malam."

"Wah, enak sekali kau Matsuri," respons Temari. "Kalau Shika, dia tetap saja pemalas dan hobi tidur," keluh Temari. "Ya, walau sekarang dia sudah memberikan ini." Temari mengangkat tangan, memamerkan sebuah cincin bermata putih yang melingkar di jarinya.

"Gyaaa~ Temari! Kau sudah dilamar oleh Shikamaru?!"

Temari hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kecil. "Naruto bagaimana?"

Hinata tersipu malu ketika semuanya kini memandangnya. Dia juga mengangkat tangannya. Terlihat sebuah cincin dengan permata ungu menghiasi jari tangannya.

"Ya ampun! Bahkan si bodoh itu pun sudah melamarmu!" Ino tampak terkejut. "Kalau begitu Sai juga harus cepat-cepat melamarku."

Semuanya tertawa ketika mendengar perkataan Ino. Lalu terdengar suara Hinata.

"Kalau Sakura-chan, bagaimana?"

Semua mata kini tertuju pada Sakura. Sakura jadi sedikit salah tingkah. Dia hanya tertawa kecil.

Apa yang harus aku katakan?

Sakura termenung. Semua temannya memiliki kisah yang indah dengan pasangan masing-masing. Seperti Ino dan Matsuri, meski kadang pasangan mereka tampak menyebalkan, tapi ada hal-hal membahagiakan yang bisa dikenang dan diceritakan pada saat-saat seperti ini. Bahkan Temari dan Hinata sudah dilamar oleh pasangan mereka. Lalu bagaimana dengan dirinya? Sakura merasa miris.

Sasuke tetap Sasuke seperti saat mereka sekolah dulu. Tetap irit kata, dingin, cuek, tidak romantis, bahkan menyebalkan. Seperti hari ini, tak ada satu pun kabar dari lelaki itu. Sakura merasa kisah cintanya begitu menyedihkan, tidak seperti kisah-kisah temannya yang penuh warna dan kebahagiaan.

"Nah, Sakura, bagaimana dengan Sasuke-mu itu?"

Sakura hanya meringis. "Tidak ada yang spesial. Sasuke-kun masih seperti saat sekolah dulu." Terjadi jeda sebentar. "Dia tetap dingin, cuek, dan tidak romantis."

.

.

Acara reuni sudah selesai. Sakura tidak begitu menikmatinya ketika teman-temannya kebanyakan sudah pulang. Ino sudah dijemput oleh Sai. Matsuri sudah pulang bersama Gaara. Temari bahkan pulang paling pertama saat Shikamaru sudah menjemputnya. Tinggal Hinata yang masih menunggu Naruto menjemputnya.

Tak lama kemudian Naruto muncul. Sebelum Hinata masuk ke dalam mobil Naruto, dia menyempatkan dirinya memeluk Sakura.

"Sakura-chan, masih menunggu Sasuke?"

"Mmm ... iya, aku masih menunggu," kata Sakura. Dia merasa perlu berbohong. Dia tidak ingin teman-temannya mengetahui kalau saat ini dia sedang bertengkar dengan Sasuke (lebih tepatnya, hanya dia yang marah secara sepihak).

"Baiklah, kalau begitu aku temani, ya. Biar Naruto-kun menunggu sebentar."

"Eeh! Tidak, tidak usah, Hinata. Kau pulang saja. Aku bisa menunggu sendiri. Tidak lama lagi Sasuke-kun sampai," elak Sakura. "Lagi pula kasihan Naruto kalau harus menunggu."

"Tidak apa-apa, Sakura-chan. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan Teme," kata Naruto.

Hinata juga bersikukuh ingin menemani Sakura. Namun Sakura pun bersikeras agar Hinata pulang saja. Maka akhirnya Hinata mengalah.

"Kalau begitu, aku pulang, ya," katanya. "Sakura-chan hati-hati. Tunggu sampai Sasuke-kun datang menjemput."

"Hm," balas Sakura. "Hati-hati di jalan ya."

Sakura melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan Hinata yang sudah berada di dalam mobil. Mobil Naruto melaju, meninggalkan Sakura sendiri, berdiri di tepi jalan, di luar gedung tempat diadakannya reuni kecil mereka.

Sudah pukul sepuluh malam. Sakura mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya. Sasuke belum menghubunginya. Sakura sebenarnya ingin menghubungi Sasuke lebih dulu. Setelah dipikir-pikir dia memang kekanak-kanakan. Namun diurungkannya.

Daerah sekitar tempat Sakura berada cukup sepi jika sudah malam seperti ini. Sakura memutuskan untuk pulang naik taksi. Dia ingin berjalan menuju tikungan jalan yang berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatnya berada. Di sana biasanya banyak terdapat taksi, karena di sana ada pangkalan taksi.

Udara malam cukup dingin. Sakura tidak membawa jaket atau apa pun untuk menutupi tubuhnya yang terbalut gaun tanpa lengan. Suasana jalan juga cukup sepi. Tak ada pedestrian selain dirinya. Untunglah lampu di kanan dan kiri jalan masih berfungsi dengan baik, sehingga penerangan di sepanjang jalan cukup baik.

Tiba-tiba Sakura merasa ngeri. Dia melirik ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Padahal dia merasa kalau sejak keluar dari tempat acara reuni dan memutuskan untuk berjalan ke tikungan depan, ada seseorang atau sesuatu yang mengamati dan mengikutinya. Mencoba menahan perasaan was-was dan rasa takut yang menyelinap masuk ke dalam hatinya, Sakura mengeratkan pegangan pada tas tangan miliknya.

Klontang!

Sakura terkesiap. Refleks, dia memutar tubuhnya. Tempat sampah yang berada tak jauh di belakangnya kini jatuh terguling. Tempat sampah itu bergetar cukup lama. Sakura memandang ngeri ke arah tempat sampah itu. Tiba-tiba seekor kucing muncul keluar dari dalamnya.

"Miawww..."

Sakura menghela napas lega. "Ternyata hanya kucing," katanya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya. Saat itulah dia menjerit karena terkejut.

"Kyaaa!"

"Apa yang kaulakukan?"

Sakura melihat lelaki itu berdiri tepat di hadapannya. Tubuh tegap Uchiha Sasuke menjulang, menghalangi jalan Sakura.

"Kenapa kau ada di sini?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," jawab Sasuke.

"Aku..."

"Pakailah." Sasuke menyampirkan sebuah jaket ke bahu Sakura. "Kau bisa kedinginan kalau hanya memakai baju seperti itu."

Sakura merasa tubuhnya menghangat saat jaket Sasuke sudah membungkus tubuhnya. Sama seperti hatinya yang menghangat.

"Kau ke sini naik apa?"

"Mobil."

"Lalu di mana mobilmu?" Sakura mencari-cari benda itu, tapi dia sama sekali tidak menemukannya.

"Aku parkir di gedung tempat reuni," kata Sasuke. "Ayo," ajaknya.

Sakura masih tak beranjak dari tempatnya; Sasuke sudah dua langkah di depannya. Sadar kalau Sakura tidak mengikutinya, Sasuke membalikkan tubuhnya.

"Kenapa?"

"Maaf," kata Sakura pelan, tapi Sasuke masih bisa menangkap kata itu dengan baik di telinganya.

"Untuk?"

"Aku tahu sikapku menyebalkan. Aku pergi tanpa seizinmu dan marah padamu sejak kemarin."

Sasuke mendekati posisi Sakura. Dia meletakkan telapak tangannya ke atas kepala gadis itu. "Hn," katanya, sambil menepuk-nepuk pelan kepala Sakura. "Ayo, kita pulang."

Sakura tersenyum lega. Dia mengikuti langkah-langkah kaki Sasuke di depannya. "Ne, Sasuke-kun, kenapa sejak kemarin tidak menghubungiku?"

Sasuke menghentikan langkahnya. Sakura pun ikut melakukan hal itu. Lalu Sasuke menatap Sakura. "Jangka waktu marahmu akan bertambah kalau aku menghubungimu."

Sakura diam. Sasuke benar. Kalau Sasuke gencar meminta maaf padanya, dia pasti akan semakin marah pada lelaki itu. Sakura hanya butuh waktu sampai emosinya mereda. Kalau Sasuke terus-menerus meminta maaf, Sakura malah akan semakin sulit memaafkannya. Keegoisan seorang wanita yang Sakura akui sangat menyebalkan tapi memang begitu adanya, apa boleh buat. Dia juga wanita, jadi dia tahu bagaimana rasanya.

"Tapi 'kan kau bisa menghubungiku tadi pagi?"

"Ponselku mati. Aku meeting dari pagi."

Sakura mengamati Sasuke. Sasuke belum mengganti pakaiannya sepulang kantor. Lelaki itu masih mengenakan kemeja panjang berwarna biru laut, dengan lengan baju yang sudah tergulung sebatas siku.

"Kau baru pulang dari kantor?"

"Hn."

Sakura jadi merasa bersalah. Dia sekarang benar-benar merasa bahwa tingkahnya sangat menyebalkan. Kekasihnya sedang meeting sampai larut malam seperti ini (Sakura tahu kantor tempat Sasuke bekerja selalu mengadakan meeting setiap triwulan untuk me-review kinerja perusahaan mereka, sampai larut malam), dia malah bersikap kekanak-kanakan dengan marah kepada Sasuke hanya karena tidak diizinkan pergi ke acara reuni.

Bahkan sekarang kalau dipikir-pikir, mungkin saja alasan Sasuke tidak mengizinkannya ikut acara reuni adalah karena Sasuke khawatir pada dirinya. Siapa yang akan menjemputnya pulang kalau ternyata sampai selarut ini Sasuke belum selesai meeting? Tiba-tiba perasaan malu menyergap Sakura. "Maaf ya, aku benar-benar menyebalkan."

Sasuke menautkan kedua alisnya, kemudian berkata, "Hn. Menyebalkan." Sasuke lalu memamerkan seringai yang terpampang di wajahnya.

Bibir Sakura mengerucut, lalu memukul lengan Sasuke main-main dengan tas tangannya. "Kau juga menyebalkan," desis Sakura.

Sasuke hanya tersenyum tipis. Lalu menggandeng lengan Sakura, berjalan beriringan menuju gedung tempat reuni. Sakura menatap Sasuke dengan tatapan penuh kasih sayang. Kisah cinta mereka memang biasa-biasa saja. Sasuke juga cuek, tidak peka, dan tidak romantis. Namun hanya lelaki itu yang paling mengerti dan memahami dirinya. Dan Sakura bersyukur karenanya.

Hanya Sasuke yang bisa membuat hatinya menghangat-

Cup!

-dan hanya Sakura yang bisa membuat wajah Sasuke memerah.

.

.

Selesai

An: hallo~ adakah yang ingat fiksi kecil, seuprit, dengan timeline yang loncat-loncat kaya kelinci ini? Nggak ada kayanya, ya? Hehehe... (Ya iyalah, ay, orang ini fiksi taon jebot xD)

Yap, akhirnya Ketika saya lanjutkan juga. Meski seperti yang saya bilang, cerita di fic ini hanya cerita-cerita pendek dan ringan-ringan. Di chapter ini Sasuke dan Sakura sudah lulus sekolah. Sudah pada kerja. XD

Buat chapter selanjutnya, jangan berharap banyak yah. Saya nggak bisa janji. Mungkin sewaktu-waktu, entah itu besok, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan #dor saya baru tambahin chapter berikutnya. Bisa tentang Sasuke yang melamar Sakura (ini si aya sebenernya yang ngebet pengen dilamar. Hahaha xD) atau Sasuke sama Sakura yang udah punya baby! *culik baby-nya* #dikepret Atau mungkin saya tamatkan sampai di sini.

Terima kasih sudah membaca sampai di sini.

Salam hangat,

Ay