Previous Chap :
"Apa menurutmu... mengenai perceraian?"
Sesuatu di dalam hati Hinata berotasi. Ada sebuah perasaan yang membuat hatinya bergetar ngilu. Antara sedih dan juga resah. Ia memiliki keinginan untuk membantah kalimat itu. Tapi hatinya tidak. Salah satu sisinya memprotes. Batinnya sudah terlalu rapuh untuk disakiti lagi.
Karenanya, di detik itulah Hinata tersenyum lembut.
"Perceraian... mungkin jalan terbaik."
Sasuke memejamkan matanya, dan kemudian menghela nafas.
Panjang.
Kalau saja ia bisa menarik kalimatnya yang tadi, ia akan menariknya sekarang juga.
.
.
Normal POV
"Kalau begitu... hubungan ini akan berakhir, ya?"
Mendapati kalimat itu dari bibir Hinata, pelukan Sasuke mengendur. Karena pipi Hinata masih menempel di dada bidangnya yang berlapis kemeja, dapat wanita itu dengarkan suara nafas Sasuke yang memberat. Ia seolah menyesali pertanyaan ucapan terakhirnya. Hinata tau. Tapi tak apa selama dirinya tidak ikut menyesal.
Ah, atau mungkin... belum menyesal.
Hinata melepaskan pelukan Sasuke. Mendorong tubuh itu sebatas tangannya terulur, lalu mengangkat dagu, membiarkan iris ungu pudarnya yang sayu menatap lurus Sasuke yang terdiam. Terlalu lama bertatapan di keheningan ini membuat Hinata bergerak. Salah satu telapak tangannya terangkat, jari-jari halus menyentuh pipi Sasuke yang dingin.
"Karena Sasuke yang pertama kali mengajukan pendapatku soal perceraian, aku mau menambahkan satu hal." Ucapnya perlahan. "Aku rela Sasuke-kun ceraikan. Tapi... aku punya satu syarat."
Sasuke diam sebentar. Sesuatu di kepalanya serasa bergeming. "Apa?"
Hinata tersenyum, deretan gigi kecilnya terlihat. "Sebelum kita membicarakan perceraian ini ke orang tua kita masing-masing... bisakah kau berpura-pura mencintaiku?"
Ia tak bereaksi.
"Sehari atau beberapa jam saja juga tidak apa..."
Ia tak berkedip.
"Aku cuma ingin tau... sebahagia apa rasanya jika dicintai Sasuke-kun."
Tapi ada dua hal yang Sasuke lihat di depan matanya saat ini. Hinata Uchiha. Istrinya yang mengucapkan syarat tadi tanpa tergagap. Tanpa rona merah di pipi. Hanya ada bulu mata yang basah, serta lekungan manis yang terpatri di bibir.
"Setidaknya biarkan aku berpikir bahwa penantianku selama ini tak sia-sia. Cukup itu."
.
.
.
I'LL BE WAITING FOR YOU
"I'll Be Waiting For You" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga]
Romance, Hurt/Comfort, Family
AU, OOC, Typos, Semi-M, etc.
.
.
FIFTEENTH. Akhir Penantian Panjang
.
.
Trek.
Pagi ini Itachi terbangun karena bunyi keras yang menghantam meja kerjanya. Pria workaholic yang tak sengaja tertidur di sana menegakkan tubuh sambil membuka-tutup kelopak matanya yang berat oleh kantuk. Ada Sasuke Uchiha, adik bungsunya, tepat di sebelah dia terduduk. Heran, Itachi mengalihkan pandangannya ke benda persegi yang baru saja Sasuke lemparkan. Kalau tidak salah itu adalah buku 'The Perfect Husband', buku panduan menjadi suami teladan yang sebelumnya Itachi pinjamkan.
"Kenapa?"
Alih-alih menjawab, Sasuke malah menghela nafas. Di ruangan yang sepi ini tentu Itachi bisa menilai apa yang terjadi dengan Sasuke. Dia pasti sedang dibebani masalah. Tapi masalah apa? Itachi tidak bisa menebak.
"Kau sudah selesai menerapkan perintah-perintah di buku itu, hm?" Itachi menebak.
Sasuke berdesis. "Tidak ada yang mempan 100%."
"Kau coba semua sarannya?"
"Belum."
"Lalu kenapa kau asal menyimpulkan tidak mempan 100%?"
"Hinata malah minta cerai." Ujarnya sarkastis. Itachi menaikkan alisnya, kaget. Tapi ia tahan tak bertanya agar Sasuke menyelesaikan omongannya. "Terlebih lagi, alasan utama dia minta cerai karena aku cemburu ke laki-laki yang mendekatinya. Padahal di buku itu ada tulisan 'cemburu itu tanda sayang'. Ck, perempuan memang merepotkan—"
"Tunggu." Itachi mengusap kening. Pening juga kalau sudah disodori masalah rumah tangga subuh-subuh begini. "Aku mau bertanya, kau yang meminta cerai atau Hinata-nya?"
Sasuke berpikir. Raut wajahnya masih datar. "Tidak ada. Aku hanya bertanya 'apa pendapatmu mengenai perceraian?', lalu ia malah menyetujuinya."
"Kalau begitu aku akan menyalahkanmu." Itachi memasang tampang bosan. Ia memilih untuk membereskan berkas-berkasnya yang bertebaran.
"Iya." Sasuke berdesis frustasi. "Aku yang bodoh."
Itachi meliriknya lewat ekor mata. "Kau menyesal?"
Sasuke ingin mengelak tapi suaranya tak keluar. Dirinya kaku. Dan benar saja, sejak obrolannya dengan Hinata semalam, ia benar-benar tidak bisa merespons banyak. Dia merasa kikuk. Bingung harus berbuat apa.
"Bagaimana?"
Sasuke menoleh perlahan. "Maksudnya?"
"Jadi kau menyesal?" Tagihnya. "Kalian serius mau mengakhiri hubungan?"
Pria berambut raven itu tidak langsung menjawab. Ia putuskan menjawab cepat. "Terserah dia lah. Lagi pula aku juga lelah dengan semua ini. Lebih baik aku menduda sampai 50 tahun ke depan."
Itachi tertawa sinis. "Kau terlihat frustasi, Sasuke. Tidak terbiasa dicampakkan perempuan, ya?"
Ia mendengus. "Yang penting aku tinggal berbicara dengan orangtua Hinata, lalu masalah ini selesai."
Sasuke menebak-nebak apa yang akan terjadi ketika ia menjelaskan perihal perceraian ke ayah dan ibunya. Terlebih lagi ke Hiashi Hyuuga—ayah Hinata. Mereka pasti murka. Ia yakin hal ini tak akan bisa dilewati semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya Sasuke Uchiha lah yang berpeluang besar dihajar abis-abisan oleh kepala keluarga dari masing-masing pihak. Diungkit-ungkit masalah Sakura lah, jadi suami yang tidak peka lah, tampang judes lah. Berani taruhan Hinata tak akan disalahkan apa-apa.
"Ngomong-ngomong... dari cerita yang kudengar, sepertinya Hinata sedikit salah paham soal pertanyaanmu soal perceraian itu." Itachi membahas ulang dan Sasuke mengangguk.
"Hn."
"Lalu kenapa tidak dijelaskan? Bilang saja kau tidak bermaksud—"
"Untuk apa?" Sasuke menyela. Nadanya sedikit meningkat. "Dari awal ini adalah perjodohan, kan? Kami berdua sama-sama tidak bahagia. Lebih baik berpisah dari sekarang, tak perlu diulur-ulur lagi."
Itachi menyesap kopi dinginnya, lalu ia mengernyit karena rasanya tak enak. "Alasan klasik."
"Aku serius, Baka Aniki." Sasuke mendesah malas. "Dan dia sudah memberitahukanku syarat terakhirnya."
"Syarat terakhir?"
"Syarat yang harus kami lakukan sebelum bercerai."
"Syarat apa?"
"Syarat untukku... agar bisa berpura-pura mencintainya. Sehari."
Terdengar bunyi dentingan ketika Itachi yang menaruh cangkir di cawannya. Itachi merenung selama beberapa detik.
Sasuke melihat jam. "Aku ke sini cuma karena ingin mengembalikan buku. Jadi sudah dulu... aku mau kerja."
"Dasar suami payah tak tau malu." Itachi berkomentar pelan saat Sasuke baru berbalik.
"Apa? Payah? Kau menghinaku, hn?" Sasuke menoleh. "Jaga ucapanmu, Itachi. Bagaimanapun juga kau belum pernah merasakan menikah, jadi kau—"
"Aku memang belum menikah." Kali ini Itachi menyesap air putihnya sesaat. Salah satu alasan kenapa bukan dia yang dijodohkan ke Hinata kan memang karena dirinya yang lagi sibuk-sibuknya mengurusi perusahaan. "Tapi aku tau perasaan Hinata."
Sasuke bungkam.
"Kalau aku berada di posisimu dan punya 'akal', aku akan mempertahankannya di detik itu juga." Ujarnya, sedikit menyindir. "Kau harus tau, Sasuke. Dicintai dengan perasaan sebesar itu adalah sebuah karunia terindah yang harus kau syukuri. Dan kau telah menyia-nyiakannya secara telak."
Sasuke menatap lurus mata kakaknya. Lalu ia menghela nafas.
"Ya, aku tau."
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
"Ja-Jadi hal itu benar!?"
"Iya." Di rumah yang lain, Hinata tersenyum ke Naruto. "Aku akan bercerai."
Di halaman depan rumah kediaman Uzumaki, Naruto dan Hinata berbicara bersama. Kedua insan berambut kontras itu duduk bersebelahan sambil memandangi taman di depannya.
Mendengar kalimat tadi, Naruto sedikit mengangguk—ia maklum, sangat maklum malah. Tapi di saat itu juga ia menggeleng. "Tapi kenapa mendadak seperti ini? Apa yang dia lakukan? Apa dia memukulmu?"
"Sasuke-kun tidak melakukan apa-apa..."
"Kau yakin, Hinata-chan?"
"Iya. Ini murni kemauanku."
"Tapi kenapa?" Naruto mengesampingkan wajahnya, menatap lekat wanita ayu bersurai indigo. "Kenapa di saat Sasuke sudah baik seperti ini kau malah mau berpisah?"
"Karena inilah jalan yang tepat untuk kami berdua."
Naruto mengerucutkan bibir. Di undakan rumah yang terbuka lebar, capung-capung yang beterbangan di siang bolong seperti ini menangkap perhatian mata mereka. Diawali menarik nafas, Naruto menyentuh menyentuh pundak sahabatnya.
"Hinata... lebih baik kau batalkan perceraian ini."
Hinata menatap Naruto dengan tatapan lemas. Tangannya masih sibuk memelintir rumput panjang yang tadi dia cabut di halaman keluarga Uzumaki. "Tapi aku tak memiliki alasan lagi untuk mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin mencintai Sasuke-kun lagi. Aku tidak ingin sakit hati. Kadang aku merasa sudah saatnya beristirahat..."
Di detik itu Naruto terdiam. Wajahnya beralih memandangi orang-orang yang berada di taman sana. Sama dengan Hinata. Pria jabrik itu terdiam. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang merenungi sesuatu di otaknya.
"Ke mana... Hinata-chan yang dulu?"
"Eh?"
Naruto mengadahkan wajah dan memejamkan mata. Bahunya mengedik. "Tidak apa. Aku hanya heran, di mana Hinata-ku yang tegar dan menyebalkan? Yang sering membela Sasuke, yang dulunya rela-rela saja membiarkan Sasuke bersama simpanannya dibandingkan dirimu."
Hinata tersenyum. Sepertinya Naruto sedang menyindirnya. Namun ia malah jadikan kalimat tadi sebagai lelucon atas masa lalunya yang begitu bodoh.
"Waktu itu aku sedang dipengaruhi 'sihir'. Jadi tanpa pikir panjang aku merelakannya." Sudut bibir Hinata berusaha naik, namun sulit. Akhirnya melengkung turun. Ekpresi sedih. "Aku terus bertahan sekuat tenaga agar bisa bertahan di sampingnya. Jadi Sasuke tetap menjadi suamiku walau ia tak mencintaiku. Sampai-sampai aku tidak sadar, bahwa sedari dulu Sasuke lah yang sebenarnya tidak bahagia bersamaku." Hinata teringat peristiwa dimana ia ditelfon Itachi. "Aku... benar-benar egois."
Ia usap pelan puncak kepala Hinata yang begitu lembut. "Aku sendiri tidak tau harus memberi masukan apa kepadamu. Tapi aku akan selalu mendoakan yang terbaik, Hinata-chan."
Hinata mengangguk. "Ya. Terima kasih..." Wanita berkulit seputih susu itu menatap Naruto. Lama. Namun karena ia mendapati sebuah sosok di depan gerbang kediaman Uzumaki, ia terbelalak di detik itu juga. Jantungnya berdetak tak nyaman.
Tentu. Ada Sakura Haruno di hadapannya. Surai pink yang pendek, serta iris seindah permata emerald yang sangat kontras dengan kulit ala orientalnya. Reaksi Sakura pun serupa. Ia tampak terkejut saat melihat mereka yang duduk bersebelahan di bagian outdoor rumah sederhana Naruto.
"Hinata-san?"
"Ah, Sa-Sakura-san...?" Hinata menelan ludah. Ia kembali tergagap. Ia segera berdiri dan memandang Naruto yang sedang terheran-heran. "Naruto-kun... ini... apa maksudnya?"
"Kalian sudah saling kenal, ya? Aku sama sekali tidak tau..." Pria berambut emas itu tersenyum lebar. Ia berlari ke depan untuk menggeser gerbang. Setelah Sakura masuk—masih dengan memandangi Hinata—Naruto menarik tangan Hinata lalu menghadapkan sahabatnya ke Sakura. "Kenalkan, ini Hinata Uchiha. Sahabat yang sudah kuanggap sebagai adik sendiri." Katanya. Lalu ia menepuk pundak Sakura; memandang Hinata. "Dan ini adalah Sakura Haruno... ngg... siapaku ya?"
"Baka..." Sakura cemberut. Naruto terkekeh. Gadis itu pun tersenyum ke Hinata sambil menyodorkan tangan. Hinata terbingung.
"Sebenarnya kita sudah saling tau nama masing-masing, tapi tidak ada salahnya untuk berkenalan ulang, kan?" Pintanya, ramah. "Aku Sakura Haruno, adik kelas Naruto Uzumaki di universitas. Salam kenal."
"Bukan, dia bukan hanya kohai-ku..." Naruto berseru jenaka. "Dia calon istriku!"
"Enak aja!"
Hinata memperhatikan wajah Naruto yang terlihat senang menggoda Sakura. Kadang Sakura melemparkan pandangan jutek kearah cowok itu, tapi kemudian semuanya melunak menjadi tawa. Persis seperti wajah cantik Sakura Haruno yang pertama kali ia temui sedang bersama Sasuke di cafe ternama.
"Ya sudah, ayo masuk. Hinata-chan juga masuk lagi aja. Jangan pulang dulu..."
Hinata menggeleng. "Ti-Tidak, aku harus pulang."
"Kalau begitu baiklah. Aku mau menyiapkan cemilan dulu ya di dalam. Ayo masuk, Sakura-chan..." Naruto pun pergi masuk ke dalam rumah.
Hinata di sana tak langsung pulang. Ia diam dulu. Mata lavendernya mengamati Sakura Haruno dari samping. Gadis yang lebih tua beberapa tahun darinya itu merasa dilihati. Ia balas menatap Hinata sesudah ia melepaskan sepatu dan meletakkannya ke rak.
"Bagaimana kabarmu?"
"Ba-Baik..." Hinata gugup seketika. Ia jadi ingat seharusnya ia pulang—tapi kenapa ia malah memperhatikan Sakura?
"Kabar Sasuke-kun bagaimana?"
Hinata ingin menjawab, tapi suaranya tercekat. Ia malah terbayang kalimat yang sebelumnya pernah Sasuke jelaskan kepadanya. Mengenai hubungan Sasuke dengan Sakura yang sudah kandas.
"Aku sudah putus dengan Sasuke. Apa kau tau itu?"
Itu dia jawabannya. Ternyata Sasuke tidak bohong.
Sambil menunduk Hinata mengeraskan genggaman tangannya pada tas jinjing. Matanya takut-takut menatap Sakura. Kenapa wanita itu seolah memiliki kemampuan membaca pikiran?
"Kenapa S-Sakura-san memberitahukan hal itu ke aku secara tiba-tiba?"
"Karena aku yakin Sasuke tak akan bisa jujur kepadamu. Sepertinya sih. Makanya aku yang jelaskan sekarang." Jawabnya enteng. Gadis itu mencoba tersenyum. "Lagi pula kan dia memang begitu. Pria dingin yang terlalu menjaga harga diri. Dia mana mau merendah atau malu."
Pandangan Hinata meredup. Belasan detik terdiam ia berkata. "Tapi kenapa...? Kenapa... tiba-tiba kau memutuskan hubungan kalian? Padahal... saat bersamamu... dia sangat —"
"Dia mencintaimu."
Hinata terbelalak. Jantungnya seolah ditombak dan pecah beruraian. Selaan Sakura benar-benar membuatnya terkejut.
"Aku sudah membacanya. Aku lupa sejak kapan. Yang jelas aku tau. Dari perubahan tingkah lakunya, gerak-gerik, semua..." Sakura mencoba menjelaskan. "Dan karena tak bisa lagi bertahan dengan hubungan seperti itu, ya lebih baik aku lepaskan aja. Tidak baik juga berlama-lama menjadi kekasih gelap, kan?" Sakura mencoba tertawa, walau tersirat dari sorot matanya bahwa ia masih menyimpan kesedihan. "Tapi tenang saja, Hinata-san. Jangan khawatirkan aku maupun Sasuke. Kami sudah tak akan bersatu lagi. Sekarang dia milikmu seutuhnya." Ucapnya. "Sekarang aku sudah menjadi perempuan yang tegar loh. Naruto-senpai yang bodoh itu juga membantuku untuk bangkit."
Hinata mendengarkan. Tidak tau harus menjawab apa.
"Lalu... apa kau mau kuceritakan apa saja yang kualami saat melihat fase perubahan sifat Sasuke-kun?"
Hinata menatapnya lurus-lurus.
"Bolehkah...?"
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
Hinata's POV
Sesudah membayar taksi sejumlah dengan angka yang tertera di agrometer, kuucapkan terima kasih kepada supir yang mengantar. Tanpa menunggu bapak itu menjawab, kudahulukan berbalik badan dan berlari kencang. Sol sepatu boot yang kupakai tak henti-hantinya menghasilkan suara ketukan kala kutelusuri trotoar menuju apartemen keluarga Uchiha-ku berdiri.
Surai biru tua yang bergoyang, keringat membubuhi dahi, dan mulut yang terbuka sehingga mengeluarkan bunyi terengah. Aku terus berlari tanpa henti. Sebab aku sedang terburu-buru. Aku ingin menemui seseorang...
'Sebenarnya aku sudah lama menyadari ini. Aku merasa Sasuke-kun sudah tidak lagi mencintaiku.'
Aku ingin bertemu Sasuke.
'Padahal waktu itu perilakunya masih tetap lembut seperti biasa. Tapi aku yakin perhatiannya tak lagi terfokus kepadaku. Perhatiannya seolah terpecah.'
Aku ingin bertemu dengan pria yang berstatus sebagai suamiku.
'Sempat sekali aku mendatanginya saat ia tertidur di tempat kerja—sepertinya Uchiha memang terlahir sebagai workaholic semua. Lalu saat pundaknya kusentuh, coba tebak apa yang dia gumamkan...?'
Ia ingin bertemu Sasuke...
'Aku akan menjadi suami yang baik... begitu katanya.'
Tak terasa air mataku tergenang, turun dan kemudian jatuh tepat di lantai yang aku lewati.
'Sadar bahwa hubungan kami cuma tersisa ampas, aku pun putus darinya. Lalu sebagai salam perpisahan, aku sempat menciumnya. Gomen. Tapi aku janji; itu yang terakhir.'
Beberapa saat yang lalu, ketika Sakura bercerita, banyak linangan air mata yang keluar dari sudut mataku. Dan aku pun yakin. Itulah pengorbanan besarnya dalam merelakan Sasuke padaku. Dan yang paling membuatku tertegun adalah saat Sakura tersenyum sambil mengepalkan tangan kanannya ke udara.
'Berjuanglah. Buat Sasuke-kun takhluk.'
Aku yakin. Mau Sakura ataupun Sasuke, keduanya sama-sama telah berusaha memikirkan diriku. Memberikanku sebuah kesempatan emas untuk merasakan apa arti 'dicintai' yang sebenarnya. Ya. Dicintai oleh Sasuke. Mengutuhkan keluarga bahagia yang sedari lama kuidamkan.
Tapi nyatanya apa? Aku malah mengabaikan kesempatan itu. Aku tak mengacuhkan hati Sasuke yang terbuka lebar untukku, dan aku menyia-nyiakan kesedihan Sakura yang begitu besar saat mengenyahkan Sasuke dari kehidupannya.
Tanpa sadar dari tadi aku sudah menangis deras. Buliran bening ini terus terjatuh bersama langkah yang kupijak. Bahkan penghuni apartemen lain yang sempat berpapasan denganku saja sampai terheran.
Kami-sama, kenapa aku begitu... bodoh?
Saat sampai di depan pintu apartemen, pintu bisa kubuka mudah tanpa bantuan kunci. Aku menahan nafas. Itu tandanya ada orang yang berada di dalam apartemen.
Kuharap dengan keadaan pintu yang seperti ini ini, aku bisa segera berjumpa dengan Sasuke. Sekarang. Karena aku ingin minta maaf. Terlebih lagi segala permasalahan yang sempat terjadi di hari-hari lalu. Dan juga... kalau bisa, aku ingin membatalkan perceraian...
Cklek.
Pintu terbuka. Dengan cepat aku masuk dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesekali kubuat punggung tanganku mengusap wajah, menghapus linangan air mata yang terus mengalir. Dan sewaktu kulihat pintu kamar yang terbuka, aku segera memasukinya. Tepat seperti dugaan pertamaku, aku melihat sosoknya. Aku melihat sosok itu.
Sasuke.
Dia sedang memandangi sebingkai besar foto yang sudah dari dulu terpajang di dalam kamar—lebih tepatnya di hadapan ranjang tidur. Bingkai yang sangat familiar dan mencolok di mataku. Bingkai unik itu berisi foto pasca-wedding kami. Memuat wajah dingin Sasuke Uchiha dan wajah cemas Hinata Hyuuga yang waktu itu dipaksa foto bersama.
"S-Sa-Sasuke..."
Susah payah aku memanggil namanya. Ia menoleh perlahan. Mata tajamnya mengenaiku sekilas, lalu ia mengalihkan pandangannya ke lantai. Dapat kudengar hidungnya yang menghembuskan nafas panjang.
"Kau sudah datang rupanya..." Ia pun mengambil langkah—seperti ingin keluar kamar.
"Sa-Sasuke..."
Ayo katakan...
Katakan bahwa aku tidak ingin bercerai darinya. Tak ingin berpisah.
Mohonlah satu kesempatan agar bisa dimaafkan...
Aku menaruh kepalan tangan lemahku ke depan dada. Mataku menyipit, suaraku berbisik. "Sa-Sasu... aku..."
Puk.
Tangan Sasuke menyentuh kepalaku. Ia mendekat dan kemudian berbisik. "Kenapa datang-datang sudah menangis?"
Suaraku terhenti. Air mataku semakin membanjiri mata.
Jika saja aku punya keberanian, ingin rasanya aku memeluknya dan mengucapkan maaf. Tapi aku tidak bisa. Aku terlalu tidak berani. Aku terlalu... aku terlalu takut.
"Sasuke... a-aku..."
Tangan Sasuke kini yang bergerak, mengelus rambutku perlahan.
"Tenang... aku telah membicarakan perceraian kita ke Itachi. Minggu depan aku akan membicarakannya ke ayahku dan Hiashi-jisan."
Aku semakin kesulitan bernafas. Rasanya ada sebuah getaran di aliran darahku yang menjalar sampai ke ubun-ubun. Sebuah perasaan kaget dan sangat menyakitkan.
"Sebentar lagi kita akan berpisah..." Sasuke melanjutkan. Tanpa kuminta, ia mendekatkan wajahnya dan mengecup keningku. "Hitungan hari, kita akan berpisah dan kau akan bahagia..."
Seandainya suaraku bisa kukeluarkan secara lantang.
Seandainya...
Uhk...
Aku menangis...
Aku cuma bisa menangis.
Air mata ini tidak bisa kuhentikan.
Kenapa kalimat itu tak terucap?
Aku tak ingin bercerai...
Aku tak ingin berpisah...
"T-Te-Terima kasih..." Bodohnya, aku malah balas memeluknya. "Terima kasih..."
Sasuke terdiam. Pelukannya mengerat.
"Soal syarat, aku akan melakukannya besok. Semoga kau bisa bahagia... untuk sekali ini."
Jika saja aku lebih mengerti lebih awal... pasti tak akan begini.
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
Tak butuh menunggu lama, hari persyaratan yang telah ditentukan pun datang. Seperti biasa aku lah yang pertama kali terbangun dibandingkan Sasuke. Segala beban di pikiran ini menjadi faktor utama mengapa aku bangun sepagi ini. Aku cemas dan gelisah. Mataku yang sembab bisa dikatakan sebagai bukti kecemasanku.
Setelah membugarkan diri dan bangkit dari ranjang, aku melirik sebentar Sasuke yang masih terlelap. Menghela nafas, kubergegas keluar kamar. Tanpa membenarkan rambut yang acak-acakan, mandi, bertata rias atau apapun, dengan lesu aku mengenakan celemek dan ke dapur. Segala bahan di kulkas kukeluarkan. Di jam 06.00 aku mengawali acara masaknya.
Menu yang kupilih adalah sandwich bacon. Menu yang paling mudah dibuat. Cukup memangang sisi-sisi roti dengan baluran mentega asin, irisan selada dan tomat, lalu meletakkan keju lembar dan daging matang. Khusus piring Sasuke, kutambahkan dua telur mata sapi dan sosis saus barbeque agar mengenyangkan. Sambil menunggu minyak agak mendidih di teflon, aku menggunakan waktunya menekan botol saus tomat ke potongan roti, dan—
"Hinata."
Cprt!
Suara dadakan Sasuke mengagetkanku. Berkat botol plastik yang refleks ditekan, saus tomat meluncur ke atas dan mengenai pipi dan belahan bibirku secara tak sengaja. Aku gelagapan, berbalik seraya mengusap pipi dengan punggung tangan.
"Y-Ya? A-Ada apa?" Tanyaku, panik luar biasa. Menghindari kontak mata dari Sasuke, aku menjawab sambil berjalan menjauh. Tingkah lakuku sepertinya terbaca. Sasuke sampai menghalangiku saat aku mau keluar dapur.
Kutundukan kepala dalam-dalam sampai mataku tertutup poni rata. Wajahku terlalu belepotan untuk dilihat olehnya. Tapi Sasuke sama sekali tak ambil peduli, ia lanjut berbicara dengan suara datarnya yang khas. "Ada yang mau kubicarakan."
"Ka-Kalau begitu aku mau ambil tisu sebentar di—"
"Ini tak akan lama." Sasuke menyela. "Aku ingin bertanya mengenai persyaratanmu."
"A-Ah, syarat, ya...?" Cara bicaraku mencerminkan diriku yang tiga kali lebih gugup saat hal memalukan itu dibahas. "N-Ng... lebih baik Sasuke-kun lupakan syarat itu..."
Sasuke terdiam. "Kenapa?"
"Waktu itu aku sedang sedih, jadi kalimat-kalimat soal persyaratan terucap begitu aja..." Ujung jariku saling menyentuh dan berputar. "D-Dan sepertinya a-aku terlalu berlebihan. Jadi lebih baik kita lewati hari ini dengan senormalnya aja—"
"Tidak apa. Aku akan melakukannya."
Aku berhenti berbicara dan mengangkat wajah. Ia pandangi Sasuke yang memasang ekspresi serius. Lurus nan tajam ketika menatap mataku. Tangannya menyentuh pipiku. Ibu jarinya mengusap bagian kanan belahan bibirku yang terlapisi cairan kental kemerahan; saus tomat.
"Mau bagaimanapun juga, syarat terakhir adalah syarat penentu..." Bisiknya. Kemudian terjadilah sebuah hal yang membuatku terpana. Bibir Sasuke bergerak. Dua sudutnya naik. Pria itu memberikan senyuman kepadaku. Senyuman yang bahkan membuatku menahan nafas dengan susah payah. Jantungku berdebar.
Sasuke tersenyum.
Senyuman yang terasa tulus hanya untukku.
"Jika aku memulainya sekarang... tak masalah, kan?"
Aku terpana selama beberapa detik. Disibukkan oleh dentuman detak jantungku yang begitu keras membahana tubuh. Sadar bahwa telah lama mematung, tanpa suara aku palingkan wajah dan memutar tubuh—kembali menghadap kompor. Aku memasak sambil mengingat wajah Sasuke. Garis bibir yang halus. Wajah tampan. Pandangan hangat.
Baru kali ini kusaksikan pemandangan itu. Pemandangan yang benar-benar membuat hatiku bergetar. Sudah lama sekali kudambakan senyuman manis dari seorang Sasuke Uchiha. Senyumannya yang begitu memukau. Dan yang paling mengagumkan dari semua itu, Sasuke tersenyum kepadanya.
Senyuman yang bukan lagi ke Sakura Haruno—seperti dulu. Melainkan kepadanya...
Ah, tapi...
Ctek.
Aku mematikan kompor. Diriku mematung di dapur sedangkan Sasuke mengisi bangku di meja makan sambil menonton televisi, menunggu hidangan disediakan.
Perasaan yang semula menenangkan kini menjadi dingin.
Aku hampir lupa. Syarat yang dia ajukan bukannya 'berpura-pura mencintaiku', ya?
Tandanya... semua yang Sasuke lakukan di hari ini adalah sebuah kebohongan, kan?
Cuma akting untuk membuatku bahagia.
Itu aja.
Giliran aku yang tersenyum. Tersenyum perih.
Menyedihkan...
"Sandwich-nya sudah jadi..."
Dua porsi sandwich bacon bersama protein-protein lainnya telah tersedia di meja makan. Sasuke pindah tempat ke kursi di hadapanku. Wajah kami berhadapan, dentingan empat alat makan, dan tumben-tumbennya Sasuke menguasai pembicaraan. Tiap menit ia selalu mengeluarkan pujian. Di suapan pertama memakan sarapan buatanku, ia bilang bacon yang kubuat benar-benar enak. Asin dan lembutnya pas. Terkadang ia juga mengeluarkan senyum dan tawa santai saat mengobrol.
Mengejutkan, memang. Perkembangan yang patut disyukuri. Namun lagi-lagi aku hanya tersenyum melihat itu semua..
Bukannya ini hanya pura-pura?
Kini aku tak bisa ikut tersenyum.
Bagiku pemandangan ini menjadi sebuah keperihan.
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
Spesial sore ini, aku dan Sasuke sepakat berkunjung ke mall di tengah kota. Bagi pasangan suami-istri yang telah hampir setahun menikah, mungkin mall adalah tujuan yang membosankan, namun tidak bagi kami. Sebab aku dan Sasuke memang tak pernah pergi ke mall berdua. Karena itulah aku mengajukan permintaan agar bisa ke sana bersamanya. Aku ingin makan malam dan nonton bioskop. Kencan.
Sederhana, kan? Daripada mengikuti keinginan Sasuke yang berniat membawaku ke luar negeri? Bisa-bisa waktu sehari ini habis hanya karena menunggu perjalanan di pesawat.
Maka dari itu, terbalut dengan mantel dress tribal selutut berwarna pink muda dan serta blazer wol abu, aku berjalan di koridor megah Tokyo Mall, tepat di sebelah Sasuke Uchiha. Sedangkan Sasuke sendiri mengenakan mantel hitam dongker dengan celana panjang berbahan katun putih.
Kadang aku mengamati berbagai macam etalase barang-barang mewah yang terpajang di depan toko yang kulewati. Kadang pula aku curi-curi pandang ke sosok Sasuke. Dari posisi samping seperti ini, baru kusadari Sasuke adalah pria dewasa yang sangat tampan. Garis mukanya sempurna. Perpaduan kulit putih, mata obsidian, hidung mancung dan bibir tipis miliknya benar-benar tak bisa tertandingi. Dia benar-benar rupawan. Pantas saja banyak perempuan yang menyukainya. Dimulai dari pengunjung mall lainnya yang suka melirik ke kami, sampai wanita secantik Sakura yang rela dijadikan pacar gelap sekalipun Sasuke telah menikah.
Ah, Sakura. Mengingat nama itu, aku jadi teringat ke sebuah momen di mana melihat Sasuke dan Sakura bersama. Dulu. Waktu itu aku lagi mau belanja, dan di jalan aku melihat mereka berdua yang sedang jalan di trotoar, menuju sebuah cafe dengan senyuman bahagia. Sedangkan aku cuma bisa diam, melihat dari jauh, memalingkan muka tanpa suara.
Satu pose yang kuingat dari Sasuke dan Sakura di saat itu... adalah berpegangan tangan. Sakura memeluk lengan Sasuke. Menyandarkan kepalanya. Wajah riang.
Kalau dipikir-pikir, aku...
Aku juga ingin seperti itu.
Gyut.
Jemariku memeluk kelingking Sasuke—tak bertindak lebih karena alasan takut ditolak. Itu pun aku sudah berdebar kacau di dalam hati. Si raven pun melirikku. Awalnya sambil berjalan kami hanya menukar pandangan. Tak disangka, Sasuke mengetahui maksudku. Ia mendadak memegang telapak tanganku, menggenggamnya. Aku merasa hangat.
Apa bisa aku melakukan lebih?
Kutarik tangannya dan kemudian menyandarkan pipiku ke bahu Sasuke. Kupeluk erat lengan atasnya yang berisi. Seolah bantal tidur, aku memejamkan mata. Tak apa. Sasuke sama sekali tidak protes. Berkata-kata pun tidak.
Suka atau tidak, pasti Sasuke akan tetap menuruti kemauanku, kan?
"Boleh... seperti ini?" Tanyaku, berbisik lirih.
Sasuke melirikku sekilas.
"Hn."
Aku terdiam sebentar. Memandang lurus ke beberapa orang di mall yang mengamati kami. Wajar, terlalu menempel sih. "Kau tidak malu kan jalan seperti ini bersamaku?"
"Tidak sama sekali."
Ia menatapku, mencium keningku, lalu tersenyum. Dalam diam aku tersenyum pasrah.
Kenapa... lagi-lagi senyuman indah itu hanya pura-pura? Aku sebenarnya tau bahwa dia malu.
Kedua kalinya, ini merasa menyedihkan.
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
Malam menjelang dan aku baru saja menyelesaikan acara makan malam dan nonton bioskopku bersama Sasuke. Tadi acara yang kutonton ialah sebuah film romantis yang memiliki plot rupawan. Diceritakan ada seorang pria—suami—yang sangat mencintai istrinya. Dari awal mereka bertemu, pria tersebut mencintai istrinya apa adanya; melewati suka-duka bersama. Bahkan ketika tau istri itu mengkhianatinya di tengah jalan, mencampakkannya dan menceraikannya, pria itu sama sekali tak mengurangi rasa cintanya ke sang istri.
Membawa ending yang sedih, terpacu pada kematian suami yang sebatang kara tanpa ditemani siapa pun, semua orang di dalam teater menangis. Aku pun menangis. Aku terlampau bersyukur Sasuke pernah membuka hatinya padaku. Aku tidak semengenaskan tokoh utama di cerita itu. Walau ujung-ujungnya, kurasa tak lama lagi aku akan sepertinya. Berpisah, sendirian, menjadi tua dan mati tanpa didampingi suami atau anak. Sepertinya begitu.
Aku keluar dari teater bioskop dengan raut wajah kelam. Sasuke yang masih menggandeng tanganku berjalan di sampingku. Dia masih datar. Tak ada setitik pun air mata yang keluar dari matanya. Ada kemungkinan besar dia tertidur saat menonton film picisan tadi.
"Selanjutnya... mau ke mana?"
Sasuke bertanya dan aku terdiam. Kulihat jam tangan dan ya, sudah jam 21.00—jadwal kami di hari ini sudah hampir berakhir. Aku bukan tipe orang yang suka keliling mall berjam-jam untuk belanja. Aku ingin pulang, beristirahat. Tapi aku tidak mau. Itu tandanya kami akan berpisah.
Karena hari setelah ini adalah mengurusi perceraian, bukan?
Aku tidak ingin berpisah dengan Sasuke.
Aku masih mencintainya. Tapi ini sudah sangat terlambat. Apa aku sangat menyedihkan? Harus kuucapkan kembali; iya, memang.
Trek.
"Ah!"
Tampaknya dewi fortuna sedang menjauh. Baru melewati daerah toilet bioskop, heels-ku patah, kakiku terkilir sampai berdenyut. Sasuke yang jalan duluan sedikit menoleh dan kemudian menghampiriku.
Aku yang berpegangan pada dinding cuma bisa diam.
Kenapa aku mengakhiri persyaratan ini dengan suatu kesialan?
"Ada apa?"
"Se-Sepertinya heels-ku patah." Aku mengangkat sepatu heels bagian kanan dan kudapati bagian tumitnya yang bengkok. Hal yang seperti ini sama sekali tak bisa diperbaiki. Aku melirik Sasuke. "Sasuke-kun duluan aja ke mobil..."
Dia mengernyit tak paham. "Kenapa kau menyuruhku ke mobil?"
"Tak apa. Aku akan menyusul... tapi dengan heels yang kutenteng di tangan." Aku mencoba tertawa kecil menutupi rona merah di pipi. "Aku tidak ingin membuat Sasuke-kun malu."
"Hanya karena itu? Aku bisa membelikanmu sepatu yang baru."
"Tak perlu. Kakiku terkilir. Aku susah jalan. Memakai sepatu flat pun aku akan tetap kesulitan."
"Dan kau menyuruhku untuk meninggalkanmu sendiri?"
Kutegakkan tubuh. "Habisnya mau bagaimana lagi? Sasuke-kun tidak mau kan dikira ke mall dengan orang yang berjalan seperti nenek-nenek?"
Tau-tau Sasuke berjongkok. Ia menyentuh kakiku sampai aku mengaduh kesakitan.
"Kenapa sampai biru? Kau tak terbiasa memakai heels?"
Sembari menelan ludah, mau tidak mau kupalingkan wajah. Kalau sanggup menjawab, aku akan berkata 'iya'. Soalnya aku lebih terbiasa memakai sepatu bersol datar atau maksimal wedges. Padahal aku hanya ingin kelihatan lebih tinggi dan modis agar cocok berjalan di sampingmu, Sasuke.
"Harusnya kau tak perlu memaksakan diri." Ia memunggungiku. "Naik. Kau akan kugendong."
Aku nyaris terbelalak. "Eh? Me-Menggendongku? Di mall?"
"Kau mau apa lagi? Kutaruh di troli belanjaan?"
Aku menggeleng. Ide kedua lebih parah. "Ta-Tapi bagaimana dengan Sasuke-kun? Pasti Sasuke-kun malu kalau ada melihat, kan? Aku tidak ingin membuatmu malu..."
Sasuke menghela nafas keras-keras. Ia berdiri dan menjelajahkan pandangannya ke sekeliling. Aku memperhatikannya. Tapi sama sekali tak siap saat pria itu mendadak bertindak.
"Ah—kyaa!"
Aku terjungkal ke depan—ke arah Sasuke telah merendahkan badan. Satu gerakan gesit tadi membuatku menempel erat di punggung Sasuke. Pria berambut biru gelap itu menaikkan diriku agar posisi kami jauh lebih enak. Kupukul gemas pundak Sasuke. Wajah ini memerah drastis. "Sasuke! Sa-Sasuke-kun! Tolong turunkan aku!"
Sasuke tak peduli. Tanpa sedikit pun rasa berat yang ia tanggung, Sasuke telah memasuki zona di mana banyak orang yang berlalu lalang. Aku tersentak. Kusembunyikan wajah di belakang tengkuk Sasuke. Memilih diam daripada membuat sekuriti mall mengira diriku diculik.
Dan sesuai dugaan, satu per satu pasang mata mulai memandang aneh diri kami berdua.
"Ih, Papa, lihat kakak yang di sana. Dia juga digendong..." Ada seorang anak kecil—yang tengah digendong papanya—menunjuk-nunjuk diriku. Aku pusing seketika. Mataku bergerak bagaikan spiral yang berputar. Aku benar-benar malu sampai ke ubun-ubun.
Kenapa Sasuke tidak malu sih dengan posisi seperti ini? Apa karena dia sudah tau aku lah yang akan diolok-olok sama orang lain sehingga ia tak acuh?
"S-Sa-Sasuke-kun..." Pintaku, lemas, nyaris menangis. Kepala ini telah kubenamkan dalam-dalam ke punggung Sasuke. "Tolong turunkan aku. A-Aku sangat malu... hiks..."
Di langkah yang entah ke berapa, Sasuke berhenti. Ia memeriksa keadaanku dengan cara menoleh ke samping. Walau tidak melihat penampilanku secara keseluruhan, dari tubuh yang bergetar, tampaknya Sasuke jadi sedikit kasihan.
Aku bodoh, ya?
Padahal Sasuke lah yang menggendong diriku. Bahkan ia juga yang memegang sepatu rusakku di tangannya. Tapi aku sama sekali tidak berterima kasih.
Pada akhirnya Sasuke mendesah kecil.
"Kalau begitu... aku yang akan menanggungnya, bagaimana?"
Aku sedikit mengadahkan wajah. Agak bingung dan berniat bertanya apa maksud kalimat yang tadi ia ucapkan. Tapi baru sedetik kalimat itu akan keluar, mendadak Sasuke Uchiha membungkuk. Aku memekik karena nyaris jatuh terjungkal ke depan. Kemudian di detik yang sama Sasuke kembali menegakkan badannya.
Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Tak kusangka, Sasuke... ikut menenteng kedua sepatu pantofel mahal yang sebelumnya ia pakai. Ia buang sepatu miliknya ke tong sampah, sementara heels-ku masih dipegang erat. Aku tercengang. Nyaris tak bisa bernafas. Sasuke yang setauku memiliki harga diri selangit itu kini menapakkan kedua kakinya di lantai mall, cuma dengan terbalut kaus kaki hitam.
Dan aku terbelalak. Apa maksudnya? Kenapa Sasuke melakukan ini?
"Biar aku yang menanggung malu."
Aku tak bisa berkata-kata. Masih dengan mimik wajah terkejut, Sasuke berjalan menuruni escalator. Terdengar suara bisikan orang dari belakang.
"Hei, lihat. Yang laki-laki tidak memakai sepatu..."
"Tampan-tampan kok miskin, ya?"
"Haha, lucu sekali..."
"Uangnya habis karena oprasi plastik, kali."
Aku mengatupkan bibirku yang bergetar.
Kini tak ada lagi yang melihatku. Kini aku dianggap tidak ada.
Hanya Sasuke yang mereka olok-olok.
Aku semakin menangis. Menangis lebih keras. Tapi di saat itu juga orang-orang semakin memperhatikan kami. Bergabung menjadi satu menjelekkan Sasuke dengan berbagai macam sindiran lelucon yang tak lucu.
Semuanya... ditanggung olehnya.
"Sasuke-kun..." Aku berucap lirih saat kami melewati koridor lantai satu menuju pintu keluar mall. "Sasuke..."
"Hn?"
"A-Ari... Ari... ga..."
"Ari...?"
Bukan. Aku bukan hanya mau berterima kasih.
Kukuatkan mental untuk mengucapkannya.
"Anata ga..."
Daisuki.
Hontou ni... daisuki.
Suki. Aishiteru. Apapun.
"Mereka pasangan orang desa, kali ya? Dua-duanya sengaja tidak pakai sepatu. Tapi yang paling parah, apa-apaan pria itu? Cuma bisa modal tampang doang pastinya!"
"A-Aishiteru..." Aku meneruskan. Kuabaikan omongan orang-orang di sekitar dan memeluk lehernya. Memeluknya dengan sangat erat sampai dadaku sesak. Air mataku berlinangan. Aku menangis deras. Aku menangis sedih dan juga bahagia.
Sasuke mendengus. "Hn. Aishiteru."
Aku menarik ingusku yang berlebih di hidung. "Sa-Sampai-sampai... kau sanggup melakukan hal yang seperti ini..." Tangisanku semakin kencang. Sasuke ikut merasakan aliran air mataku. "Menurutku berlebihan..." Kueratkan pelukanku. "Kau benar-benar pandai berakting."
Sasuke kembali mengatupkan bibir.
"Se-Seandainya... kau benar-benar m-mencintaiku sampai seperti ini..."
Sasuke memejamkan mata.
"Se-Seandainya k-kau mencintaiku yang dari dulu mencintaimu..."
.
.
~zo : i'll be waiting~
.
.
Normal POV
"Te-Terima kasih karena sudah menggendongku dari dalam mall ke mobil. Mm, m-maaf kalau aku berat..."
Suara itulah yang Hinata keluarkan saat baru duduk di jok mobil Sasuke. Pria tersebut mengangguk datar sambil menginjak pedal gas. Ditelusurinya basement mall dan keluar. Dalam hitungan 20 menit, mereka berdua sudah kembali ke kawasan apartemen yang dingin dan tentram. Sewaktu turun dan berjalan ke kamar, membisulah yang bisa didapatkan, tak ada yang bersuara lagi. Cuma ada tangan yang mengeratkan mantel dan jaket masing-masing.
Blam.
Sudah sampai. 'Kencan' pertama dan terakhir ini... berakhir.
"Apa Sasuke-kun mau mandi?" Tanya Hinata setelah Sasuke menempati sofa dan menyandarkan kepala. Kulihat matanya yang terpejam.
"Ya."
"Akan kusiapkan air panas. Tunggu sebentar." Hinata ke dalam kamar mandi dan menekan tombol dari mesin heater air. Sesudahnya ia terdiam. Tanpa diundang atau dipengaruhi, suasana hatinya memberat, berkecamuk.
Jadi... semua sudah selesai? Hari yang merupakan hari terakhirnya bersama Sasuke? Dan besok mereka harus membicarakan perpisahan mereka ke keluarga besar Uchiha-Hyuuga, mengurus berkas-berkas perceraian, lalu ke pengadilan untuk memutuskan hubungan pernikahan yang telah dirajut selama ini?
Wanita berponi rata itu menghela nafas panjang-panjang.
Apapun yang terjadi ialah takdir Tuhan. Ini juga 80%-nya akibat keputusan Hinata sendiri, kan?
Ia melangkah keluar. Berniat ke kamar dan mencoba melepaskan baju yang memakai ritsleting panjang di bagian punggung. Tangannya menggapai-gapai belakang.
"Hinata..."
Hinata tersentak ketika namaku dipanggil. Kutolehkan wajah dan menemukan Sasuke yang telah mendekat. Wajah tanpa ekspresinya terlihat kentara. "Butuh dibantu?"
"Bantu apa?" Awalnya Hinata mengedip tak mengerti. Lama-lama ia menangkap apa maksudnya. "N-Ng, ini? Ritsletingku?"
"Hn." Ia segera menarik ritsletingnya sampai ke batas pinggang. Ia berterima kasih dengan gugup. Rasanya malu. Kulit bagian belakangnya sedikit dilihat Sasuke. Tapi kenapa malu? Bukannya seharusnya wajar bagi seorang suami-istri? Toh, mereka juga sudah pernah melihat tubuh polos masing-masing—ah, tapi kan status itu sebentar lagi hilang. Mereka berdua akan menjadi orang asing.
"Dari tadi sudah selesai, Hinata. Kau menungguku mengangkat pakaianmu juga?"
Hinata memutar tubuh Sasuke, dua insan berhadapan. Dengan cemberut yang khas serta rona kemerahan di masing-masing pipi, Hinata memandang Sasuke yang tersenyum jahil. Sasuke mengusap pipinya sekilas, lalu membukakan pintu kamar.
"Mau masuk?"
Ia mengangguk. Kakinya melangkah.
"Kupikir Sasuke-kun sudah selesai main pura-puranya..."
Itulah suara yang ditangkap oleh indra pendengaran Sasuke sesaat Hinata duluan masuk kamar. Lantas matanya melirik jam tangan yang melilit di lengannya.
"Ini masih jam 22.00..."
"Jadi kau mau menggenapkannya sampai tengah malam, ya?" Nada suara Hinata memberat.
Sasuke terus menatap Hinata. Keheningan malam tercipta di dalam ruangan. Tak ada suara jangkrik, kendaraan atau apapun. Cuma ada hembusan nafas beserta detikan jam dinding. Suara hening tercipta di dalam ruangan membuat keduanya tak nyaman. Kepala Sasuke berputar keras untuk menentukan topik apa yang akan mereka bahas saat ini.
Srek.
Tapi mendadak bunyi tadi membuat Sasuke menatap lurus ke Hinata yang berada di depan lemari. Sasuke sedikit tersentak. Tanpa malu seperti beberapa detik lalu, kali ini Hinata—yang tengah membelakanginya—menurunkan dress-nya tanpa beban. Wanita itu juga mengganti pakaian dalamnya satu per satu. Sasuke terpaku sampai tak bisa bergerak. Ia perhatikan Hinata yang memakai dalaman baru serta gaun tidurnya yang biasa. Kemudian barulah ia berbalik untuk menaruh pakaian kotor ke tempat khusus.
"Ne, Sasuke-kun..." Hinata berhenti saat akan melewati Sasuke.
"Ya?"
Wanita itu merilis senyum tipis. "Aku mencintaimu."
Sasuke terdiam sesaat. "Aku juga mencintaimu."
Hinata menggeleng. "Sudahlah. Akhiri saja. Tak perlu bersandiwara lagi. Terima kasih untuk hari ini. Terima kasih atas kepura-puraannya. Aku mau langsung tidur."
Nyeri.
Ada sebuah hati kecil yang merasa nyeri.
Wajah Hinata. Pandangan sayu itu. Nada suara itu. Tutur kata itu.
"Hinata..."
"Ya, Sasuke-kun?"
Sasuke mengambil jeda sebentar. "Kenapa... kau mencintaiku?"
Pertanyaan tadi membuat Hinata yang berniat langsung berguling ke kasur pun jadi terhambat. Gadis itu merenung, memandangi seprai polos putih kamar dan menoleh pelan.
"Lalu sejak kapan kau mencintaiku sampai seperti ini?" Lanjutnya, membuat Hinata terdiam. Gadis itu kemudian duduk di tepi ranjang dan kemudian meggoyangkan kakinya; pelan.
"Entah. Aku pun bingung."
Sasuke tak mengerti. Ia dekati Hinata dan mencoba menyentuh kedua pipi Hinata yang tembam, mengangkatnya, menyuruh secara non-verbal agar Hinata kembali memandangnya.
"Aku ingin tau jawabannya, kau pasti tau sesuatu."
Hinata menyipitkan mata, bibirnya ia gigit. Dari gerak-geriknya Sasuke sudah dapat menebak bahwa Hinata menyembunyikan sesuatu. Rasa penasaran pria itu menguat. Sebab terus terang saja sudah dari dulu ia ingin menanyakan ini kepada Hinata.
"M-Maaf, Sasuke-kun, aku benar-benar lupa. Itu sudah lama sekali, hampir setahun, jadi aku—"
"Tidak mungkin kau lupa." Sergahnya cepat. "Lagi pula ini hari terakhir kita."
Set.
Tau-tau Hinata berdiri di sebelah ranjang. Iris lavendernya dengan tegas menatap mata Sasuke yang sedang menatapnya dalam-dalam. Tatapan mata sayu bertemu dengan pasangannya yang datar. Suasana hening kembali mereka lewati bersama. Sasuke diam menunggu apa yang Hinata lakukan. Apa dia akan menamparnya? Apa dia akan menghinanya sebagai 'lelaki pemaksa yang tak tau diri', atau apa—?
Grep.
Mendadak kerah kemeja Sasuke ditarik Hinata kuat-kuat. Ia banting pria itu keatas permukaan kasur. Dan sebelum Sasuke sempat bergerak atau mengeluarkan protesannya, Hinata terlebih dulu meniban pria itu—sekalipun tubuh mereka tidak bersentuhan akibat dua tangan Hinata yang menjadi tiang penyangga.
Sasuke tak mampu berkata. Ia memandangi wajah Hinata dari posisi bawahnya.
"Tunggu, apa... yang kau lakukan?"
Hinata terdiam.
"Aku bertanya, Hinata."
Hinata masih terdiam.
"Hinata—"
Hinata menarik nafas, lalu memajukan wajahnya ke Sasuke. Sasuke tak mampu menahan detak jantungnya. Posisi Hinata yang mendudukinya, tangan lembut yang mencengkram kemejanya, dan bibir merah serta parah cantiknya yang kian mendekat.
Hinata berbisik. "Maaf, sebenarnya aku menganggap pernikahan ini main-main..."
Sasuke terbelalak mendengarnya. Hinata memperhatikan ekspresi Sasuke dengan tatapan datar.
"Karena... aku sudah mempunyai seseorang yang kusayangi." Ia tersenyum. "Orang itu adalah kekasihku. Kekasihku yang bernama Sakura Haruno, bukan Hinata Hyuuga ataupun Hinata Uchiha."
Kalimat tadi ibarat penghenti waktu hidup Sasuke. Akibat rasa kaget yang membeludak, rasanya fungsi jantungnya seolah menghilang, tak berdetak lagi. Bulu kuduknya pun sampai meremang akibat sebuah perasaan merinding yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Hinata yang masih duduk di atas perut Sasuke memejamkan matanya dan mengadahkan wajah. Tangannya sekali dua kali meremas kemeja Sasuke. Sesaat ia hela nafasnya lewat hidung. "Masih ingat momen kau mengucapkan kalimat itu padaku, Sasuke-kun?" Katanya, parau. "Mungkin sejak itulah... kau membuat hatiku patah... untuk pertama kalinya."
Ia memejamkan matanya. Ternyata bulu-bulu mata kecil yang ada di sekitar matanya sudah basah oleh airmata yang tergenang. Tanpa menghapus jejak-jejak basahan di bulu matanya, ia Hinata menunduk dan menatap Sasuke. Tak ia sangka juga ada setitik air matanya yang tumpah ke pipi Sasuke. Hinata berniat menghapusnya, tapi tak bisa, air matanya yang lain menyusul jatuh.
"W-Wa-Waktu itu... aku tidak menangis... tapi saat kau pergi meninggalkanku di kamar ini sendiri, hatiku iya. Hatiku hancur berkeping-keping..." Tak bisa menahan, ia terisak. "Kalau aku tidak mencintaimu, mana mungkin hal itu terjadi, bukan?"
Merasa hidungnya memerah dan air matanya mulai mengalir. Hinata segera mengubah posisi, menggulingkan tubuhnya ke ranjang di bagian tepi kanan. Ia menyamping; memunggungi Sasuke yang masih kaku di tempatnya.
"Sa-Saat di mall... nyaris saja... aku juga ingin bertanya hal sama kepadamu; apa alasannya Sasuke-kun mencintaiku?" Katanya, lirih. Ia semakin menangis. "Tapi aku lupa... itu kan hanya pura-pura..." Di sela tangisan ia memaksakan tawa pelan. "Aku m-memang bodoh. Terlalu terbuai."
Hinata kesulitan bernafas akibat hidungnya yang tersumbat. Ia hembuskan nafasnya lagi. Namun tak bisa semudah itu, tangisannya malah pecah, kian mengeras.
"H-Ha-Hanya saja, selama setahun ini perasaanku t-terus berkembang. Aku j-jadi mencintai S-Sasuke-kun... bahkan sangat cinta..." Ia menangis dan terus menangis. "D-Dan kalau seandainya Sasuke-kun bilang 'ada orang yang kucintai lagi'... di saat aku sudah sangat mencintai Sasuke-kun seperti ini... aku tak tau apakah hatiku sanggup atau tidak menerimanya. Mungkin aku akan akan retak tak bersisa di detik itu juga..."
Sasuke masih bergeming dan Hinata menghabiskan lima menit untuk menangis dan menenangkan diri, kesulitan menenangkan dirinya yang sesenggukan.
"Ka-Karena itu, terima kasih untuk hari ini; terima kasih untuk hari terakhirnya. Aku sangat bahagia."
Ya...
Aku sangat mencintai sasuke.
Aku cinta Sasuke-kun...
Tapi sayang ini harus segera di akhiri...
Sebuah perasaan sesak menghampiri, mengumpul dan membebani hati dan jantung dari seorang Sasuke Uchiha. Ibarat ada kapas yang menghambat jalur pernafasannya. Ibarat asap polusi yang memenuhi organ dalamnya.
Sasuke tidak tau kenapa. Tapi yang jelas ia menghembuskan nafas kencang dan bergerak.
"Hinata..." Sasuke memanggilnya. Tubuhnya maju. Ia pejamkan matanya. Tangannya menyelinap ke pinggang Hinata, merambat ke lekukan perut. Merasakan tubuh Hinata kini sudah berada di pelukannya yang erat.
"Aku mencintaimu, Hinata..."
Sepasang mata lavender terbuka lebar, tubuhnya bergetar. Tepat di tengkuk wanita itu, ada sebuah suara tarikan nafas berat terdengar.
"Aku mencintaimu..."
Air mata seseorang meleleh turun.
"Aku mencintaimu..."
Itu suara Sasuke. Pernyataan cinta. Berkali-kali. Bahkan lebih dari tiga, empat, lima, enam, sepuluh—belasan, bahkan dua puluhan. Kalimat itu terus Sasuke ucapkan. Hidung Sasuke mengendus bahunya, menciuminya dengan lembut. Hinata terkejut sampai ia menoleh. Sasuke terus mengecupnya. Mengecup leher, dagu dan bibirnya.
Sebuah perasaan sayang dan rindu akan sentuhan Sasuke membuat Hinata tak mampu menolak. Bersama matanya yang basah dan isakan kecil yang kadang keluar, Hinata tak melawan atau menolak. Ia menikmatinya. Menikmati kasih sayang ala Sasuke Uchiha yang terus melantunkan kalimat seindah itu. Sampai akhirnya Hinata merasakan kehadiran butiran bening air hangat yang membasahi lipatan lehernya.
Itu bukan air matanya lagi; bukan air mata Hinata. Itu air mata Sasuke.
"Sa-Sasuke-kun... k-kenapa menangis? Apa karena terlalu menghayati kepura-puraanmu? To-Tolong jangan pura-pura lagi..."
Sasuke menahan diri. Air matanya terus menitik tak henti-henti. Nafasnya memburu dan bahunya berguncang pelan. Tangisan yang mati-matian ia cegah itu akhirnya tumpah. Menumpahi Hinata. Kedua geraham Sasuke saling menekan dengan tenaga yang kuat. Perasaannya serasa bergejolak, berputar, dan tercampur aduk. Semuanya tak jelas apa jadinya.
Sasuke pun memutar balikan posisi. Ia banting Hinata dan kali ini menibannya—berada di posisi atas. Ia perhatikan wajah memerah Hinata yang kini berada dekat dengannya.
"Kau... masih menganggap ini pura-pura...?" Ia berdesis. "Kau salah, bodoh... sepanjang hari ini aku cuma menjadi diriku sendiri... tidak kurang dan tidak lebih..."
Hinata menatapnya heran. Menatap air mata Sasuke yang mengalir di sela wajahnya yang mencerminkan rasa kesal. "Ta-Tapi Sasuke-kun..."
"Asal kau tau, sudah dari dulu aku ingin mengubah sikapku untukmu! Tapi kau tidak mengizinkannya! Kau yang menutup hatimu untukku!" Ucapnya, intonasinya meninggi. "Dan kalau aku pura-pura mencintaimu, kenapa tidak sejak tadi pagi saja kau kubelikan limpahan emas, baju dan mobil mewah, hah!?"
Mata Hinata menyipit, nafasnya terengah. Bibir Hinata yang bergetar terbuka, ingin mengucapkan sesuatu yang di ujung lidah, tapi tak mampu berkata-kata.
"Karena itu, jangan tinggalkan aku..." Sasuke yang mengeluarkan air mata disaksikan secara jelas oleh Hinata. Uchiha Sasuke memohon. Ia usap pipi Hinata dan menciumnya sekali. "Jangan berpisah... terus bersama... aku akan memperbaiki hubungan ini. Kita akan saling mencintai..." Ucapnya dan memberikan ciuman yang lain. Yang begitu lembut saat berjumpa belahan bibirnya. "Aku janji..." Ia terengah. "Karena itu, aku—"
Hinata menyentuhkan jarinya ke bibir Sasuke, menyelanya supaya ia diam, lalu menyentuh air matanya yang nyata memancarkan penyesalan.
"A-Aku m-mencintaimu juga Sasuke-kun. Lebih mencintaimu..." Jawabnya. "Aku ingin bahagia bersamamu..."
Hinata menangis, tubuhnya yang berkeringat dingin mulai menghangat. Ia memeluk tubuh Sasuke, menempelkan wajahnya yang lagi-lagi harus basah oleh air mata ke leher prianya, suaminya, Sasuke-nya.
Satu malam itu mereka habiskan sisa waktu persyaratan mereka dengan berduaan di kamar. Memeluk satu sama lain. Berbagi tangis dan kadang tawa kecil. Sampai keduanya terlelap dengan sendirinya.
Dan keesokan paginya Sasuke dan Hinata bangun dengan wajah kikuk. Tapi kemudian sasuke mengecup bibirnya. Tidak ada yang pura-pura, katanya. Dia tak berakting.
Lalu keduanya tersenyum dan membuat sebuah kesepakatan besar.
.
.
OMAKE
.
.
Berbulan-bulan kemudian, saat Hinata terbangun di atas kasur besar ini, suhu rendah dari udara kamar menyapanya. Masih dengan mata yang setengah terbuka, ia terdiam sebentar sambil memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Setelah kesadaran Hinata telah terkumpul, ia menyingkap selimut dan kemudian terduduk.
Dia usap kedua matanya dengan jemari, lalu meregangkan tubuh sambil menoleh. Ia pandangi permukaan kasur di sebelahnya. Tempat itu kosong tak berpenghuni. Permukaan seprainya pun masih rapi.
Kali ini wanita bersurai lurus itu memandangi sebuah frame hitam yang terpajang di dalam kamar. Matanya tak berkedip saat melihat foto yang terbingkai rapi di sana. Foto seorang Hinata Uchiha yang mengenakan gaun pengantin, serta Sasuke Uchiha sebagai pendampingnya. Wajah mereka saat itu tak ada yang tersenyum. Dua-duanya memasang wajah yang kontras dan tak biasa bagi foto pasca-wedding. Hinata yang seperti menahan tangis, dan Sasuke yang seperti menahan marah.
Hinata menghela nafas.
Tapi sayangnya, hal tadi tak akan lagi dia temukan di dalam hidupnya. Hinata sudah terlepas dari kenangan menyedihkan itu.
Ia pun berdiri.
Ia harus membuat sarapan pagi.
Sambil menguncir rambutnya tinggi-tinggi, Hinata berjalan dengan langkah terseret keluar kamar. Di sana suasananya sama. Sepi. Dia tekan saklar lampu dan cahaya terang mulai membanjiri ruangan.
Hinata berniat memasak, tapi hal itu dia tunda karena ia mengingat suatu hal. ia pun berjalan pelan ke sebuah ruangan yang sebelumnya hanyalah kamar kosong. Dibuka pintunya dan Hinata memandangi suasana di dalam.
Di sana terdapat sebuah single bed berukuran kecil.
Sepertinya tadi malam Sasuke dia tidur di kamar Hisaki Uchiha.
Kalau ada yang bertanya siapa mereka, Hinata dapat pastikan ia akan menjawab; itu adalah keluarganya. Keluarga kecil yang dia sayangi.
Sasuke, suaminya.
Dan Hisaki, buah hati mereka. Seorang bayi berumur 16 bulan yang memiliki rambut indigo lembut—meskipun gaya mencuatnya diwarisi dari gen Sasuke.
Ya, mereka memang tidak bercerai. 'Tidak jadi', untuk lebih tepatnya.
Hinata tersenyum. Dia dekati Sasuke dan Hisaki yang sedang tidur berdua. Disentuhnya perlahan pipi Hisaki yang ronanya bagaikan buah plum. Lalu matanya beralih, ke arah Sasuke yang masih terlelap.
"Maaf ya, Sasuke-kun... pasti kamu lelah karena kemarin menjaga Hisaki." Hinata membelai kepalanya dengan senyuman. "
"Hm."
Hinata sedikit terkejut saat mendapati jawaban Sasuke. Pria itu masih terpejam namun sepertinya ia sudah terbangun sejak Hinata memasuki kamar. "Dia sangat menyebalkan saat bangun tiap malam..." Sasuke berdesis. Matanya yang baru terbuka beberapa mili itu terus memandangi Hinata dari posisinya terbaring.
"Namanya juga bayi." Hinata tersenyum geli. "Nanti malam giliran aku yang menjaga Hisaki di sini. Jadi Sasuke-kun tak perlu khawatir..."
Sasuke menghela nafas dan memejamkan mata—lagi. "Terserah. Asal nanti siang kau menyempatkan diri untuk 'mengurusiku' dulu."
Hinata tertawa kecil. "Boleh... asal Hisaki-kun sudah tidur, ya..."
Sasuke tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengajak Hinata mendekat. Lalu ketika Hinata menurutinya, Sasuke menariknya dan membuka gaun piyama Hinata dengan mudah.
"K-Kyaa! Sa-Sasuke-kun!"
"Sstt, jangan bersuara, bodoh..."
Mendengar obrolan kedua orang tuanya, Hisaki kecil yang masih terlelap menggerakkan bibir merahnya dan mengesampingkan tubuhnya ke kanan. Sepertinya bayi kecil itu belum sadar, kalau dalam hitungan hari... mungkin ia akan mendapatkan adik.
.
.
THE END
.
.
Author's Note :
Inilah chap terakhir dari I'll Be Waiting For You. Ya ampun berapa tahun ya aku namatin fict 15 chapter gini? Semoga kalian tetap ingat Zoccshan sekalipun aku ngga akan pernah lagi update fict ini. Jangan lupain aku huhu. Dan jangan bosan-bosan maksa aku untuk nulis fict SasuHina yang baru, oke? :')
Dan ucapan terakhir, terima kasih banyak untuk semua readers dan reviewers yang udah nyempetin diri untuk baca. Ini adalah fict pertama yang membuka wawasanku tentang FFn. Membuatku mengerti betapa berharganya menyenangkan hati readers seperti kalian. Mengenalkanku ke grup SasuHina Devil and Angel yang benar-benar keren. Membuatku merasa sangat betah di dunia maya maupun FNI. Terima kasih minna, terima kasih IBWFY, terima kasih juga SasuHina. Still love you all till end. See you next time! :')
.
.
Thankyou for Read & Review!
Special Thanks to :
Aprilia Yasir, Misaki Takeru, stillewolfie, diya1013, Summist Moon, enrique, Dewi Natalia, Clara-AVRIL, Hyou Hyouichiffer, Arikashi, Uzumaki Shizuka, Chikuma Yafa-DamselFly, fujisawa, Rk-hime, flowers lavender, bluerose, Yukori Kazaqi, Aisanoyuri, Axx-29, Shin, Hinata Hikari, Lady Violeka, uchihyu chan, Katsumi, The light Hunter, rukaSH, Life, Cindilta, hantu ff, Ja, Guest, Treo fan, Guest, anda, nafita137, bubu, El Lavender, Eigar alinafiah, Dark Brown, Bee Hachi, Arsenal87, Aya, nazuka hanami, rui chan, saphi, FujiwaraYumi24EXO, Sasazaki mami, Ritta-Frijayanti, momo, Na'cchan Tsuki No Me, Hasegawa Nanaho, hakuna, hyunkjh, ligaara sabaku, TheOnyxDevil, keiKo-buu89, Renita Nee-chan, cecil hime, emma-nyaaan, kensuchan, hinatauchiha69, Guest, astia morichan, riekincchan, EviLLord, Minri, Vermthy, Uzumaki Roland, Uchiha Itaara, LotuS-Mein319, Guest, Nagajelek, hiru nesaan, aiska hime-chan, Fichanroyalcham, Crea, altadinata, momo haku, anita-indah-777, chasanahputri, KuDet, Aihara Meyrin, Amu B, Guest, shawol21bangs, Freyja Lawliet, aam tempe, rini abdriani, Guest, melyarahmawinarti, Amae hiroshida, Glow, audie-fryane, Date Kaito, oi, buddyz, riruru, ookami child, mugiwara eimi, leesoel, any, purplegrape, 123 Go Go Diego, kikoadryan 's, Aprilcom, panglima-perangcinta-7, Uchiha Hinata, N2Abestie, kobaysen, kirisakidaichi42, SMAN1SHLOVMHPxUztad, aili165, gannie, rini andriani uchiga, Via, Harukaaa-chan, BlackRed121, uzumaki please, ardiantysasuhina, mochi, kujyou-okira, dolche, EryukaELF, Guest, Guest, Jasmine DaisynoYuki, Guest, rukayah, unyu chan, hana37, JojoAyuni, Guest, Luluchai10, karenina, Guest, Yamanaka Emo, yuniealysyantyymail-com, Guest, jiha, Young lady, Hyuugazan, Rh, daeTheReaderRanger, sushimakipark, Titan18, Uchiha Hinahime, Guest, rin, to Hyuugazan, ade-irma-5815.
.
Pojok Balas Review :
SasuHina ngga boleh cerai. Ini ngga cerai. SasuHina happy ending? Iya :) Aku punya firasat endingnya bakalan sad tapi happy. Semoga ngga salah. Maaf karena dulu aku ngerasa di pertengahan fict, IBWFY mulai ngebosenin. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tenang aja. NaruSaku gimana endingnya? Hmm, maaf kurang dibahas. IBWFY cocokan berending sad. :D Aku senang review IBWFY tembus 1k. Ini semua berkat kalian semua. Terima kasih :') IBWFY fict fave-ku. Terima kasih. Menantikan ending yang greget. Maaf kalo seandainya mengecewakan. Kapan update Happily Ever After? Sebentar lagi akan kutamatkan kok. Aku berusaha beli pulsa untuk rnr IBWFY. Thankyouu. Ini semi-M-nya terlalu parah. Ahaha, gomen. Kok lebih banyak NaruHina-nya? Entahlah. Aku nangis gelonjotan baca IBWFY. :') Komplain. Janjinya update Januari? Maaf, aku banyak tryout dan ulangan waktu itu.
.
.
Review kalian adalah semangatku :')
Mind to Review?
.
.
THANKYOU