Title: KIZUNA
Pairing: SNS
Genre: Drama/Romance
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Kadar YAOI-ness tingkat akut. M-Rated fanfiction. LEMON! WARNING: LEMON! Poorly written LEMON!
A/N: Nami tahu apa yang ada di pikiran kalian *di lempar sepatu, sandal, kertas Koran, dll*. Tapi, the Tale of a Fishcake dan Road of Life ga akan Nami update sampai Nami dpt notebook. Sorry, guys. Ide fict ini mengganggu Nami terus. Jadi mau ga mau harus ditulis. Tolong untuk semuanya, KRITIK cerita ini. Review juga di persilakan. Flame? Go to hell. Nami ga peduli pengecut macam flamers.
Random Quote:
Aku sekarang percaya pada ikatan kita. Ikatan itu tak akan rusak, tak akan hilang. Selangkah demi selangkah. Jika kau akan jatuh genggamlah tanganku. Hujan telah berhenti, cahaya bergantung di langit. Kau dan aku terhubung oleh sang Pelangi. (Kizuna-Orange Range)
KIZUNA – chapter I – Life is a dream, realizes it.
Angin menderu keras. Degup jantungnya bertabuhan seraya dia berlari. Cahaya matahari yang tampak itu menunjukkan padanya pintu keluar. Tangan-tangan sihir Rei-bi meraba-raba mencoba meraih kaki atau tangannya.
"Rasengan!"
Ledakan itu terdengar lagi. 'Sedikit lagi!' pikirnya. Kapal yang memiliki layar terlipat sudah bersiap di ujung sana. Ia bisa melihat Amaru dan Hinata. Kapal itu di penuhi oleh warga yang mungkin sudah di jadikan sandera. Mata biru langitnya melihat Amaru siap menarik tuas yang ada di hadapannya.
"Cepatlah naik ke kapal Amaru!" sahutnya lantang.
Mata hijau Amaru melebar saat suaranya terdengar, "Hinata aku hanya perlu menarik tuas ini, 'kan?"
Hinata dari kejauhan mengangguk.
"Naruto? Sen-Sensei…?" suara Amaru tercekat.
Pemuda Jinchuuriki itu tahu apa yang dimaksudkannya. Wajahnya serius sejenak, "Amaru masuklah."
Gadis berambut merah kecoklatan itu tahu bahwa sensei tercintanya tak akan kembali lagi. Tapi setidaknya ia tetap ingin di sana. Bersama dengan temannya yang baru. Yang rela mendapat lebam dan luka hanya untuk menyelamatkan nyawanya dan membelanya. Meskipun Naruto menyuruhnya pergi, ia tak akan mau pergi. Ia akan tetap tinggal. Karena Amaru tidak tahu apakah dia masih bisa melihat sahabatnya itu lagi atau tidak setelah ini.
"Aku bilang aku tinggal! Tidak peduli kau mau bilang a—"
Kata-kata itu terpotong saat Amaru menyadari ia melayang masuk ke dalam kapal. Hinata kaget melihat siapa pelakunya, "Sasuke-kun?"
"Diam" ujar Sasuke.
Kapal itu turun dari geladak dan mengembangkan layar. Wajah sang Jinchuuriki menampakkan senyuman sedih sebelum membisikkan 'terima kasih'. Ledakan kembali terdengar saat geladak itu jatuh bersama dengan Sasuke di atasnya. Sang Uchiha menengadah melihat orang yang pernah menjadi sahabatnya. Meskipun ia masih punya tugas untuk membalas dendam tapi, ia tidak bisa memberanikan diri membunuh orang yang paling ia sayangi. Kata-kata itu masih melekat seperti ingatannya saat klannya habis terbunuh.
'Karena kau harus memutus semua 'tali' yang mengikatmu. Dendam dan kekuatan. Semakin kau membenci semakin kau menjadi kuat. Karena kau, pada akhirnya, akan menyakiti orang yang paling kau sayangi.'
Kedua mata gelapnya masih melihat ke atas. Tak perlu Sharingan untuk mengetahui apa yang Naruto coba katakan. Sekeras apapun Sasuke menginginkan kekuatan, tapi ia tak bisa membuat dirinya cukup berani untuk membunuh orang itu. Sekeras apapun ia berusaha. Sebagian kecil dari hatinya menolak untuk memberikan semua kesadarannya kepada Kegelapan. Satu-satunya orang yang masih percaya padanya. Orang yang menjadi teman pertamanya, sahabat pertamanya. Orang yang melihatnya karena apa yang ada pada dirinya. Bukan karena keluarga atau Sharingan yang dimilikinya.
Sementara itu, Naruto melihat dari kejauhan. Sasuke…
Dia bodoh. Dia tahu itu. Cukup bodoh untuk membiarkan kesempatan membawanya kembali ke Konoha. Tapi, ia tak peduli. Perasaan tidak enak di dalam perutnya datang kembali. Perasaan aneh itu selalu datang ketika ia memikirkan sang Uchiha Terakhir. Ia menatap ke atas langit dan menutup kedua matanya. Hembusan nafas panjang keluar dari mulutnya.
"Sadarlah…" ucapnya kepada dirinya sendiri.
'Dia temanmu. Dia adalah sahabatmu. Tak akan pernah lebih dan kurang.'
Naruto ingat akan apa yang Jiraiya pernah katakan padanya. Jalan Ninja miliknya masih perlu perbaikan. Banyak sekali perbaikan. Ia tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia harus lebih siap dan untuk itu—untuk membawa kembali dia yang hilang ia harus menjadi lebih kuat. Dengan tekad baru itu ia mengumpulkan segenap Chakra-nya dan membombardir habis Anchor Vantian.
I am a line-break curse. Fear me for your life. Look at me to face your doom!
Ninja Konoha kini sedang beristirahat membuat kamp di tengah hutan. Setelah mengalahkan Negara Langit dan Rei-bi, mereka semua sangat kelelahan. Terutama Naruto. Malam terang benderang di hiasi bulan yang penuh dan bintang-bintang. Ia menatap sang bulan. Pucat di antara langit yang gelap.
Sasuke…
Pikirannya kembali kepada orang itu. Setelah tiga tahun lebih berpisah, melihatnya di dalam istana Rei-bi entah bagaimana membuat perasaan sedih meluap ke permukaan. Entah kenapa, ada sesuatu yang bergerak di dalam hatinya. Entah apa itu. Ia berharap itu tak akan membawa suatu yang tidak ia inginkan. Tapi, perasaan itu membuatnya hangat, sedih dan senang sekaligus.
Ia kembali menatap kea rah sang bulan. Ia merentangkan tangannya ke atas seolah bisa meraihnya. Tapi, terlampau jauh dari kenyataan.
Ia berdiri. Merasa kantuk tak bisa membawanya pergi. Naruto melihat yang lainnya tertidur. Bahkan, Chouji yang seharusnya berjaga pun tak kuasa menahan kantuk. Senyuman lebar terpasang di wajahnya. Ya, ia sangat menyayangi mereka semua. Teman-temannya. Keluarganya.
Ia berjalan menjauh dari kamp, berjalan di dalam gelapnya malam. Udara dingin di hutan itu memang menusuk. Tapi, Naruto tak peduli. Dari jauh ia melihat cahaya. Dengan waspada dia mendekat. Menyiapkan kunai bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu. Mata birunya melihat sebuah rumah. Rumah itu sederhana dan terawat meski tidaklah besar. Pemuda itu hanya berdiri di atas pohon dan mengamati. Tak akan ada yang bangun pada tengah malam begini.
"Hey."
Naruto membeku. Dia melihat ke bawah pohon. Ada seseorang di bawah sana. Rambutnya gelap dan mata sebelah kanannya di tutupi sesuatu. Hanya mata kirinya yang terlihat. Berwarna hijau. Mata itu tidak sama dengan milik Sakura. Mata hijau orang itu seperti daun hijau di hutan. Menenangkan. Tapi-
Naruto masih terdiam. Dia sudah menghilangkan Chakranya supaya tak bisa di deteksi siapapun, langkah kakinya pun nyaris tak terdengar. Tapi, orang berambut gelap itu, entah bagaimana, rasanya dia tahu Naruto berdiri di atas pohon. Ia seperti menunggu kedatangannya. Sang Jinchuuriki turun dari pohon dengan ragu-ragu. Ia pasang senyuman lebarnya, "Naruto. Uzumaki Naruto."
"Namaku Ran. Aku senang kita bisa bertemu lagi, Kyuubi-sama."
I am cursed line-break. Fear me for your life. Look at me to face your doom!
Perjalanan berikutnya membawa tim Konoha ke sebuah desa. Mereka mau tidak mau harus singgah. Karena Sakura sangat perlu untuk membeli makanan tambahan. Kakashi hanya mengangkat bahu, sementara Shikamaru berkata 'merepotkan'. Kini Naruto dan teman barunya itu menyusuri jalanan yang cukup ramai.
"…ruto? Naruto?"
"Huh?"
"Kau melamun lagi," ujar gadis di sebelahnya.
"Uhm hehe, gomen Amaru. Kau tadi bilang apa?"
Yang bersangkutan hanya menggelengkan kepala. Amaru melihat ke arah pemuda disampingnya. Sepertinya akhir-akhir ini Naruto sering melamun. Ia masih ingat sebelum ini Naruto menabrak sebuah pohon dan terjatuh. Yang lainnya berkata dia itu bodoh atau apalah; dan Naruto? Dia hanya tersenyum lebar dan tertawa.
"Nee, Naruto."
"Hmm?"
"Ingat sewaktu kita di dalam istana itu? Kau mengatakan sesuatu tentang 'mengatakan perasaanku kepada Shinou-sensei'. Dan tentang pertanyaan… dari Sasuke?"
Langkah riang pemuda itu tampak terhenti sejenak sebelum akhirnya melanjutkan berjalan, "yeah. Kenapa?"
"Apa kau—umm, siapa dia?"
Naruto menyilangkan kedua lengannya, "dia itu sahabatku."
Pemuda itu berpikir sejenak tentang apa yang ingin ia katakan, "kau tahu, nasib kita kurang lebih sama. Kami selalu sendirian. Aku memang tak punya orang tua sejauh yang aku ingat. Aku tidak tahu siapa mereka atau di mana mereka. Aku juga tak tahu apa mereka menyayangiku atau tidak. Dan Sasuke—dia sedikit beda denganku… Dia pernah memiliki keluarga. Yah, kau tahu, ayah dan ibu. Juga seorang kakak.
"Hanya saja—sesuatu terjadi saat ia belum menjadi ninja. Orang tua dan seluruh klannya di bunuh pada suatu malam. Aku pernah berpikir, mungkin tidak memiliki orang yang menyayangimu dari awal kau lahir lebih baik daripada memilikinya tapi di ambil secara paksa."
Gadis di sebelahnya tetap mendengarkan seraya cerita itu terus meluncur kata demi kata.
"Dia—Sasuke itu, melihatnya. Ia melihat saat ayah dan ibunya di bunuh. Tepat di hadapannya. Bisakah kau bayangkan itu? Ia sangat dingin. Tak pernah mau menerima uluran tangan dari orang lain. Dengan membuat tembok tak terlihat itu dia menjaga jarak dengan siapapun. Dan aku yang masih bodoh saat itu, entah kenapa ingin membuatnya merasakan sesuatu. Yah, setidaknya aku ingin melihatnya tersenyum.
"Karena dia selalu bermuka masam seperti ini," ujar Naruto sambil memperagakan senyum tertekuk mantan sahabatnya.
Amaru hanya tertawa geli, "lalu? Apa yang terjadi?"
Naruto tersenyum lebar, "yah, banyak hal. Waktu itu, aku pikir satu tim dengan si Teme itu akan jadi pertanda buruk. Pada akhirnya satu grup dengannya tidak terlalu buruk seperti perkiraanku. Meski aku selalu bertengkar dengannya dan waktu itu kebanyakan menghasilkan memar dan darah, terkadang aku masih bisa melihat sorotan matanya yang terlihat senang. Walaupun hanya sesaat. Tapi, aku paling suka saat dia—"
Naruto tidak melanjutkan kata-katanya saat ia menoleh ke depan. Nafasnya serasa tercekat di tenggorokan. Sepasang mata birunya melebar. Tanpa sadar tangan kanannya terjulur ke depan. Hanya satu yang ada di pikirannya…
"SASUKE!"
I am T.O.P line-break. Submit yourself to me. I am the number one Sex God.
Wajah dingin tak berekspresinya tetap terpasang. Membuatnya terlihat tak peduli pada dunia. Lagipula, dia memang tak pernah peduli pada dunia. Hanya dua yang ada dalam otaknya. Balas dendam dan "dia". Seseorang yang selama di masa genin-nya sudah berhasil mengisi kekosongan dalam hidupnya. Seperti sebuah mosaik dalam hidupnya. Naruto sudah memiliki tempatnya di dalam hidup Sasuke. Entah apa yang membuatnya bisa di sana dan tak bisa digantikan.
Meski dia sudah dalam genggaman Orochimaru, ia masih belum bisa menghilangkan potongan dirinya yang terikat dengan si Jinchuuriki. Saat ia di The Valley of End ia juga tak bisa membunuh Naruto yang kehilangan kesadaran itu. Hal yang hanya bisa dilakukannya adalah membungkuk melihat lebih dekat ke wajah berwarna karamel sahabatnya.
Satu sisi dirinya yang masih peduli pada orang itu membuatnya berhenti di desa ini. Sasuke tahu, dengan ini dia tak akan pernah bisa seperti apa yang Itachi katakan. Kepeduliannya mungkin membuatnya lemah di mata kakaknya itu. Tapi, Itachi bisa pergi sendiri ke neraka tanpa Sasuke pedulikan. Ya, dia akan menjadi kuat dengan caranya sendiri. Orochimaru hanyalah pion dalam rencana sempurna miliknya. Dan Naruto…
Pemuda berambut kuning cerah itu kini berjalan bersama seorang gadis. Mata abu-abu gelap milik sang Uchiha hanya melihat dari jauh. Dia bisa melihatnya tersenyum dan tertawa. Ia sudah pulih dari pertarungan terakhir dengan Rei-bi. Gadis itu adalah orang yang bersama Naruto saat di istana melayang.
Sebenarnya bukan maunya ia terlihat oleh Naruto. Hanya saja, kewaspadaannya sedikit tergoyahkan saat Naruto tersenyum ke arah gadis itu. Dan Sasuke hampir tak menyadari bahwa objek yang dia amati berhenti berbicara dan melihat ke arahnya.
"SASUKE!"
Sasuke memalingkan wajahnya dan mulai berlari. Dia mengutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya ketahuan mengawasi. Dengan lihai ia menyelinap di antara kerumunan orang di jalanan. Ujung jalannya terlihat sepi. Sasuke bergegas melompat ke pohon terdekat dan mulai berlari. Sejujurnya dia tidak suka memikirkan dirinya seperti gadis yang di kejar kekasihnya gara-gara suatu masalah. Hanya saja yang terjadi dalam kenyataannya tidak seperti itu.
Gemerisik antar pohon sampai ke telinganya yang tajam. Chakra Naruto bisa ia rasakan tepat beberapa meter di belakangnya. Sesuatu dalam hatinya menyuruhnya berhenti. Kakinya menapak dengan mudah di atas tanah.
Naruto terengah sedikit saat ia akhirnya menyentuh tanah, "Sa—Sasuke…"
"Hn."
"Mm, ano, terima kasih untuk yang waktu itu," ujarnya sedikit gugup.
Sang Uchiha melipat tangannya di depan dada, "hn. Dobe."
Naruto hanya menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu apakah saat ini adalah saat yang tepat untuk memintanya kembali. Pulang ke Konoha. Setelah membiarkan Sasuke pergi saat melawan Rei-bi dan memintanya kembali sekarang. Entah kenapa rasanya tidak terlalu menyenangkan. Naruto mengasihani dirinya sendiri. Mungkin dia benar-benar bodoh seperti yang di bilang orang dan Sasuke.
Saat ia mengangkat kepalnya Sasuke sudah bersiap untuk melompat pergi. Sebelum itu terjadi dia menggenggam tangan orang yang penting baginya itu. Ia tak peduli jika ia seenaknya sendiri. Naruto hanya ingin melihatnya sedikit lebih lama lagi.
"Bisakah kau tinggal. Hanya sebentar saja."
Mata abu-abu itu melihat tepat kearah biru jernih. Warna biru langit mata Naruto terlihat sedikit lebih gelap. Entah hanya perasaannya atau ia memang melihat hal yang seharusnya tak ada di mata Naruto. Entah berapa tahun mereka berpisah. Sekali ketika mereka bertemu mereka harus berperan sebagai musuh. Harus bertarung. Mungkin sekali ini saja. Sekali saja ia lepaskan perannya sebagai musuh Konoha. Sekali saja menjadi Uchiha Sasuke. Sekali saja bertindak seperti apa yang hatinya inginkan.
Ia mengangguk pelan.
I am Hatsune Miku line-break. Listen my singing and be my fans. Cuz I'm so cute! Believe it!
Matahari merayap pelan kembali ke ufuk barat. Sepertinya hanya terasa beberapa menit saja. Tapi, duduk di bawah pohon rindang melihat desa dan sekelilingnya dari tebing seperti ini membuat ke duanya lupa waktu.
Tekanan di bahunya memang tidak seberapa. Tapi, ia tahu pemuda di sebelahnya sedang tertidur. Mungkin karena suasana di situ yang tenang. Sepasang mata berwarna gelap itu mengarah ke wajah yang tenang dan terlelap di sebelahnya. Angin sore berhembus membuat rambut kuning natural Naruto sedikit bergerak. Lama ia memandanginya. Matanya kembali bertemu dengan biru langit. Berkedip perlahan. Melihatnya di bawah sinar mentari yang kemerahan membuatnya terlihat bersinar. Mungkin karena hatinya yang baik.
"Ah, maafkan aku. Sepertinya aku ketiduran, ne?" kata Naruto.
Tak ada jawaban yang bisa keluar dari mulut Sasuke. Tangannya menyentuh pipi sahabatnya. Perlahan nyaris seperti tak menyentuh. Seperti belaian bulu burung. Wajah tampan berwarna alabaster itu juga sepertinya semakin mendekat. Naruto terlalu sibuk dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia benar-benar tahu satu atau dua inci di depannya adalah bibir yang tak sengaja mengambil first kiss-nya. Hanya saja—
"Bocah."
"Huh? Kyuubi? Apa yang—"
"Aku akan memberikan hidup padamu."
Naruto hanya diam menatap ke atas, melihat mata merah menyala yang nyaris tak berkedip, "hidup? Aku memang hidup, Rubah Tua. Aku masih bernafas dan—"
Kyuubi mendesis pelan, "aku memberimu hidup. Tunggu dan lihatlah."
Naruto tidak tahu kalau sentuhan yang ringan seperti itu bisa membuatnya membeku. Dalam pikirannya ia sedang berteriak 'apa yang terjadi!'. Ingin dia bersandar ke tangan pucat yang sedikit lebih besar dari miliknya tapi, sebagian dari dirinya ingin lari dan menjauh. Matanya seolah terasa berat dan kembali tertutup saat sepasang bibir sang Uchiha mendarat di atas bibir miliknya.
Dengan segera serangkaian aksi membuat keduanya bertelanjang dada. Tangan berwarna tan itu menggenggam pundak Sasuke seperti garis hidupnya. Takut jika ia lepaskan objek yang di hadapannya menghilang seperti angin. Naruto tidak tahu apakah yang mereka lakukan ini benar atau salah. Tapi, sebagian dari dirinya meyakinkannya 'hanya kali ini saja! hanya sekali atau dia akan pergi tanpa pernah kau lihat lagi!'.
Di dalam tujuh belas tahun ia hidup tidak sepenuhnya ia innocent. Naruto tahu apa yang orang lakukan di pojok jalan dekat kedai sake dengan seorang wanita. Mungkin saat kecil ia tidak tahu apa-apa. Iruka menjadi penjaganya benar-benar membantu. Meski mereka melakukan hal itu bukan berarti mereka ingin memiliki anak atau bahkan karena saling mencintai. Puh-lease— , Naruto tahu mereka melakukan itu hanya untuk bersenang-senang.
Dan dia tahu benar bahwa apa yang saat ini dia dan Sasuke lakukan juga hanya untuk 'bersenang-senang'.
'Ya, hanya untuk bersenang-senang', pikirnya pahit.
Perasaan saat jari yang berwarna pucat itu memasuki dirinya membuat Naruto tidak nyaman. Dia tidak tahu kapan Sasuke melepaskan celana oranye kesayangannya itu.
"Ugh, Sa—"
Kata-katanya tertelan saat Uchiha itu menciumnya lagi. Lagi. Dan lagi. Sembari dia di sibukkan oleh sensasi dari ciuman dan sentuhan Sasuke, Naruto meringis saat tiga jari itu memaksa masuk. Air mata menitik dari mata safirnya. Bukan karena sakit secara fisik. Bukan karena jari-jari terlatih Sasuke. Ataupun karena 'pengalaman pertama'nya yang hanya di suatu tebing di hutan tanpa ada orang yang tahu. Dia bukan seorang wanita yang takut jika suatu saat nanti hamil karena hal seperti ini.
Tapi ada sesuatu yang lain yang membuatnya meneteskan air matanya. Kata-kata Sasuke yang berusaha menenangkannya saat ini tak begitu terdengar. Wajah tampan itu juga buram karena air mata di pelupuk mata Naruto.
Seperti tersambar listrik, Naruto terkejut saat sesuatu membuat kakinya lemah seperti puding. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Sasuke. Hanya saja hal itu membuatnya lupa akan rasa nyeri di bawah sana.
Tangan berwarna tan Naruto melingkar di leher sahabatnya. Belum pernah dia merasakan sesuatu yang 'nikmat' seperti itu. Tak mau kalah, dia mendekatkan wajahnya ke leher sang Uchiha. Giginya tertanam seperti vampir yang haus darah. Sasuke mengeluarkan suara yang tidak jelas dari tenggorokannya. Naruto juga tidak bisa menggunakan indranya dengan akurat. Dia terlalu mabuk dalam situasi ini.
Matanya melebar dan jarinya seolah mencakar punggung alabaster Sasuke. Sasuke tahu cakaran itu pasti meninggalkan bekas. Dia bisa merasakan tetesan hangat darahnya sendiri di punggungnya. Toh, nanti akan sembuh sebelum ia kembali ke sarang si Ular.
Dengan perlahan pemuda berambut gelap itu mendorong dan membuat dirinya menyatu dengan Naruto. Setiap inci bagian tubuhnya memasuki daerah terlarang itu dia melihat sahabatnya meneteskan air mata. Tidak. Lebih tepatnya dia menangis. Karena air mata itu tampaknya belum akan berhenti dengan segera. Sekalipun dia ingin bergerak, Sasuke tidak mau melihatnya lebih tersakiti. Tangan kanannya ia bawa ke paha Naruto. Membuat gerakan perlahan, berharap itu bisa membuat rasa sakitnya berkurang.
Kembali ia klaim mulut yang kini terlihat begitu merah dan sedikit bengkak. Suara serak Naruto membuatnya melihat ke mata safirnya, "uhh, kau, kau boleh – bergerak…"
Sasuke hanya mengangguk kecil dan melanjutkan tugasnya.
Malam di tebing itu begitu hening. Hanya terdengar gemerisik angin dan serangga malam. Juga nafas memburu Sasuke dan teriakan Naruto.
Maju dan mundur. Seolah seperti irama tarian. Keduanya bergerak dan menikmati keberadaan satu dan yang lainnya. Tak peduli apa kata dunia. Tak ada pikiran bagaimana pendapat temannya atau guru terkutuknya. Yang mereka pedulikan adalah menghabiskan satu malam itu bersama.
Tujuan mereka sudah di depan mata. Puncak dari teriakan, geraman dan erangan mereka. Masing-masing dari mereka meneriakkan nama satu dan yang lain dalam hening. Teriakan bisu yang tak ingin mereka teriakkan pada dunia.
Terengah dan lelah. Berkeringat dan terasa terbakar di seluruh tubuh membuat Naruto tenggelam dalam lelap terlebih dahulu. Sasuke melihatnya dalam diam. Dia menarik kembali tubuhnya dan segera berpakaian. Dia tidak tega jika harus meninggalkan Naruto seperti itu. Hanya ada satu cara yang bisa membuatnya lega.
I am the golden line-break. Buy me, own me. Everyone loves to have me. I know you do too!
Kedua mata berwarna biru itu perlahan terbuka. Namun kembali tertutup karena sinar matahari. Sesaat kemudian dia melihat sekelilingnya. Ia melihat ke tubuhnya sendiri.
Kimono… Kamar…?
'Bukannya tadi malam dia ada di tebing dengan Sa—'
Segera dia bangun dan berusaha bangkit tetapi dia tidak bisa. Dalam hati dia mengumpati sang Uchiha. Gara-gara manusia itu dia jadi seperti ini. Bagaimana bisa si brengsek itu mengalahkan Uzumaki Naruto dalam hal— uhh hal 'itu'!
Wajah karamelnya kini bersemu. Naruto jadi mengasihani dirinya sendiri. Bagaimana nanti saat yang lainnya ingin berangkat pulang? Dengan kondisi seperti ini tidak mungkin dia bisa berjalan dengan 'normal'.
'Urgh, baka-Teme. Teme. Teme! TEME!', umpatnya dalam hati.
Naruto serasa membeku saat pintu penginapannya di ketuk, "Naruto?"
'Damn! Sakura'
"Ah, Sakura-chan! Ohayou."
"Ohayou. Hei, dari mana saja kau semalam? Aku masuk ya?"
Naruto yakin dia bisa menyaingi batu saat ini, "uhh, jangan! Well, aku sedang tidak memakai baju Sakura-chan. Tunggu saja di lobi. Apa kita berangkat pulang ke Konoha sekarang?"
"Dasar, laki-laki. Dan, iya, kita pulang hari ini. Cepatlah. Yang lain sudah menunggu."
Ingin sekali rasanya Naruto menghantamkan kepalanya ke dinding terdekat. Tapi, untuk melakukan itu saja dia harus berdiri dan berjalan ke dinding yang di maksud, yang jelas-jelas sedikit tidak mungkin dia lakukan.
'Kami-sama. Apakah ada yang lebih buruk dari ini?'
I am lollipop line-break. Want to get taste of me?
Cahaya remang-remang adalah temannya. Lorong dingin dan hampa itu sudah tak lagi membuatnya gila. Gulungan jurus Shinou sudah ada di tangannya. Seperti yang di minta Orochimaru. Langkah kakinya menggema di antara dinding dan lantai bercorak lingkaran-lingkaran. Sasuke berhenti di depan sebuah pintu. Dua pintu itu membuka dan di sanalah orang itu duduk.
Wajah pucatnya masih tetap sama. Senyum itu pun juga sama. Kedua mata berwarna kuning bersinar diremang-remang cahaya lilin yang menari. Seraya menggenggam gulungan sang Sannin ular berkata, "jadi ini gulungan untuk Teknik Menghidupkan Tubuh yang Mati." [Body Revival Technique]
Kabuto angkat bicara, "kau gagal membawa Shinou kemari. Benar-benar bukan sepertimu gagal seperti ini."
Sang Uchiha hanya membalikkan badan bersiap untuk pergi ke kamarnya saat Orochimaru memanggilnya.
"Sasuke-kun."
Sasuke berhenti dan masih membelakangi kedua makhluk antagonis.
Sannin Ular itu menyeringai dan menyipitkan matanya seolah mengetahui sesuatu. Meski Sasuke tak melihatnya secara langsung tetapi nada bicara merendahkan a la Orochimaru membuktikan pandangan 'aku-tahu-semuanya' sedang tertuju ke punggung pemuda Uchiha itu.
"Apakah ada sesuatu yang menarik?"
Sasuke tetap diam dan menggenggam tangannya dengan erat saat Sannin itu melanjutkan, "aku hanya merasakan memang ada suatu hal yang menarik telah terjadi."
"Hn," dengan itu Sasuke keluar dari kamar psycho pecinta ular.
Setelah keluar dia berdiri di atas air sungai dan masih memikirkan kata-kata Naruto.
'Aku akan membawamu kembali ke Konoha suatu hari nanti!'
Kata-kata yang hanya ia mengerti lewat bahasa bibirnya. Karena suara nyaring Naruto tak bisa sampai saat istana melayang itu sudah di ambang kehancuran. Dan lagi, dengan apa yang sudah dia lakukan di tebing itu. Dia memijit keningnya. Bagaimana bisa dia membiarkan dirinya lepas kendali seperti itu. Tapi, dengan berlalunya malam 'istimewa' itu Sasuke sudah merencanakan semuanya. Setelah mengalahkan Itachi, dia akan kembali.
'Ya, kembali. Kembali ke rumah.'
"Chidori Kouken!"
Random Facts:
Anchor Vantian; Istana melayang yg ada di movie Naruto Shippuu 2.
Fict ini di buat stlah Nami puas mlihat Naruto Shippuu movie 2; KIZUNA (Bond). Kizuna artinya Ikatan. Di movie itu Naruto ketemu lgi ma Sasuke. Dan apa yang Nami bisa rasakan dari movie itu adalah: SHONEN AI! Kayanya Masashi-sensei beneran suka Sho-Ai antara Naru-chan ma Sasu-teme. Dan special guest hari ini adalah… SAI!
Sai: …kenapa aku? Padahal aku tidak terlihat di chapter ini…? T_T
Karena kamu ga ada makanya di munculin. =_="
Sai: Ohh. Apa tugasku sekarang?
Sini. *bisik bisik bisik*
Sai: Ohh… *angguk angguk* Ehem, untuk semua readers tolong berikan sepatah dua patah kata untuk Nami. *creepy smile*