Disclaimer: Cover picture by yukinosetsu zerochan 1039180 | Vocaloid © Yamaha Corp. © Crypton Future Media | Saya cuma kebagian ngetik cerita :D
Warning: Typo, cerita garing xD silahkan ingatkan author kalau ada yang salah ;) Arigatou~!
.
.
Pertengahan musim dingin memang saat yang ditunggu-tunggu oleh gadis itu. Suhu angin sangat menggelitik kulit dan menggetarkan rentetan giginya. Syal si pirang pendek ini tak cukup untuk menahan dingin. Jaket putihnya terasa lebih tipis dan ia mulai menggigil. Berkali-kali meniupkan napas mulut ke tangannya sendiri, membiarkan karbon dioksida membaur dengan udara. Ini benar-benar… hari yang dingin.
Sekarang ia menatap sekeliling, berharap agar lelaki yang ditunggunya cepat datang. Gadis itu mengubah posisi duduknya. Berulang kali menebak; hari ini akan menjadi babak penentuan dalam hidupnya—
Babak penentuan… ucapnya sekali lagi, dalam hati.
Shimoda Rin—itulah namanya. Sekarang ia berada di Taman Kota, lumayan jauh dari rumahnya. Sedari tadi lelah menunggu lama. Rin memaksa berbetah diri duduk di sebuah kursi besi. Sendirian.
Namun tidak apa, ia sama sekali tidak menyesal—setidaknya demi dia.
Rin mendongak. Menatap langit sore membentang indah di atas ubun-ubunnya. Sejauh apapun menatap, ia hanya menemukan warna jingga terlukiskan di langit. Apakah ia akan datang?keluh Rin dalam hati. Namun tekadnya memaksa untuk tetap menunggu.
Ya. Rin menunggu seseorang yang sangat dicintainya…
Mungkin sudah setengah jam menunggu—eh, tidak. Lebih dari satu jam, mungkin. Ia memberanikan diri untuk melihat jam di ponselnya. Sudah pukul empat sore—berarti sudah sekitar dua jam dia duduk menunggu.
Namun Rin tidak peduli. Bahkan jika perlu, ia akan terus menunggu sampai badannya berkerut. Menunggu dan menunggu dengan sabar, hingga kepingan salju turun dari gumpalan awan yang memburam….
"Selamat sore, Rin…"
Suara familiar itu terdengar dan membuat Rin nyaris terlonjak.
Rin berhadapan dengan dia yang ditunggu..., Hatsune Mikuo namanya. Lelaki itu berambut teal gelap. Memakai jaket keren dan celana jeans yang simpel. Ujung syal hitamnya berkibar tertiup angin, menambah poin plus Mikuo sebagai pangeran. Pangeran hatinya….
Akhirnya dia datang.
Mikuo tersenyum simpul. Ia langkahkan kaki mendekati Rin. Tangan Mikuo menyapu selapis salju di kursi sebelum duduk. Kemudian Mikuo menjatuhkan badannya, menatap Rin lekat-lekat seperti berkata; 'ayo, bicaralah.'
Dan tatapan Mikuo justru membuat Rin semakin speechless. Wajahnya makin panas dan napas memendek.
Akhirnya Rin menarik napas dalam-dalam. Mengambil segenap keberanian untuk memulai pembicaraan.
"Hatsune-kun? Selamat sore… Eh, Apa kabar?" Rin berusaha mengatur napasnya. Badannya menegang spontan. Tenang… Tenang… Kau bisa atasi rasa ini, Rin! Ayo katakan!Maki Rin kepada dirinya sendiri.
"Huh, yang benar saja, Shimoda," kata Mikuo bernada getas. Mikuo membuat posisi duduk dengan tangan terlentang, menepuk serbuk salju yang masih tersisa di kepala. "To the point, please."
"Ba-Baik…" Rin berdeham. Mengambil napas untuk mengambil kekuatan. Rasanya, jantung Rin menderu cepat seperti kereta api. "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan dari dulu…"
"Apa?"
"Aku meyukaimu… Bisakah—"
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Mikuo menempelkan jari telunjuknya ke sepasang bibir Rin. Bola matanya yang berwarna azure bluemampu membuat Rin terhipnotis dan mengunci suaranya. Pada detik itu, yang Rin lihat hanya Mikuo semata. Ia rasakan hangat telunjuk Mikuo di bibirnya.
Rin masih belum mampu untuk menerka apa yang akan terjadi nanti. Berharap ini akan berakhir dengan baik-baik saja. Keheningan melanda mereka berdua hingga Mikuo melepaskan telunjuknya.
"Shimoda… Shimoda sang stalker," katanya setengah berbisik.
Bola mata Rin mengecil. Sekujur tubuh dan syarafnya terkejut bukan main. "Eh?"
"Aku tahu tentangmu. Kau tak peduli apa yang mereka katakan. Bahkan gosip yang beredar, kau sampai tidak mendengarkan petuah-petuah si Kagamine. Bagaimana rasanya menguntitku selama satu tahun hidupmu, huh? Menyenangkan?"
Ucapan Mikuo tadi membuat Rin tertampar. Kata-katanya begitu dingin—Bukan. Tepatnya terlalu dingin untuk seorang Hatsune Mikuo. Rin menelan ludah, bingung antara menjawab dan tidak. Rin diam saja untuk sementara, takut serba salah.
"Baiklah, kalau kau tak ingin menjawab. Aku akan pergi." Mikuo berdiri mendadak, membalik badan—atau lebih tepatnya, ingin memalingkan mukanya.
Namun sebelum Mikuo sempat pergi, tangan mungil milik Rin mencengkram lengan jaket Mikuo. Cengkramannya membuat Mikuo berhenti melangkah.
"Tunggu! Kau belum menjawab tentang perasaanku!" serunya. Tentu saja Rin tak ingin melepaskan Mikuo begitu saja. Ia ingin bisa bersamanya, dekat dengan Mikuo….
Mikuo berbalik menghadap Rin. Dipegangnya dagu dingin Rin dengan tangan kanannya. Air muka Rin memerah seketika. Bagaimana tidak? Jarak antar wajah mereka hanyalah sekitar dua sentimeter. Saling berbagi kehangatan dalam nafas mereka.
Namun wajah Mikuo masihlah sama; dingin. Bahkan mungkin kejengkelan sengaja ia tunjukkan untuk meremukkan hati perempuan di hadapannya.
"Aku menolak. Karena kau bodoh, terlalu centil, tomboy, urakan, keras kepala, norak, selalu menguntitku, dan aku yang terkena penyakit kanker paru-paru. Jadi—"
"TIDAK!"
Rin yang memekik tiba-tiba membuat Mikuo tersentak mundur. Rahang Rin kian mengeras. Ia tidak ingin mempunyai akhir cinta seperti ini lagi…
Ia menutup cuping telinga dengan kedua tangan dan merunduk. Rin tidak ingin mendengar apapun lagi. Ini pastilah sebuah kebohongan. Kebohongan yang menusuk keras gendang telinganya. Ini bukanlah fakta, hanya kebohongan jerit Rin dalam hati. Perkataan Mikuo tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rin tidak mau menerima rasa sakit yang berada di dalam dadanya… Tidak mau….
"Kalau begitu, ijinkanlah aku untuk berubah! Aku akan lakukan apa saja, hanya untukmu! Kita akan belajar untuk saling mencintai! Apapun untukmu, aku rela!"
Mikuo memutar bola matanya. Merasa tidak betah untuk berlama-lama bersama Rin. Mikuo menyisipkan kedua tangannya ke kantong jaket—sebuah tindakan untuk menahan sesuatu dari hati.
"Sudahlah. Aku tidak meyukaimu."
Rin terbelalak. Rasanya tak percaya bahwa seorang Mikuo telah berkata sekasar itu. Penekanan kata 'tidak' membuat tungkai kaki Rin semakin lemas. Emosi Rin mampu membuatnya jatuh. Namun akal sehat masih sanggup untuk membuatnya berdiri.
Inisiatif ego Mikuo mulai muncul, dia menunjukkan sebuah senyuman. Senyuman sinis, mengejek, atau artian lainnya. Unsur negatif sudah terpampang jelas di sudut bibir itu. Seperti senyum sebuah kemenangan. Senyum yang mengalahkan perasaan Rin.
Pemuda itu menatap Rin lekat-lekat. Melepaskan tautan kedua tangan mereka. Ekspresi Rin tidak terlihat jelas karena tertutup poninya. Apalagi salju yang menghalangi mata. Yang Mikuo bisa lihat hanya sebulir air yang menetes dari dagunya….
Tanpa perasaan apapun, Mikuo menyeret kakinya keluar dari taman, meninggalkan Rin yang masih terdiam kaku…
Shimoda Rin tak akan menangis
Rin menggumamkan kalimat itu berkali-kali, memandang punggung itu kian menjauh, meninggalkannya sendiri. Menatapnya keluar dari Taman seperti layaknya sebuah fatamorgana. Antara nyata dan tidak. Air bening yang melapisi matanya membuat segalanya menjadi kabur.
Bayangan itu akhirnya hilang, bola mata Rin tidak bisa menatapnya sekali lagi. Mikuo hilang—hilang dari hidupnya. Ia memaksakan akal sehatnya. Memaksa kakinya bergerak menuju halte, meskipun tungkai kakinya masih bergetar hebat.
Rin berdiri sendiri di halte. Berkali-kali ia memerintahkan kepada dirinya sendiri agar tidak menangis. Berkali-kali menghapus jejak air mata di pelipis pipinya. Berkali-kali Rin berjanji pada dirinya sendiri; setelah naik bus dan sampai di rumah, ia akan menangis sepuas-puasnya.
.
.
.
Gadis itu memutar kenop pintu rumah, masuk tanpa mengucapkan salam. Ya, ia hidup sendirian. Keluarganya sibuk bekerja dan jarang pulang. Namun Shimoda Rin tidak peduli dengan keluarganya, bahkan tidak peduli tentang dirinya yang selalu hidup kesendirian. Rin hanya memperdulikan lelaki itu—Hatsune Mikuo.
Rin jatuh cinta ketika pertama kali bertemu dengannya di perpustakaan sekolah. Mikuo-lah yang membantu Rin, ketika kesulitan mengambil buku di rak paling atas. Namun Rin menjadi buta dalam sekejap, yang ia pikirkan hanya lelaki itu—bahkan meskipun tidak mengenal namanya.
Yang pertama kali memperkenalkan mereka berdua adalah Hatsune Miku, sepupu Mikuo, sekaligus sahabat Rin.
Tak puas jika hanya berkenalan dengan Mikuo, Rin berjalan untuk mengikutinya. Dia buat sisi kehidupan yang lain; sebagai stalker.
Rin mengikutinya kemanapun ia pergi. Bahkan ketika Mikuo ke luar kota, Rin selalu menjadi bayang-bayangnya. Apapun aktivitasnya, ia akan tahu. Ia tahu segalanya. Segalanya tentang Mikuo...
Rin berjalan gontai memasuki kamarnya, berdiri di ambang pintu tanpa gerakan sedikit pun. Mengedarkan pandangan mata ke seluruh penjuru kamar. Gelap. Sendiri…. Rin jatuh terduduk tanpa dikomando.
"…Shimoda sang stalker"
Cih! Rin menepis perkataannya yang terlanjur terekam. Dadanya terasa sakit, rasa pening yang hebat tiba-tiba melanda kepala. Sudahlah, ia hanya ingin menghilangkan memori itu dari otaknya—secepatnya, kalau bisa.
"Aku menolak. Karena kau…"
Rahang Rin mengeras, berusaha sekuat tenaga untuk membendung air matanya. Meskipun ia sendiri tahu ia tak bisa menahannya lagi.
"…Aku tidak meyukaimu"
"Arghk…," rintihnya.
Jujur, ia tak sanggup lagi. Tubuhnya berguncang. Ia berdiri dan mulai berjalan tertatih. Kepalanya pusing, seakan mau pecah. Dadanya benar-benar sakit, seperti remuk dan hancur begitu saja…
Tiba-tiba muncul keinginan Rin untuk melampiaskan seluruh emosi. Tangannya secara spontan membanting vas bunga yang terletak di meja belajarnya. Gravitasi berperan adil, menarik vas bunga tersebut. Suara hantaman terdengar nyaring, membuat kepingan-kepingan keramik bertebar di lantai.
Masih belum puas, Rin mengobrak-abrik isi lemari bukunya. Merobek setiap lembar kertas dan membantingnya ke dinding. Berharap menghancurkan benda akan meredakan rasa sedihnya.
Namun sayang, itu tidak berhasil. Rin kembali memukul-mukul bantal hingga kedua tangannya terasa lemas dan kaku.
Aku cinta Mikuo…
Rin terdiam sejenak, setetes air mata berhasil turun. Tangannya menyambar pigura kecil di meja belajarnya—tentu saja dengan foto Mikuo. Foto-foto yang ia kumpulkan diam-diam selama menjadi stalker.
Foto Mikuo yang tersenyum…
Wajah Mikuo yang tidak menyadari jika dibidik kamera, senyumnya sangat natural. Sama sekali tak terkesan dibuat-buat. Rin sangat suka senyum Mikuo...
Digenggam dengan kuat foto itu. Dikecup pelan layar kaca pigura. Oh, Rin terlalu mencintainya…
Gadis mungil itu terlalu putus asa, yang akhirnya meringkuk di sudut kamar. Memeluk foto itu erat-erat. Ketika memeluk foto, ada perasaan hangat yang kecil. Sebuah nostalgia yang manis ketika ia menjadi seorang stalker;pemuja Hatsune Mikuo.
Namun, seperti apapun Rin berusaha untuk menggapainya, lelaki itu tak akan terkejar. Seperti kisah Putri Duyung yang ada di dongeng-dongeng anak kecil. Putri Duyung yang memberikan segalanya hanya untuk Sang Pangeran. Putri Duyung yang kehilangan akal sehat, menjatuhkan diri menuju laut yang terdalam. Berubah menjadi ribuan buih melayang dalam dinginnya laut….
Rin menghembuskan napas kuat-kuat, kemudian memijat pelipis kepalanya. Sugesti agar rasa pusing hebatnya cepat hilang. Ada belah kisah hatinya yang terputar begitu saja. Kisah tentang Rin yang sudah dua kali terjatuh.
Cinta pertamanya adalah... Kagamine Len.
"Len…" Rin mengucapkannya tanpa sadar.
Kagamine Len, sahabat terbaik seumur hidupnya. Seorang teman sekolah yang selalu menjadi tempat untuk pulang. Len yang selalu menemani di kala suka dan duka. Lelaki yang selalu membuatnya tertawa tanpa henti. Len adalah cinta pertamanya.…
Tapi dilemma hebat membuat Rin terguncang. Rin tahu, apa yang mereka lakukan selama ini hanyalah sebatas persahabatan. Tak kurang dan tak lebih. Dan jikalau Rin menyatakan perasaan yang sebenarnya, itu lebih dari bodoh. Gila, tepatnya. Rin hanya mengambil langkah aman, satu-satunya yang tidak ia inginkan adalah meremukkan tali persahabatan.
Akhirnya, Rin berusaha melupakan Len. Menghapus tentang 'rasa cinta' terhadap Len, hanya saja, penghapusan memori itu tidak berlangsung dengan lancar…
"Len…" Rin mengucapkannya tanpa sadar, lagi.
Hatsune Mikuo, cinta kedua. Dimana Rin selalu menyembahnya selayak Tuhan. Mengaguminya. Mengikutinya. Mencintainya… Dan segalanya terasa fana, terasa tidak ada gunanya. Hatinya terpuruk lagi. Seutas kisah akhir dengan cinta keduanya; namun lebih sadis. Mikuo menolaknya mentah-mentah, dengan perkataan dingin dan menusuk.
Namun hanya Mikuo, hanya Mikuo-lah yang ada di hatinya. Meskipun hati kecilnya tersakiti...
"Len…"
Ketiga kalinya ia menyebut nama itu. Ia mendongak, menerawang ke jendela kamarnya yang berembun. Memperhatikan satu-persatu kepingan salju yang berjatuhan. Pikirannya sekarang kosong. Rasa sedih dan marah sudah menguap, hilang entah kemana. Rin sendiri tidak tahu kenapa.
Kemudian hatinya terasa kosong. Hampa. Tak terisi.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
Tanpa ragu, ia mengecup foto Mikuo sekali lagi. Ia berlama-lama memandang senyum Mikuo—seakan senyum itu bisa menghapus pedihnya.
Air mata Rin mengalir lagi, jauh lebih deras daripada sebelumnya.
Rasa sakit membuat napas Rin merasa sesak. Sakit dari cinta bertepuk sebelah tangan membuat Rin menangis hebat. Menjerit-jerit. Menyalahkan dirinya yang terobsesi dengan cinta.
/
Setelah tangis sedikit reda dan mengatur napas kembali, Rin mengambil ponselnya. Ia ingin bicara dengan sahabat—atau cinta pertamanya. Hanya itu yang diinginkan. Tak lain dan tak lebih. Hanya dia...
"Halo, Len?" suara Rin serak. Tenggorokannya masih kering setelah menangis tadi.
"Hey, Rin! Apa kabar?" suara Len terdengar. Sayup-sayup terdengar suara ramai. Rin bisa menebak, dia sedang berada di Café Voca— Café langganannya.
"Buruk." Rin mengucapkannya tanpa rasa.
"Mengapa?"
"Aku ditolak… Mikuo…." Mengatakan tiga kata itu terlalu sulit untuk Rin. Bahkan suaranya mulai sengugukan. "Datang ke rumahku secepatnya, ya? Aku butuh kamu…" tanpa sadar, bulir air menetes lagi dari pelupuk mata Rin. Lidahya terasa pahit
Di seberang sana, biji mata lelaki berambut pirang itu langsung berkilat. Feelingburuk menggugahnya. Len terlalu sulit untuk membayangkan jika Rin menangis—bahkan sebenarnya, Len tak sudi seorangpun tega menyakiti Rin.
"Lelaki itu? Lagi?" Len harap-harap cemas, mengaduk kasar kopi dihadapannya. Tidak ada suara yang jelas, Len mendengar gumam Rin yang samar.
"Oke, tunggu sebentar. Aku ada urusan…"
Len menekan tombol merah. Mengakhiri pembicaraan yang membuatnya penasaran, dengusan kasar tertiup. Apa yang telah terjadi?
Dengan gerakan cepat, Len memanggil maid.Mengeluarkan selebaran uang pada maid berkuncir dua berwarna toska, namanya Hatsune Miku. Yang kebetulan sepupu Mikuo, maidfavorit, dan teman sekelasnya.
"Buru-buru, Len?" kata Miku, seraya menyerahkan uang kembalian.
"Ah, nanti kau juga tahu." Len mengerdipkan sebelah mata, berlari keluar dari café dengan tergesa, meninggalkan Miku yang tersenyum jengkel.
=To Be Continued=