Galerians, in.

Ahoy. Lama tak bersua. It's been like… three whole months? Or maybe four? Yeah, somewhere around that number.

Hamba kali ini datang membawa cerita baru lagi, dengan konsep baru: parallel worlds. Bagaimana ceritanya? Silakan lihat sendiri.

Warning:

Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.

Notification:

"Blablabla" = perkataan yang diucapkan langsung (tanda petik double)

'Blablabla' = perkataan dalam hati (tanda petik single)

Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of romance for those who read.

Selamat membaca!

~••~

When The Sun Goes Dreaming

Pernahkah kau bermimpi?

Oh, dan yang kumaksud bukanlah kembang mimpi remeh di mana semuanya hanya berupa khayalan dan semua keinginanmu bisa jadi kenyataan, bukan. Akan tetapi sebuah mimpi di mana semuanya terasa nyata. Apakah itu rasa dingin yang menyengat kulitmu. Ataupun suara silir angin yang menggoreskan debu ke gendang telingamu. Seakan-akan kau memang berada di sana.

Lalu kau pasti berpikir, kenapa juga aku mesti menanyakan itu? Jawabannya mudah, aku baru saja mengalaminya.

Di mimpi itu, sosokku benar-benar berbeda dengan apa yang selalu kulihat di cermin setiap hari. Aku berubah menjadi seorang pria gagah yang punya tubuh tegap bukan main. Tubuhku dibalut oleh jaket jingga yang dilapisi jubah merah tua dengan motif api membara di tepian bawahnya. Dengan tangan bersidekap, sosok yang sungguh mirip denganku itu berdiri dengan mengesankan di atas kepala seekor kodok raksasa yang juga berwarna jingga.

…Ya, aku bilang KODOK. Kau pikir kenapa lagi mimpi ini kubilang aneh?

Dan kalau itu masih kurang, di mimpi itu aku sedang berhadapan dengan seorang pria lain, yang juga sama-sama menaiki seekor binatang raksasa. Tapi jujur saja ya, aku tidak yakin apakah makhluk itu benar-benar hewan atau tidak. Lihat saja, ekornya aja ada sepuluh! Aku jadi terpaksa mikir, apa aku sudah membuat Tuhan marah sehingga Dia mengirimku ke dunia antah-berantah begini?

Akan tetapi, aku tak sempat untuk memikirkan alasan Tuhan melakukan ini. Bukan karena malas atau apa, tapi karena aku sedang menjadi 'aku' yang ada di mimpi ini, perhatianku tiba-tiba teralih oleh sesuatu.

Jauh di bawah sana, berdiri di atas sebuah batu lonjong besar, adalah seorang gadis yang tak kuketahui siapa, namun terasa begitu familier. Tubuhnya yang tertutupi kimono putih tanpa motif, serta rambut merahnya yang seakan berkilau memantulkan cahaya bulan, adalah dua fitur yang walaupun tak tersimpan dalam memori, namun seakan telah terpatri selamanya di jiwaku.

Tetapi perhatian itu langsung berubah menjadi kemarahan di saat aku melihat belasan rantai di tubuhnya. Menjeratnya. Menyakitinya.

"Madara!" mulutku, yang pada saat yang sama juga bukanlah mulutku, mengeluarkan raungan murka yang cukup untuk meretakkan udara. "Kau…! Kau!"

"Uzumaki Naruto…" sang pria bertopeng menjawab, dengan suara sesantai berbicara dengan teman minum kopi. "Emosional seperti biasa…"

"Dia tak ada hubungannya dengan pertarungan ini!"

"Maaf, tapi aku terpaksa tidak setuju," jawaban sedingin gletser yang seakan membekukan udara, keluar dari bibir pria dengan topeng dengan tiga lubang berbentuk tomoe. "Sejauh yang kutahu, kehadirannya disinilah yang membangkitkan amarahmu…dan sekaligus, kekuatan terbesarmu."

"…Grh!" geraman rendah adalah satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutku. Namun siapapun orang yang memiliki nama sama denganku itu, dan yang sosoknya merupakan duplikat diriku ini tahu jelas bahwa meladeninya bicara saat ini sangat tidak berguna. "Ken! Hiro!" dengan panggilan itu, sosok raksasa di medan pertempuran ini segera bertambah dua. "Bos Gama! Aku percayakan Juubi pada kalian bertiga! Biar aku yang mengurus Madara!"

"Serahkan pada kami!"

Namun sesaat sebelum pertempuran pecah, untuk terakhir kali, pandanganku kembali terarah pada gadis yang dibelit rantai di bawah sana. Seakan bisa merasakan, gadis itu membuka mata, dan mengarahkan pandangannya ke atas.

Biru langit bertemu lembayung senja dalam satu tatapan sekejab.

"Kau tunggulah di situ…" aku berbisik pelan. "Aku pasti akan menyelamatkanmu…"

"Kyuubi."

Dan sekarang, peperangan dimulai, "AYO!"

~•~

Dalam satu kedip, mimpi itu berakhir. Suara desing teredam yang mengelilinginya, dan guncangan konstan dari kereta subway yang terasa oleh tubuhnya, adalah dua hal yang merenggut sang pemuda dari alam tidur ke dunia nyata.

Remaja dengan rambut pirang yang berantakan itu duduk lebih tegak, kemudian menggosok-gosok mata kanannya untuk melenyapkan sisa-sisa kantuk yang masih menempel pada dirinya. Dengan mata yang masih sayu pemuda itu melempar pandangan ke sekeliling, hanya untuk melihat kalau tak ada orang lain di sekitarnya.

"Sial…" dia berdiri. "Aku melewatkan stasiunku lagi…"

Ia berjalan ke depan pintu, kemudian menatap bayangan dirinya yang terpantul pada kaca yang terdapat di sana. Mata biru muda yang sewarna langit di atas, dan tanda lahir berupa tiga garis yang identik dengan kumis kucing menghiasi pipinya. Dia perhatikan semuanya, teliti pada setiap inci, setiap senti, dan setiap mili. Dan setelah beberapa lama, barulah akhirnya ia menyadari bahwa wajah ini memang wajah miliknya, bukan wajah pria yang selalu muncul dalam mimpinya.

Setelah itu, sembari menyapukan tangan ke wajahnya yang masih lembab oleh keringat, ia mendesah lirih,

"…Mimpi ini lagi…"

To be Continued

I told you I'm going to see you in another fic, didn't I?

Eksperimen baru: campurkan AU dan canon, dan apa yang kau dapat? Parallel Worlds.

Ah, ampir lupa. Ini masih prolog, makanya pendek sangat. Nanti-nanti juga bakalan nambah panjang kok. Jadi jangan pelit komentar ya?

Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

Thanks a zillion for reading!

Galerians, out.