Halo! kali ini aku update cepat... hehehe
oke, sesuai kataku di chapter sebelumnya... chapter 10 atau 11 bakalan tamat.
kuputuskan tamatnya di chapter 10 (ya chapter ini) :p
makasih buat semua yang udah baca sampai sekarang ya! Arigatou!
thnks to...
ONE OF THE SILENT READER
REIYKA
FIYUI-CHAN
RURIPPE NO KIMI
NAMIKAZEPAMELA
NANA-CHAN
GHIFIA KURAUDO
DRAQUILL
NHL-CHAN
KUDO WIDYA-CHAN EDOGAWA
ARIGATOU
HANY YOURIEL
REI-CHAN
KAZUKI NAMIKAZE
RIZUKA HANAYUUKI
RIIDINAFFA
AND ALL SILENT READERS! :D
WARNING! ALUR CEPAT! OOC! TYPO! DONT LIKE DONT READ!
ENJOY THE LAST CHAPTER! :D
CHAPTER 10
.
.
.
.
.
Orochimaru berjalan mundur dengan perlahan-lahan. Napasnya tidak teratur. Dia terus menekan dadanya yang bercucuran darah.
"Menyerahlah," Sarah tersenyum mengejek. Tubuhnya yang kecil ramping itu tiba-tiba menghilang lagi. Aku hanya bisa terbelalak ketika melihat Orochimaru yang tiba-tiba terpelanting jauh. Dengan kepayahan, dia mengelak dari serangan beruntun Sarah yang tak terlihat. Aku menajamkan panglihatankuku, berusaha melihat arah serangan Sarah, namun semuanya sia-sia.
"Huh! Dasar tukang pamer!" Aku mendesis, kesal karena aku hanya bisa terbengong-bengong menatap Sarah-alias-Minato yang terus menyerang tanpa memberiku kesempatan untuk ikut menghajar ular licik ini. Kufokuskan cakraku dan tanpa ragu, aku kembali melilitkan rantai cakra ini di sekeliling tubuh Orochimaru yang kepayahan. Orochimaru menatapku dengan tatapan membunuh, namun aku hanya menyeringai.
"Arrghh!" Dia menjerit kesakitan ketika aku memperkuat jeratanku di sekeliling tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, aku melempar tubuh Orochimaru ke arah batu karang, membuat bunyi keretak mengerikan dari arah punggungnya.
"Lumayan juga jurusmu," Sarah muncul tiba-tiba di sebelahku. Mata birunya menatapku dengan hangat. Aku mendengus, menyembunyikan rona merah di wajahku. Padahal wajahnya tetap sama dengan Sarah yang selama ini bersamaku, tapi entah mengapa sekali tahu bahwa Sarah itu Minato, aku tidak bisa menghentikan debaran jantungku ini. Tapi, ketika aku teringat bahwa Sarah itu Minato, emosiku tiba-tiba muncul lagi.
"Tunggu saja kau," aku menggeram selagi melempar Orochimaru. "Setelah kuhancurkan ular ini akan kulempar kau ke jurang dengan rantaiku!"
Sarah yang melawan Orochimaru tanpa gentar itu langsung pucat ketika mendengar ancamanku.
"Di sana!" tiba-tiba terdengar seruan banyak orang. "Sandaime-sama! Orochimaru ada di sana!"
Karena keramaian yang muncul tiba-tiba, aku merenggangkan ikatanku tanpa sadar. Aku tersentak ketika melihat tubuh Orochimaru yang berubah bentuk menjadi ular. Dengan gesit, dia menyelinap keluar dari rantai ini dan menyusup ke dalam kegelapan hutan.
"Ahh!" aku berteriak. "Dia kabur!" aku hendak mengejarnya, namun Sarah langsung menghentikanku.
"Biarkan Sandaime dan ANBU mengejarnya. Kau akan terkena masalah kalau kau keluar Konoha,"
Aku mengerutkan kening, hendak protes. Namun, ucapannya memang benar. Aku pasti sudah terkena masalah karena keluar Konoha. Aku tidak mau dikurung selama-lamanya karena keluar dari perbatasan Konoha ini.
"Kushina!" Sandaime berlari ke arahku. "Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng. "Tenang saja, dattebane! Tapi Orochimaru kabur, kalian sebaiknya cepat mengejar ular itu,"
Sandaime mengangguk. Dia langsung memerintah para ANBU untuk mengejar Orochimaru. Sebelum dia ikut mengejar mantan muridnya itu, dia menoleh ke arah Sarah penuh akan noda darah. "Anak ini…" Sandaime menatap Sarah lekat-lekat.
"Ah… anu…" Sarah tiba-tiba menjadi panik. "Sandaime-sama… sebenarnya…"
"Anak yang manis," ujar Sandaime, memotong ucapan Sarah. "Dia anak yang kau temukan lima bulan yang lalu kan, Kushina? Aku sudah lupa pada anak ini karena tidak pernah melihatnya keluar rumah," Sandaime menepuk kepala Sarah sambil tersenyum lebar, membuat mata Sarah terbelalak. "Warna matanya sama persis dengan warna mata Minato… betul kan, Kushina?" Sandaime menoleh ke arahku. Aku mengangguk dengan kikuk. "Kalian berdua pulang saja. Kau harus istirahat." Setelah tersenyum sekali lagi ke arah kami, Sandaime memasuki kedalaman hutan, mengejar Orochimaru.
"Dia tahu kalau identitas asliku," ujar Sarah tiba-tiba. "Tapi sepertinya dia membiarkan kasus ini berlalu." Sarah tersenyum lebar ke arahku. Dengan riang, dia mengulurkan tangannya yang mungil, hendak bergandengan tangan. "Kushina, ayo kita pu…"
"Aku masih belum menghajarmu," aku menggeram, membuat wajah Sarah menjadi pucat seketika.
"K-Kushina-neechan, j-jangan begitu dong," dia melontarkan senyuman manis khas 'Sarah'. "Kau kan kakak terbaik," dia mulai merayuku. Bujukan ini biasanya membuat amarahku menghilang, tapi sayangnya sekarang aku sudah tahu taktik licik Minato.
"Mati kau, pirang!" Tanpa ragu lagi, kulayangkan pukulan ke arahnya, membuat si pirang licik ini menjerit kencang.
.
.
.
.
.
"Sekarang aku mengerti apa maksudmu dengan 'aku akan pergi kalau kakak pirang kembali'."
Minato Namikaze mengusap wajahnya dengan handuk sambil menyeringai. "Ah," jawabnya singkat. Aku terdiam. Wajah Minato sama sekali tidak berubah. Masih dengan ketampanan yang sama. Hanya saja, sekarang wajahnya menjadi lebih dewasa. Rahangnya menonjol. Mata birunya menjadi semakin tajam. Selain itu… Mataku langsung menatap ke arah dada Minato yang tidak berbalut pakaian. Tanpa sadar, mataku sudah menempel dengan erat di tubuhnya yang kekar itu. Selama setahun tidak melihatnya, Minato bertambah tinggi. Tubuhnya yang bertambah kekar dihiasi beberapa bekas luka yang menonjol. Minato sadar akan tatapan tajam yang tertuju pada tubuhnya. Dia meringis, membuat wajahku merah padam dalam seketika. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku yang terbakar.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku menghela napas lega. Berduaan bersama Minato setelah sekian lama tidak melihatnya membuatku menjadi tegang. "A-anu…" aku beranjak dari ranjang Minato. "Aku ke ruang depan dulu," aku berjalan melewati Minato sambil menyembunyikan rona merah di wajahku. Aku berlari-lari kecil menuju ke arah pintu. Siapa yang berkunjung malam-malam begini? Mungkin Jiraiya atau Sandaime... Namun, kerutan di keningku langsung muncul ketika aku melihat wajah di balik pintu itu.
"Apa maumu?" tanyaku, ketus.
"Mmm, hai," Koga meringis, membuat kerutan di keningku semakin dalam. "Aku… ingin minta maaf…"
"Aku tidak butuh!" ujarku, tambah ketus. "Pulang sana!"
"Tapi aku sungguh-sungguh peduli padamu, Kushina! Kau harus percaya padaku! Alasanku menyuruhmu melupakan Minato Namikaze adalah untuk kebaikanmu sendiri. Dia itu sudah mat…"
"Ada yang memanggilku?"
Aku terlompat kaget ketika mendengar suara laki-laki yang berat dari balik punggungku. "Minato!" seruku, kaget. Namun, sepertinya bukan hanya aku yang terkejut, Koga sendiri menatap Minato seperti melihat hantu.
"Kau Koga, kan?" Minato memasang senyum 'membunuhnya'. "Ada urusan apa dengan pacarku?" Dengan santai Minato meletakkan tangannya di sekeliling bahuku.
"Eh… tidak… anu…" Mata Koga terpaku pada dada telanjang Minato.
"Ah, baguslah kalau tidak ada urusan apa-apa. Kami sedang sibuk tadi ketika kau mengetuk pintu," Minato mengedipkan matanya, membuat wajah Koga merah padam dalam sekejab. "Selamat malam!" Tanpa menunggu lagi, Minato mengayunkan pintu rumahnya di depan muka Koga. "Dasar serangga penggangu!" desisnya.
Ini pertama kalinya aku mendengar Minato menyumpahi seseorang.
"Hahaha!" tawaku meledak seketika. "Kau lucu sekali, Minato! Bisa-bisanya kau bertindak seperti tadi!"
Minato mengusap rambutnya dengan kikuk. "Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal itu! Aku tidak bisa melakukan itu ketika aku sedang dalam wujud 'Sarah' kan?"
Aku tersenyum pelan. Yah… Meski sosoknya mengalami sedikit perubahan, Minato yang kukenal masih tidak berubah. "Tapi… kalau boleh jujur, aku sangat suka pada Sarah, lho!" Aku menghempaskan tubuhku di kursi tamu. Senyumku melebar ketika melihat Minato yang menaikkan sebelah alisnya. "Aku lebih menyukai Sarah dibandingkan denganmu, Minato!"
Sesuai dugaanku, kening Minato berkerut ketika mendengar ucapanku. "Yang benar saja. Apa bagusnya sosok bocah kecil itu? Kau tidak tahu sesulit apa aku menahan diriku untuk tidak langsung membeberkan identitas asliku padamu," Minato menghela napas sambil berjongkok di hadapanku. "Aku sengaja menipumu untuk menjebak Orochimaru… Setahun yang lalu, aku berhasil lolos darinya. Aku berusaha mengambil informasi sebanyak yang kubisa dari lelaki itu. Akhirnya, aku sadar bahwa tujuan utama dia adalah dirimu, Kushina. Dia ingin menyalurkan cakra kyuubi ke dalam tubuh manusia-manusia percobaan yang berhasil dia kumpulkan," Minato menatapku dengan serius. "Karena itu, aku memutuskan untuk menjagamu sekaligus membuat Orochimaru lengah. Jika dia tahu bahwa aku berada di sisimu, dia tidak akan muncul semudah itu. Rencanaku berhasil. Orochimaru menjadi lengah dan menjebakmu. Dia tidak sadar kalau selama ini aku berada di sampingmu dan aku menghajarnya ketika dia lengah." Minato menyunggingkan bibirnya, tersenyum puas.
"Jadi, kau merasa bangga karena berhasil menipuku?" tanyaku tajam. Aku mendengus, tidak peduli dengan kenyataan kalau Minato melakukan semua ini demiku. "Kau pikir aku ini lemah? Orochimaru tidak mungkin bisa menangkapku semudah itu! Aku sudah bukan bocah sepuluh tahun ketika kita bertemu dulu, dattebane! Selain itu, aku masih tidak menyangka kalau kau adalah Sarah yang manis dan cantik itu!"
"Masih protes akan hal itu, ya?" Minato menghela napas.
"Tentu saja! Aku sangat menyukai Sarah, tahu!" aku merengut. Ucapanku memang benar. Meski pun aku sangat senang atas kembalinya Minato, aku agak menyayangkan hilangnya Sarah. Aku benar-benar menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku sudah menyayanginya.
"Aku tahu kalau kau sangat menyukai wujud samaranku itu," Minato tiba-tiba menyeringai. "Setiap malam kau memeluk 'Sarah'. Setiap kali kau pulang dari misi, kau akan mengecup 'Sarah'. Kau bahkan ngotot ingin mandi bersama 'Sarah'…" Cengiran Minato melebar ketika dia melihat wajahku yang mulai terbakar. "Tidak hanya itu. Kau selalu mengecup kelopak mata 'Sarah' sambil berkata, 'Sarah, aku sangat menyukai warna matamu. Warna matamu mengingatkanku akan…'"
"Stop! Stop! Ah! Jangan mengingatkanku akan hal memalukan itu, dattebane!" Aku menjerit sambil membekap wajahku yang merah padam. Sekarang aku merasa kalau diriku sangatlah tolol. Aku selalu mencium mata Sarah, memberitahunya kalau aku sangat menyukai warma matanya yang sama dengan Minato. Tapi… Sarah adalah Minato!
Minato tertawa geli melihat reaksiku yang berlebihan. Dia mengulurkan tangannya dan membekap wajahku. "Kau sangat menyukai warna mataku, ya? Apa yang istimewa dari warna mataku ini?" tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. Tanpa kukehendaki, jantungku berdetak dua kali lipat lebih kencang. Warna biru sapphire yang jernih itu seakan-akan merasuki pikiranku, membuat otakku berhenti berfungsi. Minato tidak sadar kalau dia bisa membuat jantung sekaligus otakku menjadi gila setiap kali dia menatapku seperti itu. "Aku tidak tahu mengapa kau menyukai warna mataku. Bagiku, warna matamu adalah warna terindah." Tanpa peringatan sedikit pun, Minato menempelkan bibirnya di kelopak mataku, membuatku tersentak.
"Sebenarnya, aku sangat tidak suka dengan sosok 'Sarah'. Kau tahu kenapa?" Minato berbisik tepat di telingaku, membuatku bergidik seketika. Jari-jarinya yang panjang menelusuri garis rahangku. "Karena, aku tidak bisa melakukan hal ini dalam wujud itu," bibir Minato mendarat di ujung daguku. Napasnya yang panas menggelitik wajahku.
"M-Minato…" aku mengerang ketika bibirnya sekarang menciumi wajahku tanpa henti. Aku mengulurkan tanganku, menyentuh tubuh Minato yang tidak berlapiskan pakaian. Tubuhnya kekar dan kokoh, tidak seperti tubuh Sarah yang mungil dan ramping. Tanpa sadar, tanganku sudah membelai tubuhnya, mengagumi tubuhnya yang bidang. Minato bergidik ketika merasakan sentuhan tanganku. Dia langsung memelukku dengan erat. Sambil membisikkan namaku, dia mencium bibirku dengan lembut.
Di detik di mana bibir kami bertemu, kepalaku langsung terasa kosong. Napasku berderu kencang. Jari-jariku bergerak menuju ke arah rambut pirangnya, mencengkeram rambutnya. Aku menempelkan lekuk-lekuk tubuhku di tubuh Minato tanpa kusadari. Aku tidak tahu apa yang membuatku bereaksi seperti ini hanya karena ciuman darinya. Apakah karena aku sudah lama tidak merasakan ciuman darinya? Ataukah karena lelaki yang menciumku ini Minato?
Aku tidak tahu.
Yang pasti, adrenalin yang memicu di dalam tubuhku membuatku kehilangan akal sehat. Kuremas rambut Minato, membuat lelaki yang kucintai ini memperdalam ciumannya.
"Minato…" aku membisikkan namanya di sela-sela ciuman panas ini. Tiba-tiba Minato tersentak. Mata birunya menatapku dengan terbelalak. Dengan panik, dia melepaskan ciumannya.
"Ah…" dia bergumam. Wajahnya merah padam dalam seketika.
"Minato?" Napasku terengah-engah. Aku terpaksa menarik napas dalam-dalam agar dapat bernapas dengan normal lagi.
"Anu…" Minato meringis. "Sepertinya… aku agak kelewatan tadi…"
Aku menatapnya dengan bingung. Kenapa dia tiba-tiba menghentikan ciumannya? Apa yang salah? "Kau tidak suka berciuman denganku?" tanyaku, tersinggung.
Minato menghela napas. "Kau tidak berubah… Masih saja polos…" Sambil tertawa lemah, Minato kembali memelukku. "Begini saja, ya? Sudah lama aku tidak memelukmu,"
Aku terdiam. Meski pun aku masih agak kecewa karena Minato tiba-tiba berhenti menciumku, aku tidak membenci pelukannya. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Minato, merasakan kehangatan tubuhnya. "Aku mencintaimu…" bisikku pelan.
"Aku tahu," jawab Minato sambil tersenyum. Tiba-tiba, aku menguap. Mataku terasa sangat berat tanpa kukehendaki. Minato tertawa. "Kau lelah kan? Tidurlah. Aku akan membawamu ke kamar." Tangannya yang kekar mengangkatku dengan mudah. Aku memejamkan mataku, merasa aman di dalam pelukannya.
"Jangan tinggalkan aku lagi…" desahku. "Akan… kubunuh kau kalau kau berani meninggalkanku…" Mataku mulai tertutup. Samar-samar, aku mendengar tawa Minato.
"Baiklah, baiklah. Sesuai keinginanmu, princess," Dia mengecup keningku dengan lembut. "Tidurlah. Aku janji kalau aku akan berada di sisimu ketika kau bangun nanti."
"… selamanya…?"
"Selamanya."
.
.
.
.
.
"Di detik ketika aku mendengar jawaban Minato, aku terlelap, ditelan oleh mimpi yang panjang. Harus kuakui, itulah malam di mana aku dapat tertidur dengan tenang dan nyenyak. Mungkin karena keberadaan Minato di sisiku. Minato adalah manusia teraneh yang pernah kukenal. Bagiku, dia adalah bom yang bisa membuat jantungku meledak sewaktu-waktu. Dia juga seperti matahari yang selalu bisa membuatku tersenyum karena kehangatannya. Dia seperti singa. Kuat dan disegani orang. Tapi anehnya, singa tersebut tunduk di hadapanku. Dia juga bagaikan lagu nina-bobok yang selalu bisa membuatku tertidur dengan nyaman…" Sakura Haruno membaca paragraf terakhir di buku diari tersebut. "Meski pun dia kadang-kadang menyebalkan, aku tidak bisa membenci Minato Namikaze. Apa boleh buat, dialah lelaki yang paling kucintai di dunia ini…"
"Sasuke," Naruto meneguk ludah. Dadanya berdetak kencang ketika dia menatap wajah Sakura yang merah padam. "Siap-siap. Satu, dua…"
Sasuke mengangguk. Wajahnya pucat seketika.
"…tiga!" Naruto dan Sasuke membekap telinga mereka secara serentak.
"KYAAAA! ROMANTISNYA!"
Jeritan Sakura bergema di sekeliling perpustakaan Konoha, membuat para pengunjung melompat kaget.
"Romantis! Romantis! Kyaaa! Romantis sekali!" Sakura menjerit girang, tidak mempedulikan Naruto dan Sasuke yang sudah tergeletak di lantai. "Sasuke-kun! Ayo buat cerita cinta seperti ini suatu hari nanti!" Sakura tertawa riang sambil menoleh ke arah bocah tampan berambut raven tersebut.
"Tidak mau! Sampai mati pun tidak mau!" Sasuke berteriak kesal.
"Sakura-chan! Jangan membuat cerita cinta dengan si buntut ayam ini! Denganku saja!" Naruto menyeringai lebar, membuat Sakura mendengus. Naruto merengut. Namun, dia cepat-cepat melupakan kekesalannya. "Jadi, kisah di dalam buku itu sudah berakhir sekarang?" Dia mengambil buku itu dari tangan Sakura. Naruto membuka halaman terakhir, berusaha membaca kalimat terakhir yang ditulis Kushina. Namun bocah itu hanya bisa mengerutkan kening karena kebingungan. "Aku tidak mengerti kanji apa pun kecuali nama 'Minato Namikaze' yang ada di paragraf terakhir ini! Hei! Nama cowok ini sama seperti nama Ayah!" Naruto tertawa.
"Ah…" Sakura dan Sasuke bergumam secara bersamaan. Mereka tidak mengerti mengapa mereka berdua bisa berteman dengan bocah tolol seperti Naruto.
"Tentu saja sama!" Sakura sudah tidak bisa menahan kekesalannya lagi. "Dia itu ayahmu! Dan orang yang menulis diari itu ibumu sendiri, bodoh!"
Naruto terpaku selama beberapa detik. Pelan-pelan, perkataan Sakura sampai juga pada otaknya. Seakan-akan mendengar bunyi 'klik', Naruto langsung mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa! Jadi ini diari Ibu? Pantas saja sifat anak di buku ini mirip dengan Ibu, dattebayo!" Naruto mulai heboh sendiri. "Tapi, kenapa diari Ibu bisa sampai di dalam perpustakaan ini, datteb…"
"Diari siapa?"
Tiga bocah kecil itu langsung tersentak ketika mereka mendengar suara seorang wanita yang tegas sekaligus menakutkan di belakang punggung mereka. Naruto memutar kepalanya dengan kaku. Mata birunya langsung terbelalak ketika menatap wanita berambut merah panjang di belakangnya. "I-Ibu!" Naruto menjerit ketakutan.
Kushina Namikaze mendelik ke arah Naruto. Mata violetnya terpaku pada buku diari berwarna merah tua yang dipegang anak satu-satunya itu. "Jadi selama ini buku diariku di sini, dattebane! Naruto, kau yang meletakkan diari itu di sini?" Kushina menggeram, membuat Naruto bergetar ketakutan. Sekarang Naruto mengerti mengapa ayahnya yang super kuat itu bisa takut terhadap ibunya.
"B-bukan, dattebayo! K-kami menemukan diari itu di sini!"
"Ho… Lalu, apakah kalian membacanya?" Kali ini Kushina mendelik ke arah Sasuke dan Sakura.
"T-tentu saja tidak, Bi Kushina!" Sakura cepat-cepat menggeleng. "I-iya, kan? Sasuke-kun?" Sakura menyikut Sasuke. Bocah tampan yang berani itu cepat-cepat menganggukkan kepala.
"Hah, baguslah!" Kushina tersenyum lega. Wanita cantik ini mengambil buku diari itu dari tangan Naruto. "Buku ini tiba-tiba menghilang setahun yang lalu. Aku mencari buku ini sekuat tenaga, tapi masih tidak bisa menemukannya!" Kushina meringis. "Aku juga masih punya buku diari yang satu lagi. Tapi buku itu hilang…"
"Seperti apa bukunya, Bi? Mungkin kami bisa bantu cari," Sakura tersenyum lebar.
"Ah, warna sampul buku itu kuning muda. Lalu, di dalam buku itu ada pembatas buku berwarna orange," Kushina tersenyum. "Aku menulis buku tersebut lima tahun lalu, sebelum aku melahirkan bocah ini!" Kushina menepuk kepala Naruto. Bocah pirang itu meringis ketika Kushina membelai rambutnya. "Ngomong-ngomong, Mikoto dan Midori mencari kalian berdua juga," Kushina tersenyum ke arah Sasuke dan Sakura. Sakura terpana ketika melihat senyuman Kushina. Meski pun Kushina menyeramkan, dia mempunyai senyum yang menawan. Sakura tersenyum lebar. Dia memutuskan kalau dia ingin menjadi wanita cantik seperti Kushina dan mendapatkan lelaki tampan ketika dia dewasa nanti.
"Ayo pulang, Naruto! Kita harus buat pesta kejutan untuk ayahmu, kan?" Kushina meraih tangan Naruto sambil menyeringai. "Ingat tidak hari ini hari apa?"
Naruto terdiam sesaat. "Ah… hari ini Ayah ulang tahun, dattebayo!" Naruto meremas tangan ibunya dengan girang. Kushina tersenyum lebar ketika menatap mata putranya yang berbinar-binar. Dia selalu teringat akan Minato setiap kali melihat Naruto. Mata Naruto sama persis dengan Minato. Biru jernih seperti warna langit. Kushina meraih tubuh Naruto, mengecup pipi anak kesanyangannya itu.
"Ayo, kita kejutkan Minato!" Kushina menyeringai. Sakura terdiam ketika melihat cengiran Kushina. Senyuman Naruto sangat mirip dengan ibunya. Kenapa dia tidak pernah menyadari hal itu? Sakura langsung cepat-cepat melupakan kekagetannya ketika dia melihat Kushina, Naruto dan Sasuke yang mulai berjalan keluar dari perpustakaan. Di luar perpustakaan, dia bisa melihat ibunya yang berdiri menunggunya sambil tersenyum.
"Ibu!" Sakura tertawa girang sambil memeluk Midori. Sasuke yang biasanya terlihat dingin itu juga tersenyum girang ketika melihat ibunya yang datang untuk menjemputnya.
"Ayo kita semua pulang!" Naruto berseru girang sambil menggandeng tangan ibunya. Mata biru Naruto tiba-tiba terpaku pada buku diari ibunya. Dia mengerutkan kening. Kenapa buku diari itu ada berada di dalam perpustakaan secara tiba-tiba? Selain itu, dia merasa kalau dia pernah melihat buku diari itu sebelumnya… "Ah!" Bocah itu tiba-tiba menjerit nyaring, membuat Kushina dan yang lain terlompat kaget.
"Kenapa, Naruto? Kau ketinggalan sesuatu?" Kushina mengerutkan kening. Dia bingung melihat wajah anaknya yang tiba-tiba berubah menjadi pucat.
"Anu… sepertinya aku ketinggalan sesuatu, dattebayo…" Naruto meringis, membuat Kushina menghela napas.
"Cepat ambil di dalam perpustakaan itu!"
Naruto mengangguk dengan panik. Dia berlari ke arah Sasuke dan Sakura. Naruto menarik kedua sahabatnya itu, membuat tangan Sakura dan Sasuke terlepas dari genggaman Midori dan Mikoto.
"Hei!" protes Sasuke.
"Apa-apaan kamu!" Sakura ikut berteriak marah. Namun, Naruto tidak mempedulikan kemarahan kedua sahabatnya itu. Dia terus menarik mereka berdua sampai ke pojok perpustakaan, di mana mereka menghabiskan waktu mereka tadi. "Kenapa sih, Naruto?"
"Apa maumu, dobe?" Sasuke mengerutkan keningnya, tidak senang.
"Aku ingat!" seru Naruto tiba-tiba. "Aku tahu kenapa diari Ibu ada di dalam perpustakaan ini!"
Mata Sakura melebar. "Kenapa?"
"Setahun yang lalu, aku marah kepada Ibu karena dia tidak mengijinkanku makan ramen," Naruto mulai bercerita. "Karena marah, aku mengambil dua buku diari yang disimpan di laci kamar Ibu dan menyembunyikannya di sini!"
Sakura dan Sasuke melongo. Bisa-bisanya bocah jahil ini melakukan sesuatu yang gila seperti itu. Padahal dia tahu sendiri kalau kemarahan ibunya sanggup untuk meletuskan sebuah gunung!
"Ah! Aku benar-benar lupa, dattebayo! Pantas saja aku merasa kalau aku pernah melihat buku itu sebelumnya!" Naruto menjerit panik. "Sebenarnya aku berniat untuk mengembalikan buku itu pada tempatnya! Tapi aku sudah terlanjur lupa kalau aku menyembunyikan dua buku diari itu, dattebayo!"
"Tunggu dulu!" Sakura tiba-tiba berseru. "Kau bilang… kalau kau menyembunyikan dua buku diari itu?" tanya gadis berambut pink tersebut. Naruto mengangguk lemas. Dia mulai membayangkan hukuman neraka yang akan diberikan pada ibunya nanti. "Kalau begitu… kau masih ingat di mana kau menyembunyikan buku yang satu lagi?" tanya Sakura, mulai semangat. Naruto kembali mengangguk.
"Kalau tidak salah…" Dia berjalan menuju salah satu rak buku. Tangan mungil Naruto menjelajahi rak buku tersebut. "Ah! Ini dia!" Mata birunya menangkap salah satu buku dengan sampul berwarna kuning yang dipenuhi debu. Naruto membuka buku itu dan sebuah pembatas buku berwarna orange meluncur keluar dari buku tersebut.
"Diari Bi Kushina!" Sakura menjerit riang. Dia langsung merampas buku tersebut dari tangan Naruto. "Wah! Wah! Waaahh!" Jeritan riang Sakura semakin menjadi-jadi ketika melihat tulisan tangan yang lebih rapi dan bagus dibandingkan tulisan di diari yang sebelumnya.
"A-anu… Sakura-chan…" Naruto mulai merasa takut melihat Sakura yang semangat. "A-aku harus mengembalikan buku itu kepada…" ucapan Naruto terhenti ketika Sakura mendelik ke arahnya.
"Percuma Naruto," Sasuke mendengus. "Sakura tidak akan menyerahkan buku itu kepadamu sampai dia selesai membaca semua isi buku itu."
"Eehh? Kenapa begitu, dattebayo!"
Sakura meringis. "Jangan begitu, Naruto! Aku yakin kalau kau ingin mendengar kisah Ibu dan Ayahmu sebelum kau lahir," Sakura menyeringai licik.
"Ugh…" Naruto meneguk ludah. Memang benar kata Sakura. Dia penasaran akan kisah kedua orang tuanya. "Baiklah… Kurasa Ibu tidak akan tahu kalau aku menyembunyikan diari miliknya…" Naruto meringis.
"Kalau begitu semuanya sudah jelas! Kita akan berkumpul di sini lagi besok!" Sakura berseru riang.
"Yoshaa, dattebayo!" Naruto ikut berseru.
"Apa boleh buat," Sasuke menghela napas.
Tiga bocah itu mulai menyembunyikan diari berwarna kuning tersebut. Mereka tidak sabar menunggu hari esok, di mana mereka bisa mengetahui rahasia kehidupan orang tua Naruto. Namun, pada saat ini Naruto lebih menunggu datangnya malam daripada hari esok. Dia tahu bahwa ayah yang sangat disayanginya itu akan pulang di malam hari. Pada saat itu, dia bisa memberikan hadiah yang dia siapkan untuk ayahnya. Dia akan melihat senyum bahagia ayahnya sekaligus menikmati masakan ibunya yang lezat.
"Setelah dipikir-pikir lagi, aku tidak terlalu peduli dengan kisah yang ada di buku diari itu, dattebayo!" Naruto tiba-tiba berseru.
"Kenapa?" tanya Sakura, bingung.
Naruto menyeringai lebar sambil keluar dari perpustakaan. "Habisnya, apa pun yang terjadi, aku tahu kalau Ibu dan Ayah akan selalu bersatu!" Bocah pirang itu tertawa. "Ayah dan Ibu memang bertengkar kadang-kadang. Tapi, setiap pagi ketika aku bangun dari tidur, aku selalu melihat Ayah dan Ibu yang tertawa riang di dapur! Mereka selalu bisa memaafkan satu sama lain!" Senyum Naruto melebar. "Selain itu, ada aku yang selalu menjaga mereka, dattebayo! Aku akan menjadi Hokage dan melindungi Ayah dan Ibu! Akan kupastikan kalau mereka selalu bersatu!"
Sasuke menyeringai. "Huh! Kau masih jauh untuk menjadi Hokage!"
"Apa katamu!" Naruto mulai mendelik ke arah Sasuke. Sakura cekikikan melihat kedua sahabatnya. Yah, ucapan Naruto memang benar. Kedua orang tuanya akan terus bersama. Cinta mereka berdua tidak akan pudar semudah itu. Sakura melirik ke arah rak buku di mana buku diari Kushina tersembunyi. Tapi, kisah cinta kedua orang tua Minato sangat unik dan berbeda dengan kisah cinta yang dia tahu. Jadi... tidak ada salahnya untuk membaca kisah cinta mereka berdua, kan?
THE END
Sori kalau kurang memuaskan...
soalnya aku mau cepat cerita ini selesai karena ujian akhirku udah dekat... :p
makasih ya buat semua pembaca yang sudah mengikuti crita ini sampai tamat! :D
arigatou!
sesuai cerita di atas, tiga bocah bandel menemukan diari kedua Kushina. Jadi... ada kemungkinan aku bakalan tulis sequel, tentang kehidupan Kushina dan Minato yang sudah menikah...
tapi cuma bisa tulis waktu pertengahan november nanti, waktu ujianku selesai :p
ya udah sekian dulu bacotnya, makasih sekali lagi! :D
mind to review? :)