O yes, this time, I would try another stuff that doesn't compatible with my field, I think. *smirk.

Saa, please don't kill me if this fic would be very amburadullll…! *kyaaa…jangan timpukin zura.

Ima, hope u enjoy it! xD…


Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning:

OOC maybe, typo(s), sho-ai, bloody scenes ─maybe xp─ dll.

Ah yeah, don't like don't read!


.

Kau berkubang sepi.

Terpuruk lekat dalam euphoria kehampaan.

Sanubarimu meronta, menjerit di antara dinding-dinding kebisuan.

Menunggu sebuah substansi berentitas realita merengkuhmu dalam dekapan.

Bak menanti turunnya hujan di padang sahara, menghapus dahagamu akan makna keberadaan.

Namun, tak pernah ada.

Kau tiada daya.

Ragamu tak mampu berbuat apa-apa.

Kau bahkan tak sempat menyadari ketika ketidakberdayaanmu telah menjelma menjadi satu eksistensi baru nan nyata.

.


Deviation

Part 1 : Another side has been appeared


Second PoV

"Heh, anak haram! Sedang apa kau di sini?"

Kau menolehkan kepala ketika suara familiar itu menyapa indra pendengaranmu dan mendapati serombongan anak-anak nakal yang sering mengganggum, berdatangan menghampirimu.

Kau tak beranjak dari tempatmu ataupun membalas perkataan yang kerap terlontar dari mulut mereka terhadapmu. Kau hanya memicingkan safir samudramu; hal yang tak pernah absent kau lakukan jika menghadapi kebadungan anak-anak sebayamu itu.

"Heh! Apa kau lihat-lihat? Anak haram sepertimu tidak layak bermain di sini." Seorang anak lelaki berambut coklat jabrik yang menjabat sebagai ketua genk mendorong tubuhmu hingga jatuh terjerembab di kubangan berlumpur; membuat kaos orangemu terciprat noda dan sikumu berdarah karena terantuk batu.

Kau meringis dan mengaduh pelan sedangkan mereka mengumandangkan kesenangan.

"Hei, Kib! Ambil bolanya!" Kau merengkuh erat bola sepak yang ada di dekapanmu ketika anak laki-laki berambut hitam ─yang kau ketahui bernama Shino─ menyuruh sang ketua untuk mengambil ─atau lebih tepatnya merebut─ bola kesayanganmu.

Kau kalah tenaga dalam usaha mempertahankan kepemilikanmu. Benda itu telah berpindah tangan kini.

Manik samudramu berkilat nyalang menatap euphoria yang tercipta karena kelemahanmu dan kediamanmu. Sudah cukup batas kesabaranmu. Buku-buku jarimu mengepal. Rahangmu mengencang.

Kau berdiri tegak. Determinasi kuat tersirat di iris safirmu. Tak peduli akan luka yang mengucur di sikumu atau pandangan meremehkan dari berpasang-pasang mata yang menatapmu.

"Apa? Mau melawan?" bentak Kiba.

"Kembalikan!" Akhirnya kau menemukan suaramu; walau terdengar seperti desisan.

"Huh!" cemoohnya; seakan ia tak mendengar apa yang meluncur dari mulutmu.

"Kubilang: KEMBALIKAN!" Kau berteriak sekeras mungkin; memenangkan pertarungan dengan kedua katup bibirmu sendiri yang mulai bergetar.

"Ahh…" Kau benci seringai mengejek itu. "Ambil kalau bisa." Ia memainkan dan melambung-lambungkan sang bola di telapak kanannya sebelum melemparkannya ke belakang.

Kau terhenyak. Kedua matamu mengikuti arah jatuhnya bola. Dan tertangkap oleh anak lainnya.

Kau menyingkirkan sosok Kiba yang berdiri tepat di hadapanmu. Lekas menghampiri sosok lain yang sekarang tengah bermain lincah dengan mainan kesayanganmu. Anak lelaki itu menyadari kedatanganmu dan segera mengoper sang bola ke arah lain sebelum kau sempat merebutnya.

Kau menggeram kesal. Kau ibarat bola dalam game pinball. Keringatmu jatuh bercucuran karena usahamu tak kunjung membuahkan hasil. Mereka makin membahanakan kesukacitaan mereka karena berhasil memperdayaimu.

Kau menatap tajam sosok-sosok yang tengah menertawaimu. Kau benci tawa itu. Tawa yang selalu menghantam gendang telingamu. Tawa yang terlahir atas penderitaanmu.

Kau punya cara menghentikan permainan ini saat kau lihat bola itu melambung kembali ke arah Kiba. Kau ambil inisiatif itu. Kau dorong tubuhnya ketika ia lengah; hendak menangkap operan. Ia terpeleset dan akhirnya jatuh tercebur ke sungai yang terbentang panjang di belakangnya.

Kau menyeringai puas sementara teman-teman se-genknya mulai berteriak-teriak panik.

Tubuh mungil Kiba timbul tenggelam terseret arus. Tangannya menggapai-gapai hendak meminta pertolongan.

Tanpa kau sadari. Kau sangat menikmati moment ini. Nalurimu terus membisikkan kata berulang-ulang, 'Tenggelam. Mati tenggelam.'

Namun, beberapa detik kemudian teriakan Kiba membuatmu terperangah.

"Bodoh. Aku ini jago berenang tahu." Kiba tergelak. Lekas diseretnya segera tubuhnya ke tepian.

"Kau itu membuat kami cemas saja." Shino menjulurkan tangannya hendak membantu Kiba. Tetapi, belum sampai uluran itu tersambut…

"Eh! Siapa yang menarik kakiku? Lepas! Lepas!" Kiba mengerahkan seluruh anggota geraknya untuk mengenyahkan sesuatu yang menghambat dirinya; membuat suara kecipak di air.

"Kiba! Ada apa? Lekas kemari!" panggil teman-temannya.

"A-ada yang menarik kakiku." Kiba membeliakkan matanya ketika iris hitamnya menerobos lapisan air dan mendapati sepasang tangan yang tengah mencekalnya juga sepasang mata yang bersinar di kepekatan, tak lupa disertai seringai kejam yang tersimpul di kedua sudut bibirnya.

"Argghh… Lepas! Lepaskan aku!" teriaknya ketakutan. Tapi, sosok yang berada dalam air itu tak menggubris teriakkannya, malah semakin erat mencengkeramnya dan sepertinya hendak menarik Kiba jauh ke dalam.

"Toloooongg…! To─glup… glup… glup…" Tubuh kecil itu semakin terperosok masuk lebih dalam sedangkan semua temannya menggemakan riak ketakutan.

"Kiba! Apa yang terjadi? Jangan main-main!"

"Kiba!"


Normal PoV

Jasad Kiba yang sudah mendingin akhirnya ditemukan dan bisa diangkat keluar. Bibir mungil itu telah membiru. Kulit-kulit coklatnya memucat dan berkeriput karena terlalu lama berada di dalam air.

Sesosok wanita terlihat menerobos kerumunan warga dan segera berlutut menghampiri raga putranya yang sudah tak bernyawa lagi. Isak tangis mulai terdengar berbaur dengan kasak kusuk warga yang tengah memperbincangkan fenomena yang terjadi.

"Siapa? Siapa yang telah melakukan ini? Katakan padaku: siapa orangnya?" Wanita itu berteriak dengan suara parau. Kedua maniknya menatap tajam; mengintimidasi keempat bocah laki-laki yang berdiri di depannya sembari tertunduk.

Tak ada yang menjawab. Namun, kerlingan mata dari salah satu sosok anak lelaki itu cukup memberi penjelasan untuknya. Dialihkan perhatiannya pada siluet bocah berambut pirang yang mendekap erat sebuah bola.

Bocah itu hampir terlonjak ketika manik tersaput bening sang wanita menghunus dirinya. "Ho! Jadi, kau… anak haram yang telah membunuh anakku. Beraninya kau! Kau itu memang pembawa sial."

Sang bocah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar. Lidahnya terlalu kaku untuk mengutarakan pembelaan. Apalagi ketika diingatnya lagi kejadian tadi. Bukankah ini yang diinginkannya; melihat orang yang selalu menghina dan mengganggunya, lenyap.

Tapi, tidak. Itu hanya sebuah pemikiran. Hanya hasrat terdalam semata dan tak mungkin nyata terjadi. Dia tak sungguh-sungguh berniat untuk membunuhnya.

Kecelakaan. Satu hal itu yang pasti dan yang ia yakini.

"Pembunuh!"

'Bukan. Aku bukan pembunuh. Itu tidak disengaja.'

"Kau pembunuh!"

Bola di tangannya terlepas. Kedua lengannya terangkat untuk menutupi bising di telinga seperti kelompok demonstran yang mengelu-elukannya sebagai seorang 'pembunuh'.

"Pergi saja kau ke neraka, Pembunuh!"

"Pembunuh!"

"Pembunuh!"

Kaki-kaki kecil itu bergerak dan melangkah pergi diiringi tatapan-tatapan sinis yang terhujam ke arahnya. Psikisnya yang rapuh tak mampu menerima hujatan yang ditujukan kepadanya.

.

.

.

Second PoV

Langkah-langkah kecilmu menerobos pelataran rumah dan membawamu masuk ke kediamanmu. Kau mengusap butir-butir bening yang berlelehan di kedua pipi karamelmu; sengaja menutupi segala kesedihanmu dan kekalutanmu dari satu-satunya orang yang peduli akan dirimu; ibumu, sebelum kemudian bibirmu melantangkan salam.

Sunyi.

Tak ada sahutan "Okaerinasai" dan senyum cantik yang biasa kau dapatkan ketika kau pulang.

Perlahan kau jejakkan kakimu. Kedua safir samudramu mengamati keadaan sekitar. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibumu.

Satu persatu kau geser pintu ruangan bergaya Jepang itu. Nihil. Tak ada sosok yang kau cari.

Ruang tamu.

Beralih ke ruang dapur.

Semua ruangan telah kau jelajahi.

Tapi, tak ada.

Kau kembali menjejakkan langkah menaiki tangga satu persatu. Bunyi deritnya menambah pekatnya aroma keheningan yang melanda tempat di mana kau dilahirkan dan dibesarkan. Lekas menyusuri koridor panjang di lantai dua rumahmu.

Kau menghentikan langkah di depan sebuah kamar.

Kau mulai menggeser pintu kamar yang terpampang di hadapanmu; kamar ibumu ─tepatnya.

Sesuatu mengejutkanmu.

Kedua bola matamu membulat lebar. Jantungmu terasa ditusuk. Aliran darahmu seakan terhenti. Nafasmu tertahan.

Bau anyir darah dan pekatnya hawa kematian menyergap seluruh inderamu.

Satu-satunya orang yang kau miliki dan paling kau sayangi, terbaring kaku dengan latar belakang merah yang bersumber dari pergelangan tangan kanannya.

.

.

.

Tsuzuku…

Haaaaa! *histeris sendiri. Apa ini? Apa itu? *plak.

O yes, maaf jadinya ancur gini. tu kan. tu kan. zura g bakat di bidang ini... *mewek.

.

Hm, mind to review fic ancur nan gaje ni? *kitten eyes no jutsu